Share

Pagi yang Aneh

Penulis: Maheera
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-24 16:55:51

Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Hanya ayah satu-satunya pria yang tak akan pernah menyakiti, mengkhianati, dan menduakan. Seorang ayah adalah 'role mode' bagi putri mereka dalam mencari pasangan hidup. Seperti itu yang dirasakan Hasna. Hasan adalah satu-satunya orang yang mengerti suasana hatinya. Bukan menepikan keberadaan Indah, tetapi ada hal-hal yang tak bisa dia katakan kepada ibunya.

Peran sang ayah di mata Hasna sangat luar biasa. Sesibuk apa pun pria itu, selalu menyempatkan waktu menelepon, sekadar menanyakan bagaimana sekolahnya hari ini? Sudah makan atau belum? Dan bila pulang bekerja pasti tak pernah lupa membawakan makanan kesukaan putrinya. Hasan bagi Hasna bukan sekadar ayah, tetapi juga panutan dalam hidupnya. Apalagi setelah perceraian dengan Azka, ayahnyalah yang paling sering membesarkan hatinya. Menguatkan sang putri bahwa semua akan baik-baik saja. Semua air mata, rasa sakit, juga kecewa adalah cara Tuhan memisahkan dirinya dari orang yang tidak baik.

Sang ayah juga mensugesti Hasna, bahwa rasa sakit harusnya menjadi pelecut semangat agar bisa bertumbuh lebih baik. Dianalogikan pada tulang yang patah, pasti akan lebih kuat setelah mengalami proses penyembuhan. Memang makan waktu lama, tetapi bukankah waktu adalah penyembuh terbaik?

Dulu, saat Hasna memilih ikut olah raga karate, Indah tegas melarang, katanya, tidak cocok untuk anak perempuan, kemudian membawa sang putri ke sanggar tari dan model. Wanita itu sangat ingin melihat putrinya menjadi orang terkenal seperti artis-artis di layar televisi yang sering ditontonnya. Terang saja Hasna menolak keinginan sang ibu. Lalu, dia mengadukan masalah itu kepada Hasan. Akhirnya, setelah diskusi meja makan yang berjalan alot karena Indah teguh dengan keinginannya, diputuskan jika Hasna diperbolehkan mengikuti kedua kegiatan itu. Tentu saja kesepakatan tersebut membuat Hasna gembira. Dia pun menobatkan, ayahku pahlawanku. Berbeda dengan Indah yang langsung mencap sang suami, sudah berpaling hati.

"Udah tidur?" Hasan membuka pintu kamar setelah beberapa kali mengetuk, tapi tak ada jawaban.

Hasna menoleh dan melihat sang ayah sedang berjalan mendekatinya.

"Belum ngatuk, Yah," jawab Hasna singkat. Dia menumpukan dagunya ke lutut, sementara kedua tangan memeluk kaki yang dinaikan ke atas kursi. Pandangan wanita itu menerawang jauh menatap hamparan rumput dari balik kaca kamarnya.

Hasan menyeret kursi ke samping Hasna.

"Napa? Mikirin ucapan Ibu?"

Hasna melipat bibirnya ke dalam, dia berpikir sejenak. "Napa, sih, Yah. Umur selalu jadi alasan buat wanita didesak menikah?"

Ternyata benar apa yang disangkakan Hasan. Meski terlihat tak peduli dengan perkataan sang ibu, sebenarnya Hasna sangat meresapi perkatan Indah hingga mengena ke hatinya.

"Nak, bagi wanita umur sangat berpengaruh untuk mendapatkan keturunan. Emang enggak mutlak, tapi jadi bahan pertimbangan. Semakin tua umur seorang wanita, maka akan susah untuk mendapatkan anak. Bukan cuma itu, bayangin seandai kamu nikah umur tiga puluh lima, hamil umur tiga puluh enam. Anak umur sepuluh tahun, kamu udah umur berapa?"

Hasna diam, seraya menghitung dalam hati, membenarkan asumsi ayahnya.

"Lagi pula, Ibu ngomong gitu buat kebaikan kamu. Ibu cemas mikirin, seandainya kamu belum nikah, siapa nanti yang bakal jagain kamu?"

"Kan, ada Ayah sama Ibu," jawab Hasna singkat, menatap Hasan.

"Ayah sama Ibu semakin tua. Enggak mungkin selamanya ada buat kamu."

"Ayah sama Ibu pasti akan sehat-sehat terus." Suara Hasna mulai terdengar lirih, ucapan sang ayah meresap ke dalam hatinya.

Hasan mengembuskan napas panjang, tangannya mengelus rambut panjang Hasna yang tergerai. "Nak, kami pasti akan selalu ada untukmu. Tapi, kita enggak tau takdir Tuhan. Ayah sama Ibu berharap, kamu menikah agar kami tenang, itu saja."

Hasna menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah menahan tangis. Dia juga ingin menikah, menemukan seseorang yang mau menerima keadaan, sifat, dan juga berkomitmen penuh pada pernikahan. Seperti yang ayahnya bilang, menikah tak cukup hanya bermodal cinta, karena bisa hilang. Namun, kemauan untuk berpegang teguh pada komitmen adalah hal utama. Akan tetapi, sangat sulit mencari pria yang benar-benar tulus mencintai. Apalagi dia bukan gadis lagi, umur pun sudah kepala tiga. Sejak mendengar cercaan Azka saat dia menolak bermediasi di pengadilan agama, Hasna pesimis perkara jodoh.

"Ayah berharap, kamu memikirkan ucapan Ayah. Cobalah membuka hati. Enggak semua pria itu seperti Azka."

Air mata Hasna berderai di pipinya. Dia menangis tanpa suara, wajahnya semakin dibenamkan ke lututnya. Akan tetapi, Hasan tahu putrinya itu sedang menahan sedih, bahu Hasna bergetar menahan isak.

Sunyi menelan keduanya. Sementara di luar sana, angin berembus kencang, udara pun terasa semakin dingin. Sepertinya malam ini hujan akan turun dengan deras.

*

Pagi ini masih saja mendung. Gerimis turun tipis-tipis sisa hujan semalam, semilir angin berembus membuat Hasna menaikkan resleting jaket kulitnya. Setelah tadi sarapan sambil mendengarkan nasehat Indah, Hasna memesan sepeda motor dari aplikasi online. Helm yang dia pakai ampuh melindungi telinga dari serbuan dingin.

Sesampai di depan bengkel, Hasna kembali kecewa. Bapak pemilik bengkel belum datang, sementara jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sebagai pemilik studio, tak masalah jika dia datang kapan saja. Bahkan, tak datang pun tidak apa-apa, tetapi ruang kerjanya di studio foto, adalah tempat favorit bagi Hasna selain kamar. Lagi pula, tak mungkin, kan, dia membawa semua peralatan ke rumah?

Sembari menunggu, Hasna memeriksa beberapa email yang masuk ke teleponnya. Tak ada yang penting, dia beralih ke aplikasi W******p. Ada sepuluh pesan tak terbaca serta lima panggilan tak terjawab dari Azka. Hasna berdecak kesal. Semalam dia memang sengaja mematikan nada dering telepon. Suasana hatinya sedang tidak baik semalam. Lagi pula, apa yang dinginkan mantan suaminya itu? Padahal Hasna sudah dengan sangat jelas berkata tidak mau rujuk lagi. Pantang baginya mengulang cerita lama yang endingnya sudah dia tahu. Sakit yang ditorehkan Azka, masih basah. Setiap membenak pengkhianatan pria itu, dadanya akan terasa sesak, nyeri seakan menusuk-nusuk jantung.

Hasna memilih memblokir Azka, lalu keluar dari aplikasi W******p. Keadaan sekeliling sudah ramai, tetapi bapak yang punya bengkel belum juga datang. Bosan menunggu, wanita itu kembali membuka aplikasi untuk memesan ojek. Baru saja hendak mencari lokasi di mana dia berada, seseorang menarik tangannya hingga teleponnya nyaris terjatuh.

"Apa-apaan, sih?! Kamu ...." Hasna baru ingin memaki si pelaku, tetapi urung saat matanya bersitatap dengan netra milik Mr. Frezer.

"Pagi-pagi udah nongkrong di bengkel orang. Kayak enggak ada kerjaan aja." Kenan berkomentar.

"Ya bodo amat, mau nongkrong di mana, enggak ada urusan sama kamu!" jawab Hasna ketus.

"Ikut aku!" Kenan menarik paksa lengan Hasna, membuat wanita itu memelotot. Dia menepuk-nepuk tangan Kenan di lengannya.

"Eh, lepasin! Main tarik-tarik aja, dikira aku apaaan. Lepasin!"

Alih-alih melepaskan, Kenan semakin mempererat pegangannya. Terpaksa Hasna mengimbangi langkah Kenan yang cepat. Sampai di sebuah gang, seseorang menyapa pria itu.

"Eh, Mas Kenan, mau ke mana?" Seorang pemuda yang wajahnya mengingatkan Hasna pada artis Raditya Dika melirik padanya dan Kenan bergantian.

"Enggak ke mana-mana. Oh, iya. Motor sama jaket kemarin udah saya tarok di teras rumah, permisi," jawab Kenan dengan wajah datar, membuat Hasna menyadari bahwa pria itu pengemudi ojek sebenarnya.

Hasna mengulas senyum tipis saat pemuda tersebut menggangguk kepadanya. Lalu kembali mengikuti langkah Kenan menuju jalan raya, tempat di mana dia pertama kali bertemu si Mr. Frezer.

"Masuk!" perintah Kenan, sambil membuka pintu. Dia mendorong tubuh Hasna masuk, lalu mengunci otomatis agar si wanita tidak kabur.

"Apa-apan, sih, kamu?!" sembur Hasna begitu Kenan sudah duduk di belakang kemudi. "Buka enggak pintunya, kalau enggak aku teriak!"

Alih-alih mendengarkan, Kenan malah menstarter mobil, lalu melaju membelah jalan raya.

"Eh, ini bisa masuk pasal penculikan, tau!" Hasna kembali meracau.

"Mana mungkin penculikan, kamunya mau aja diajak."

'Dasar gila!' Hasna mengumpat dalam hati.

"Dari sisi mana pun, kamu yang geret-geret aku sepanjang jalan. Enggak pake permisi, malah bawa aku entah ke mana." Hasna kemudian menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil menatap curiga ke arah Kenan. "Atau jangan-jangan kamu sindikat perdagangan manusia, perkosa aku dulu, baru kamu jual."

Mendengar ocehan Hasna, spontan tawa Kenan tersembur. Wanita itu terpana melihat wajah si pria yang memerah. Sepertinya kegantengan Kenan dari rentang satu sampai sepuluh, Hasna memberi point delapan.

'Aduh! Masih sempat-sempatnya ngasih nilai!' Hasna menepuk kepalanya.

"Kamu itu, selain telmi juga percaya diri banget. Aku enggak doyan badan tipis seperti triplek itu." Kenan akhirnya bersuara, tetapi jawabannya itu justru membuat darah Hasna mendidih. Sudahlah main paksa, body shaming lagi. Terlalu!

"Ih, ini seksi namanya. Lagian, selera aku juga bukan seperti kamu." Hasna membalas.

Bukannya marah, tawa Kenan malah semakin keras. "Kamu lucu, beneran."

Hasna melengos. Baru kali ini dia ketemu pria aneh. Andai saja dia tak mengenal baik teman yang memberi job foto untuk  prewed Salwa, mungkin dia sudah menghadiahi Mr. Frezer, si tukang paksa orang, tendangan memutar. Dia yakin, Kenan bukan orang jahat, lagian kalau macam-macam, tinggal lapor polisi.

Tawa Kenan berhenti ketika telepon di atas dashboard mobil berdering, tepat saat mereka berada di lampu merah. Kenan meraih telepon itu, melirik ke arah Hasna sebentar sebelum menekan icon hijau.

"Assalamualaikum, Ma. Iya, Kenan mau ke sana."

" ...."

"Iya, tenang aja." Kenan kembali menatap Hasna lekat, "aku datang bareng calon istriku."

Mendadak Hasna merasa telinga berdenging. Dia menatap Kenan dengan mulut terbuka, sambil membatin, 'calon istri? Tolong otak, katakan, maksudnya bukan aku, kan?"

Bab terkait

  • Hidup di Dua Hati   Kenan Abhitama Aziel

    Kenan Abhitama Aziel, pria berumur tiga puluh satu tahun itu tak habis pikir dengan tuduhan sang mama padanya. Wanita yang telah melahirkannya itu mengatakan, jika dia mengalami penyimpangan dalam hal orientasi seks. Entah dari mana mamanya mendengar gosip murahan itu. Sampai-sampai, Kenan harus bersumpah bahwa dia masih normal, tetapi tetap saja tak memuaskan hati wanita tersebut. "Pokoknya Mama enggak mau tau! Nanti di pernikahan Salwa kamu harus bawa pacarmu, kalau enggak mau Mama mati berdiri. Ingat, pacar beneran. Jangan sewaan seperti yang sudah-sudah." Kenan mengusap wajahnya yang frustasi. Kata-kata Nuraida--mamanya--memantul-mantul di gendang telinga. Bahkan, peringatan itu sudah seperti minum obat, setiap bertemu atau menelepon, Nuraida selalu menyisipkan kalimat itu, sehingga Kenan hapal setiap kata, titik-koma, dan logat sang mama saat mengucapkan. Bukan tak memikirkan perasaan orang tuanya, Kenan belum siap membawa seorang wanita menghadap Nuraida. Banyak hal yang men

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-14
  • Hidup di Dua Hati   Deal to Deal

    "Mama mau tanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus jawab jujur." Nuraida menatap lekat ke retina mata Hasna, dia ingin memastikan wanita itu tidak berbohong.Hasna tersenyum kaku, mencoba terlihat tenang, meski keringat dingin keluar dari pelipisnya."Tanya apa, Tante?""Kamu beneran, kan, pacarnya Kenan? Bukan sewaan?" Mata Hasna membulat, 'pacar sewaaan?' Dia membatin. Andai saja tak ada Mamanya Kenan, tawa Hasna mungkin sudah tersembur keluar. Ya, kali pria setampan Kenan butuh pacar sewaan? Seperti tidak laku saja."Emang Mr. Frezer, eh ... maksudnya Mas Kenan sering seperti itu, Tante?" Hasna malah tergelitik ingin tahu. Sepertinya ini senjata bagus untuk membalas si tuan pemaksa itu."Sering, yang dibawa itu aneh-aneh. Ada yang SPG, ada anak SMA, bahkan yang terakhir itu, waria. Yang bikin Tante senewen, Kenan enggak tau kalau pacar sewaannya itu perempuan berjakun."Seketika tawa Hasna pecah, wanita itu tertawa sampai air matanya keluar. Dia membayangkan bagaimana pria yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-14
  • Hidup di Dua Hati   Pria Paling Menyebalkan

    Andai pintu Doraemon itu ada, pasti Hasna rela membeli meski harus merogeh kocek dalam-dalam. Dengan pintu itu, dia membayangkan bisa pergi ke mana saja, menghilang ke tempat yang dia mau. Apalagi saat ini, ingin rasanya menarik Kenan dan mengirim pria tersebut ke dunia lain, setidaknya Kenan tak muncul lagi di studio fotonya.Lagi? Iya, lagi. Setelah ke-gap oleh Indah kemarin, Kenan mulai sering berkunjung ke rumah atas undangan Ibunya Hasna. Wanita itu tak berkutik. Dia hanya menurut saat ibunya menawari Kenan mampir ke studio foto milik Hasna. Entah ada keperluan sang ibu pada hari itu mendatangi tempat kerjanya, lalu belanja cemilan untuk ayah dan kedua karyawan tengilnya. Kalau saja Hasna tak meminta berhenti atau tak meladeni ocehan Kenan, tentu tak akan terjadi percekcokan yang dilihat langsung oleh Indah.Seperti punya sihir, ibunya terlihat percaya saja saat Kenan memperkenalkan diri sebagai kekasihnya. Hasna ingin membantah, tetapi urung kala melihat binar bahagia di mata sa

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • Hidup di Dua Hati   Pulang Kampung

    Kenan tersenyum lega ketika pesawat yang dia tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Minangkabau. Dari gerbang kedatangan menuju gerbang keluar, pria itu membenak terakhir kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran, Nuraida. Saat itu dia baru saja lulus sekolah menengah atas, kala sang papa di pindahtugaskan ke Jakarta. Setelah sekian lama tinggal di kota yang terkenal dengan sebutan 'kota bingkuang', dengan berat hati harus meninggalkan sanak-keluarga dan teman-teman sepermainan. Kota Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Terletak di pantai barat pulau Sumatera dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65% dari luas provinsi Sumatra Barat. Kota yang berada di pesisir pantai ini, banyak dikunjungi para turis lokal maupun internasional. Pulau-pulau kecil yang banyak bertebaran, menyajikan keindahan alami. Selain pemandangannya, ombak yang tinggi juga menjadi salah satu daya tarik turis yang hobi berselancar."Uda Kenan!" Seorang gadis memanggi

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • Hidup di Dua Hati   Memaafkan Tapi Tidak Lupa

    Hasna meremas tali tas punggungnya dengan kuat, seraya menatap ke arah kafe yang tidak terlalu ramai. Bangunan bergaya retro itu terlihat sangat mencolok dari bangunan di sekitarnya. Dengan warna dasar hitam, serta warna hijau, orange, dan merah yang dicat berselang seling di dinding, membuat tempat itu tampak hangat dan nyaman untuk dikunjungi. Hasna menghela napas perlahan, seraya menghitung dalam hati dari satu hingga sepuluh. Selalu begitu jika dia gugup kala bertemu dengan seseorang. Dia tak tahu keputusannya benar atau salah, bibirnya mengiyakan begitu saja saat Azka meminta untuk bertemu.Azka Prasetya. Meskipun satu tahun telah berlalu, tetapi luka yang pria itu torehkan masih terasa di dada Hasna. Walaupun dia terlihat baik-baik saja, tak ada yang tahu betapa berat satu tahun terakhir wanita tersebut bangkit dari keterpurukannya. Ucapan Azka saat sidang perceraian mereka, masih terngiang di telinganya hingga kini, berdengung seperti lebah yang bersarang di sana.Di depan para

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • Hidup di Dua Hati   Melodrama

    Hasna melangkah lebar dan cepat keluar dari kafe. Dada wanita itu terasa amat sesak, dia tak ingin tangisnya pecah di sana, apalagi di hadapan Azka. Dia tak mau pria tersebut besar kepala dan mengira tangisan itu untuknya. Tidak! Justru Azka adalah seseorang yang tidak akan pernah dia temui lagi. Sangat dalam luka yang pria itu torehkan, Hasna tak ingin lagi pria itu masuk dan mengobrak-abrik hati yang kepayahan telah dia tata kembali.Masih lekat di benak Hasna, betapa sulit dia bangkit dari keterpurukan. Bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa yang kurang darinya? Apakah karena tak suka berdandan, maka dianggap tak menarik? Padahal tanpa berdandan pun dia merasa sudah cukup cantik. Kulit eksotis dengan tulang hidung yang tinggi, bibir sensual, dan mata bulat yang jernih. Sangat banyak pria yang datang mendekat sebelum bertemu Azka. Mereka kebanyakan rich man dengan wajah tampan mirip oppa Korea atau maskulin seperti pemain action holywood, tetapi Hasna telanjur menyenangi pekerjaann

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • Hidup di Dua Hati   Baralek

    Tak terasa hampir tiga minggu Kenan di Kota Padang. Outlet ayam geprek pun sudah dibuka dua hari yang lalu. Seperti perkiraannya, para pembeli sangat antusias datang untuk mencicipi menu restoran mininya. Semua itu tak lepas dari strategi marketing Kenan. Restorannya memiliki beberapa akun media sosial. Mulai dari instagram, tiktok, fb, channel youtube, dan twitter. Semua akun itu dimanfaatkan untuk mempromosikan usahanya setiap hari. Menurut pria itu, hampir seluruh masyarakat di dunia menggunakan media sosial. Jadi, akan lebih mudah mempromosikan usaha melalui dunia maya, lagi pula cara itu gratis dan ampuh."Kenan, alah siap?" Mak Rusli berdiri di ambang pintu kamar Kenan yang terbuka.Kenan yang baru saja selesai menyisir rambutnya, berbalik. Dia berjalan mendekat. "Sudah, Mak.""Capeklah, beko malam bana hari."(1) Mak Rusli menepuk bahu kemanakannya pelan, lalu beriringan turun ke lantai satu.Di ruang tamu Naya terlihat sudah rapi. Mengenakan gaun terusan berlengan pendek, yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-19
  • Hidup di Dua Hati   Akhiri Saja

    Lagi-lagi hujan. Hasna mengurungkan niatnya pulang cepat hari ini. Dia kembali masuk ke dalam studio, berniat menyelesaikan editan foto. "Lah, enggak jadi pulang?" Refan yang sudah bersiap pulang menyapa Hasna yang berjalan ke ruangannya."Hujannya deras, tunggu reda aja," jawab Hasna terus berjalan."Ya, pake gocar. Motornya tarok di sini." Refan memberi ide, dia heran, kok, bosnya itu tidak berpikir ke sana.Tangan Hasna yang sedang memegang gagang pintu ruang kerjanya, berhenti sejenak, menatap ke arah Refan. "Siapa yang bayar? Kamu?" Refan langsung mencebik. "Ogah, mending duitnya buat jajan bakso bareng Juleha, bisa suap-suapan. Lagian, ya, kamu itu banyak duit, kok, perhitungan banget?" Pria itu tak habis pikir dengan pemikiran Hasna.Hasna menekan gagang pintu ke bawah, hendak masuk ke ruangannya, tetapi sebelum itu dia menjawab, "Kalau bisa gratis, ngapain bayar." Dia mengulas senyum yang terlihat sangat menjengkelkan di mata Refan. "Prinsip apa itu? Yang ada penyuka gratis

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-19

Bab terbaru

  • Hidup di Dua Hati   Bertahun Kemudian

    Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb

  • Hidup di Dua Hati   Cinta Akan Membawamu Kembali

    Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn

  • Hidup di Dua Hati   Masih Adakah Cinta Untukku?

    Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i

  • Hidup di Dua Hati   Ruang Hampa

    Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s

  • Hidup di Dua Hati   Waktu yang Tepat Untuk Berpisah

    Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita

  • Hidup di Dua Hati   Hati yang Masih Bersiteru

    Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya

  • Hidup di Dua Hati   Lepaskan dan Ikhlaskan

    Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski

  • Hidup di Dua Hati   Bukan Mereka, tapi Untukmu

    Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me

  • Hidup di Dua Hati   Pusaran Samsara

    Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status