Pantai Tanjung Lesung adalah pantai yang berada di sekitar Anyer. Sering disebut-sebut sebagai surga yang tersembunyi. Meski pun akses menuju lokasi cukup jauh, tetapi keindahan alamnya sungguh luar biasa. Apalagi hamparan pasir yang berwarna putih berpadu dengan kilau air laut yang bening dan berwarna hijau kebiru-biruan. Merupakan tempat yang pas untuk bersantai dan bermain di wahana yang memang disediakan di sana.
Tempat tersebut memang sangat indah, tak salah sepasang calon pengantin yang menjadi klien Hasna, memilih tempat tersebut untuk sesi pemotretan prewed mereka. Biasanya tempat itu sangat ramai dikunjungi setiap akhir pekan, oleh karena itu mereka bersepakat bertemu di hari senin.Hasna masih sibuk mengambil foto dari kliennya. Sesekali mengarahkan agar hasil yang didapat menarik. Refan juga tak kalah heboh. Pria itu juga ikut memperagakan gaya agar foto terlihat estetik. Sesekali di sela-sela jeda pemotretan, Hasna melirik pria yang bernama, Kenan. Pria itu duduk sambil bersedekap dengan wajah datar. Matanya tak lepas mengawasi aktifitas mereka di pinggir pantai.Saat mengetahui pria itu adalah Kakak kliennya, Hasna segera meminta maaf, dia pikir Kenan pengemudi ojek online, siapa suruh pakai jaket sama helm seperti itu. Jadi wajar jika dia langsung nangkring di atas motor, berasa telat soalnya. Akan tetapi, yang bikin Hasna malu sekali adalah, saat pria itu seolah-olah tak mengenalnya. Padahal dia sudah mau meminta maaf, tetapi Kenan malah berkata, "Kamu siapa?"Hasna seketika ingin membenamkan Refan ke sungai A****n. Kenapa harus Refan lagi? Tentu saja, kalau pria itu mengatakan klien mereka anteng-anteng saja, tentu Hasna tak akan mengalami kejadian dramatis yang mengalahkan sinetron ikan terbang. Tentu dia juga sabar menunggui ban sepeda motornya diganti.Hasna menobatkan Refan sumber masalahnya hari ini. Fiks! No debat!"Oke, bagus sekali!" Refan bertepuk tangan gembira. Bukan karena dia melihat hasil foto, melainkan senang pekerjaannya hari ini telah selesai."Mbak, kita bisa lihat hasilnya enggak?" tanya calon pengantin wanita yang baru Hasna tahu namanya, Salwa."Boleh, saya transfer ke laptop dulu, ya."Salwa dan calon suaminya mengikuti Hasna ke payung besar yang dikembangkan Refan. Di sana laptop diletakkan di atas meja dan empat buah kursi plastik yang salah satunya diduduki, Mr. Frezer. Maksudnya, Kenan.Entah mengapa nama itu yang terlintas di benak Hasna. Wanita itu heran saja, bisa saja, kan, Kenan mengatakan kalau dia bukan pengemudi ojek, ini malah iya-iya saja disuruh mengantar ke Anyer."Permisi," ucap Hasna, dia duduk di sebelah Kenan. Alih-alih menjawab, tersenyum saja tidak.Hasna mencoba tak peduli. Dia masih masih mengutak-atik laptopnya, memperlihatkan hasil foto tadi."Wah, bagus-bagus!" Salwa bersemangat melihat foto preweddingnya. Mata gadis itu berbinar seraya melirik calon suaminya."Iya, nanti aku edit tipis-tipis biar keliatan lebih bagus." Hasna menimpali, dia ikut senang jika kliennya puas dengan hasil kerjanya."Yang itu hapus saja." Tiba-tiba Kenan menyelutuk.Salwa memberenggut. "Kenapa, sih, Kak? Itu, kan, keren."Kenan malah menatap ke arah calon adik iparnya. "Kamu rela kalau dada calon istrimu diumbar ke mana-mana? Lihat, bagian dadanya terlalu turun. Malah kesannya murahan."Hasna menahan napas mendengar komentar si Mr. Frezer yang sangat pedas melebihi bon cabe level lima puluh. Dia bisa melihat wajah Salwa dan calon suaminya memerah."Itu, kan, lagi model, Kak!" Salwa mencoba memprotes.Alih-alih menjawab, pria itu malah berdiri, sambil menyampirkan jaket ojek yang tadi dikenakan."Kakak!" Salwa memanggil dengan nada manja saat Kenan mulai berjalan menjauh."Hapus foto yang pake baju kurang bahan itu atau kalian batal menikah!" Kenan menjawab tak kalah tegas.Mendadak pantai yang memang sepi, bertambah sepi setelah Kenan mengultimatum. Refan yang baru saja selesai mengemasi peralatan, malah cengo melihat Salwa menghentakkan kaki dengan wajah kesal, sementara sang calon suami hanya bisa mengusap bahunya sambil menenangkan."Ada apa?" Refan bertanya dengan berbisik kepada Hasna.Wanita itu hanya meletakkan telunjuknya ke bibir, sebagai isyarat agar Refan diam. Kalau dilihat-lihat, Kenan benar. Dress model kemben berwarna putih tulang yang dikenakan Salwa memang indah, sayangnya di bagian dada terlalu memperlihatkan belahannya. Nyaris separuh dada Salwa tersembul keluar. Walau semahal dan se-ngetrend apa pun, Hasna tak akan pernah mengenakan baju itu."Mbak, foto yang itu enggak usah dicetak, ya. Kirim ke WA aku aja. Biar jadi koleksi pribadi aja." Salwa akhirnya mengalah setelah berdiskusi dengan calon suaminya. Dari yang sepintas Hasna dengar, calon suami gadis itu cukup bijaksana menyikapi perbedaan kedua adik-kakak itu. Membuat senyum tipis terulas di bibir Hasna. Seandainya dia punya seorang kakak yang se-protektif itu, tentu tak akan menyandang status janda secepat ini."Iya, nanti aku kirim ke kamu. Tapi, kuedit dulu, biar keliatan perfect," jawab Hasna setelah sekilas sempat menghalu mempunyai saudara.Salwa mengangguk. "Makasih, Mbak. Kapan kira-kira aku bisa ambil fotonya?""Semingguanlah, nanti aku kabarin.""Iya, sekalian aku mau undang Mbak sama Mas ke nikahan aku. Biar nanti bisa ketularan nikah kayak kita." Salwa senyum-senyum."Maksudnya?" Dahi Hasna berkerut."Mbak sama Mas itu cocok, pasangan serasi."Refan mesam-mesem mendengar celutukkan Salwa, sementara Hasna mendeklarasikan, hari ini paling sial baginya. Dia dan Refan, pasangan serasi? Tetiba air kelapa muda yang baru saja disedotnya berasa, Alfa, Sierra, Echo, Mike.*Hasna baru saja keluar dari mobil Refan, saat melihat mobil kedua orang tuanya sudah terparkir pekarangan rumahnya. Wanita itu mengucapkan terima kasih dan mengusir pria itu segera pergi. Padahal, tadinya Refan berharap di suruh mampir untuk makan. Bayangkan saja, sejak pagi sampai siang, dia hanya dikasih mie goreng seafood, itu pun bekal yang dibawa Hasna dari rumah. Kadang Refan bingung, wanita itu pelit apa irit? Tapi, kalau dirasa-rasa, bekal yang dikasih Hasna, enak juga."Sana buruan pulang, nanti dikira pacar aku lagi," suruh Hasna seraya melirik ke dalam rumah."Lah, emang kenapa? Bagus dong.""Bagus di kamu, musibah di aku!" jawab Hasna ketus."Dih, segitunya. Awas lho, ntar jatuh cinta sama aku." Refan cengengesan melihat ekspresi Hasna mengembangkan hidung, lebar banget, mirip stiker di WA yang jadi favoritnya."Trus Juleha tersayang mau kamu apain? Bisa-bisa aku diserbu Babenya yang kumisnya subur itu." Seketika wajah Ayah Juleha--pacar Refan--terbayang di mata Hasna. Kumis tebal mirip Pak Raden, apalagi gaya centilnya kalau Hasna mengantarkan Juleha ke tempat kerja. Memang Refan dan Juleha bekerja di studio fotonya, cinlok istilah anak jaman now.Bukannya pergi, Refan malah terkekeh mendengar ocehan Hasna. Pria itu juga membayangkan tingkah si wanita yang selalu sembunyi kalau Ayah Juleha datang ke studio. Bukan apa-apa, calon bapak mertuanya itu agresif banget. Malah mau jadiin Hasna Ibunya Juleha. Ya, kali Hasna mau, yang ada dia milih harakiri."Udah, udah, sana. Malah ngakak. Jangan lupa besok pagi-pagi ke studio. Jangan biasain bosnya yang datang duluan." Hasna melangkah lebar seraya mengingatkan Refan.Si pria mengangkat jempol lalu melajukan mobilnya meninggalkan rumah Hasna.*"Baru pulang?"Langkah Hasna yang amat sangat pelan, mendadak terhenti. Persis para pemain 'squid game' yang dimantrai oleh boneka raksasa. Bergerak sedikit saja, kena, 'dor'. Padahal dia sudah mengamati situasi ruang tamu dengan seksama, juga sudah menimbang kapan harus menyelinap tanpa ketahuan, sayangnya saat memutuskan melangkah, malah ketahuan."Ibu apa kabar?" Hasna seketika mode anak baik. Dia menghampiri sang ibu yang sedang memegang suntil yang baru saja digunakan menggoreng ikan asin. Kenapa Hasna tahu? Wanginya sudah membuat perutnya, kukuruyuk."Masih baik, apalagi kalau lihat kamu bawa calon suamimu ke sini."Hasna yang dalam posisi cipika-cipiki sang ibu, langsung memasang wajah memelas. "Ibu ini, yang diomongin calon suami terus, bosen ah.""Ya, gimana enggak, umur kamu itu udah tiga puluh tahun, harusnya udah punya anak dua," sahut Indah--Ibu Hasna, seraya berjalan kembali ke dapur."Sabar aja, Bu, kan, belom kepala empat." Hasna mengekori Indah ke dapur. Hasan--Ayah Hasna--tersenyum mendengar jawaban ngasal putrinya, tetapi surut ketika sang istri memelototkan mata kepadanya."Ayah ini, bukannya ikut nasehatin, malah senyam-senyum.""Tandanya Ayah sepaham sama Hasna, Bu." Hasna salim ke ayahnya, lalu duduk di sebelah pria yang rambutnya sudah mulai memutih itu."Kamu itu dibilangin, kok, banyak ngenyelnya. Mau nunggu apa lagi? Nunggu Ayah sama Ibu enggak ada, baru nikah?" Indah meletakkan ikan asin balado hijau ke atas meja."Emm, mulai ...." Hasna mode cemberut. "Ibu, kok, ngomongnya gitu." Tangan gadis itu mencomot tempe mendoan yang ada di atas meja."Makan yang sopan!" Indah menepuk tangan Hasna yang meraih mendoan dengan tangan kiri. "Sayang, Ibu itu udah kangen ngemong cucu.""Ya. Udah, nanti Hasna kasih cucu.""Beneran?" Mata Indah seketika berbinar."Iya, si Mpus anaknya udah beranak. Nah, bisa, tuh, Ibu ambil cucu." Hasna menunjuk dengan dagu si Mpus yang sedang makan whiskasnya dengan khusyuk."Kamu ini!" Lagi, Indah memukul bahu Hasna, Hasan malah tertawa melihat interaksi keduanya. Memang, Hasna sejahil itu kepada sang Ibu. Namun, dia melakukan itu untuk menghindari pembicaraan serius tentang pernikahanSebagai seorang Ayah dia paham. Meski pun Hasna terlihat baik-baik saja, tetapi hati putrinya itu pasti masih basah oleh luka. Perceraian yang menguras emosi juga waktu membuat putrinya tak lagi memikirkan masalah pernikahan. Hasan masih ingat ucapan Hasna dulu, saat memergoki Azka berselingkuh di sebuah hotel."Padahal Hasna udah ngasih semua, Yah, tapi mengapa Azka kek gini? Salah Hasna apa?" Putrinya itu terlihat sangat kusut. Meski tampak kuat saat melaporkan Azka ke kantor polisi, juga ke atasan tempat pria itu bekerja. Bersikap seolah-olah perceraian bukan masalah baginya, tetapi saat di kamar, wanita itu selalu menangis."Nikah itu bukan cuma cinta, Nak. Perlu komitmen saling menghormati dan menghargai karna cinta bisa luntur, tapi komitmen harus dipegang sampai mati." Hasan mengelus rambut putrinya yang kusut masai."Hasna salah, enggak nurut sama Ayah dulu. Harusnya Hasna dengerin kata-kata Ayah kalau Azka bukan pria baik." Hasna menangis tersedu-sedu."Sudahlah, Tuhan sayang sama kamu, hingga membuka kedok Azka sekarang. Coba kalau udah punya anak, kasian cucu Ayah.""Iya, lain kali Hasna enggak bakal nikah kalau enggak ijin Ayah. Kalau perlu Hasna enggak nikah.""Eh, Hasna! Mau ke mana? Ibu belum selesai ngomong." Seruan Indah menyadarkan Hasan kembali. Dia melihat Hasna sudah melenggang naik ke lantai dua."Mandi dulu, Buk. Bau asem."Indah hanya geleng-geleng kepala melihat sikap putrinya. Menatap suaminya dengan sorot menuduh, "Ini gegara Ayah. Coba dulu waktu Ibu hamil enggak hobi nonton smack down segala, pasti kelakuan Hasna enggak kayak laki gitu."Hasan milih diam dari pada berdebat sehari semalam, tetapi ngebatin, 'kaan, diungkit lagi ....'Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Hanya ayah satu-satunya pria yang tak akan pernah menyakiti, mengkhianati, dan menduakan. Seorang ayah adalah 'role mode' bagi putri mereka dalam mencari pasangan hidup. Seperti itu yang dirasakan Hasna. Hasan adalah satu-satunya orang yang mengerti suasana hatinya. Bukan menepikan keberadaan Indah, tetapi ada hal-hal yang tak bisa dia katakan kepada ibunya. Peran sang ayah di mata Hasna sangat luar biasa. Sesibuk apa pun pria itu, selalu menyempatkan waktu menelepon, sekadar menanyakan bagaimana sekolahnya hari ini? Sudah makan atau belum? Dan bila pulang bekerja pasti tak pernah lupa membawakan makanan kesukaan putrinya. Hasan bagi Hasna bukan sekadar ayah, tetapi juga panutan dalam hidupnya. Apalagi setelah perceraian dengan Azka, ayahnyalah yang paling sering membesarkan hatinya. Menguatkan sang putri bahwa semua akan baik-baik saja. Semua air mata, rasa sakit, juga kecewa adalah cara Tuhan memisahkan dirinya dari orang yang
Kenan Abhitama Aziel, pria berumur tiga puluh satu tahun itu tak habis pikir dengan tuduhan sang mama padanya. Wanita yang telah melahirkannya itu mengatakan, jika dia mengalami penyimpangan dalam hal orientasi seks. Entah dari mana mamanya mendengar gosip murahan itu. Sampai-sampai, Kenan harus bersumpah bahwa dia masih normal, tetapi tetap saja tak memuaskan hati wanita tersebut. "Pokoknya Mama enggak mau tau! Nanti di pernikahan Salwa kamu harus bawa pacarmu, kalau enggak mau Mama mati berdiri. Ingat, pacar beneran. Jangan sewaan seperti yang sudah-sudah." Kenan mengusap wajahnya yang frustasi. Kata-kata Nuraida--mamanya--memantul-mantul di gendang telinga. Bahkan, peringatan itu sudah seperti minum obat, setiap bertemu atau menelepon, Nuraida selalu menyisipkan kalimat itu, sehingga Kenan hapal setiap kata, titik-koma, dan logat sang mama saat mengucapkan. Bukan tak memikirkan perasaan orang tuanya, Kenan belum siap membawa seorang wanita menghadap Nuraida. Banyak hal yang men
"Mama mau tanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus jawab jujur." Nuraida menatap lekat ke retina mata Hasna, dia ingin memastikan wanita itu tidak berbohong.Hasna tersenyum kaku, mencoba terlihat tenang, meski keringat dingin keluar dari pelipisnya."Tanya apa, Tante?""Kamu beneran, kan, pacarnya Kenan? Bukan sewaan?" Mata Hasna membulat, 'pacar sewaaan?' Dia membatin. Andai saja tak ada Mamanya Kenan, tawa Hasna mungkin sudah tersembur keluar. Ya, kali pria setampan Kenan butuh pacar sewaan? Seperti tidak laku saja."Emang Mr. Frezer, eh ... maksudnya Mas Kenan sering seperti itu, Tante?" Hasna malah tergelitik ingin tahu. Sepertinya ini senjata bagus untuk membalas si tuan pemaksa itu."Sering, yang dibawa itu aneh-aneh. Ada yang SPG, ada anak SMA, bahkan yang terakhir itu, waria. Yang bikin Tante senewen, Kenan enggak tau kalau pacar sewaannya itu perempuan berjakun."Seketika tawa Hasna pecah, wanita itu tertawa sampai air matanya keluar. Dia membayangkan bagaimana pria yang
Andai pintu Doraemon itu ada, pasti Hasna rela membeli meski harus merogeh kocek dalam-dalam. Dengan pintu itu, dia membayangkan bisa pergi ke mana saja, menghilang ke tempat yang dia mau. Apalagi saat ini, ingin rasanya menarik Kenan dan mengirim pria tersebut ke dunia lain, setidaknya Kenan tak muncul lagi di studio fotonya.Lagi? Iya, lagi. Setelah ke-gap oleh Indah kemarin, Kenan mulai sering berkunjung ke rumah atas undangan Ibunya Hasna. Wanita itu tak berkutik. Dia hanya menurut saat ibunya menawari Kenan mampir ke studio foto milik Hasna. Entah ada keperluan sang ibu pada hari itu mendatangi tempat kerjanya, lalu belanja cemilan untuk ayah dan kedua karyawan tengilnya. Kalau saja Hasna tak meminta berhenti atau tak meladeni ocehan Kenan, tentu tak akan terjadi percekcokan yang dilihat langsung oleh Indah.Seperti punya sihir, ibunya terlihat percaya saja saat Kenan memperkenalkan diri sebagai kekasihnya. Hasna ingin membantah, tetapi urung kala melihat binar bahagia di mata sa
Kenan tersenyum lega ketika pesawat yang dia tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Dari gerbang kedatangan menuju gerbang keluar, pria itu membenak terakhir kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran, Nuraida. Saat itu dia baru saja lulus sekolah menengah atas, kala sang papa di pindahtugaskan ke Jakarta. Setelah sekian lama tinggal di kota yang terkenal dengan sebutan 'kota bingkuang', dengan berat hati harus meninggalkan sanak-keluarga dan teman-teman sepermainan. Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Terletak di pantai barat pulau Sumatera dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65% dari luas provinsi Sumatra Barat. Kota yang berada di pesisir pantai ini, banyak dikunjungi para turis lokal maupun internasional. Pulau-pulau kecil yang banyak bertebaran, menyajikan keindahan alami. Selain pemandangannya, ombak yang tinggi juga menjadi salah satu daya tarik turis yang hobi berselancar."Uda Kenan!" Seorang gadis memanggi
Hasna meremas tali tas punggungnya dengan kuat, seraya menatap ke arah kafe yang tidak terlalu ramai. Bangunan bergaya retro itu terlihat sangat mencolok dari bangunan di sekitarnya. Dengan warna dasar hitam, serta warna hijau, orange, dan merah yang dicat berselang seling di dinding, membuat tempat itu tampak hangat dan nyaman untuk dikunjungi. Hasna menghela napas perlahan, seraya menghitung dalam hati dari satu hingga sepuluh. Selalu begitu jika dia gugup kala bertemu dengan seseorang. Dia tak tahu keputusannya benar atau salah, bibirnya mengiyakan begitu saja saat Azka meminta untuk bertemu.Azka Prasetya. Meskipun satu tahun telah berlalu, tetapi luka yang pria itu torehkan masih terasa di dada Hasna. Walaupun dia terlihat baik-baik saja, tak ada yang tahu betapa berat satu tahun terakhir wanita tersebut bangkit dari keterpurukannya. Ucapan Azka saat sidang perceraian mereka, masih terngiang di telinganya hingga kini, berdengung seperti lebah yang bersarang di sana.Di depan para
Hasna melangkah lebar dan cepat keluar dari kafe. Dada wanita itu terasa amat sesak, dia tak ingin tangisnya pecah di sana, apalagi di hadapan Azka. Dia tak mau pria tersebut besar kepala dan mengira tangisan itu untuknya. Tidak! Justru Azka adalah seseorang yang tidak akan pernah dia temui lagi. Sangat dalam luka yang pria itu torehkan, Hasna tak ingin lagi pria itu masuk dan mengobrak-abrik hati yang kepayahan telah dia tata kembali.Masih lekat di benak Hasna, betapa sulit dia bangkit dari keterpurukan. Bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa yang kurang darinya? Apakah karena tak suka berdandan, maka dianggap tak menarik? Padahal tanpa berdandan pun dia merasa sudah cukup cantik. Kulit eksotis dengan tulang hidung yang tinggi, bibir sensual, dan mata bulat yang jernih. Sangat banyak pria yang datang mendekat sebelum bertemu Azka. Mereka kebanyakan rich man dengan wajah tampan mirip oppa Korea atau maskulin seperti pemain action holywood, tetapi Hasna telanjur menyenangi pekerjaann
Tak terasa hampir tiga minggu Kenan di Kota Padang. Outlet ayam geprek pun sudah dibuka dua hari yang lalu. Seperti perkiraannya, para pembeli sangat antusias datang untuk mencicipi menu restoran mininya. Semua itu tak lepas dari strategi marketing Kenan. Restorannya memiliki beberapa akun media sosial. Mulai dari instagram, tiktok, fb, channel youtube, dan twitter. Semua akun itu dimanfaatkan untuk mempromosikan usahanya setiap hari. Menurut pria itu, hampir seluruh masyarakat di dunia menggunakan media sosial. Jadi, akan lebih mudah mempromosikan usaha melalui dunia maya, lagi pula cara itu gratis dan ampuh."Kenan, alah siap?" Mak Rusli berdiri di ambang pintu kamar Kenan yang terbuka.Kenan yang baru saja selesai menyisir rambutnya, berbalik. Dia berjalan mendekat. "Sudah, Mak.""Capeklah, beko malam bana hari."(1) Mak Rusli menepuk bahu kemanakannya pelan, lalu beriringan turun ke lantai satu.Di ruang tamu Naya terlihat sudah rapi. Mengenakan gaun terusan berlengan pendek, yang
Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya
Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski
Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me
Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang