Hari ini, di sekolahku, ada pemberitahuan tentang sebuah kegiatan yang wajib diikuti oleh siswa kelas 3. Acara itu semacam "Summer Camping", acara berkemah di musim panas sebelum Ujian Akhir bagi siswa kelas 3 SMA tiba.
Huuhh males banget deh...
Aku bukan merupakan tipe orang yang suka dengan acara seperti ini. Aku tidak suka dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di alam. Karena aku sangat tidak suka dengan serangga, apalagi dengan seekor nyamuk. Aku saaaangat tidak menyukai suaranya. Begitu berisik dan menggangu. Suara nyamuk yang berdengung itu mampu untuk membuatku seketika menjadi marah.
"Hwuuh... mengapa wajib sih??” Celetukku sambil menghela napas panjang.
“Seharusnya kegiatan seperti ini tidak perlu diwajibkan. Memangnya semua orang suka dengan acara seperti ini" Lanjut diriku ngedumel sendiri."Heh! Percuma kamu protes disini. Tidak bakal kedengeran. Sana! Ngomong langsung sama Bu Guru." Ucap Ryan yang dari tadi mendengarkan keluhanku.
"Ah enggak ah. Percuma! Pendapatku tidak akan didengar." Jawabku kepada Ryan.
"Hmm kamu ikut?" Lanjutku bertanya pada Ryan."Ya, iyalah. Tentu sajaa.... ini kan wajib. Sudahlah kamu ikut aja. Kalau tidak ikut, kamu pasti nanti akan diberi tugas yang aneh-aneh sama Guru. Jadi.. lebih baik ikut, bukan?”
Hmm baiklah... kalau Ryan juga ikut, sepertinya akan jadi menyenangkan.
"Ok deh kalau begitu." Jawabku kepada Ryan.
***
04.30
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk pergi ke perkemahan hari ini dari subuh-subuh.
"Hei! Tumben kamu sudah rapi di pagi buta begini." Ucap Ibu yang baru terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju dapur.
"Hemm..aku memang selalu bangun jam segini kok." Ucapku membual.
Ibu langsung merespon ucapanku dengan tatapan heran dan kesal, karena sungguh tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
"Selamat pagi Bu!" Ucap Barra kepada Ibu.
Walaupun dia baru bangun, tapi auranya masih bisa begitu memikat hati. Aku mengakui pesonanya kali ini. Dia tetap tampak seperti seorang bintang walaupun dengan bare face dan hanya memaki setelan piyama hitam polos itu.
"Eh iya.. selamat pagi Barra!" Jawab Ibu kepada Barra dengan nada yang begitu lembut, begitu berbeda ketika Ibu berbicara denganku tadi.
"Oh.. kamu sudah bangun? Kenapa kamu bangun sepagi ini?" Ucapku yang heran karena baru melihat Barra sudah bangun sepagi ini.
"Hmm.. sepertinya aku yang harus bertanya seperti itu." Jawab Barra sambil berjalan menuju kamar mandi.
"Huh! Ya betul harusnya Barra yang memberi pertanyaan seperti itu kepadamu.” Ucap Ibu merespon jawaban Barra kepadaku.
“Heh! Sejak awal anak itu datang ke rumah ini, dia itu selalu bangun jam segini. Dia bahkan selalu menawarkan diri untuk membantu Ibu ketika membuat sarapan.Huh! Tidak sepertimu! Yang setiap pagi harus membuat Ibu berteriak-teriak hanya untuk membuatmu bangun. Duh... benar-benar kamu ini. Padahal sudah hampir sebulan Barra di rumah ini, tapi kamu bahkan tidak tahu tentang hal seperti ini." Lanjut Ibu menjelaskan kepadaku.
Ya, maaf...
Aku sepertinya memang benar-benar tidak sepeduli itu dengan Barra, hingga aku bahkan tidak tahu tentang hal seperti ini.***
Aku, para guru dan para siswa kelas 3, akhirnya kami semua tiba di tempat perkemahan. Saat tiba dan mulai memasuki area hutan, seketika aku langsung mulai terbayang-bayang dengan suara nyamuk dan serangga lain yang berdengung dan begitu mengganggu.
Aakkhhh! benar-benar menjengkelkan...
Membayangkannya saja sudah membuatku merinding dan seketika menjadi kesal.Para Guru mulai membagikan berbagai tugas yang harus kami, para siswa lakukan. Ada yang bertugas untuk mendirikan tenda, mencari kayu bakar, memasak, membuat api unggun dan sebagainya. Lalu aku mendapatkan tugas untuk mencari kayu bakar, tugas yang paling ingin aku hindari. Namun, untungnya ternyata Ryan mendapatkan tugas yang sama denganku. Para siswa yang bertugas mencari kayu bakar, masing-masing mulai berpencar ke dalam hutan. Aku tidak berani jika harus sendirian memasuki area hutan lebih dalam, lingkungan seperti ini tidak familiar denganku. Karena itu, aku mencari Ryan untuk mengajaknya pergi bersama. Aku pun mulai menyusuri kedalaman hutan diiringi rasa panik dan ketakutan membayangkan berbagai hal yang mungkin terjadi, bersama Ryan, yang tampaknya begitu baik-baik saja.
“Aaakhh!” Teriak Ryan hingga terjatuh ke tanah dengan ekspresi ketakutan.
“Aakhh! Ada apaaaa!?” Ucapku yang juga jadi terkaget dan langsung panik hingga ikut jatuh terduduk di tanah.
“Ituu...ituu..” Ucap Ryan dengan nada panik sambil menunjuk sesuatu.
“Oh ranting toh...” Ucap Ryan dengan santainya sambil tampak tersenyum tipis.
“Aaah kamu bercanda ya!? Ihh tidak lucu, tahu!?” ucapku sambil berusaha berdiri dan membersihkan tanah dan daun yang menempel di bajuku.
“Ihh tidak! Aku tidak bercanda. Aku tadi benar-benar kaget karena mengira ranting besar itu ular.” Jelas Ryan kepadaku.
“Ini lihat! Benar-benar tampak seperti ular, bukan?” Lanjut Ryan sambil menunjukkan ranting itu kepadaku.
Aku tidak percaya kepada Ryan. Aku masih yakin dia memang sengaja melakukan itu. Bagiku ranting itu tampak benar-benar seperti ranting pohon bahkan dari kejauhan. Semua orang yang melihatnya pasti akan tahu kalau itu ranting pohon, bukan ular.
“Aaah Ryan.. kamu tidak lucu! Aku tiba-tiba jadi tidak mood.” Ucapku dengan wajah kesal sambil berjalan pergi meninggalkan Ryan.
Entah mengapa, aku benar-benar menjadi kesal dengan hal yang sebenarnya sepele itu. Candaan yang sebenarnya memang Ryan sering lakukan kepadaku. Aahh entahlah... mungkin karena aku sudah sangat ketakutan dan suasana hatiku sudah tidak bagus sedari awal aku tiba disini.
“Erin!!” Panggil Ryan kepadaku yang telah berjalan pergi menjauhinya.
“Hmm maaf ya... aku tidak tahu, kamu akan sekesal ini. Iya, aku memang bercanda tadi. Tapi, niatku hanya mau mengubah suasana aja karena kamu hanya diam sedari tadi. Maaf ya..” Ucap Ryan yang sudah berada di sampingku sambil memohon kepadaku dengan tampang melas.
“Iya, aku maafin kok. Kamu tidak salah, hanya waktunya saja kurang tepat. Maaf ya, aku mau sendiri dulu.” Ucapku sambil meninggalkan Ryan yang tampak merasa bersalah.
Maaf ya Ryan. Tapi apa daya...
Aku adalah tipe orang yang lebih memilih untuk mengambil waktu sendirian ketika marah. Menurutku itu keputusan yang paling efektif untuk meredakan amarahku dan paling tepat untuk menghindari masalah menjadi lebih besar.Aku akhirnya memilih untuk masuk dan diam di dalam tenda untuk menyendiri, sampai aku merasa amarah dalam diriku sudah hilang.
***
20.00
“Anak-anak! Mari semuanya berkumpul karena acara api unggun akan dimulai!” Terdengar suara dari salah satu Guru.
Aku akhirnya terpaksa keluar dari tenda dengan suasana hati yang sebenarnya masih tidak baik. Aku memilih untuk duduk di barisan paling belakang.
Seperti biasanya, kegiatan api unggun diisi dengan beberapa penampilan dari para siswa dengan musik, nyanyian, puisi dan renungan malam. Suasana mulai terasa melow ketika musik dan renungan malam mulai ditampilkan.
Ngeunngg~ ngeuunnggg~~ nngeunngggg~~
Para nyamuk mulai berdatangan dari tengah hutan. Seperti biasa, mereka tak pernah lupa untuk membuat suara yang begitu nyaring dan menusuk bagi kedua telingaku. Suasana hatiku yang masih buruk menjadi semakin parah. Berbagai cara aku coba untuk membuat para nyamuk itu tidak menggangguku. Tapi, seperti biasa mereka selalu menang.
Ngeunngg~ ngeuunnggg~~ nngeunngggg~~
para nyamuk itu semakin lama seperti semakin dekat kepadaku dan suaranya menjadi semakin kencang hingga membuatku...
“ISSHH APA SIH!!" Teriakku tanpa sadar hingga memecah suasana melow acara api unggun.
Seketika aku langsung menjadi pusat perhatian walaupun hanya sekejap. Ya, hanya sekejap. Aku sepertinya tidak semenarik itu untuk membuat orang-orang terus menerus menatapku. Tidak ada orang yang menjadi penasaran setelah mereka tahu suara itu berasal dariku, kecuali Ryan. Ya. Sehabis mendengar teriakanku, Ryan langsung datang dan menarikku untuk keluar dari lingkaran. Lalu dia menyuruhku untuk tinggal di dalam tenda.
"Sini.. kamu sebaiknya tinggal disini saja daripada kamu menjadi pengganggu karena membuat keributan di sana hanya karena seekor nyamuk." Ucap Ryan sambil menggiringku masuk ke dalam tenda diringi senyum meledek.
"Eh.. tapi nanti guru akan memarahi kita kalau kita tidak ikut kegiatan in..." Ucapku tak selesai
"Hah? Mana? Sepertinya para Guru yang lebih menikmati acara ini daripada para siswa. Lihat! Mereka bahkan tidak sadar jika ada dua orang yang pergi tadi." Ucap Ryan dengan santainya.
"Hem… iya sih bener, apalagi yang hilang hanya orang seperti diriku. Bahkan sepertinya banyak Guru yang tidak mengenalku sebagai siswa di sekolah ini." Ucapku diakhiri senyuman penuh makna.
"Nah, lebih baik kita mendengarkan lagu yang kusuka. Aku tidak suka dengan nyanyian mereka yang bersuasana sedih itu." Ucap Ryan sambil memberikan sebelah earphonenya kepadaku.
"Ahh apa bedanya dengan selera lagumu. Kamu juga suka lagu-lagu bernada melow seperti ini, bukan??" Ucapku yang heran karena mengingat lagu kesukaan Ryan.
Alku akhirnya tetap mengikuti permintaan Ryan. Mereka berdua pun menghabiskan waktu di tenda dengan mendengarkan lagu dan mulai berbincang dengan sesekali melontarkan lelucon masing-masing.
Hari itu. Disaat kegiatan kemah yang dibencinya. Disaat seekor nyamuk sempat hampir membuatnya malu. Tapi ada satu yang terjadi hari itu. Sesuatu yang tak akan aku lupakan. Ryan mengungkapkan perasaannya kepadaku malam itu. Di tenda itu.
"Erin.."
"Hmm ada apa?" Tanyaku sambil mengambil earphone di kupingku supaya dia bisa mendengar suara Ryan dengan lebih jelas.
"Aku sebenarnya mau bilang ini dari dulu. Aku pikir kamu harus tahu tentang hal ini." Jelas Ryan kepadaku.
Owhh my God! Ya Tuhan, perasaan apa ini!? Entah mengapa aku merasa aneh. Aku merasa gelisah tanpa sebab. Banyak hal mulai masuk ke dalam pikiranku. Diriku mulai menebak-nebak apa yang mungkin akan dikatakan oleh Ryan. Mulai mempersiapkan diri akan respon apa yang harus aku berikan.
"Aku menyukaimu Erin. Sejak awal aku mengenalmu, aku merasakan sisi hidupku yang hampa mulai terisi. Hidupku memang tidak berubah. Tapi ada kelegaan dan kenyamanan yang aku dapatkan, dan aku rasa itu karena keberadaanmu, Erin."
Whats!?? Apa ini!? Ryan suka denganku?? Bahkan dari saat pertama kali kita bertemu. Astaga! Jantungku terasa berhenti seketika. Rasa kaget, senang, tegang, bingung, canggung, semuanya merasuki diriku. Woahh sungguh membuatku geli. Aneh rasanya. Ryan ternyata juga menyukaiku seperti aku menyu…
"...Karena itu aku ingin kita bisa terus berteman seperti ini. Sepertinya sku tidak akan pernah menemui orang sepertimu. Aku benar-benar suka berteman denganmu. Aku sangat bersyukur memilikimu sebagai temanku." Lanjut Ryan diakhiri senyum tulus.
TEMAN~ TEMAN~~ TEMAN~~~
Kata itu langsung terus tergiang-ngiang dalam kepalaku. Perkataannya langsung menusuk hatiku tanpa ragu. Perasaan gugup dan senang yang aku rasakan tadi mulai hilang perlahan. Tubuhku yang tadinya seperti terbang melayang seketika terjun bebas dan tertampar di daratan yang begitu gersang.
"...."
"Ahh aneh bukan? Hahaha... rasanya aneh mengungkapkan perasaan seperti ini. Tapi aku rasa aku harus mengungkapkan ini sekali dalam seumur hidupku...." Lanjut Ryan sambil tertawa canggung.
"Iya, aneh... sangat aneh." Ucapku sambil menatap ke depan dengan tatapan mata kosong.
"Rin?? Kamu baik-baik saja kan? Kamu sakit?" Tanya Ryan kepadaku yang hanya terdiam tanpa memberikan respon apapun.
"Iya, sakit. Saaakiiiit sekali."
"Hah! Serius!? Kalo begitu aku akan panggil bu Gu.." Ucap Ryan yang menjadi panik.
"Ahh tidak! Tidak! Tidak usah.. aku tidak apa-apa. Aku hanya tiba-tiba menjadi sedikit tidak enak badan. Sepertinya karena cuaca disini mulai dingin." Jelasku mencoba membuat alasan, sambil berusaha tersenyum supaya Ryan tidak khawatir
"Oh begitu... Hmm kalau begitu aku keluar, ya? Supaya kamu bisa istirahat. Jika terjadi apa-apa langsung hubungi aku ya!" Ucap Ryan sambil pergi keluar dari tenda.
"Em." Jawabku mengiyakan sambil mengangguk.
"Isssh! Dasar nyamuk sialan!" Celetukku beberapa saat setelah aku memastikan Ryan sudah benar-benar pergi.
“Kalau tidak ada kamuuu,... aku tidak akan jadi berduaan dengan Ryan seperti ini dan Ryan mungkin tidak akan mengungkapkan perasaannya yang sangat jujur itu sekarang! Aaaaakkkhhh!!” Gerutuku menjadikan nyamuk sebagai pelampiasan rasa kesalku.
09.00 "Aku puulaang…" Ucapku dengan wajah murung memasuki rumah sambil menarik tas ranselku dengan lemas. "Ada apa dengan anak ini?? Kamu pergi dengan begitu semangatnya kemarin pagi, namun sekarang datang ke rumah dengan begitu lesunya." Ucap Ibu heran melihat tingkahku, sambil tangannya membereskan masakannya. Aku terus berjalan masuk menuju kamarku tanpa menghiraukan ucapan Ibu. Aku merasa begitu sangat lelah. Energiku seperti telah terkuras habis. Ini semua pasti karena pengakuan Ryan yang sangat jujur kemarin. Bahkan untuk menonton drama kesukaanku saja sepertinya aku tidak sanggup. Hwuuuhhh~Aku menghela napas dengan begitu berat dan kemudian menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. “Huuh.. aku tidak tahu rasanya akan sesakit ini.”“Bagaimana ini? Apa aku masih bisa berteman lagi dengan Ryan?”“Bahkan tadi untuk menatap wajahnya saja, aku sama sekali tidak sanggup”Aku mulai overthinking. Berba
08.00 Esok hari. Hari Minggu. Hari dimana saatnya aku akan bermalas-malasan sepaaaaanjang hari. Rebahan di kamarku sambil menonton drama dan kemudian berselancar di media sosial. "ERINN!!" Panggil Ibu dengan suara khas, menghentikan kegiatanku. Hah? Apa itu!?Hahaha teriakan andalan Ibu comeback!Tak mengira aku ternyata kangen dengan teriakan mengesalkan itu. "Ya, Buuu... Aku datang!" Jawabku sambil tersenyum bersemangat tidak seperti biasanya, karena baru kembali mendengarkan teriakan ibu. Sesampainya aku di lantai bawah. Rasa semangatku yang tadinya sempat membara karena teriakan Ibu, seketika mulai padam. Suasana di ruang tamu begitu sunyi. Mereka semua tampak berusaha untuk tersenyum, dibalik rasa murung yang aku bisa lihat dari mata mereka. "Ehh ada pak manager. Selamat siang." Ucapku menyapa Pak Manajer yang telah duduk di ruang tamu. Ada apa ini?Kenapa ma
10.00 "Heh! Kamu yang namanya Erin, bukan!?" Ujar seorang perempuan yang didampingi oleh tiga temannya dan secara tiba-tiba datang menghampiri aku yang sedang duduk di kelas. "Hah?? Ada apa ini? Ada urusan apa para gadis populer ini dengan diriku. Dengan aku... orang yang bahkan belum pernah mereka tatap wajahnya sekali pun." Tanyaku kebingungan dalam hati. “Perkenalkan! Namaku Naomi.” Lanjutnya dengan nada suara yang tiba-tiba berubah menjadi begitu lembut, sambil meraih kedua tanganku untuk bersalaman. Ya, tentu saja aku tahu kamu adalah Naomi. Siapa yang tidak kenal dengannya di sekolah ini!? Naomi, gadis populer pujaan para laki-laki di sekolah. Gadis cantik di hadapanku ini juga duduk di kelas 3 SMA, seumuran denganku. Para siswa laki-laki yang populer di sekolah, mereka semuanya pernah mendekati Naomi. Bagaimana tidak!? Aku saja yang seorang perempuan selalu kagum setiap melihat sosok Naomi. Wajah Naomi begitu cantik bak boneka
09.55Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana biasanya aku menghabiskan sepanjang hariku untuk rebahan dan melakukan berbagai hal yang aku suka di rumah. Namun, kali ini berbeda dari biasanya. Aku tiba-tiba mendapat panggilan dari seseorang yang ternyata adalah Naomi. Dia mengajakku untuk menemaninya berbelanja, seperti kali terakhir kita bertemu.“Berbelanja lagi??” Ujarku dalam hati dengan rasa bingung.“Erin, kamu bisa, bukan?” Tanya Naomi sekali lagi.“Hmm... iya, baiklah, boleh saja. Tapi sepertinya aku baru bisa datang sedikit lebih siang. Tidak apa, bukan?” Ucapku yang masih berselimutkan piyama.“Iya, tidak apa. Langsung kabari aku saja, jika kamu sudah siap. Aku tunggu, ya!” Ucap Naomi menyelesaikan pembicaraan kita di telepon.***Aku janjian dengan Naomi untuk bertemu langsung di depan sebuah Mal yang Naomi pilih. Ketika aku tiba di sana, aku
“Erin? Disini!” Panggil Lulu sambil melambaikan tangan kepada aku, yang baru saja tiba di kantin sekolah.Seketika aku menjadi perhatian para murid yang berada di kantin. Segera setelah Lulu memanggil, aku langsung menjadi pusat perhatian banyak orang. Wajah mereka tampak begitu penasaran melihat aku yang bukan siapa-siapa ini bergabung dengan orang-orang seperti Naomi dan kawan-kawannya, idola para murid di sekolah.“Rin, seperti biasa ya...” Ucap Viola kepadaku, yang baru saja duduk.“Em... baiklah. Aku akan pergi untuk membelinya.” Jawabku yang langsung paham akan perkataan Viola dan kemudian pergi untuk membeli pesanan mereka seperti biasanya.Ya, seperti biasanya... Aku mulai terbiasa dengan ini. Jujur, aku sebenarnya tahu jika aku memang dimanfaatkan oleh mereka. Namun, sepertinya aku begitu menikmati kepopuleran yang aku dapatkan, karena hubungan yang aku jalin dengan para gadis ini. Aku sepertinya sangat mendamb
Sejak perbincangan hari itu, hubunganku dengan Ryan mendadak menjadi renggang. Aku dan Ryan yang biasanya selalu bersama untuk menghabiskan sebagian besar waktu di Sekolah, namun kini tampak seperti orang yang tidak mengenal satu sama lain. Ryan tidak pernah menyapaku sejak saat itu. Bahkan untuk menatap wajahku saja, sepertinya dia tidak sudi. Tiba-tiba dia berubah menjadi sosok pria yang bersikap dingin hingga membuatku tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya. “Erin... Ayo kita pulang!” Ucap Naomi yang datang ke kelasku untuk mengajak pulang bersama. “Em. Ayo!!” Ucapku kepada Naomi sambil tersenyum, namun kemudian menjadi mendadak murung dan terdiam sambil menatap punggung Ryan, pria yang sejak kemarin sama sekali tidak pernah menyapa bahkan melihat wajahku lagi. “Ayo??” Ucap Naomi menyadarkan lamunanku. *** “Kamu sedang bertengkar dengan Ryan, ya? Biasanya kalian terus terlihat bersama... sampai-sampai para murid di Se
07.30 Ketika aku tiba di sekolah, suasana begitu terasa berbeda. Semua orang tampak berbisik-bisik membicarakan suatu hal yang begitu menarik. Aku merasa mereka membicarakan suatu hal yang sama, karena ekspresi wajah yang mereka perlihatkan tampak mirip satu sama lain. Kaget? Jijik? Senang? Heran??“Eh! Kamu itu gadis yang sering bersama dengan Naomi akhir-akhir ini, bukan??” Tanya salah satu siswi yang tiba-tiba mendekatiku.“Em, iya. Ada apa, ya?” Tanyaku heran dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.“Sepertinya kamu harus menjauhi perempuan itu mulai sekarang. Hmmm... atau jangan-jangan kamu sama dengannya!? Ihh! Tiba-tiba aku menjadi takut juga denganmu.” Ucap gadis itu kepadaku, yang kemudian tiba-tiba pergi menjauhiku seperti merasa jijik.Aku menjadi penasaran akan apa yang dikatakan oleh siswi tadi. Aku berusaha melirik layar ponsel orang-orang di sekitarku. Namun, setiap kali aku mulai me
Segera setelah Ryan berkata seperti itu, Bu Rona, salah satu Guru Killer di Sekolah kami itu pun datang. Karena beliau mendengar laporan dari para siswa tentang adanya keributan di kamar mandi perempuan lantai 5. "Apa ini!? Apa yang kalian semua sedang lakukan? Dan kamu, Ryan! Mengapa kamu ada di kamar mandi perempuan!?" Ucap Bu Rona melontarkan berbagai pertanyaan kepada kami. Kami bertiga pun ikut ke ruang Guru sesuai yang diperintahkan oleh Bu Rona. Namun, Ryan diperbolehkan untuk pergi terlebih dahulu, karena ini adalah permasalahanku dengan Naomi. "Kamu tidak apa... jika aku pergi??" Tanya Ryan yang tampak begitu khawatir kepadaku. "Em. Tidak apa." Jawabku sambil mengangguk pelan, dan setelah perkataanku itu Ryan akhirnya pergi keluar sesuai perintah Bu Rona. "Kalian berdua, duduk!" Perintah Bu Rona dengan nada tegas seperti biasanya. Bu Rona duduk tegak sambil menyilangkan tangannya dan memasang wajah garang andalannya,
Hidup yang terasa biasa-biasa saja tidak mengartikan bahwa hidupmu tidak spesial atau kehadiranmu tidak penting. Di dunia ini, kita semua punya alasan dan tujuan masing-masing. Tuhan tidak menciptakan kita tanpa suatu alasan. Tuhan pasti punya maksud. Kita adalah pemeran utama di kehidupan kita masing-masing. Kita punya cerita ketika sendiri, dengan genre yang berbeda, dengan alur yang berbeda, dan juga dengan akhir yang berbeda. Kita punya waktu klimaks masing-masing. Jangan pernah menganggap dirimu sebagai seorang figuran, sebagai penghias dalam kehidupan orang lain. “Kamu juga punya peran yang penting.” “Tiap kamu adalah unik.” Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna. Dirimu biasa-biasa saja. “Kamu itu berharga.” “Dirimu tidak tergantikan.” Kita berhak memiliki happy ending dari kehidupan kita, masing-masing. Keadaan bisa berubah kapan saja. Semuanya pasti berakhi
07.20 “Heh! Ada apa denganmu? Mengapa kamu terus menatapku, seperti itu!?” Tanyaku, yang heran dengan sikap Dino yang terus menatapku dengan ekspresi datarnya sedari sarapan tadi. “Aku mau minta uang.” Jawab Dino, dengan tetap menunjukkan ekspresi datarnya. “Hah? Apa katamu!? Uang? Apa alasannya? Mengapa aku harus memberimu uang? Enak saja…” Ujarku. “Cepat berikan! Atau Kakak akan menyesal.” Ucap Dino, yang tiba-tiba mengancamku. “Menyesal? Apa yang harus aku sesali?” Tanyaku, yang tidak menanggapi perkataan Dino dengan serius. “Kalau Kakak tidak memberiku uang, aku akan memberitahukan kepada Ibu tentang apa yang aku saksikan kemarin malam.” Ucap Dino, dengan wajahnya yang tetap berekspresi
“Barra, apa kamu sebenarnya berlibur dengan Rio, Naomi, Alessa, Dino dan Erin waktu itu?” Tanya Kak Rio, sambil terus berusaha fokus untuk menyetir. “Oh! Bagaimana Kakak bisa tahu?” Ujar Barra. “Ya, kamu tidak tahu saja… Para ibu tu tidak bisa kalian bohongi. Setelah kalian berenam pergi, mereka semua berkumpul di rumahku dan mulai membicarakan kemiripan alasan kalian, yang sama-sama minta izin untuk pergi liburan bersama dengan teman lama ataupun rekan kerja kalian masing-masing. Ya, sesuai dugaan, kita semua tahu bahwa kalian sebenarnya pergi bersama. Masa, kalian pergi dalam waktu yang bersamaan secara kebetulan. Tentu tidak wajar, bukan?” Jelas Kak Rio. “Haha iya juga… Ya, kami semua sepertinya memang tidak pandai berbohong. Aku bahkan tidak terpikirkan akan hal itu, saat izin dengan Ibu.” Ujar Barra.
“Yah hujannya semakin deras.” Ujar Alessa. Kami baru saja selesai menikmati makan siang di salah satu tempat makan, yang terletak di sekitaran minimarket. Namun, di saat kami sudah ingin menyebrang jalan, hujan tiba-tiba saja turun dengan cukup deras. Ryan dan Barra sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa payung saat ini. Kami berempat menunggu mereka di sebuah halte dekat situ. “Eh ini!” Ucap Ryan kepada Dino, sambil memberikan payung yang ia beli. Mereka membeli tiga buah payung. Dino pergi bersama dengan Alessa. Aku pun segera mendekat ke arah Naomi, berniat ingin sepayung dengannya. Namun, kekasihnya yang menyebalkan itu segera menyenggol tanganku dan memayungi Naomi, lalu segera pergi bersama dengannya. “Ish! Wah, ada apa dengan anak itu!? Mengap
Barra yang pada saat itu sudah berada di kamar, karena telah selesai dengan makan malamnya. Seketika, langsung terbangun dan keluar dari kamar, berkat teriakan yang dibuat oleh Erin. “Apa yang terjadi!?” Tanya Barra, yang heran dengan apa yang dia lihat sekarang. “Ada yang lupa untuk menutup kran air dan membiarkan lubang airnya tertutup.” Jelas Erin dengan singkat, dan mulai menguras air di lantai. “Hei! Kamu jangan hanya berdiam diri di sana! Cepat bantu aku membereskan ini semua!” Ujar Erin dengan nada tingginya, karena melihat Barra yang hanya celingak-celinguk melihat kondisi rumah. “Oh! Iya. Iya. Apa yang bisa aku bantu?” Tanya Barra, yang segera datang menghampiri Erin. “Itu. Tolong, angkat barang-barang itu ke at
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Ryan dan Naomi. Mereka berenam akhirnya berhasil pergi berlibur tanpa dampingan para Ibu itu. Mereka pergi ke sebuah kota yang memang terkenal sebagai tempat wisata. Di kota itu, ada daerah yang masih memiliki suasana sebuah desa, yang masih asri dan tidak begitu ramai. Salah satu alasan Ryan memilih tempat itu, tentunya untuk kenyamanan Barra, Sang Idola. Ryan tidak mau membuat Barra merasa tidak nyaman, apalagi melihat kondisinya sekarang. 14.50 “Woah! Sudah lama sekali, aku tidak datang ke tempat seperti ini. Udaranya terasa masih begitu segar. Suasananya begitu nyaman dan tenang.” Ujar Naomi, Sang Anak Kota. “Em benar, Kak. Suasana di sini benar-benar membuat hati merasa tenang. Seketika, aku merasa bebanku seperti hilang.” Ucap Alessa, mendukung perkataan Naomi barusan.
“Bu, aku pamit pulang sekarang, ya. Aku mau bersiap untuk berangkat kerja.” Ujar Erin kepada Ibu. “Iya, hati-hati… Eh iya! Ingat-ingat semua pesan yang Ibu bilang padamu tadi, ya. Minyak goreng, jangan lupa sampai lupa dibeli.” Ujar Ibu. “Iya, siap Bu!” Jawab Erin, sambil bergegas melangkah ke arah pintu. “Eh Rin! Biar Kakak antar. Aku juga sekalian ingin pamit untuk pulang sekarang. Bi, benar-benar tidak apa, bukan?” Ujar Kak Rio, yang baru saja keluar dari kamar Barra. “Iya, tidak apa-apa, Rio. Lagipula, jika kamu di sini, apa yang mau kamu lakukan? Lebih baik, kamu tetap bekerja saja. Barra biar Bibi yang urus.” Jelas Ibu. “Iya, Bi. Aku percayakan Barra kepada Bibi, ya. Terima kasih banyak. Kalau begitu, Erin pamit pe
Barra dan Erin, keduanya sudah tiba di restoran, tempat Bi Trisha mengundang kami semua. Meja yang kami pesan terletak di bagian rooftop restoran itu. Sehingga, kami melihat keberadaan mereka dari gedung sebelah, yang merupakan sebuah penginapan. Kami menyewa ruangan itu, hanya untuk membuktikan dugaan kami akan hubungan Barra dan Erin. Beberapa menit pun berlalu, Erin dan Barra masih tampak canggung dan tidak berbicara satu sama lain, sehabis sapaan mereka di awal mereka datang. “Lihat, bukan?? Aku sudah bilang hubungan mereka sempat merenggang karena rumor kencan itu. Lihat! Sikap mereka tidak tampak seperti biasanya, bukan?” Ujar Ryan, yang mulai senang karena bisa membuktikan perkataannya. “Hmm iya… sepertinya aku mulai yak
Kondisi kesehatan Barra sudah benar-benar pulih, setelah peristiwa kecelakaan itu. Dia mulai kembali disibukkan dengan berbagai aktivitasnya di dunia hiburan. Namun, Kak Rio mulai menyadari bahwa sikap Barra tampak aneh akhir-akhir ini. Fisik Barra memang telah kembali sehat, tapi Kak Rio ragu dengan kesehatan mentalnya. “Bar, ada apa sebenarnya denganmu? Mengapa kamu sering terlihat melamun dan tidak fokus akhir-akhir ini? Apa ada masalah? Apa ada hal yang mau kamu ceritakan kepadaku?” Tanya Kak Rio, dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Hah? Ah tidak. Aku tidak apa-apa.” Jawab Barra. “Tidak apa-apa, bagaimana!? Di acara musik kemarin, di saat waktunya kamu mulai bernyanyi, kamu malah hanya terdiam membeku di panggung. Lalu, saat syuting tadi, di saat kamu seharusnya berpelukan dengan lawan mainmu, kamu malah men