“Heh, awas!”
Danish sudah bermenit-menit menunggu, dan anak dalam gelas putar yang ada di halaman sekolahnya itu belum juga sadar diri untuk turun. Padahal sejak tadi Danish berdiri di sekitar sana untuk menunggu giliran, bukan untuk menontonnya bermain putar-putaran sendirian.
Anak itu bertubuh mungil, kalau tidak berlebihan mungkin Danish akan mengira dia baru berusia tiga tahun andai tadi mereka tidak ditempatkan di kelas yang sama. Ternyata anak itu seusia dengannya, hanya saja dia bertubuh mini seperti kurcaci.
“Gue udah nungguin dari tadi!” kata Danish ngegas begitu mereka berpapasan saat ia akan naik ke gelas putar untuk menjemput gilirannya.
Bocah mungil itu diam saja dan hanya berdiri menunggu di sisi halaman, seperti yang tadi Danish lakukan. Baru setelahnya dia berbinar melihat Danish berlari sambil memutari wahana dan buru-buru naik saat kecepatan sudah maksimal. Rambutnya berkibar diterbangkan angin, Danish berdiri di tengah-tengahnya sam
Bau disinfektan, orang yang berlalu lalang di sepanjang lorong jalan, serta angka-angka di daun pintu membuat Danish pusing bukan kepalang. Dia membolos jam pelajaran olahraga, dibantu oleh Hamam, Arvin dan Herdian, tiga konco setianya di kelas 2 IPA 3. Dan setelah berhasil melarikan diri tanpa membawa Michiko, Danish naik taksi menuju rumah sakit tempat Oliv dirawat. Danish tidak tahu harus membawa apa sebagai buah tangan, tapi Oliv sangat suka gorengan, dan apakah pasien yang sakit, patah tulang, pendarahan di dalam—dan di kepala, boleh makan gorengan? Dia merasa tidak yakin, jadi memutuskan untuk tidak membawanya. Kata Dinara, lebih baik Danish membawa roti dan buah serta makanan enak untuk yang menjaga pasien dan tidak bisa ke mana-mana. Dia dapat kabar dari salah satu mantan anak geng Konoha bahwa Oliv sudah siuman dan keluar dari ruang ICU satu hari yang lalu. Itu artinya Oliv sudah dipindah ke ruang inap biasa dan dapat menerima kunjungan. Sudah beberapa hari
Sore itu hampir semua murid sudah keluar dari kelas dan beranjak pulang ke rumah masing-masing. Hanya ada beberapa yang masih tertinggal, tempat parkir pun semakin sepi. Namun Sayna diam-diam sembunyi di balik tiang untuk mengamati. Sebuah sepeda motor dengan perawakan gendut berwarna abu-abu yang pemiliknya menghilang sejak pelajaran olahraga tadi berdiri sendirian saat kendaraan lain satu persatu meninggalkannya yang parkir sendiri. Ke mana Danish? Kenapa tega meninggalkan Michiko sendirian seperti ini? Setelah Bolu, apakah Michiko juga terkena imbas atas putusnya hubungan mereka berdua? Seperti anak-anak korban perceraian orangtua, anak broken home. Dan Sayna sedih mendapati kenyataannya. “Say... duh, dicariin ke mana-mana juga.” Sayna refleks berbalik dan membuat kuda-kuda saat bahunya disentuh oleh seseorang dari belakang. Rupanya itu adalah gerombolan Hamam, Arvin dan Herdian. Tiga teman Danish yang cukup dekat saat di kelas.
“Ambilin gue susu cokelat,” perintahnya pada Hamam tanpa menggubris ucapan pemuda itu barusan. Danish sedang sibuk menjadi barista gadungan yang coba-coba membuat racikan minuman untuk teman-teman.“Oke!” Hamam menjawabnya penuh semangat sebelum Danish melihat ada gelagat aneh di wajahnya.“Apa?” tanya Danish peka.“Mohon maap gue mau tanya, susu cokelat warnanya apa, ya?”“Minggir lo!” ucap Danish emosi dengan kaki yang benar-benar menepis Hamam hingga anak itu menyingkir dari depan kulkas sambil tertawa.Pada akhirnya dua anak remaja itu membawa senampan penuh makanan dan nampan lain berisikan gelas-gelas berisi minuman hasil racikan Danish barusan. Ada English cake atau bolu Sukade kata mama Melia sebagai suguhan spesial untuk teman-teman, jadi Danish menentengnya juga menuju ke ruang tengah.“Wuidih...” Herdian menyambut antusias makanan dan minuman yang Dan
Ujian dan liburan semester sudah berakhir. Semua berjalan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Danish masih ikut remedial dalam beberapa mata pelajaran yang nilainya tidak sanggup ia tuntaskan dalam ujian. Tapi itu tidak apa-apa, toh dia tidak punya target lagi. Danish sudah tidak peduli, atau dia hanya sedang membohongi diri sendiri. Sebenarnya, dia justru sangat kecewa, merasa bahwa keputusan ini sudah yang paling benar untuk mereka. Karena Danish memang tidak pantas untuk Sayna, dia tidak memenuhi syarat untuk jadi pacarnya.“Useless,” ujar guru mata pelajaran Bahasa Inggris mereka di depan kelas. “Pernah dengar istilah ini? Ada berbagai ungkapan yang bersifat harfiah maupun istilah dengan kata useless. Secara harfiah, mungkin berupa barang atau benda. Ayo, sebutkan apa saja hal yang sifatnya useless atau kurang berguna di kelas ini.”“Saya, Miss!” Hamam mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi.&l
Jam istirahat sudah berakhir, dan saat semua orang sudah mendapat kembali buku essainya, Sayna tidak memiliki buku itu di atas meja. Padahal nilai dari essai itu harus segera disetorkan. Bel masuk tinggal beberapa menit lagi, dan ketika Sayna baru saja ingin membuat bewara demi mencari keberadaan bukunya, benda itu datang ke meja dari orang yang tidak dia sangka. Orang yang dia hindari selama berbulan-bulan meski mereka berada di kelas yang sama.“Gue nggak tahu ini bener semua atau ada yang keliru, periksa lagi aja.”Seperti telur pecah di atas kepala, setelah berbulan-bulan, akhirnya Danish kembali mengajaknya bicara. Walau ekspresi wajah itu terlihat sungkan dan tidak ingin. Sayna mengerutkan alis, kenapa juga Danish harus mengajaknya bicara kalau tidak ingin? Dia hanya tinggal meletakkan buku itu di meja Sayna lalu pergi. Siapa juga yang mau diajak bicara dengan keadaan seperti ini. Malah membuat situasinya semakin canggung tak terkendali.&ldquo
“Nish, coba bayangin kita satu rumah dan berduaan di kamar yang kekunci terus rumahnya kebakaran dan kita mati bersama. Wiihh... sehidup semati!”Lucu sekali mengingat dialog mengesankan dalam potongan mimpinya malam tadi. Danish bertemu Sayna di sana, dan keadaan mereka baik-baik saja, lalu gadis itu seperti biasa mengatakan gombalan-gombalan yang mengerikan di telinga. Melihatnya seperti itu saja Danish sudah senang, karena dia berhari-hari bolos sekolah, kalau tidak salah hitung ini hari kesembilan.Danish tidak peduli Melia meneriakinya setiap pagi, memangkas habis fasilitas hingga mengancamnya dikeluarkan dari deretan nama di kartu keluarga karena bolos sekolah berhari-hari. Dia tidak peduli. Ada hal yang harus dilakukannya. Danish sedang sibuk mencari keberadaan Haikal—mantan tunangan Dinara dan berencana untuk membuat perhitungan besar-besaran.Semua informasi sudah terkumpul, meski Dinara bersikeras tutup mulut dan menolak mengatakan ap
Danish mungkin lupa kalau tempat yang didatanginya adalah perumahan yang isinya mayoritas keluarga TNI angkatan darat. Maka tak heran saat dia benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan lagi, beberapa tetangga Sayna mulai mengacungkan senjata. Danish benar-benar sudah gila dan tidak kenal takut. Dia mengikat dua kaki Haikal dengan jaket yang sudah dirobek, diikat ke sepeda motor dan rencananya akan dia seret keliling komplek.Danish mengerikan dan membuat banyak orang ketakutan, termasuk Sayna.Namun siapa sangka hal yang mampu menghentikkannya hanya rangkulan ringan dari seorang pria berstatus ayah serta ketua rukun tetangga komplek perumahan ini—Chandraka, ayah kandung Sayna. Begitu mendengar keributan yang disampaikan anaknya, beliau keluar dan mengacungkan sebelah tangan di udara, meminta para anggota menahan serangan dengan menggunakan senjata, lalu menghampiri Danish yang terlihat sibuk akan menyeret keponakannya dengan sepeda motor.Beliau tampak ten
Ayah dengan bangganya memamerkan ke semua orang bahwa dia mengantar Danish pulang setelah sebelumnya mereka beribadah bersama. Dan ayah lebih heboh lagi begitu mengetahui di mana Danish tinggal serta siapa orangtuanya. Sementara itu ibu segera membawa Haikal ke rumah sakit untuk diobati dan kebetulan harus dirawat mengingat lukanya cukup parah serta dikabarkan ada beberapa pulang yang retak.Hebat memang Danish, kalau tadi benar-benar dibiarkan saja Haikal pasti sudah mati. Tapi Sayna tidak akan menyesal andai sepupu jahanamnya itu tidak ada di dunia lagi, asal jangan Danish yang membunuhnya, karena dia bisa masuk penjara.Setelah keadaan lebih tenang, ibu menghubungi kakak kandungnya—orangtua Haikal, dan menjelaskan perlahan-lahan tentang apa yang terjadi di sini. Tapi setelah obrolan yang panjang, serta banyak pertimbangan—mengingat kondisi kakaknya ibu tidak sesehat dulu, maka diputuskan bahwa ayah dan ibu yang diberi tanggung jawab untuk melakukan media