Sayna memandangi Bolu yang tengah bengong menatapnya sambil berurai air mata. Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian itu. Sejak patah hati terhebat dalam hidupnya selama 17 tahun. Saat dia dan Danish saling meneriaki dan menyakiti di sore menjelang malam itu. Satu minggu, yang berjalan lebih lambat dari biasanya, dan itu menyedihkan.
Teman-teman geng Danish masuk dalam penahanan pihak berwajib, dua di antara mereka terluka parah—luka di kepala hingga pendarahan dan menerima perawatan di rumah sakit. Angga, Aryan dan yang lain diperiksa polisi, sementara Danish... dia memilih pindah duduk di pojokan kelas tanpa mau berbaur dengan siapa pun lagi.
Danish yang ceria, yang biasanya tidak gampang marah, yang selalu ramah pada siapa saja dan meladeni obrolan orang yang mengajaknya bicara, kini sudah tidak ada. Dia berubah jadi pemurung, bahkan tidak tampak tersenyum selama satu minggu belakangan. Atau... dia memang tidak berniat menyungginkan senyum saat ada Sayna di seki
“Heh, awas!” Danish sudah bermenit-menit menunggu, dan anak dalam gelas putar yang ada di halaman sekolahnya itu belum juga sadar diri untuk turun. Padahal sejak tadi Danish berdiri di sekitar sana untuk menunggu giliran, bukan untuk menontonnya bermain putar-putaran sendirian. Anak itu bertubuh mungil, kalau tidak berlebihan mungkin Danish akan mengira dia baru berusia tiga tahun andai tadi mereka tidak ditempatkan di kelas yang sama. Ternyata anak itu seusia dengannya, hanya saja dia bertubuh mini seperti kurcaci. “Gue udah nungguin dari tadi!” kata Danish ngegas begitu mereka berpapasan saat ia akan naik ke gelas putar untuk menjemput gilirannya. Bocah mungil itu diam saja dan hanya berdiri menunggu di sisi halaman, seperti yang tadi Danish lakukan. Baru setelahnya dia berbinar melihat Danish berlari sambil memutari wahana dan buru-buru naik saat kecepatan sudah maksimal. Rambutnya berkibar diterbangkan angin, Danish berdiri di tengah-tengahnya sam
Bau disinfektan, orang yang berlalu lalang di sepanjang lorong jalan, serta angka-angka di daun pintu membuat Danish pusing bukan kepalang. Dia membolos jam pelajaran olahraga, dibantu oleh Hamam, Arvin dan Herdian, tiga konco setianya di kelas 2 IPA 3. Dan setelah berhasil melarikan diri tanpa membawa Michiko, Danish naik taksi menuju rumah sakit tempat Oliv dirawat. Danish tidak tahu harus membawa apa sebagai buah tangan, tapi Oliv sangat suka gorengan, dan apakah pasien yang sakit, patah tulang, pendarahan di dalam—dan di kepala, boleh makan gorengan? Dia merasa tidak yakin, jadi memutuskan untuk tidak membawanya. Kata Dinara, lebih baik Danish membawa roti dan buah serta makanan enak untuk yang menjaga pasien dan tidak bisa ke mana-mana. Dia dapat kabar dari salah satu mantan anak geng Konoha bahwa Oliv sudah siuman dan keluar dari ruang ICU satu hari yang lalu. Itu artinya Oliv sudah dipindah ke ruang inap biasa dan dapat menerima kunjungan. Sudah beberapa hari
Sore itu hampir semua murid sudah keluar dari kelas dan beranjak pulang ke rumah masing-masing. Hanya ada beberapa yang masih tertinggal, tempat parkir pun semakin sepi. Namun Sayna diam-diam sembunyi di balik tiang untuk mengamati. Sebuah sepeda motor dengan perawakan gendut berwarna abu-abu yang pemiliknya menghilang sejak pelajaran olahraga tadi berdiri sendirian saat kendaraan lain satu persatu meninggalkannya yang parkir sendiri. Ke mana Danish? Kenapa tega meninggalkan Michiko sendirian seperti ini? Setelah Bolu, apakah Michiko juga terkena imbas atas putusnya hubungan mereka berdua? Seperti anak-anak korban perceraian orangtua, anak broken home. Dan Sayna sedih mendapati kenyataannya. “Say... duh, dicariin ke mana-mana juga.” Sayna refleks berbalik dan membuat kuda-kuda saat bahunya disentuh oleh seseorang dari belakang. Rupanya itu adalah gerombolan Hamam, Arvin dan Herdian. Tiga teman Danish yang cukup dekat saat di kelas.
“Ambilin gue susu cokelat,” perintahnya pada Hamam tanpa menggubris ucapan pemuda itu barusan. Danish sedang sibuk menjadi barista gadungan yang coba-coba membuat racikan minuman untuk teman-teman.“Oke!” Hamam menjawabnya penuh semangat sebelum Danish melihat ada gelagat aneh di wajahnya.“Apa?” tanya Danish peka.“Mohon maap gue mau tanya, susu cokelat warnanya apa, ya?”“Minggir lo!” ucap Danish emosi dengan kaki yang benar-benar menepis Hamam hingga anak itu menyingkir dari depan kulkas sambil tertawa.Pada akhirnya dua anak remaja itu membawa senampan penuh makanan dan nampan lain berisikan gelas-gelas berisi minuman hasil racikan Danish barusan. Ada English cake atau bolu Sukade kata mama Melia sebagai suguhan spesial untuk teman-teman, jadi Danish menentengnya juga menuju ke ruang tengah.“Wuidih...” Herdian menyambut antusias makanan dan minuman yang Dan
Ujian dan liburan semester sudah berakhir. Semua berjalan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Danish masih ikut remedial dalam beberapa mata pelajaran yang nilainya tidak sanggup ia tuntaskan dalam ujian. Tapi itu tidak apa-apa, toh dia tidak punya target lagi. Danish sudah tidak peduli, atau dia hanya sedang membohongi diri sendiri. Sebenarnya, dia justru sangat kecewa, merasa bahwa keputusan ini sudah yang paling benar untuk mereka. Karena Danish memang tidak pantas untuk Sayna, dia tidak memenuhi syarat untuk jadi pacarnya.“Useless,” ujar guru mata pelajaran Bahasa Inggris mereka di depan kelas. “Pernah dengar istilah ini? Ada berbagai ungkapan yang bersifat harfiah maupun istilah dengan kata useless. Secara harfiah, mungkin berupa barang atau benda. Ayo, sebutkan apa saja hal yang sifatnya useless atau kurang berguna di kelas ini.”“Saya, Miss!” Hamam mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi.&l
Jam istirahat sudah berakhir, dan saat semua orang sudah mendapat kembali buku essainya, Sayna tidak memiliki buku itu di atas meja. Padahal nilai dari essai itu harus segera disetorkan. Bel masuk tinggal beberapa menit lagi, dan ketika Sayna baru saja ingin membuat bewara demi mencari keberadaan bukunya, benda itu datang ke meja dari orang yang tidak dia sangka. Orang yang dia hindari selama berbulan-bulan meski mereka berada di kelas yang sama.“Gue nggak tahu ini bener semua atau ada yang keliru, periksa lagi aja.”Seperti telur pecah di atas kepala, setelah berbulan-bulan, akhirnya Danish kembali mengajaknya bicara. Walau ekspresi wajah itu terlihat sungkan dan tidak ingin. Sayna mengerutkan alis, kenapa juga Danish harus mengajaknya bicara kalau tidak ingin? Dia hanya tinggal meletakkan buku itu di meja Sayna lalu pergi. Siapa juga yang mau diajak bicara dengan keadaan seperti ini. Malah membuat situasinya semakin canggung tak terkendali.&ldquo
“Nish, coba bayangin kita satu rumah dan berduaan di kamar yang kekunci terus rumahnya kebakaran dan kita mati bersama. Wiihh... sehidup semati!”Lucu sekali mengingat dialog mengesankan dalam potongan mimpinya malam tadi. Danish bertemu Sayna di sana, dan keadaan mereka baik-baik saja, lalu gadis itu seperti biasa mengatakan gombalan-gombalan yang mengerikan di telinga. Melihatnya seperti itu saja Danish sudah senang, karena dia berhari-hari bolos sekolah, kalau tidak salah hitung ini hari kesembilan.Danish tidak peduli Melia meneriakinya setiap pagi, memangkas habis fasilitas hingga mengancamnya dikeluarkan dari deretan nama di kartu keluarga karena bolos sekolah berhari-hari. Dia tidak peduli. Ada hal yang harus dilakukannya. Danish sedang sibuk mencari keberadaan Haikal—mantan tunangan Dinara dan berencana untuk membuat perhitungan besar-besaran.Semua informasi sudah terkumpul, meski Dinara bersikeras tutup mulut dan menolak mengatakan ap
Danish mungkin lupa kalau tempat yang didatanginya adalah perumahan yang isinya mayoritas keluarga TNI angkatan darat. Maka tak heran saat dia benar-benar sudah tidak bisa dikendalikan lagi, beberapa tetangga Sayna mulai mengacungkan senjata. Danish benar-benar sudah gila dan tidak kenal takut. Dia mengikat dua kaki Haikal dengan jaket yang sudah dirobek, diikat ke sepeda motor dan rencananya akan dia seret keliling komplek.Danish mengerikan dan membuat banyak orang ketakutan, termasuk Sayna.Namun siapa sangka hal yang mampu menghentikkannya hanya rangkulan ringan dari seorang pria berstatus ayah serta ketua rukun tetangga komplek perumahan ini—Chandraka, ayah kandung Sayna. Begitu mendengar keributan yang disampaikan anaknya, beliau keluar dan mengacungkan sebelah tangan di udara, meminta para anggota menahan serangan dengan menggunakan senjata, lalu menghampiri Danish yang terlihat sibuk akan menyeret keponakannya dengan sepeda motor.Beliau tampak ten
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka