Hasna masih bertahan dalam mobil Refan. Setelah dua hari di Surabaya, rasanya malas sekali kembali ke rumah sendiri. Dia bahkan tinggal di studio foto selama dua hari. Bangunan yang berada di pusat kota Jakarta itu adalah rumah kedua baginya. Bila dikejar dead line atau sedang bermasalah, dia lebih suka tinggal di sana. Selain lantai dasar yang diperuntukkan untuk kantor, lantai dua disulapnya menjadi kamar pribadi yang sangat nyaman. Dengan kaca lebar dan besar menghadap jalan raya, Hasna bebas menikmati kerlip lampu-lampu kendaraan yang berlalu-lalang. Bagian atap kamarnya, sebagian dipasangi atap transparan, hingga saat tidur pun dia bebas mengamati langit malam.Hasna menatap dengan wajah murung rumah berlantai dua di hadapan. Dua pilar seperti raksasa menyangga bagian depan. Deretan bunga-bunga hias yang dulu menjadi favoritnya, kini tak lagi tersentuh. Gemericik dari air mancur kecil di samping rumah tak lagi mampu menyejukkan hati Hasna."Kamu enggak mau masuk?" tanya Refan den
Kenan tersentak saat sinar matahari menyentuh wajahnya tiba-tiba. Dia refleks menjadikan telapak tangan sebagai tameng, agar cahaya terang itu tidak menusuk retina. Setelah matanya menyesuaikan dengan cahaya di dalam kamar yang seketika benderang, dahinya berkerut melihat Naya berdiri di dekat jendela sambil tersenyum."Selamat pagi Uda. Ayo bangun, aku udah siapin sarapan yang spesial buat suamiku tersayang."Kenan menyibak selimut dengan kesal. Satu minggu setelah dia menjatuhkan talak kepada Hasna, bukannya merasa tenang, hidupnya semakin kacau. Dia mulai jarang ke kantor. Untuk urusan kelancaran usaha diserahkan ke orang-orang kepercayaannya."Uda, ditanya, kok, malah diam." Naya mendekat, sambil menyentuh lengan Kenan.Alih-alih Kenan menanggapi, dia menepis tangan Naya. "Dengar! Aku enggak suka kamu masuk kamar aku." Dia membuka pintu kamar. "Keluar!" titahnya dengan nada dingin.Naya tertawa sumbang, wajahnya yang semula ceria, memerah mendengar pengusiran Kenan. "Uda bercanda
Kenan tergopoh-gopoh menghampiri meja resepsionis rumah sakit. "Permisi, suster! Korban kecelakaan atas nama Naya Rusli di mana?" Wajahnya menyiratkan kecemasan yang luar biasa. Baru saja menutup pagar rumah, teleponnya berdering mengabarkan gadis itu mengalami kecelakaan. Parahnya, si gadis mengendarai mobil rental yang keadaannya rusak parah."Sebentar, Pak," ujar sang perawat seraya mengecek data pasien di komputer di hadapan. "Pasien atas nama Naya yang kecelakaan itu, ya, Pak?"Kenan mengangguk."Pasien ada di ruang IGD. Lewat di situ, Pak." Sang perawat menunjukkan arah ke mana Kenan harus berjalan.Pria itu mengucapkan terima kasih, lalu bergegas mengikuti petunjuk arah dari perawat tadi. Jantung pria itu bertalu-talu. Bagaimanapun, Naya tetaplah tanggung jawabnya. Jika terjadi sesuatu dengan gadis itu, tentu dia akan sangat merasa bersalah. Namun, yang jadi pertanyaan, untuk apa Naya merental mobil sementara gadis tersebut bisa menggunakan mobilnya?Langkah Kenan melambat meli
Kota Jakarta diguyur hujan seharian. Rumput basah yang dihiasi warna cokelat dari daun-daun akasia yang gugur diembus angin kencang semalam, menciptakan korelasi warna yang tidak seimbang, tapi cukup mampu membuat teduh mata memandang. Warna saga di ujung cakrawala, perlahan menepi dan memburam ditutupi awan-awan kelabu yang menggantung. Langit masih mendung menyisakan derai gerimis tipis yang tempiasnya jatuh ke tubuh Kenan.Lagi dan lagi Kenan datang ke rumah sakit. Tiga hari berlalu sejak kecelakaan yang menimpa Hasna, dia belum bisa menemui wanita itu. Setiap kali keinginan itu datang, langkahnya seakan dipaku oleh rasa bersalah. Pada akhirnya dia hanya mampu berdiri termangu di depan ruang IGD. Kenan mulai terbiasa dengan aroma obat-obatnya yang menusuk penciumannya. Kedatangan pria itu hanya untuk mencari tahu bagaimana perkembangan Hasna, yang telah dipindahkan ke ruang perawatan. Dia terlalu malu untuk meminta izin kepada Hasan. Apalagi mengingat sorot Indah yang seolah-olah
Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang
Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me
Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya
Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya
Nahas ... pijakan-pijakan pengampu terjerat ketetapan adat Tali Tigo Sapilin. Tercabar hatiku tertebuk pasak kelaziman etika. Isyarat jarimu seolah-olah menyuruhku diam dan mendengarkan semilir angin di persawahan. Langkah-langkah berangasan kakiku berhenti beranjak, beradu tajam pada sengatan matahari Tertunduk, mataku melihat hamparan keindahan padi mulai menguning. Di senja kala kupetik setangkai dan menyelipkan di daun telinga. Tersenyum dan berlari sesekali melewati sungai-sungai kecil di antara seruan-seruan manja memanggilku, memaksa mengejar mengiring selaras pada seiras wajahmu yang memesona.Naya, ruang sepi.-----------Kenan termenung melihat goresan tangan Naya. Sebuah diary bersampul biru langit diberikan gadis itu semalam dan berpesan agar membaca semua yang tertulis di buku berukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dari sekian banyak curahan hati Naya, yang semuanya perihal kerinduan kepada sang pria, juga betapa kesepiannya dia tanpa kasih sayang seorang ibu meski
Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me
Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang