Dua orang itu semakin dekat... semaaakin dekat.... Namun, tubuhku masih tetap hanya terdiam hingga aku hanya bisa menutup mataku sambil terus berdoa.
"Mbak..." Ucap orang itu yang ternyata sudah berada tepat di hadapanku.
"Hmm Mbak... apakah Mbak tahu dimana rumah Pak Tomo?? Rumah Bapak Tomo Utama...”
"Hah?? Alamat!? Aahhh elah.... Mau tanya alamat doang ternyata. Aku kira apa. Bikin orang jantungan saja. Lagian.. mengapa penampilan mereka seperti ini sih... gelagatnya mencurigakan. Jadi, membuat orang berpikir yang tidak-tidak." Ucapku dalam hati sambil menghela napas lega sambil mengusap dada.
"Mbak??" Panggil orang itu sekali lagi kepadaku, karena aku hanya terdiam tanpa memberi respon sedikitpun.
Orang yang sedang berbicara kepadaku itu terlihat seperti seorang pria yang kira-kira berumur diatas 30 tahun. Badannya tegap dan gagah. Ketika berbicara kepadaku suaranya terdengar begitu berat, namun sangat lembut. Pria ini tampak begitu sopan. Lalu, disampingnya, berdiri seorang pemuda yang sepertinya berumur 20 tahun atau mungkin lebih. Aku tidak bisa begitu jelas melihat wajahnya, karena masker dan kupluk jaket yang hampir menutupi semua wajahnya. Pokoknya dia terlihat lebih muda dari pria yang sedang berbicara denganku.
“Aahh iya tahu... saya tahu alamatnya, Pak” Jawabku kepada pria itu dengan nada yang sopan.
Eehhh jakkaman jakkaman jakkaman...
Hah?? Tomo Utama!?Lah itu kan nama Ayah...“Mbaaak??” Panggil pria itu sekali lagi, untuk menyadarkanku yang sedang ngedumel sendiri.
“Eh iya! Hemm ayo... saya antar ke sana.” Ucapku sambil mencoba menujukkan jalan ke rumah pak Tomo Utama, Ayahku sendiri.
“Hhmmm orang-orang ini punya urusan apa ya sama Ayah? Sampai datang ke rumah selarut malam ini??” Pikirku dalam hati karena penasaran.
***
Akhirnya kami bertiga tiba di rumah. Aku pun langsung masuk, membuka pintu pagar dan pintu tanpa pamit, ya... karena itu rumahku juga. Sepertinya dua pria itu terkejut melihat aku yang langsung masuk tanpa pamit kepada pemilik rumah.
"Ahhh biar saja... bingung... bingung deh. Siapa suruh tadi sudah bikin aku ketakutan setengah mati." Ucapku pelan.
“Ayah!! Ada orang yang nyariin nih.” Ucapku kepada Ayah, yang sedang seru menonton serial TV kesukaannya.
“Hah!? Anda anaknya Pak Tomo??” Tanya pria itu kepadaku.
Namun, aku tidak menjawabnya. Aku langsung pergi naik ke lantai atas menuju kamarku. Aku masih kesal dengan mereka, karena sudah membuat aku terkejut tadi.
“Iyaa, Rio... dia anak saya.” Jawab Ayah kepada pria itu, menggantikanku.
“Astaga.. saya tidak menyangka kamu benar-benar datang kesini, Rio. Sepertinya permasalahan ini benar-benar serius, sampai-sampai kau membutuhkan bantuanku.” Ucap Ayah kepada pria itu, yang ternyata bernama Rio.
“Apa kabar Paman?? Sudah sangat lama kita tidak berjumpa. Maaf aku mengunjungimu saat situasi seperti ini.” Ucap pria itu kepada Ayah sambil memeluk Ayah dengan erat.
“Emm iya... sebelumnya saya mohon maaf karena tiba-tiba meminta bantuan Paman seperti ini. Di situasi saat ini saya benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Saya juga tidak tahu mengapa tiba-tiba terpikirkan rencana ini dan akhirnya terpikirkan untuk menghubungi Paman.” Lanjut pria itu berusaha menjelaskan.
“Eehh ayo masuk... mengobrolnya didalam saja, sambil kita makan malam.” Ucap Ibu menyela percakapan para pria itu.
“Aaah iya Bi... maaf kami jadi merepotkan malam-malam begini.” Ucap pria itu dengan sikap gelisah karena merasa sungkan.
“Ah tidak... ayo silahkan masuk.” Ucap Ibu dengan nada yang sangat lembut dan ramah, sampai-sampai membuatku merinding .
“Heh mandi sana! Kamu ini tidak tahu malu, ya?!” Perintah Ibu dengan nada marah namun dengan volume suara yang berusaha dikecilkan, kepadaku yang ketahuan sedang menguping di tangga.
“Huh! Ibuku memang jago banget akting, tidak kalah dengan aktris-aktris di drakor.” celetuk Erin dengan nada menggoda, sambil berjalan menuju kamar mandi.
“Isshh dasar anak itu...” Celetuk Ibu kesal.
***
“Anak-anak.... ayo makan!!” Panggil Ibu dengan nada yang tidak biasa. Ibu tidak memanggil kami dengan teriakan andalannya. Kali ini, nada suaranya terdengar begitu sangat lembut bak seorang Ratu yang anggun.
Dino, adikku pun segera keluar dari kamarnya dan menuju meja makan. Setibanya di meja makan, dia tiba-tiba langsung berteriak kaget seperti melihat hantu.
“OWWH MY GOD!!” Teriak Dino sambil berusaha membungkam mulutnya sendir.
“Hei! Pelankan suaramu! Ini sudah hampir tengah malam.” Perintah Ayah kepada Dino.
“Kakak ini Artis itu, bukan!? Barra... Barra Alexander, Artis yang sangat terkenal itu!?” Tanya Dino dengan sangat semangat dan benar-benar yakin.
“Woahh aku tidak menyangka bisa semeja makan dengan seseorang seperti kakak dirumahku ini. Gadis-gadis di sekolahku saaaangat menyukai kakak. Kalau mereka tahu kakak ada dis.…”
“Hey!! Kamu tidak boleh memberitahu kepada siapapun dia berada disini, mengerti?!” Perintah Ayah menyela ucapan Dino.
Langkahku menuju meja makan pun akhirnya terhenti karena mendengar apa yang Dino bicarakan. Aku tersentak kaget dan bertanya-tanya.
“Wait... Barra!? Barra Alexander, Idola terkenal itu?? Yang tadi pagi beritanya aku baca? Hah?? Apa yang dilakukan orang seperti dia di rumahku??” Tanya Erin dengan dirinya sendiri.
“Erin?? Mengapa kamu malah terdiam disitu?” Ucap Ibu kepadaku, yang malah diam berdiri di bawah tangga.
“Aaah iya Bu!” Jawabku dengan cepat.
Aku langsung bergegas menuju meja makan dan ikut menikmati makan malam bersama Ayah, Ibu, Dino dan kedua tamu itu.
***
Setelah kami semua selesai makan, Ayah dan pria yang bernama Rio itu mulai menjelaskan alasan mereka tiba disini. Sebelumnya, Ayah terlebih dahulu menjelaskan bagaimana Ayah dan Rio bisa kenal satu sama lain. Pria yang bernama Rio itu, ternyata adalah manager Barra. Lalu ternyata, sungguh tidak terduga, dulunya sewaktu masih muda Ayahku ternyata pernah bekerja sebagai manajer Artis di perusahaan yang sama dengan Manajer Rio. Namun, sepertinya Ayahku tidak berjodoh dengan pekerjaannya sebagai seorang manajer artis. Sehingga dia memutuskan untuk keluar. Namun, sebelum keluar, selama Ayah bekerja di sana, Manajer Rio begitu amat dekat dan akrab dengan Ayah. Manajer Rio yang waktu itu masih sangat muda, merasa sangat tertolong dengan kehadiran Ayah. Singkat kata, tak lama setelah Ayah keluar dari perusahaan, Manajer Rio juga ikut keluar. Tapi dia tidak menyerah untuk menjadi seorang manajer, dia segera mencari dan menemukan perusahaan baru, yang masih menjadi tempat kerjanya saat ini.
Di perusahaan yang baru, setiap Artis yang dipegang oleh Manajer Rio kebanyakan pasti berhasil dan terkenal di penjuru negeri. Termasuk Barra, Artis yang menjadi tanggung jawabnya kali ini. Karena itu, karena kesIbukannya akhirnya Ayah dan Manajer Rio mulai hilang kontak. Mereka sudah tidak berjumpa dalam waktu yang sangat lama, sekitar 18 tahun.
“Woahh hebat!! Paman keren! Setiap Artis yang Paman pegang sukses semua. Pasti Paman terkenal di kalangan para Manajer.” Ucap Dino yang mendengar penjelasan itu sedari tadi, dengan nada kagum.
“Aaah saya menjadi seperti sekarang ini juga... itu semua, sebagian besar berkat Ayahmu, berkat Paman Tomo.”
“Ahh.... apa maksudmu? Berkat saya? Ah kamu ini membuat saya jadi malu saja.” Ucap Ayah sambil tersipu malu hingga membuat Ibu, Dino dan aku menjadi ikut merasa malu.
“Ha ha ha.. seperti itu. Hmm jadi lalu, apa alasannya sehingga Barra harus tinggal disini?? Hmmm apaa... karena kasus itu?” Ucap Ibu, berusaha mengganti topik pembicaraan yang mulai membuat suasana tidak bagus.
Pak Manajer membenarkan ucapan Ibu. Dia mengatakan bahwa Barra memang harus menginap disini karena kasusnya yang sedang ramai dibicarakan itu. Manajer bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Kasus yang terjadi ini, tidak pernah mereka bayangkan. Ini terlalu mendadak. Perusahaan juga sekarang menjadi begitu sIbuk untuk menutup mulut media dan mengusut siapa dalang sesungguhnya. Perusahaan sangat bingung karena melihat semua bukti yang ditemukan, entah mengapa semuanya mengarah ke Barra. Padahal Barra mengaku dia tidak mengetahui apa-apa tentang kasus itu, dan Manajer mempercayai perkataan Barra. Manajer percaya pada Barra, karena selama ini dia selalu menemani Barra pergi kemanapun, bahkan saat Barra berkencan dengan perempuan yang disebut korban dalam kasus itu. Manajer sangat peduli dengan Barra. Dia sudah menganggap Barra sebagai adik, bahkan anaknya sendiri. Satu hal yang terus manajer pikirkan, yaitu kesehatan mental Barra. Manajer tahu betul bagaimana beratnya menjadi Artis popular seperti Barra saat ini. Sehingga dia memutuskan untuk mencari cara supaya Barra bisa jauh dari kerumunan orang-orang yang mengenalnya. Untuk keluar negeri sepertinya akan sulit, karena kasus ini sudah akan diajukan ke Pengadilan. Kemudian tiba-tiba, Pak Manajer pun teringat dengan Ayah, yang sempat dia dengar tinggal di sebuah daerah yang cukup jauh dari kota. Pak Manajer berpikir bahwa tinggal disini adalah pilihan yang terbaik untuk Barra. Disini tempat yang paling aman. Tidak akan ada banyak orang yang mengenal Barra disini.
Ya, betul sekali...
Seperti yang Pak Manager bilang. Disini tidak akan ada banyak orang yang mengenali Barra, karena kebanyakan orang yang tinggal di lingkungan ini adalah para Lansia yang telah pensiun dari pekerjaannya. Pemuda yang tinggal di lingkungan ini hanya segelintir, masih bisa dihitung hitung dengan jari. Daerah rumahku memang cukup jauh dari tengah kota. Bahkan, jarak dari rumahku ke sekolah yang terdekat dari sini juga cukup jauh. Aku dan Adikku harus naik bus sebanyak dua kali untuk sampai di sekolah. Awalnya kami harus tinggal disini karena menghindar dari para rentenir yang terus menagih hutang Ayah yang sebenarnya sudah lunas, namun Ayah tidak mengira bunganya begitu besar, lebih besar dari uang yang dia pinjam. Sekarang, sebenarnya hutang Ayah sudah lunas. Namun, Ayah, Ibu, Dino dan aku bisa dibilang sudah betah tinggal disini. Walaupun Ayah dan Ibu hanya bisa menjalankan usaha Laundry, dan aku harus bersekolah dengan jarak yang jauh. Tapi, kami sangat senang tinggal disini. Daerah rumahku ini bisa dibilang masih memiliki aura pedesaan. Dihiasi toko kelontong yang sederhana dengan jalanan yang dilalui oleh sepeda-sepeda berkeranjang. Lingkungannya masih begitu asri dan begitu tenang. Jarang ada keributan ataupun kejahatan kriminal yang terdengar di sini.
Eh bentar... Dia harus tinggal disini?? Barra!? Artis ini tinggal disini?! Menginap di rumahku? Satu rumah denganku?! Owh my God... Ya, Tuhan apalagi ini??
Aaakhh... aku tidak suka. Aku bukanlah orang yang nyaman dengan orang baru. Aku tidak bisa tinggal dengan orang asing. Aahh pasti suasananya akan sangat canggung. Iihh untuk membayangkannya saja, aku tidak suka!
“Ibuu...” Panggil diriku kepada Ibu yang berada di sebelahku, sambil aku terus lanjut mencuci piring.“Iya, apa?” Jawab Ibu yang sedang membereskan meja dapur.“Hmmm Artis itu benar-benar harus tinggal disini?? Dia tidak bisa gitu... tinggal di hotel atau semacamnya??”“Hei... kamu itu tidak dengar ya? Apa yang dibilang oleh pak manager tadi. Situasinya itu lagi kacau. Kalau dia datang ke tempat umum, seperti hotel... pasti langsung banyak informan yang akan memberitahukan keberadaannya. Sekarang itu dia sudah menjadi buronan para netizen, yang mencari berita. Ehh.. Lagipula dia tidak menginap disini dengan cuma-cuma kok. Kamu pasti kaget mendengar nominal yang Rio bayarkan pada Ibu untuk menjaga Artis itu.” Jelas Ibu kepadaku.“Ihh Ibu... tapi kan Ibu tahu anakmu ini tidak nyaman disekitar orang asing. Ibu dan Ayah kan pulang larut malam. Jadi, pasti aku yang akan lebih sering bertemu de
20.00“Permisi... Erin?? Erin...” Ucap orang itu, yang pastinya adalah Barra.“Duhh.. ada apa siiih.... Gangguuu banget deh...” Keluh diriku dalam hati, karena merasa terganggu disaat aku sedang asik menonton drama kesayangan.“Hmm.. sepertinya dia sedang tidur.” Ucap Barra pada dirinya sendiri.“Eh iya.. ada apa?” Jawabku sambil memunculkan wajahku di sela pintu.“Aah begini... apakah disini ada sebuah swalayan atau semacamnya. Aku harus membeli sesuatu di sana.” Jelas Barra.“Kalau swalayan, letaknya lumayan jauh dari sini. Hmm memangnya kamu mau kamu beli apa??” Tanyaku penasaran.Pemuda itu pun memperlihatkan layar ponselnya kepadaku. Disitu tampak sebuah foto makanan, yang sepertinya adalah jenis cokelat yang harganya cukup mahal. Cokelat jenis ini memang sepertinya hanya dapat dibeli di swalayan.“Hmmm kamu h
Hari ini, di sekolahku, ada pemberitahuan tentang sebuah kegiatan yang wajib diikuti oleh siswa kelas 3. Acara itu semacam "Summer Camping", acara berkemah di musim panas sebelum Ujian Akhir bagi siswa kelas 3 SMA tiba.Huuhh males banget deh...Aku bukan merupakan tipe orang yang suka dengan acara seperti ini. Aku tidak suka dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di alam. Karena aku sangat tidak suka dengan serangga, apalagi dengan seekor nyamuk. Aku saaaangat tidak menyukai suaranya. Begitu berisik dan menggangu. Suara nyamuk yang berdengung itu mampu untuk membuatku seketika menjadi marah."Hwuuh... mengapa wajib sih??” Celetukku sambil menghela napas panjang.“Seharusnya kegiatan seperti ini tidak perlu diwajibkan. Memangnya semua orang suka dengan acara seperti ini" Lanjut diriku ngedumel sendiri."Heh! Percuma kamu protes disini. Tidak bakal kedengeran. Sana! Ngomong langsung sama Bu Guru." Ucap Ryan yang dar
09.00 "Aku puulaang…" Ucapku dengan wajah murung memasuki rumah sambil menarik tas ranselku dengan lemas. "Ada apa dengan anak ini?? Kamu pergi dengan begitu semangatnya kemarin pagi, namun sekarang datang ke rumah dengan begitu lesunya." Ucap Ibu heran melihat tingkahku, sambil tangannya membereskan masakannya. Aku terus berjalan masuk menuju kamarku tanpa menghiraukan ucapan Ibu. Aku merasa begitu sangat lelah. Energiku seperti telah terkuras habis. Ini semua pasti karena pengakuan Ryan yang sangat jujur kemarin. Bahkan untuk menonton drama kesukaanku saja sepertinya aku tidak sanggup. Hwuuuhhh~Aku menghela napas dengan begitu berat dan kemudian menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. “Huuh.. aku tidak tahu rasanya akan sesakit ini.”“Bagaimana ini? Apa aku masih bisa berteman lagi dengan Ryan?”“Bahkan tadi untuk menatap wajahnya saja, aku sama sekali tidak sanggup”Aku mulai overthinking. Berba
08.00 Esok hari. Hari Minggu. Hari dimana saatnya aku akan bermalas-malasan sepaaaaanjang hari. Rebahan di kamarku sambil menonton drama dan kemudian berselancar di media sosial. "ERINN!!" Panggil Ibu dengan suara khas, menghentikan kegiatanku. Hah? Apa itu!?Hahaha teriakan andalan Ibu comeback!Tak mengira aku ternyata kangen dengan teriakan mengesalkan itu. "Ya, Buuu... Aku datang!" Jawabku sambil tersenyum bersemangat tidak seperti biasanya, karena baru kembali mendengarkan teriakan ibu. Sesampainya aku di lantai bawah. Rasa semangatku yang tadinya sempat membara karena teriakan Ibu, seketika mulai padam. Suasana di ruang tamu begitu sunyi. Mereka semua tampak berusaha untuk tersenyum, dibalik rasa murung yang aku bisa lihat dari mata mereka. "Ehh ada pak manager. Selamat siang." Ucapku menyapa Pak Manajer yang telah duduk di ruang tamu. Ada apa ini?Kenapa ma
10.00 "Heh! Kamu yang namanya Erin, bukan!?" Ujar seorang perempuan yang didampingi oleh tiga temannya dan secara tiba-tiba datang menghampiri aku yang sedang duduk di kelas. "Hah?? Ada apa ini? Ada urusan apa para gadis populer ini dengan diriku. Dengan aku... orang yang bahkan belum pernah mereka tatap wajahnya sekali pun." Tanyaku kebingungan dalam hati. “Perkenalkan! Namaku Naomi.” Lanjutnya dengan nada suara yang tiba-tiba berubah menjadi begitu lembut, sambil meraih kedua tanganku untuk bersalaman. Ya, tentu saja aku tahu kamu adalah Naomi. Siapa yang tidak kenal dengannya di sekolah ini!? Naomi, gadis populer pujaan para laki-laki di sekolah. Gadis cantik di hadapanku ini juga duduk di kelas 3 SMA, seumuran denganku. Para siswa laki-laki yang populer di sekolah, mereka semuanya pernah mendekati Naomi. Bagaimana tidak!? Aku saja yang seorang perempuan selalu kagum setiap melihat sosok Naomi. Wajah Naomi begitu cantik bak boneka
09.55Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana biasanya aku menghabiskan sepanjang hariku untuk rebahan dan melakukan berbagai hal yang aku suka di rumah. Namun, kali ini berbeda dari biasanya. Aku tiba-tiba mendapat panggilan dari seseorang yang ternyata adalah Naomi. Dia mengajakku untuk menemaninya berbelanja, seperti kali terakhir kita bertemu.“Berbelanja lagi??” Ujarku dalam hati dengan rasa bingung.“Erin, kamu bisa, bukan?” Tanya Naomi sekali lagi.“Hmm... iya, baiklah, boleh saja. Tapi sepertinya aku baru bisa datang sedikit lebih siang. Tidak apa, bukan?” Ucapku yang masih berselimutkan piyama.“Iya, tidak apa. Langsung kabari aku saja, jika kamu sudah siap. Aku tunggu, ya!” Ucap Naomi menyelesaikan pembicaraan kita di telepon.***Aku janjian dengan Naomi untuk bertemu langsung di depan sebuah Mal yang Naomi pilih. Ketika aku tiba di sana, aku
“Erin? Disini!” Panggil Lulu sambil melambaikan tangan kepada aku, yang baru saja tiba di kantin sekolah.Seketika aku menjadi perhatian para murid yang berada di kantin. Segera setelah Lulu memanggil, aku langsung menjadi pusat perhatian banyak orang. Wajah mereka tampak begitu penasaran melihat aku yang bukan siapa-siapa ini bergabung dengan orang-orang seperti Naomi dan kawan-kawannya, idola para murid di sekolah.“Rin, seperti biasa ya...” Ucap Viola kepadaku, yang baru saja duduk.“Em... baiklah. Aku akan pergi untuk membelinya.” Jawabku yang langsung paham akan perkataan Viola dan kemudian pergi untuk membeli pesanan mereka seperti biasanya.Ya, seperti biasanya... Aku mulai terbiasa dengan ini. Jujur, aku sebenarnya tahu jika aku memang dimanfaatkan oleh mereka. Namun, sepertinya aku begitu menikmati kepopuleran yang aku dapatkan, karena hubungan yang aku jalin dengan para gadis ini. Aku sepertinya sangat mendamb
Hidup yang terasa biasa-biasa saja tidak mengartikan bahwa hidupmu tidak spesial atau kehadiranmu tidak penting. Di dunia ini, kita semua punya alasan dan tujuan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan kita tanpa suatu alasan. Tuhan pasti punya maksud. Kita adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Kita punya cerita ketika sendiri, dengan genre yang berbeda, dengan alur yang berbeda, dan juga dengan akhir yang berbeda. Kita punya waktu klimaks masing-masing. Jangan pernah menganggap dirimu sebagai seorang figuran, sebagai penghias dalam kehidupan orang lain. “Kamu juga punya peran yang penting.” “Tiap kamu adalah unik.” Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Dirimu biasa-biasa saja. “Kamu itu berharga.” “Dirimu tidak tergantikan.” Kita berhak memiliki happy ending dari kehidupan kita, masing-masing. Keadaan bisa berubah kapan saja. Semuanya pasti berakhi
07.20 “Heh! Ada apa denganmu? Mengapa kamu terus menatapku, seperti itu!?” Tanyaku, yang heran dengan sikap Dino yang terus menatapku dengan ekspresi datarnya sedari sarapan tadi. “Aku mau minta uang.” Jawab Dino, dengan tetap menunjukkan ekspresi datarnya. “Hah? Apa katamu!? Uang? Apa alasannya? Mengapa aku harus memberimu uang? Enak saja…” Ujarku. “Cepat berikan! Atau Kakak akan menyesal.” Ucap Dino, yang tiba-tiba mengancamku. “Menyesal? Apa yang harus aku sesali?” Tanyaku, yang tidak menanggapi perkataan Dino dengan serius. “Kalau Kakak tidak memberiku uang, aku akan memberitahukan kepada Ibu tentang apa yang aku saksikan kemarin malam.” Ucap Dino, dengan wajahnya yang tetap berekspresi
“Barra, apa kamu sebenarnya berlibur dengan Rio, Naomi, Alessa, Dino dan Erin waktu itu?” Tanya Kak Rio, sambil terus berusaha fokus untuk menyetir. “Oh! Bagaimana Kakak bisa tahu?” Ujar Barra. “Ya, kamu tidak tahu saja… Para ibu tu tidak bisa kalian bohongi. Setelah kalian berenam pergi, mereka semua berkumpul di rumahku dan mulai membicarakan kemiripan alasan kalian, yang sama-sama minta izin untuk pergi liburan bersama dengan teman lama ataupun rekan kerja kalian masing-masing. Ya, sesuai dugaan, kita semua tahu bahwa kalian sebenarnya pergi bersama. Masa, kalian pergi dalam waktu yang bersamaan secara kebetulan. Tentu tidak wajar, bukan?” Jelas Kak Rio. “Haha iya juga… Ya, kami semua sepertinya memang tidak pandai berbohong. Aku bahkan tidak terpikirkan akan hal itu, saat izin dengan Ibu.” Ujar Barra.
“Yah hujannya semakin deras.” Ujar Alessa. Kami baru saja selesai menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terletak di sekitaran minimarket. Namun, di saat kami sudah ingin menyebrang jalan, hujan tiba-tiba saja turun dengan cukup deras. Ryan dan Barra sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa payung saat ini. Kami berempat menunggu mereka di sebuah halte dekat situ. “Eh ini!” Ucap Ryan kepada Dino, sambil memberikan payung yang ia beli. Mereka membeli tiga buah payung. Dino pergi bersama dengan Alessa. Aku pun segera mendekat ke arah Naomi, berniat ingin sepayung dengannya. Namun, kekasihnya yang menyebalkan itu segera menyenggol tanganku dan memayungi Naomi, lalu segera pergi bersama dengannya. “Ish! Wah, ada apa dengan anak itu!? Mengap
Barra yang pada saat itu sudah berada di kamar, karena telah selesai dengan makan malamnya. Seketika, langsung terbangun dan keluar dari kamar, berkat teriakan yang dibuat oleh Erin. “Apa yang terjadi!?” Tanya Barra, yang heran dengan apa yang dia lihat sekarang. “Ada yang lupa untuk menutup kran air dan membiarkan lubang airnya tertutup.” Jelas Erin dengan singkat, dan mulai menguras air di lantai. “Hei! Kamu jangan hanya berdiam diri di sana! Cepat bantu aku membereskan ini semua!” Ujar Erin dengan nada tingginya, karena melihat Barra yang hanya celingak-celinguk melihat kondisi rumah. “Oh! Iya. Iya. Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Barra, yang segera datang menghampiri Erin. “Itu. Tolong, angkat barang-barang itu ke at
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ryan dan Naomi. Mereka berenam akhirnya berhasil pergi berlibur tanpa dampingan para Ibu itu. Mereka pergi ke sebuah kota yang memang terkenal sebagai tempat wisata. Di kota itu, ada daerah yang masih memiliki suasana sebuah desa, yang masih asri dan tidak begitu ramai. Salah satu alasan Ryan memilih tempat itu, tentunya untuk kenyamanan Barra, Sang Idola. Ryan tidak mau membuat Barra merasa tidak nyaman, apalagi melihat kondisinya sekarang. 14.50 “Woah! Sudah lama sekali, aku tidak datang ke tempat seperti ini. Udaranya terasa masih begitu segar. Suasananya begitu nyaman dan tenang.” Ujar Naomi, Sang Anak Kota. “Em benar, Kak. Suasana di sini benar-benar membuat hati merasa tenang. Seketika, aku merasa bebanku seperti hilang.” Ucap Alessa, mendukung perkataan Naomi barusan.
“Bu, aku pamit pulang sekarang, ya. Aku mau bersiap untuk berangkat kerja.” Ujar Erin kepada Ibu. “Iya, hati-hati… Eh iya! Ingat-ingat semua pesan yang Ibu bilang padamu tadi, ya. Minyak goreng, jangan lupa sampai lupa dibeli.” Ujar Ibu. “Iya, siap Bu!” Jawab Erin, sambil bergegas melangkah ke arah pintu. “Eh Rin! Biar Kakak antar. Aku juga sekalian ingin pamit untuk pulang sekarang. Bi, benar-benar tidak apa, bukan?” Ujar Kak Rio, yang baru saja keluar dari kamar Barra. “Iya, tidak apa-apa, Rio. Lagipula, jika kamu di sini, apa yang mau kamu lakukan? Lebih baik, kamu tetap bekerja saja. Barra biar Bibi yang urus.” Jelas Ibu. “Iya, Bi. Aku percayakan Barra kepada Bibi, ya. Terima kasih banyak. Kalau begitu, Erin pamit pe
Barra dan Erin, keduanya sudah tiba di restoran, tempat Bi Trisha mengundang kami semua. Meja yang kami pesan terletak di bagian rooftop restoran itu. Sehingga, kami melihat keberadaan mereka dari gedung sebelah, yang merupakan sebuah penginapan. Kami menyewa ruangan itu, hanya untuk membuktikan dugaan kami akan hubungan Barra dan Erin. Beberapa menit pun berlalu, Erin dan Barra masih tampak canggung dan tidak berbicara satu sama lain, sehabis sapaan mereka di awal mereka datang. “Lihat, bukan?? Aku sudah bilang hubungan mereka sempat merenggang karena rumor kencan itu. Lihat! Sikap mereka tidak tampak seperti biasanya, bukan?” Ujar Ryan, yang mulai senang karena bisa membuktikan perkataannya. “Hmm iya… sepertinya aku mulai yak
Kondisi kesehatan Barra sudah benar-benar pulih, setelah peristiwa kecelakaan itu. Dia mulai kembali disibukkan dengan berbagai aktivitasnya di dunia hiburan. Namun, Kak Rio mulai menyadari bahwa sikap Barra tampak aneh akhir-akhir ini. Fisik Barra memang telah kembali sehat, tapi Kak Rio ragu dengan kesehatan mentalnya. “Bar, ada apa sebenarnya denganmu? Mengapa kamu sering terlihat melamun dan tidak fokus akhir-akhir ini? Apa ada masalah? Apa ada hal yang mau kamu ceritakan kepadaku?” Tanya Kak Rio, dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Hah? Ah tidak. Aku tidak apa-apa.” Jawab Barra. “Tidak apa-apa, bagaimana!? Di acara musik kemarin, di saat waktunya kamu mulai bernyanyi, kamu malah hanya terdiam membeku di panggung. Lalu, saat syuting tadi, di saat kamu seharusnya berpelukan dengan lawan mainmu, kamu malah men