Sepanjang penerbangan dari Padang ke Jakarta, Kenan diam seribu bahasa. Dia tak berminat berbicara dengan Naya yang duduk di sebelahnya. Kepala pria itu berat memikirkan reaksi Hasna. Meski pernikahan dengan si wanita tidak pernah direncanakan dan baru seumur jagung, tak pernah terlintas di pikirannya untuk menyakiti Hasna. Apalagi dua minggu belakangan ini hubungan mereka sangat manis. Andai ada jalan keluar selain menikahi Naya, pasti dia akan memilih jalan itu.Namun, Naya terlalu keras kepala. Gadis itu sangat pandai mengintimidasi. Mempermainkan pikiran Kenan seolah-olah dia yang bersalah. Menggunakan ancaman bunuh diri bila kemauannya tak dituruti. Kenan bisa saja tak peduli, tetapi nurani pria itu tak bisa membiarkan si gadis berbuat nekat. Dan dia yakin, Naya mampu melakukannya. Seseorang yang sudah terobsesi pada orang yang dia sukai, sanggup melakukan apa saja."Uda kenapa diam saja?" Naya bertanya. Dia tak tahan didiamkan begitu saja. Setelah pernikahan siri kilat mereka,
"Sebaiknya kamu tanya langsung ke Kenan. Apa alasan Naya tinggal lama-lama di rumah kamu. Enggak logis banget, dia punya warisan banyak, kok, malah numpang."Refan memberi saran setelah mendengar keluhan Hasna. Awalnya temannya itu tak mau bercerita, tetapi melihat raut kusut Hasna, membuatnya penasaran. "Percuma nanya, jawaban Kenan selalu aja sama. Sangat beresiko membiarkan gadis itu seorang diri." Hasna menjawab dengan malas. Dia meletakkan kepalanya begitu saja ke atas meja kerja. Semangatnya tak ada lagi sejak Naya mulai mengintervensi hidupnya. Bahkan, gadis itu sekarang bekerja di kantor pusat Kenan di bagian administrasi. Karena satu kantor, keduanya kerap pergi dan pulang bersama-sama. Hasna tak menampik ada cemburu terbersit di hatinya. Namun, dia mencoba mengusir pikiran itu. Meski belum bertahun-tahun mengenal Kenan, Hasna yakin pria itu tipe setia. Lagipula, Naya adalah sepupu si pria, tidak mungkin Kenan tega berbuat yang aneh-aneh di belakangnya."Ya, tanya lagi samp
Sepanjang perjalanan pulang, Hasna hanya diam. Tatapan matanya kosong. Dia hidup, tetapi mati. Takdir sungguh senang bermain dengan hatinya. Susah payah bangkit mengutip patahan hati, lalu merekatnya dengan tekun agar mampu mencintai lagi. Namun, saat dia kembali meletakkan kepercayaan dan membiarkan Kenan menjelajah masuk ke hatinya, pria itu justru melukai lebih dalam. Apalagi saat melihat sorot mata Naya yang seolah-olah mengejeknya. Hasna menolak ajakan Kenan berbicara di dalam hotel. Pantang baginya masuk ke tempat yang mungkin saja sudah ditiduri mereka berdua."Kamu baik-baik aja?" Refan yang mengendarai mobil, melirik sebentar ke arah Hasna.Hasna bergeming. Dia tak punya kekuatan meski untuk menggerakkan bibirnya saja."Sebaiknya kita mampir dulu ke suatu tempat. Kamu butuh berpikir jernih sebelum menghadapi Kenan."Hasna tak menjawab. Dia tak peduli Refan membawanya ke mana. Dia menutup kelopak mata, membiarkan semilir angin mengeringkan air mata yang luruh di pipinya. Hasna
Hujan masih saja betah menyirami bumi. Langit seolah-olah tak pernah kehabisan stok menumpahkan kandungan air dari rahimnya. Mungkin bagi sebagian orang hujan mendatangkan masalah, tetapi untuk yang lain, hujan adalah berkah. Pun Hasna, hujan adalah cara dia menikmati keindahan alam. Pernah sengaja membiarkan tubuhnya basah, berada di bawah hujan bisa menangis tanpa diketahui oleh siapa pun. Seperti hari ini, setelah pengakuan Kenan tentang pernikahan sirinya dengan Naya, Hasna tak tahu bagaimana bentuk hatinya. Mungkin sudah hancur lebam tak berbentuk lagi dalam sana, tetapi dia mencoba tegar, tak ingin memperlihatkan kerapuhannya di hadapan Kenan dan Naya. Dia yakin ini yang diinginkan gadis itu. Hasna semakin menyadari, Naya gadis yang sangat licik dan berbahaya. Menggunakan kesempatan saat Mak rusli meninggal untuk menekan suaminya. Meski Kenan berkata menikah Naya hanya demi kemanusiaan, tetap saja ada luka bersarang di hati Hasna. Dia tidak mengira pria yang dia beri cap setia,
"Apa kabar?"Hasna tersenyum dan menyambut uluran tangan Azka dengan canggung. "Baik."Azka menggangguk, ikut tersenyum. Dia tak mengira Hasna yang menangani promosi usaha barunya."Silakan duduk." Azka berjalan menuju kursinya, setelah Hasna bergerak duduk di depannya. Ada gelombang aneh, tapi menyenangkan merambat ke dada Azka, melihat Hasna berada tepat di hadapan. Wanita itu masih terlihat memesona. Auranya pun memancarkan kepercayaan diri yang sangat kuat."Aku enggak ngira kalau kamu photografernya," ujar Azka memulai pembicaraan."Aku juga enggak ngira kamu yang punya kafe." Hasna membalas singkat.Azka mengangkat bahunya ringan, dia tersenyum menatap Hasna dengan lembut. "Aku juga enggak ngira usahaku bisa berkembang kayak gini. Semua ketidaksengajaan aja." Sadar mengucapkan kalimat yang sama berkali-kali, keduanya kembali melempar senyum canggung."Kamu masih kerja di BUMN, kan?"Pria itu menggeleng. "Aku dipecat," ujar Azka ringan."Kenapa?" tanya Hasna dengan raut terkejut
Kenal mengendarai mobil dengan pikiran kacau. Senyum Hasna dan interaksi dengan mantan suaminya, terus terbayang-bayang di pelupuk mata sang pria. Dia bertanya-tanya, sejak kapan mereka bertemu lagi? Setahunya hubungan keduanya tidak baik setelah perceraian, tetapi dari yang dia lihat tadi, mereka seperti tidak ada masalah. Bahkan terkesan cukup dekat. Apalagi saat melihat cara mantan suami Hasna itu memandang si wanita, sebagai seorang pria, dia tahu tatapan itu. Ada panas yang merambat cepat ke dada, membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Dia harus mencari tahu, apa maksud pria itu mendekati Hasna. Tentang Naya, dia sudah berkonsultasi dengan psikiater yang direkomendasikan temannya. Menghadapi kondisi seorang yang terobsesi, dia harus bersikap tegas. Ternyata, rasa kasihan dan bersalahnya malah membuat situasi menjadi runyam. Dia harus menyakinkan Naya, bahwa apa yang dia lakukan tak lebih sekadar kemanusiaan saja. Dituntut kesabaran untuk menyakinkan apa yang dikira cinta han
Kenan sangat kesal. Hari ini dia kembali mencari Hasna ke studio foto, tetapi lagi-lagi wanita itu tidak ada di sana. Dan yang membuat pria itu meradang adalah, salah seorang karyawan Hasna mengatakan bahwa istrinya itu sedang ada proyek di kota Surabaya. Bagaimana bisa Hasna pergi tanpa pamit padanya? Prilaku istrinya belakangan ini memang seringkali membuat kesal. Wanita itu seakan-akan menantang untuk terus berkonfrontasi. Mereka jarang bicara, bahkan untuk sarapan di meja yang sama pun tidak pernah dilakukan lagi. Sejak kehadiran Naya, keadaan rumah tangga mereka bagai api dalam sekam.Saat salah seorang karyawan Hasna menjelaskan tentang proyek apa yang sedang ditangani istrinya di Surabaya, Kenan segera mencari tahu di instagram. Dia membuka akunnya yang sudah berlumut. Kenan memang tak terlalu aktif di media sosialnya akhir-akhir ini. Pikiran yang kacau membuatnya menyerahkan promosi di sosial media kepada bagian pemasaran. Itu pun khusus instagram outlet ayam gepreknya.Dahi
Kenan menyugar rambutnya. Hampir saja pertahanannya jebol karena godaan Naya. Ternyata imannya tak sekuat yang dia pikirkan. Andai saja telepon pintarnya tak berdering, mungkin saat ini dia sudah mendaki kenikmatan yang kemudian akan mengantarkan pada neraka dunia. Sikap gadis tersebut tak bisa diprediksi, membuat Kenan harus bertindak segera. Dia sudah berpikir seharian ini, untuk mengembalikan kepada keluarga almarhum Ibu Naya. Seharusnya, memang merekalah yang bertanggung jawab atas gadis tersebut. Mengingat teleponnya, Kenan merogoh kantong celana bahan. Dia penasaran siapa yang menelepon tengah malam buta seperti ini. Terlihat nama Salwa sebagai pemanggil di layar. Dahi pria itu berkerut, apakah terjadi sesuatu pada adiknya? Ingin mendapat jawaban, dia memutuskan menelepon balik."Ada apa, Salwa?" Kenan bertanya setelah panggilan terhubung."Enggak ada pa-pa, Kak. Aku kebangun karna mimpi buruk, trus ingat Kakak. Jadi, aku telepon. Kakak baik-baik aja, kan?" Terdengar suara lemb
Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya
Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski
Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me
Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang