'Aku sudah melakukan dosa besar! Aku ingin mengakhirinya, tapi ... apa yang harus kulakukan untuk menghentikan dosa itu?'
***
"Aaahhh, ahhh, ummmhhh, aaahh! Lebih cepat, Honey! Yes! Ooh God!"
Deg deg—
'Siapa itu?' batin seorang gadis bersurai hitam ketika mau me-scan kartu aksesnya.
Suara desahan yang berasal dari balik pintu unit apartemennya membuat kegiatan gadis bersurai hitam itu terhenti. Kini rasa penasaran berhasil menguasainya, membuatnya diam-diam menyendengkan telinganya di pintu unitnya untuk mendengar lebih jelas.
"Ooohh ... Adam, you're so sexy! Aaaaaaahh!!"
'Suara itu ... tidak mungkin! Dia ...,' batin gadis itu dengan manik bergetar.
"Aaahhh, aahhh, oohh, huffft. I think I'm going crazy!" Kini terdengar suara pria yang diketahui bernama Adam dari balik pintu.
'Tidak mungkin! Dia ... dia mengkhianatiku?' batin gadis surai hitam itu lagi, dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Adam, you're so sexy!" Suara seorang wanita tadi lagi-lagi terdengar. Nada bicaranya sengaja dibuat menggoda.
'Dasar wanita jalang!' umpat gadis surai hitam itu lagi dalam batinnya dengan penuh amarah yang sudah memuncak.
Namun, gadis itu masih mencoba untuk menahan rasa sakit yang sudah tak terbendung lagi. Ia tidak mau melabraknya dengan cara membabi buta. Ia harus melabraknya dengan cara yang elegan supaya memberikan efek permanen pada sepasang pria dan wanita yang saat ini sedang sibuk bercinta.
Secara perlahan, gadis surai hitam itu membuka pintunya, berusaha semaksimal mungkin agar tidak menimbulkan suara. Dengan langkah ringan, ia masuk ke dalam unit. Dari posisinya saat ini, ia melihat pintu kamarnya sedikit terbuka.
Lagi, dengan langkah sepelan mungkin, gadis itu menghampir kamar tersebut. Terlihat dengan jelas dari sela pintu, dua sejoli yang kini masih melakukan ritual panas mereka di atas ranjang bersprei putih yang sudah tak beraturan. Tubuhnya yang tanpa sehelai benang pun sudah dipenuhi dengan keringat. Suara erangan dan desahan masih terdengar dari mulut mereka.
'Menjijikan!' umpat gadis itu dalam hati.
Melihat adegan intim mereka, jantungnya bagaikan dihujam ribuan panah dan dihunus sebilah pedang. Sakit nya sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Satu kata, sakit. Hanya itu.
Air mata sudah membasahi wajahnya. Begitupun dengan sorot matanya yang terlihat kosong, tidak memancarkan emosi apapun. Hampa. Hanya itu yang tampak dari manik biru langitnya.
Sementara itu, sepasang sejoli yang tidak menyadari keberadaannya, kini melanjutkan permainan mereka yang semakin liar. Tampak dari sela pintu, wanita bersurai pirang mulai memainkan pedang keperkasaan Adam dan memijatnya dengan agresif. Sedangkan si pemilik pedang tersebut hanya memejamkan matanya, seolah menikmati permainan wanita itu.
Gadis bersurai hitam itu tak kuat lagi menyaksikan ritual panas mereka di atas ranjang. Dengan sekuat tenaga dan amarah yang sudah memuncak, ia membuka pintu kamarnya dengan kasar hingga menghasilkan suara yang sukses membuat mereka menoleh ke arahnya.
BRAKK!
Bukannya berhenti, sepasang sejoli itu malah melanjutkan ritual mereka, seolah sengaja mempertunjukan keliaran mereka padanya. Sang wanita kini semakin bersemangat dalam melahap batang kenikmatan milik Adam sembari melirik ke arah gadis itu dengan tatapan sinis. Begitupun dengan si pemiliknya yang juga begitu menikmati kelihaian benda lunak tak bertulang wanita itu dalam memuaskan keperkasaannya.
Pemuda itu sengaja mengabaikan tatapan nanar gadis bersurai hitam itu yang kini sudah berlinang air mata karena menyaksikan kebejatan dirinya.
"Aahh, oohh God. Wow, you're amazing!" desahnya ketika cairan putih kental menyembur mengisi kerongkongan wanita itu.
Sementara itu, si wanita mengelap sudut bibirnya yang berlumuran cairan kental milik pemuda itu dengan tatapan penuh kemenangan. Wanita itu kemudian melirik ke arah gadis surai hitam itu dengan tatapan pura-pura terkejut.
"Oh my God! Sepertinya sedari tadi kita diamati oleh seseorang. Kenapa dia bisa ada di sini, Sayang?" ujar wanita itu sembari menempelkan tubuhnya ke tubuh Adam.
Melirik sebentar, pemuda itu hanya tertawa sinis. Ia kemudian beranjak dari atas ranjang untuk mengambil celana boxernya yang ada di lantai lalu memakainya.
"Well, what's wrong with you, Pricillia? Apa ada masalah? Bukankah kamu sendiri yang menolak untuk menjauhi pria itu? Aku sudah memperingatkanmu. Tapi kamu malah menantangku. Jadi, ini salahmu. Bukan salahku," ujarnya santai dengan tatapan sinis.
Sudah di ambang batas kesabaran, gadis surai hitam yang diketahui bernama Pricillia itu langsung menyuarakan semua unek-uneknya, "Apa?! Hubungan kami padahal hanya sebatas sepupu. Mana mungkin aku memusuhi sepupuku sendiri?! Lagi pula, kami hanya berlatih biola untuk pertunjukan orchestra saja!"
Namun, dengan kenyataan dirinya memiliki gangguan dalam berbicara, yang terucap adalah rentetan kata yang tak dapat dimengerti artinya, "Aa!? ubuaan mi da ha hana uu. Ana uin au eusui euuku ediri!? Agiua ami anya eaih ioa utu erujua ohesra ajha!"
Mendengar celotehan tak jelas itu, pemuda itu memegang pundak sang gadis, mencoba menenangkannya. "Bicaralah yang jelas! Aku tak menger—!"
Sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya, gadis itu menepiskan tangannya dengan kasar. Sorot mata dingin bisa terlihat dari manik biru langit sang gadis, menunjukkan emosi yang menggebu-gebu.
DUAK!
"Kurang ajar!" teriak gadis itu, yang tentunya tak dimengerti maksudnya oleh Adam.
Walau melihat pemuda itu meringis kesakitan, tapi gadis itu tak berhenti melayangkan pukulannya.
DUAAK!
Lagi dan lagi, gadis surai hitam itu melayangkan pukulannya diiringi sumpah serapah dari mulutnya tanpa mempedulikan apakah perkataannya bisa dipahami atau tidak oleh pemuda itu. Ia hanya ingin melampiaskan rasa sakit dan kepedihan hatinya yang sudah tak terbendung lagi.
Usai puas melampiaskan amarah dan emosinya, gadis itu langsung beranjak keluar dari sana.
Melihat tingkahnya yang seperti itu membuat Adam menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia kemudian mengejarnya dan berupaya mencegahnya pergi dengan cara memeluknya dari belakang seerat mungkin.
"Kamu pikir bisa lari begitu saja dariku, hah?! Asal kamu tahu, semua yang kulakukan adalah karena kesalahanmu sendiri! Kamulah yang membuatku jadi seperti ini! Jadi bertanggung jawablah!" ujar pemuda itu dengan senyum sinis.
Sudah merasa jijik, Pricillia meronta-ronta minta dilepaskan. Ia mencoba melepas lengan kekar pemuda itu dengan sekuat tenaga. Namun, sayangnya tenaganya tidak melebihi pemuda itu.
Hanya satu cara yang bisa ia lakukan, yakni menggigit lengannya sekencang mungkin.
"Aaarrgghhh!!"
Gigitannya sukses membuat pemuda itu berteriak kesakitan sekaligus melepas pelukannya.
Tidak mau membuang waktu lagi, gadis itu langsung membuka pintu unit dan beranjak pergi dari sana secepat kilat, seolah tak sudi menginjakan kakinya lagi di sana.
Sementara itu di dalam unit apartemennya, Adam mengacak-acak rambutnya melampiaskan rasa frustasinya karena gagal mencegah gadis itu pergi.
"Damn! Damn! F*ck! F*ck!! Shit!" umpatnya berkali-kali sembari berjalan mondar mandir.
Wanita bersurai pirang tadi kini mendekatinya lalu menyentuh pundaknya secara perlahan. Ia menyuruhnya duduk untuk menenangkan pikirannya.
"That Bitch! She so f*cking annoying!" pekik Adam dengan penuh emosi.
Menghela napas panjang, wanita surai pirang itu berkata, "Tenang saja. Semua mahasiswi di kampus akan membantumu membawa kembali gadis itu ke pelukanmu."
Hening sejenak. "Well, that's right. She's nothing without me." Kini pemuda itu menoleh ke arahnya dengan senyum sinis.
"Of course, Honey. She's just a dumb girl. You're the one who make her special," sahut wanita surai pirang itu sambil tersenyum sinis.
"Hmmm ... you're damn right," ujar pemuda itu lagi dengan rasa bangga.
.
.
.
Sementara itu, Pricillia kini memilih untuk pergi menenangkan dirinya di sebuah gereja tua. Di sana ia bertemu dengan seorang biarawati yang sedang berdoa. Tak mau mengganggu kekhusyukannya, gadis itu berusaha untuk menghentikan tangisnya.
Namun, tanpa disangka-sangka olehnya. Biarawati tersebut menolehnya lalu bertanya dengan nada ramah, "Halo. Ada apa, Nak? Kamu sedang punya masalah, ya? Wajahmu terlihat begitu lesu."
Aneh tapi nyata, biarawati itu seolah-olah bisa membaca pikirannya saat ini. Ya, saat ini dirinya memang sudah lelah. Lelah menghadapi keberengsekan kakak tirinya.
Ya, pemuda bernama Adam tadi adalah kakak tirinya. Kakak tiri yang amat ia cintai dengan sepenuh hatinya.
Namun, rasa cintanya dikhianati dengan begitu hebatnya. Hatinya yang semula utuh kini sudah hancur berkeping-keping bagaikan pecahan kaca yang berserakan di lantai. Yang lebih membuat hatinya pedih, dirinyalah yang disalahkan. Ia disalahkan atas ketidakbermoralan kakak tirinya sendiri.
Meski sudah disakiti berkali-kali, pada akhirnya ia tahu kalau ia tidak bisa meninggalkannya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali memberontak, namun tidak bisa.
Oleh karena itu, untuk saat ini ia membutuhkan tempat sandaran. Seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakiminya. Dan mungkin saja, biarawati itu adalah orangnya. Orang yang tepat menjadi tempat sandarannya saat ini.
Alhasil, karena tak kuat menahannya lagi, Pricillia langsung menumpahkan semua kepedihannya, rasa sakitnya yang sudah membeludak pada biarawati itu melalui bahasa isyarat.
{Kumohon tolong aku! Aku tidak bisa mengatakannya pada siapa-siapa ... aku takut mereka malah hanya akan menghakimiku saja. Aku tahu ini juga salahku karena tidak bisa menolaknya. Tapi, kumohon sekali lagi. Maukah Anda mendengar keluh kesah dan kesesakanku? Aku sudah melakukan dosa besar! Aku ingin mengakhirinya, tapi ... apa yang harus kulakukan untuk menghentikan dosa itu?}
To be Continued ...
'Tanpa disangka-sangka olehnya, sosok yang sedari tadi ia cari menampakan diri di hadapannya. Gadis bersurai hitam sebahu dengan gaun sleeveless warna merah maroon selutut, dengan tas jinjing berwarna senada di tangan kanannya.' *** Adam Wylie, nama yang tak asing bagi sebagian wanita yang pernah 'bermain' dengannya. Ia merupakan seorang pemuda tampan bertubuh atletis keturunan mix-raced. Ia juga merupakan putra tunggal dari salah satu pengusaha ternama di kota New York, Thomas Wylie. Selain seorang pengusaha, ayahnya juga merupakan salah satu donatur tetap di kampusnya, The City College of New York. Sedangkan, sang Ibu, Diana Wylie berasal dari Indonesia, seorang ibu sosialita. Namun, sayang, kedua orang tuanya bercerai di saat umurnya baru menginjak tujuh tahun. Perceraian terjadi karena ayahnya memergoki ibunya sedang tidur dengan banyak lelaki. Sejak saat itu, ia hanya diasuh oleh ayahnya seorang diri sam
'Trust me, it will end soon.' *** [Apa kamu yang bernama Adam?] Usai membaca tulisan tersebut, si pemilik nama hanya mengangguk pelan. Tanpa ia sadari, kini sudut bibirnya naik membentuk senyuman. Senyum mematikan bagi para kaum hawa. Gadis itu lalu mengambil buku sketsa berukuran kecil di dalam tas jinjingnya, membukanya halaman demi halaman. [Halo, namaku Pricillia. Senang bertemu denganmu, Adam.] Entah kenapa, pemuda itu jadi ingin menggodanya sedikit dengan melontarkan sebuah pertanyaan, "Kenapa tidak berbicara? Berbicaralah. Aku ingin mendengar suaramu." Permintaannya membuat gadis yang diketahui bernama Pricillia itu sedikit tersentak. Seketika raut wajah serta sorot matanya berubah menjadi bingung sekaligus khawatir. 'Bagaimana ini?' batinnya cemas. "Kenapa? Ayo bicaralah." Sekali lagi, Adam mendesaknya untuk berbicara. Menghela napas pasrah, gadis itu pun akhirnya menuruti permintaannya. Sebelum berbicara, ia memasukan buku sketsanya ke dalam tas jinjingnya terlebih d
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Permainan baru saja akan dimulai. Aku tidak akan membiarkanmu mencapai puncak kenikmatan, Sayang.' *** "Well... I can't hold it anymore. I desire you so intensely," desah Adam. Kini tangannya telah berpindah ke tubuh Pricillia, memeluknya dengan erat hingga bukit kembarnya bersentuhan dengan dada bidangnya. Pemuda itu kemudian membelai lembut tiap lekuk tubuhnya. Sentuhannya yang mengagumkan berhasil memberikan sensasi baru pada gadis itu. Matanya terpejam seolah menikmati setiap sentuhan yang diberikan kakak tirinya. Kini dirinya merasa seperti melayang ke langit ketujuh. Sebenarnya, ia ingin sekali memberontak dan berteriak meminta pertolongan. Namun, tubuhnya malah berbicara sebaliknya. Mulut bisa berbohong, tapi tubuhnya tidak bisa. Gadis itu ingin mengutuk tubuhnya sendiri karena tidak bisa berpura-pura. Air yang jatuh dari shower dan mengalir mengikuti lekukan tubuhn
'Ya, anggap saja dia tidak pernah ada di kehidupanku. Dengan begitu hidupku akan berjalan seperti semula.' *** Tik tok tik tok Suara dentang jarum jam terdengar teratur menemani sang pemilik rumah dalam kesedihannya. "Hiksss ... hikkkss hikksss, huuuhuu ...." Suara isak tangis pecah memenuhi ruang tengah yang awalnya sunyi. Tangisan Pricillia, gadis bersurai hitam sebahu yang baru saja mengalami sesuatu yang mengubah kehidupannya selama-lamanya. Ia benar-benar tak menyangka kalau malam itu adalah malam di mana ia melepas kesuciannya. Terlebih yang mengambilnya adalah pria yang kini sudah resmi menjadi kakak tirinya. Kenapa harus pemuda itu yang mengambilnya? Kenapa harus di malam yang seharusnya menjadi hari ia merayakan kebahagiaan pernikahan sang Ibu tercinta? Apakah ia tidak berhak atas kebahagiaan itu? Kenapa kakak tirinya tega melakukan itu semua padanya? Mengambil kesuciannya denga
'Kamu membuat kesalahan besar, Sayang—hmmmmpphh.' *** Pricillia berusaha melarikan diri dari kejaran kakak tirinya yang penuh nafsu. Emosinya memuncak, tangannya mengepal erat, ingin sekali meninju Adam sampai menghilang dari hidupnya. "Astaga! Dia masih mengejarku juga?? Apa masih belum puas dia melakukan kebejatannya semalam penuh denganku?" batin Pricillia dengan penuh emosi. Namun, tanpa disadari, tangan Pricillia sudah mengepal kuat, ingin sekali meninju Adam sampai ke segitiga bermuda, agar lenyap selamanya. "Hei, kenapa kabur? Aku 'kan hanya mau mengobrol saja denganmu," ujar Adam dengan wajah sok polos. Pricillia membuang muka ke arah lain, semakin merasa jijik dengan sikap kakak tirinya yang tidak tahu malu. Ia bahkan tidak sudi menatapnya meski hanya sekilas. 'Dia itu kenapa, sih?? Apa urat malunya sudah putus?!' umpatnya dalam hati. Gadis itu benar-benar tak habis pikir akan kepercayaan diri kakak tirinya yang setinggi gedung pencakar langit dan mukanya yang setebal
'You're mine now. No one can take you away from me.' *** Kreekk— Pintu kamar mandi terbuka, tampak seorang pemuda tampan bertubuh six-pack keluar dari sana dengan hanya berbalut handuk putih di sekitar area privasinya. Pemuda itu tidak lain adalah Adam. Saat ini ia baru saja selesai membersihkan dirinya usai menuntaskan 'pekerjaan'nya. Kini ia melangkah masuk ke kamar tidur yang mana di pintunya terpasang tulisan 'Pricillia's Room'. Mengamati sejenak desain interior ruangan tersebut yang tampak sedikit berbeda dari sebelumnya. Beberapa waktu berselang, ia melangkahkan kakinya ke ranjang bersprei putih yang sudah terlepas dari kasurnya. Di atas ranjang itu terdapat sosok gadis bersurai hitam yang sedang tidur meringkuk tanpa sehelai benang pun. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pemuda itu lalu duduk di tepi kasurnya untuk menyingkirkan helaian rambut yang meng
'Satu hal yang perlu kamu ingat. Jangan pernah macam-macam dengannya, atau kamu akan mengalami yang lebih parah dari ini. Mengerti?' *** Usai turun di halte dekat kampus. Pricillia kemudian melanjutkannya dengan berjalan kaki. Tanpa ia ketahui, salah satu mahasiswi dari kelompok penggemar Adam mengintipinya dari balik tembok pagar. Ketika ia sudah menapakkan kakinya di gerbang kampus. Mahasiswi tersebut langsung menarik lengannya dengan kasar dan membawanya ke belakang bangunan kampus. Pricillia kaget bukan main ketika mahasiswi tersebut menarik lengannya secara kasar. Beberapa kali ia mencoba melepas cengkraman tangan mahasiswi tersebut. Namun, cengkraman di lengannya semakin kuat sampai membuatnya merintih kesakitan. BRUKK! Mahasiswi tadi mendorong tubuh Pricillia hingga tersungkur ke jalanan beraspal. "Aaw ...," rintihnya ketika merasakan jeansnya robek dan membuat lututnya terluka akibat bergesekan dengan aspal. "Heh! Bangun!" bentak mahasiswi lainnya. Pricillia tidak men
'Dari kabar yang beredar selama ini di kalangan mahasiswa, Adam memang dijuluki sebagai seorang womanizer. Sudah banyak wanita yang telah tidur dengannya.' *** "Jadi, bagaimana? Mau atau tidak?" tanya Adam sembari menatapnya sinis. Pricillia hanya menatapnya dalam hening. Tidak menolak, tapi juga tidak menyetujuinya. Sepertinya ia sedang mempertimbangkan dampak baik dan buruknya bila menerima tawaran pemuda itu, terlebih setelah mendapat perlakuan kasar dari para fans fanatiknya. Setelah hening cukup lama, gadis bersurai hitam itu melangkahkan kakinya kembali ke arah halte. Sikapnya membuat kakak tirinya itu bertanya-tanya. 'Apa itu artinya dia menolak tawaranku?' batin Adam penuh tanda tanya. Menghela napas kasar, kini pemuda itu memutuskan untuk turun dari motornya kemudian ikut duduk di kursi sebelahnya. "Apa kamu yakin menolak tawaranku?" tanyanya lagi. Pricillia masih tidak menunjukan reaksi apapun. Hal itu membuatnya sedikit frustasi dan menghela napas kasar lagi untuk ya
'Mereka tahu bahwa masa depan hubungan keluarga ini bergantung pada seberapa baik mereka bisa menyembunyikan kebenaran yang ada' *** Dalam suasana malam yang tenang, Adam dan Pricillia melangkah masuk ke ruang tamu rumah mereka setelah menghabiskan waktu berkencan di tepi danau. Kesan manis perjalanan mereka masih menggelayut di udara, namun atmosfer hangat itu terhenti ketika mereka berhadapan dengan Thomas, ayah mereka, yang duduk di sofa sambil sibuk dengan iPad di tangannya. Cahaya dari layar elektronik itu menyoroti ekspresi waspada di wajah Thomas, menciptakan ketegangan yang dapat dirasakan di ruangan itu. Thomas menyapa mereka dengan nada ramah, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam. Dengan pertanyaan yang seakan-akan mencari jawaban, ia bertanya, "Habis dari mana kalian berdua? Dan kenapa baru pulang sekarang?" Adam dengan sigap menjawab, "Kami baru saja menonton film di bioskop, Ayah." Sementara Pricillia hanya mengangguk setuju, berusaha men
'Apakah ini benar-benar baik untuk kita? Ataukah kita semakin terjebak dalam labirin yang kelam?' *** Percikan cahaya bulan membingkai malam mereka saat Adam dan Pricillia memasuki wilayah terlarang untuk menjalani kencan mereka. Mereka berdua berdiri di tepi danau yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan yang gelap dan menyiratkan keadaan misterius. Adam memandang Pricillia dengan senyum licik yang sulit diartikan. Malam itu, bulan bersinar cerah, menerangi langkah mereka yang melangkah ke wilayah terlarang. Adam memimpin Pricillia melintasi pinggir danau yang sunyi, diapit oleh pepohonan rimbun yang memancarkan aura misterius. Dalam sorotan cahaya bulan, wajah Adam terangkat, senyumnya menciptakan ketegangan yang sulit dipahami di antara mereka. Pricillia, berdiri di sampingnya, merasakan getaran emosional yang mengalir dalam kegelapan malam. "Selamat datang di tempat paling eksklusif untuk berkencan, Pricillia," ujar Adam samb
'Kita sudah menjalani petualangan ini cukup lama, dan sekarang, kita akan menjelajah wilayah yang lebih gelap dan rumit.' *** "Oke, kalau memang itu yang kamu mau, jangan salahkan aku kalau besok berita tentang hubungan kita yang tak seharusnya menyebar ke seluruh kampus." Deg deg! Ucapan itu dari mulut Adam berhasil menghidupkan kembali kenangan akan perlakuan buruk dan cemoohan yang pernah dialami Pricillia di kampus. Tubuhnya tiba-tiba lemas, terutama saat membayangkan betapa hancurnya hati ibunya nanti ketika mengetahui tentang hubungan mereka yang tak seharusnya. Dunianya kembali terasa gelap, sunyi, dan sepi. Tak ada siapa pun di sana, kecuali dirinya dan Adam. Perasaan bersalah kembali menyergap Pricillia. Pikirannya menjadi kacau. Terlebih lagi, tatapan pemuda berkulit hitam itu bagaikan rantai yang mengikat tubuhnya kuat, membuatnya sulit untuk bernapas. Lidahnya terasa kelu, tak bisa mengeluarkan suara atau sepatah kata pun. Entah mengapa semuanya terasa begitu sulit
'Tapi tekadnya kembali digoyahkan ketika suara berat Adam yang penuh intimidasi itu masuk ke telinganya.' *** "BA*INGAN! KEPA*AT!!!" Sudah di ambang batas kesabaran, Thomas langsung bergegas ke arah wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya. Tanpa aba-aba, pria paruh baya itu langsung melayangkan pukulan sekaligus tamparan keras. Serangannya yang tanpa ampun menyebabkan kepala Diana terbentur lantai dengan cukup keras. Hingga darah segar mengalir dari pelipisnya. Melihat ayahnya murka seperti itu, Adam bersorak penuh kemenangan di dalam hatinya.Tanpa membuang waktu lagi, ia berpura-pura memasang ekspresi ketakutan seraya buru-buru memakai kembali boxer juga celana panjangnya. Sementara, Elle yang terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya, hanya bisa bergeming. Otaknya seakan memerlukan lebih banyak waktu untuk mencerna maksud dari perilaku tak lazim yang dilakukan oleh seorang ibu kandung pada putra semata wayangnya sendiri. Sementara Pricillia hanya bisa
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Nalar dan adab sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Ia hanya ingin kembali merasakan sesuatu yang disebut surga duniawi.' *** "Se-sekarang Adam berada di rumah ... Diana." Seketika iris mata Thomas membulat dengan sempurna. Rahangnya tampak mengeras. Bahkan, gemuruh emosi terpancar jelas dari sorot matanya. Elle bahkan sempat bergidik ngeri ketika merasakan aura membunuh terpancar dari suaminya. Bagaimana Adam bisa tahu di mana sosok wanita itu berada? Apa selama ini mereka masih saling berhubungan satu sama lain? Apa wanita itu yang memaksa Adam untuk terus berhubungan dengannya? Pria paruh baya itu semakin dibuat frustasi oleh pikirannya sendiri. Perasaannya juga semakin was-was ketika ingatan akan perbuatan bejat mantan istrinya terhadap Adam kembali berputar di kepalanya. "Adam sudah mengirim lokasinya saat ini ke ponsel Pricillia. Jaraknya cukup jauh dari sini. Ja
'Suaranya seperti tercekat.Terlebih ketika dirinya harus menyebutkan nama dari sosok yang paling dibenci oleh suaminya.' *** "Umm ... Nick. Sepertinya Tante dan Pricillia harus pulang. Jadi, maaf karena malam ini kami tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Tapi, tenang saja. Besok kami akan kemari lagi. Selamat malam," ujar Elle usai menutup sambungan telepon dari Thomas. Pricillia langsung mengerutkan dahinya, menatap khawatir sang Ibu. Gadis bermanik biru langit itu kemudian menyentuh lengan Elle. Sentuhannya membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arahnya. Ketika iris mata mereka saling bertemu, Elle memberinya sebuah senyum yang tak sampai ke mata. Senyum yang terkesan dipaksakan. Menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pricillia. Jangan khawatir," ucap Elle kemudian mengajak Pricillia untuk bergegas ke kediaman Thomas. Gadis bernetra biru langit itu hanya diam dan mengikuti ibunya dari belakang. Meski Elle berkata tidak apa-apa, Pricillia tahu pasti ada yang tidak beres. Terliha
'Kalau kamu tetap tidak minta maaf hari ini juga. Maka uang beserta fasilitas yang telah Ayah sediakan untukmu akan Ayah sita selamanya!' *** Drap drap drap-- "Nick! Pricillia ... haahh ... ba-bagaimana ... keadaan Nick??" seru Elle dengan nada panik. Napasnya terengah-engah karena telah berlari dari depan gedung rumah sakit. {Tenang, Bu. Dokter sedang menanganinya,} sahut Pricillia lewat gerakan tangannya. Sementara itu, Adam yang juga ada di sana memilih duduk diam sambil menyilangkan kakinya. Tanpa berinisiatif untuk meminta maaf atau sekadar menjelaskan perbuatannya pada Elle. Ketika iris mata mereka bertemu, Elle langsung menegurnya dengan keras, "Adam, kenapa kamu melakukan itu? Meski dia bukan sepupu kandungmu. Tapi, kamu sadar 'kan kalau perbuatanmu itu sudah kelewat batas?" Matanya menilik tajam, seolah menuntut permintaan maaf. Adam membuang muka ke sembarang arah. Pemuda mix-raced itu hanya menghela napas panjang, malas menanggapi sikap ibu sambungnya yang menurutnya
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s