08.00
Esok hari. Hari Minggu. Hari dimana saatnya aku akan bermalas-malasan sepaaaaanjang hari. Rebahan di kamarku sambil menonton drama dan kemudian berselancar di media sosial.
"ERINN!!" Panggil Ibu dengan suara khas, menghentikan kegiatanku.
Hah? Apa itu!?
Hahaha teriakan andalan Ibu comeback!Tak mengira aku ternyata kangen dengan teriakan mengesalkan itu."Ya, Buuu... Aku datang!" Jawabku sambil tersenyum bersemangat tidak seperti biasanya, karena baru kembali mendengarkan teriakan ibu.
Sesampainya aku di lantai bawah. Rasa semangatku yang tadinya sempat membara karena teriakan Ibu, seketika mulai padam. Suasana di ruang tamu begitu sunyi. Mereka semua tampak berusaha untuk tersenyum, dibalik rasa murung yang aku bisa lihat dari mata mereka.
"Ehh ada pak manager. Selamat siang." Ucapku menyapa Pak Manajer yang telah duduk di ruang tamu.
Ada apa ini?
Kenapa ma10.00 "Heh! Kamu yang namanya Erin, bukan!?" Ujar seorang perempuan yang didampingi oleh tiga temannya dan secara tiba-tiba datang menghampiri aku yang sedang duduk di kelas. "Hah?? Ada apa ini? Ada urusan apa para gadis populer ini dengan diriku. Dengan aku... orang yang bahkan belum pernah mereka tatap wajahnya sekali pun." Tanyaku kebingungan dalam hati. “Perkenalkan! Namaku Naomi.” Lanjutnya dengan nada suara yang tiba-tiba berubah menjadi begitu lembut, sambil meraih kedua tanganku untuk bersalaman. Ya, tentu saja aku tahu kamu adalah Naomi. Siapa yang tidak kenal dengannya di sekolah ini!? Naomi, gadis populer pujaan para laki-laki di sekolah. Gadis cantik di hadapanku ini juga duduk di kelas 3 SMA, seumuran denganku. Para siswa laki-laki yang populer di sekolah, mereka semuanya pernah mendekati Naomi. Bagaimana tidak!? Aku saja yang seorang perempuan selalu kagum setiap melihat sosok Naomi. Wajah Naomi begitu cantik bak boneka
09.55Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana biasanya aku menghabiskan sepanjang hariku untuk rebahan dan melakukan berbagai hal yang aku suka di rumah. Namun, kali ini berbeda dari biasanya. Aku tiba-tiba mendapat panggilan dari seseorang yang ternyata adalah Naomi. Dia mengajakku untuk menemaninya berbelanja, seperti kali terakhir kita bertemu.“Berbelanja lagi??” Ujarku dalam hati dengan rasa bingung.“Erin, kamu bisa, bukan?” Tanya Naomi sekali lagi.“Hmm... iya, baiklah, boleh saja. Tapi sepertinya aku baru bisa datang sedikit lebih siang. Tidak apa, bukan?” Ucapku yang masih berselimutkan piyama.“Iya, tidak apa. Langsung kabari aku saja, jika kamu sudah siap. Aku tunggu, ya!” Ucap Naomi menyelesaikan pembicaraan kita di telepon.***Aku janjian dengan Naomi untuk bertemu langsung di depan sebuah Mal yang Naomi pilih. Ketika aku tiba di sana, aku
“Erin? Disini!” Panggil Lulu sambil melambaikan tangan kepada aku, yang baru saja tiba di kantin sekolah.Seketika aku menjadi perhatian para murid yang berada di kantin. Segera setelah Lulu memanggil, aku langsung menjadi pusat perhatian banyak orang. Wajah mereka tampak begitu penasaran melihat aku yang bukan siapa-siapa ini bergabung dengan orang-orang seperti Naomi dan kawan-kawannya, idola para murid di sekolah.“Rin, seperti biasa ya...” Ucap Viola kepadaku, yang baru saja duduk.“Em... baiklah. Aku akan pergi untuk membelinya.” Jawabku yang langsung paham akan perkataan Viola dan kemudian pergi untuk membeli pesanan mereka seperti biasanya.Ya, seperti biasanya... Aku mulai terbiasa dengan ini. Jujur, aku sebenarnya tahu jika aku memang dimanfaatkan oleh mereka. Namun, sepertinya aku begitu menikmati kepopuleran yang aku dapatkan, karena hubungan yang aku jalin dengan para gadis ini. Aku sepertinya sangat mendamb
Sejak perbincangan hari itu, hubunganku dengan Ryan mendadak menjadi renggang. Aku dan Ryan yang biasanya selalu bersama untuk menghabiskan sebagian besar waktu di Sekolah, namun kini tampak seperti orang yang tidak mengenal satu sama lain. Ryan tidak pernah menyapaku sejak saat itu. Bahkan untuk menatap wajahku saja, sepertinya dia tidak sudi. Tiba-tiba dia berubah menjadi sosok pria yang bersikap dingin hingga membuatku tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya. “Erin... Ayo kita pulang!” Ucap Naomi yang datang ke kelasku untuk mengajak pulang bersama. “Em. Ayo!!” Ucapku kepada Naomi sambil tersenyum, namun kemudian menjadi mendadak murung dan terdiam sambil menatap punggung Ryan, pria yang sejak kemarin sama sekali tidak pernah menyapa bahkan melihat wajahku lagi. “Ayo??” Ucap Naomi menyadarkan lamunanku. *** “Kamu sedang bertengkar dengan Ryan, ya? Biasanya kalian terus terlihat bersama... sampai-sampai para murid di Se
07.30 Ketika aku tiba di sekolah, suasana begitu terasa berbeda. Semua orang tampak berbisik-bisik membicarakan suatu hal yang begitu menarik. Aku merasa mereka membicarakan suatu hal yang sama, karena ekspresi wajah yang mereka perlihatkan tampak mirip satu sama lain. Kaget? Jijik? Senang? Heran??“Eh! Kamu itu gadis yang sering bersama dengan Naomi akhir-akhir ini, bukan??” Tanya salah satu siswi yang tiba-tiba mendekatiku.“Em, iya. Ada apa, ya?” Tanyaku heran dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.“Sepertinya kamu harus menjauhi perempuan itu mulai sekarang. Hmmm... atau jangan-jangan kamu sama dengannya!? Ihh! Tiba-tiba aku menjadi takut juga denganmu.” Ucap gadis itu kepadaku, yang kemudian tiba-tiba pergi menjauhiku seperti merasa jijik.Aku menjadi penasaran akan apa yang dikatakan oleh siswi tadi. Aku berusaha melirik layar ponsel orang-orang di sekitarku. Namun, setiap kali aku mulai me
Segera setelah Ryan berkata seperti itu, Bu Rona, salah satu Guru Killer di Sekolah kami itu pun datang. Karena beliau mendengar laporan dari para siswa tentang adanya keributan di kamar mandi perempuan lantai 5. "Apa ini!? Apa yang kalian semua sedang lakukan? Dan kamu, Ryan! Mengapa kamu ada di kamar mandi perempuan!?" Ucap Bu Rona melontarkan berbagai pertanyaan kepada kami. Kami bertiga pun ikut ke ruang Guru sesuai yang diperintahkan oleh Bu Rona. Namun, Ryan diperbolehkan untuk pergi terlebih dahulu, karena ini adalah permasalahanku dengan Naomi. "Kamu tidak apa... jika aku pergi??" Tanya Ryan yang tampak begitu khawatir kepadaku. "Em. Tidak apa." Jawabku sambil mengangguk pelan, dan setelah perkataanku itu Ryan akhirnya pergi keluar sesuai perintah Bu Rona. "Kalian berdua, duduk!" Perintah Bu Rona dengan nada tegas seperti biasanya. Bu Rona duduk tegak sambil menyilangkan tangannya dan memasang wajah garang andalannya,
Hari ini, keesokan harinya setelah kejadian itu, aku diperbolehkan untuk tidak masuk sekolah. Bu Rona meminta izin ke Sekolah agar membiarkan aku dan Naomi untuk belajar dari rumah selama dua hari selanjutnya, sampai hari Sabtu nanti. Bu Rona menyarankan hal itu, supaya kami bisa menenangkan diri terlebih dahulu. Beliau tahu bahwa aku dan Naomi pastinya juga tidak akan fokus belajar, jika harus ke Sekolah dalam situasi seperti ini. Bu Guru Killer satu ini memang terkenal pengertian. Dibalik sosoknya yang tampak seperti pembunuh berdarah dingin, tapi hatinya begitu penuh kasih bagai malaikat. *** 09.35 Hari ini, hari Minggu. Aku pergi ke Pasar untuk menemani Ibu membeli berbagai kebutuhan di Toko Laundry dan juga berbelanja untuk kebutuhan bulanan. Kami berangkat ke Pasar sedari pagi hari, dan baru pulang ke rumah di saat hari mulai petang. *** 17.30 “
Setibanya aku di Sekolah, aku langsung bergegas masuk ke ka kamar mandi karena sudah kebelet sejak di dalam bus tadi. Aku akhirnya selesai dengan urusanku dan langsung keluar. Namun, seketika setelah membuka pintu, tubuhku langsung terdiam kaku karena melihat pantulan wajah seseorang yang ada di dalam cermin kamar mandi. Dia kaget, aku pun kaget. Kami berdua sama-sama hanya terdiam, saling menatap satu sama lain. Suasana menjadi begitu canggung dan sunyi. Perempuan yang ada dihadapanku ini adalah gadis yang begitu aku ingin temui sejak kemarin. Ya, gadis di hadapanku ini adalah Naomi. "Hmm... Haalo... " Jawab Naomi dengan senyuman yang terlihat canggung. Aku langsung menjawab sapaannya dengan sebuah pelukan hangat. Aku benar-benar bingung harus berkata apa kepadanya. Begitu banyak yang hal yang ingin aku bicarakan. Segera setelah aku memeluk Naomi, kami berdua langsung menangis tersedu-sedu sambil sesekali menatap wajah masing-masing, kemudian terseny
Hidup yang terasa biasa-biasa saja tidak mengartikan bahwa hidupmu tidak spesial atau kehadiranmu tidak penting. Di dunia ini, kita semua punya alasan dan tujuan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan kita tanpa suatu alasan. Tuhan pasti punya maksud. Kita adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Kita punya cerita ketika sendiri, dengan genre yang berbeda, dengan alur yang berbeda, dan juga dengan akhir yang berbeda. Kita punya waktu klimaks masing-masing. Jangan pernah menganggap dirimu sebagai seorang figuran, sebagai penghias dalam kehidupan orang lain. “Kamu juga punya peran yang penting.” “Tiap kamu adalah unik.” Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Dirimu biasa-biasa saja. “Kamu itu berharga.” “Dirimu tidak tergantikan.” Kita berhak memiliki happy ending dari kehidupan kita, masing-masing. Keadaan bisa berubah kapan saja. Semuanya pasti berakhi
07.20 “Heh! Ada apa denganmu? Mengapa kamu terus menatapku, seperti itu!?” Tanyaku, yang heran dengan sikap Dino yang terus menatapku dengan ekspresi datarnya sedari sarapan tadi. “Aku mau minta uang.” Jawab Dino, dengan tetap menunjukkan ekspresi datarnya. “Hah? Apa katamu!? Uang? Apa alasannya? Mengapa aku harus memberimu uang? Enak saja…” Ujarku. “Cepat berikan! Atau Kakak akan menyesal.” Ucap Dino, yang tiba-tiba mengancamku. “Menyesal? Apa yang harus aku sesali?” Tanyaku, yang tidak menanggapi perkataan Dino dengan serius. “Kalau Kakak tidak memberiku uang, aku akan memberitahukan kepada Ibu tentang apa yang aku saksikan kemarin malam.” Ucap Dino, dengan wajahnya yang tetap berekspresi
“Barra, apa kamu sebenarnya berlibur dengan Rio, Naomi, Alessa, Dino dan Erin waktu itu?” Tanya Kak Rio, sambil terus berusaha fokus untuk menyetir. “Oh! Bagaimana Kakak bisa tahu?” Ujar Barra. “Ya, kamu tidak tahu saja… Para ibu tu tidak bisa kalian bohongi. Setelah kalian berenam pergi, mereka semua berkumpul di rumahku dan mulai membicarakan kemiripan alasan kalian, yang sama-sama minta izin untuk pergi liburan bersama dengan teman lama ataupun rekan kerja kalian masing-masing. Ya, sesuai dugaan, kita semua tahu bahwa kalian sebenarnya pergi bersama. Masa, kalian pergi dalam waktu yang bersamaan secara kebetulan. Tentu tidak wajar, bukan?” Jelas Kak Rio. “Haha iya juga… Ya, kami semua sepertinya memang tidak pandai berbohong. Aku bahkan tidak terpikirkan akan hal itu, saat izin dengan Ibu.” Ujar Barra.
“Yah hujannya semakin deras.” Ujar Alessa. Kami baru saja selesai menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terletak di sekitaran minimarket. Namun, di saat kami sudah ingin menyebrang jalan, hujan tiba-tiba saja turun dengan cukup deras. Ryan dan Barra sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa payung saat ini. Kami berempat menunggu mereka di sebuah halte dekat situ. “Eh ini!” Ucap Ryan kepada Dino, sambil memberikan payung yang ia beli. Mereka membeli tiga buah payung. Dino pergi bersama dengan Alessa. Aku pun segera mendekat ke arah Naomi, berniat ingin sepayung dengannya. Namun, kekasihnya yang menyebalkan itu segera menyenggol tanganku dan memayungi Naomi, lalu segera pergi bersama dengannya. “Ish! Wah, ada apa dengan anak itu!? Mengap
Barra yang pada saat itu sudah berada di kamar, karena telah selesai dengan makan malamnya. Seketika, langsung terbangun dan keluar dari kamar, berkat teriakan yang dibuat oleh Erin. “Apa yang terjadi!?” Tanya Barra, yang heran dengan apa yang dia lihat sekarang. “Ada yang lupa untuk menutup kran air dan membiarkan lubang airnya tertutup.” Jelas Erin dengan singkat, dan mulai menguras air di lantai. “Hei! Kamu jangan hanya berdiam diri di sana! Cepat bantu aku membereskan ini semua!” Ujar Erin dengan nada tingginya, karena melihat Barra yang hanya celingak-celinguk melihat kondisi rumah. “Oh! Iya. Iya. Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Barra, yang segera datang menghampiri Erin. “Itu. Tolong, angkat barang-barang itu ke at
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ryan dan Naomi. Mereka berenam akhirnya berhasil pergi berlibur tanpa dampingan para Ibu itu. Mereka pergi ke sebuah kota yang memang terkenal sebagai tempat wisata. Di kota itu, ada daerah yang masih memiliki suasana sebuah desa, yang masih asri dan tidak begitu ramai. Salah satu alasan Ryan memilih tempat itu, tentunya untuk kenyamanan Barra, Sang Idola. Ryan tidak mau membuat Barra merasa tidak nyaman, apalagi melihat kondisinya sekarang. 14.50 “Woah! Sudah lama sekali, aku tidak datang ke tempat seperti ini. Udaranya terasa masih begitu segar. Suasananya begitu nyaman dan tenang.” Ujar Naomi, Sang Anak Kota. “Em benar, Kak. Suasana di sini benar-benar membuat hati merasa tenang. Seketika, aku merasa bebanku seperti hilang.” Ucap Alessa, mendukung perkataan Naomi barusan.
“Bu, aku pamit pulang sekarang, ya. Aku mau bersiap untuk berangkat kerja.” Ujar Erin kepada Ibu. “Iya, hati-hati… Eh iya! Ingat-ingat semua pesan yang Ibu bilang padamu tadi, ya. Minyak goreng, jangan lupa sampai lupa dibeli.” Ujar Ibu. “Iya, siap Bu!” Jawab Erin, sambil bergegas melangkah ke arah pintu. “Eh Rin! Biar Kakak antar. Aku juga sekalian ingin pamit untuk pulang sekarang. Bi, benar-benar tidak apa, bukan?” Ujar Kak Rio, yang baru saja keluar dari kamar Barra. “Iya, tidak apa-apa, Rio. Lagipula, jika kamu di sini, apa yang mau kamu lakukan? Lebih baik, kamu tetap bekerja saja. Barra biar Bibi yang urus.” Jelas Ibu. “Iya, Bi. Aku percayakan Barra kepada Bibi, ya. Terima kasih banyak. Kalau begitu, Erin pamit pe
Barra dan Erin, keduanya sudah tiba di restoran, tempat Bi Trisha mengundang kami semua. Meja yang kami pesan terletak di bagian rooftop restoran itu. Sehingga, kami melihat keberadaan mereka dari gedung sebelah, yang merupakan sebuah penginapan. Kami menyewa ruangan itu, hanya untuk membuktikan dugaan kami akan hubungan Barra dan Erin. Beberapa menit pun berlalu, Erin dan Barra masih tampak canggung dan tidak berbicara satu sama lain, sehabis sapaan mereka di awal mereka datang. “Lihat, bukan?? Aku sudah bilang hubungan mereka sempat merenggang karena rumor kencan itu. Lihat! Sikap mereka tidak tampak seperti biasanya, bukan?” Ujar Ryan, yang mulai senang karena bisa membuktikan perkataannya. “Hmm iya… sepertinya aku mulai yak
Kondisi kesehatan Barra sudah benar-benar pulih, setelah peristiwa kecelakaan itu. Dia mulai kembali disibukkan dengan berbagai aktivitasnya di dunia hiburan. Namun, Kak Rio mulai menyadari bahwa sikap Barra tampak aneh akhir-akhir ini. Fisik Barra memang telah kembali sehat, tapi Kak Rio ragu dengan kesehatan mentalnya. “Bar, ada apa sebenarnya denganmu? Mengapa kamu sering terlihat melamun dan tidak fokus akhir-akhir ini? Apa ada masalah? Apa ada hal yang mau kamu ceritakan kepadaku?” Tanya Kak Rio, dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Hah? Ah tidak. Aku tidak apa-apa.” Jawab Barra. “Tidak apa-apa, bagaimana!? Di acara musik kemarin, di saat waktunya kamu mulai bernyanyi, kamu malah hanya terdiam membeku di panggung. Lalu, saat syuting tadi, di saat kamu seharusnya berpelukan dengan lawan mainmu, kamu malah men