'Trust me, it will end soon.'
***
[Apa kamu yang bernama Adam?]
Usai membaca tulisan tersebut, si pemilik nama hanya mengangguk pelan. Tanpa ia sadari, kini sudut bibirnya naik membentuk senyuman. Senyum mematikan bagi para kaum hawa.
Gadis itu lalu mengambil buku sketsa berukuran kecil di dalam tas jinjingnya, membukanya halaman demi halaman.
[Halo, namaku Pricillia. Senang bertemu denganmu, Adam.]
Entah kenapa, pemuda itu jadi ingin menggodanya sedikit dengan melontarkan sebuah pertanyaan, "Kenapa tidak berbicara? Berbicaralah. Aku ingin mendengar suaramu."
Permintaannya membuat gadis yang diketahui bernama Pricillia itu sedikit tersentak. Seketika raut wajah serta sorot matanya berubah menjadi bingung sekaligus khawatir.
'Bagaimana ini?' batinnya cemas.
"Kenapa? Ayo bicaralah." Sekali lagi, Adam mendesaknya untuk berbicara.
Menghela napas pasrah, gadis itu pun akhirnya menuruti permintaannya. Sebelum berbicara, ia memasukan buku sketsanya ke dalam tas jinjingnya terlebih dahulu.
Ia tidak tahu apakah pemuda yang ada di hadapannya dapat mengerti. Tapi setidaknya ia harus mencobanya dulu, bukan?
Kembali menghela napas pasrah, gadis itu kemudian menggeleng pelan sembari menggerakan satu tangannya seolah memberi isyarat kalau dirinya tidak bisa berbicara dengan jelas.
Jemari lentiknya ia gerakan secara perlahan agar pemuda yang ada di hadapannya setidaknya dapat sedikit memahami inti dari kalimat yang ingin ia sampaikan.
{Aku. Tidak. Bisa. Berbicara. Normal.}
Mengamati sejenak gerakan tangan adik tirinya, Adam kemudian bertanya lagi, "Apa kamu punya gangguan berbicara?"
Pricillia kini menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan.
"Oh, baiklah." Pemuda itu hanya menanggapi seadanya saja.
'Ternyata dia bisu,' batinnya kemudian.
Tanpa membuang waktu lagi, gadis bersurai hitam itu melanjutkan perkenalan dirinya dengan menawarinya untuk berjabat tangan. Adam pun membalas jabatan tangannya dengan erat.
Ketika merasakan sensasi kulit mereka yang saling bersentuhan, sorot mata pemuda itu langsung memancarkan suatu hasrat kuat. Hasrat yang belum sempat tersalurkan.
Ketidakhadiran adik tirinya selama pertemuan keluarga sebulan sebelum acara pernikahan, menjadi alasan mutlak mengapa hasrat kuatnya belum juga tersalurkan hingga saat ini. Oleh karena itu, ia tidak mau rencananya gagal total karena ketidaksabarannya.
"Kenapa aku baru melihatmu? Ke mana saja dirimu selama ini?" tanya Adam sembari mempererat jabatan tangannya.
Pertanyaannya kembali membuat gadis itu tersentak. Namun, kali ini raut wajahnya tetap terlihat tenang. Mungkin karena ia tahu kalau kakak tirinya sudah tahu kalau dirinya bisu. Jadi tak ada yang perlu ia khawatirkan lagi.
Saat ia ingin menjawab pertanyaannya, Adam malah semakin mengeratkan genggaman tangannya. Itu membuat sang gadis sedikit kesulitan karena tangan yang satunya lagi masih ia gunakan untuk memegang tas jinjing.
Melihat Pricillia sedikit kesulitan, Adam pun melepas genggamannya dan mempersilakan gadis itu menjelaskan alasan atas ketidakhadirannya selama sebulan ini.
Usai menghela napas pelan, Pricillia menggerakan satu tangannya itu dengan tempo pelan, mengingat kakak tirinya hanya orang awam yang tak mengerti bahasa isyarat.
{Aku. Harus. Menyelesaikan. Persyaratan. Perpindahan. Kampus. Terlebih. Dahulu. Selama. Sebulan. Pe—}
"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu katakan," sela Adam dengan nada datar. Menghela napas kasar, pemuda itu kembali berkata, "Sudahlah itu tak penting lagi."
Deg!
Tak mau membuat suasana menjadi canggung, gadis itu kembali membuka buku sketsanya ke halaman selanjutnya. Menampilkan sebuah kalimat pertanyaan baru.
[Apa benar kamu berkuliah di The City College of New York?]
Adam kini hanya mengangguk, memilih untuk tidak bersuara. Gadis itu lalu membuka halaman selanjutnya.
[Kalau benar, berarti kita akan satu kampus, karena mulai besok aku akan berkuliah di sana juga. Di program studi Music Performance.]
Usai itu, ia membuka lagi halaman selanjutnya.
[Aku dengar kamu di program studi Fine/Studio Art ya?]
Adam kini hanya tersenyum penuh arti. Entah kenapa, melihat cara adik tirinya berbicara melalui tulisan membuatnya sedikit tergelitik. Menurutnya, cara adiknya itu terlihat begitu polos sekaligus kekanak-kanakan.
Lagi, gadis itu membuka halaman selanjutnya.
[Sekarang kamu sudah memasuki tingkat 2 'kan?']
Adam mengangguk lagi. Membiarkan dirinya diwawancarai oleh adik tirinya. Ia sengaja bersabar dan menjawab semua pertanyaannya, karena saat ini hasrat untuk memiliki adik tirinya sudah berada di puncak tertinggi.
[Baiklah, terima kasih untuk waktunya. Sampai jumpa di kampus besok.]
Gadis itu menutup buku sketsanya lalu memasukannya kembali ke dalam tas jinjingnya.
Baru saja ia berbalik arah untuk melangkahkan kakinya, Adam melingkari pinggang rampingnya lalu menariknya ke dalam sebuah pelukan. Membuat tubuh mereka saling bersentuhan.
Pemuda itu lalu mendekati telinganya dan berbisik, "Kamu pulang sendirian?"
Pricillia mengangguk pelan, tidak berani menatap manik hitamnya yang terlihat begitu indah dan mempesona. Gadis itu tidak ingin tersihir oleh pesona kuat milik kakak tirinya.
Namun tanpa gadis itu sadari, sedari tadi jantungnya sudah berdegup dengan cepat. Bahkan, muncul semburat merah di kedua pipinya ketika manik hitam legam kakak tirinya mengamati wajahnya dengan cukup intens.
Kedua manik hitamnya sibuk menjelajahi wajah cantik gadis yang sudah resmi menjadi adik tirinya itu. Otaknya sedang sibuk merekam tiap inci kemulusan serta keelokan yang adik tirinya miliki.
Pemuda mix-raced itu lalu melanjutkan aksinya dengan menawari gadis itu tumpangan ke apartemen.
"Kalau begitu aku bisa mengantarmu ke sana," bisiknya lagi. Ia semakin mengeratkan pelukannya, membuat gadis itu salah tingkah.
Tak ingin terus-menerus merasakan debaran jantung tak karuan miliknya, Pricillia menolak tawaran pemuda itu seraya memisahkan diri. Namun, tampaknya itu tidak membuat Adam menyerah. Ia kembali menarik lengan gadis itu dengan sedikit kasar.
"Sudah larut malam. Bagaimana kalau ada pria hidung belang yang menculikmu dan berbuat macam-macam padamu?"
Pricillia langsung bergidik ngeri. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri. Mau tak mau gadis itu setuju untuk diantar olehnya. Tanpa tahu masalah besar yang akan menimpanya sebentar lagi.
Adam langsung bersorak-sorai dalam hatinya karena rencananya untuk memiliki adik tirinya sebentar lagi akan terlaksana.
.
.
.
Setibanya di depan gedung apartemen miliknya, Pricillia dengan polosnya berterima kasih pada Adam sambil berjabatan tangan. Namun, saat ia ingin melepas genggaman tangannya, pemuda itu kembali menahannya.
Alhasil, gadis itu langsung menatapnya bingung. Sekali lagi, ia mencoba untuk melepas tangannya dari Adam, namun hasilnya sama seperti tadi.
Pricillia kini menatapnya dengan penuh tanda tanya, dahinya tampak berkerut.
Pemuda mix-raced itu langsung berkata dengan santai, "Bolehkah aku bermalam di sini? Jalan yang biasa kulewati sudah banyak preman bila sudah jam segini. Apa kamu tega membiarkan kakak tirimu ini dihajar oleh para preman hanya karena melintas di sana?"
Lagi, dengan polosnya gadis itu percaya dengan alasan klasik macam itu. Alasan yang keluar dari mulut manis kakak tirinya.
Alhasil, dengan berat hati ia mengijinkan pemuda itu ikut ke unit apartemennya untuk bermalam. Sekali lagi, tanpa tahu niat busuk kakak tirinya yang kini sudah menyeringai lebar penuh kemenangan.
.
.
Setelah masuk ke unit apartemennya, Pricillia langsung mengambil pakaian ganti, sebuah kaos polos dan celana hitam selutut di dalam lemarinya untuk Adam kenakan. Ia kemudian menyuruh pemuda itu untuk mandi terlebih dahulu.
Menggeleng pelan, pemuda itu kini berdalih, "Ini rumahmu 'kan? Kenapa tidak kamu duluan saja yang mandi? Aku bisa menunggu di sini." Pemuda itu lalu duduk di sofa.
Menghela napas pelan, Pricillia lagi-lagi menurutinya. Namun, sebelum berjalan ke dalam kamar mandi, ia memberikan pakaian ganti padanya terlebih dahulu.
Setelah gadis itu masuk ke dalam kamar mandi, Adam bangkit dari sofa lalu berjalan berkeliling untuk mengamati desain interior unit apartemen milik gadis itu.
Ia juga mengamati barang-barang milik adik tirinya yang masih tersusun rapi di dalam beberapa box. Tampaknya, gadis itu belum sempat menata semua barang-barangnya. Well, bisa dilihat dari kondisi unitnya yang masih tampak kosong, hanya ada perabotan yang memang telah disediakan oleh pihak pengelola apartemen.
Ketika ia tiba di depan pintu kamar berwarna beige milik Pricillia, ia masuk dan melihat kumpulan foto-foto masa kecil gadis itu yang sedang tersenyum sambil memegang piala di atas meja belajarnya. Selain itu, ia juga melihat foto masa kecil gadis itu yang sedang tersenyum dengan cerahnya.
Tanpa sadar, pemuda itu bergumam, "So beauiful." Dengan senyum tipis menghiasi wajah rupawannya.
Bukan hanya itu saja, ia juga mendapati sebuah tas hitam di sudut kamar tidurnya yang berisi biola berwarna putih dan juga sebuah gitar berwarna senada.
'So, she can playing violin and guitar, huh ...,' batinnya.
Setelah puas mengamati sekitar, pemuda mix-raced itu kembali melanjutkan tujuan awalnya. Sorot matanya kembali memancarkan hasrat yang terpendam. Ia berjalan ke arah kamar mandi sembari melepas pakaiannya lalu membuangnya ke sembarang arah.
Kreeekk—
Pemuda itu membuka pintu kamar mandi lalu masuk dengan perlahan. Di dalam sana ia disuguhi dengan pemandangan indah—tubuh basah—adik tirinya yang kini sedang dibilas dengan shower.
Mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Pricillia spontan menengok dan langsung membelakakan matanya ketika melihat sosok Adam ada di belakangnya.
Tubuhnya yang sudah tidak mengenakan apa-apa lagi memperlihatkan dengan jelas dada bidang dan otot-otot perutnya yang bagaikan binaragawan.
Gadis itu langsung menutup bukit kembarnya dengan kedua tangannya sembari berjalan mundur sampai punggungnya menabrak dinding kamar mandi. Posisi tubuh mereka yang saat ini saling berhadapan sukses memberikan suatu pemandangan eksklusif, yakni mahkota sekaligus pedang yang tidak tertutup satu helai benang pun.
"Well, I can't help it," ujar Adam dengan suara berat. Seketika itu juga, sorot matanya langsung memancarkan hasrat yang sudah tidak terbendung lagi.
Ia ingin segera menuntaskannya.
Tanpa aba-aba, Adam langsung mengurung tubuh Pricillia dengan kedua tangan kekarnya yang kini sudah menapak di dinding, mengapit tubuh mungilnya.
Manik mata mereka bertemu satu sama lain. Manik hitam legam bertemu dengan manik biru langit.
Sorot matanya yang intens, sukses membuat Pricillia terhanyut dan tanpa sadar membiarkan pemuda itu menyentuh sekaligus membelai lembut tubuhnya.
Reaksi yang Pricillia berikan sukses memunculkan seringai di wajah Adam. Sebelum melancarkan aksinya, ia mendekati telinga sang gadis dan berbisik dengan penuh gairah.
"Trust me, it will end soon."
To be Continued ...
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Permainan baru saja akan dimulai. Aku tidak akan membiarkanmu mencapai puncak kenikmatan, Sayang.' *** "Well... I can't hold it anymore. I desire you so intensely," desah Adam. Kini tangannya telah berpindah ke tubuh Pricillia, memeluknya dengan erat hingga bukit kembarnya bersentuhan dengan dada bidangnya. Pemuda itu kemudian membelai lembut tiap lekuk tubuhnya. Sentuhannya yang mengagumkan berhasil memberikan sensasi baru pada gadis itu. Matanya terpejam seolah menikmati setiap sentuhan yang diberikan kakak tirinya. Kini dirinya merasa seperti melayang ke langit ketujuh. Sebenarnya, ia ingin sekali memberontak dan berteriak meminta pertolongan. Namun, tubuhnya malah berbicara sebaliknya. Mulut bisa berbohong, tapi tubuhnya tidak bisa. Gadis itu ingin mengutuk tubuhnya sendiri karena tidak bisa berpura-pura. Air yang jatuh dari shower dan mengalir mengikuti lekukan tubuhn
'Ya, anggap saja dia tidak pernah ada di kehidupanku. Dengan begitu hidupku akan berjalan seperti semula.' *** Tik tok tik tok Suara dentang jarum jam terdengar teratur menemani sang pemilik rumah dalam kesedihannya. "Hiksss ... hikkkss hikksss, huuuhuu ...." Suara isak tangis pecah memenuhi ruang tengah yang awalnya sunyi. Tangisan Pricillia, gadis bersurai hitam sebahu yang baru saja mengalami sesuatu yang mengubah kehidupannya selama-lamanya. Ia benar-benar tak menyangka kalau malam itu adalah malam di mana ia melepas kesuciannya. Terlebih yang mengambilnya adalah pria yang kini sudah resmi menjadi kakak tirinya. Kenapa harus pemuda itu yang mengambilnya? Kenapa harus di malam yang seharusnya menjadi hari ia merayakan kebahagiaan pernikahan sang Ibu tercinta? Apakah ia tidak berhak atas kebahagiaan itu? Kenapa kakak tirinya tega melakukan itu semua padanya? Mengambil kesuciannya denga
'Kamu membuat kesalahan besar, Sayang—hmmmmpphh.' *** Pricillia berusaha melarikan diri dari kejaran kakak tirinya yang penuh nafsu. Emosinya memuncak, tangannya mengepal erat, ingin sekali meninju Adam sampai menghilang dari hidupnya. "Astaga! Dia masih mengejarku juga?? Apa masih belum puas dia melakukan kebejatannya semalam penuh denganku?" batin Pricillia dengan penuh emosi. Namun, tanpa disadari, tangan Pricillia sudah mengepal kuat, ingin sekali meninju Adam sampai ke segitiga bermuda, agar lenyap selamanya. "Hei, kenapa kabur? Aku 'kan hanya mau mengobrol saja denganmu," ujar Adam dengan wajah sok polos. Pricillia membuang muka ke arah lain, semakin merasa jijik dengan sikap kakak tirinya yang tidak tahu malu. Ia bahkan tidak sudi menatapnya meski hanya sekilas. 'Dia itu kenapa, sih?? Apa urat malunya sudah putus?!' umpatnya dalam hati. Gadis itu benar-benar tak habis pikir akan kepercayaan diri kakak tirinya yang setinggi gedung pencakar langit dan mukanya yang setebal
'You're mine now. No one can take you away from me.' *** Kreekk— Pintu kamar mandi terbuka, tampak seorang pemuda tampan bertubuh six-pack keluar dari sana dengan hanya berbalut handuk putih di sekitar area privasinya. Pemuda itu tidak lain adalah Adam. Saat ini ia baru saja selesai membersihkan dirinya usai menuntaskan 'pekerjaan'nya. Kini ia melangkah masuk ke kamar tidur yang mana di pintunya terpasang tulisan 'Pricillia's Room'. Mengamati sejenak desain interior ruangan tersebut yang tampak sedikit berbeda dari sebelumnya. Beberapa waktu berselang, ia melangkahkan kakinya ke ranjang bersprei putih yang sudah terlepas dari kasurnya. Di atas ranjang itu terdapat sosok gadis bersurai hitam yang sedang tidur meringkuk tanpa sehelai benang pun. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pemuda itu lalu duduk di tepi kasurnya untuk menyingkirkan helaian rambut yang meng
'Satu hal yang perlu kamu ingat. Jangan pernah macam-macam dengannya, atau kamu akan mengalami yang lebih parah dari ini. Mengerti?' *** Usai turun di halte dekat kampus. Pricillia kemudian melanjutkannya dengan berjalan kaki. Tanpa ia ketahui, salah satu mahasiswi dari kelompok penggemar Adam mengintipinya dari balik tembok pagar. Ketika ia sudah menapakkan kakinya di gerbang kampus. Mahasiswi tersebut langsung menarik lengannya dengan kasar dan membawanya ke belakang bangunan kampus. Pricillia kaget bukan main ketika mahasiswi tersebut menarik lengannya secara kasar. Beberapa kali ia mencoba melepas cengkraman tangan mahasiswi tersebut. Namun, cengkraman di lengannya semakin kuat sampai membuatnya merintih kesakitan. BRUKK! Mahasiswi tadi mendorong tubuh Pricillia hingga tersungkur ke jalanan beraspal. "Aaw ...," rintihnya ketika merasakan jeansnya robek dan membuat lututnya terluka akibat bergesekan dengan aspal. "Heh! Bangun!" bentak mahasiswi lainnya. Pricillia tidak men
'Dari kabar yang beredar selama ini di kalangan mahasiswa, Adam memang dijuluki sebagai seorang womanizer. Sudah banyak wanita yang telah tidur dengannya.' *** "Jadi, bagaimana? Mau atau tidak?" tanya Adam sembari menatapnya sinis. Pricillia hanya menatapnya dalam hening. Tidak menolak, tapi juga tidak menyetujuinya. Sepertinya ia sedang mempertimbangkan dampak baik dan buruknya bila menerima tawaran pemuda itu, terlebih setelah mendapat perlakuan kasar dari para fans fanatiknya. Setelah hening cukup lama, gadis bersurai hitam itu melangkahkan kakinya kembali ke arah halte. Sikapnya membuat kakak tirinya itu bertanya-tanya. 'Apa itu artinya dia menolak tawaranku?' batin Adam penuh tanda tanya. Menghela napas kasar, kini pemuda itu memutuskan untuk turun dari motornya kemudian ikut duduk di kursi sebelahnya. "Apa kamu yakin menolak tawaranku?" tanyanya lagi. Pricillia masih tidak menunjukan reaksi apapun. Hal itu membuatnya sedikit frustasi dan menghela napas kasar lagi untuk ya
'Kamu akan semakin merasakan sakit bila berani menggoda Adamku tersayang. Mengerti?'***Deg deg—'Kok perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak ya? Apa jangan-jangan si brengsek itu masuk ke unit apartemenku??' batin Pricillia dengan gelisah ketika mengingat kalau kartu aksesnya masih ada pada kakak tirinya.Saat ini dirinya sedang makan malam bersama tantenya dan semua anak panti.Melihatnya melamun seperti itu, tante Helena menegurnya dengan bertanya, "Pricillia, ada apa? Kamu belum menyentuh makananmu sama sekali, lho."Suara tantenya sukses membuat Pricillia tersadar dari pikirannya dan mulai menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya.'Aku harus secepatnya merebut kembali kartu aksesku dari pria itu. Semoga saja besok aku tidak bertemu dengan Linda dan gengnya itu,' batinnya sembari mengunyah makanan di mulutnya....Keesokannya, Pricillia memutuskan u
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Please ... I want you to stay with me.' *** “Baiklah. Sekarang kembali ke urusan kita yang belum selesai.” Tanpa aba-aba, Adam menarik paksa pergelangan tangan Pricillia dan menyuruhnya untuk ikut naik ke motor ninjanya. ‘Eeehhh?? Mau apa diaaa?? Seseorang tolong akuuuu!!’ pekik Pricillia dalam hatinya dengan nada panik. “Berhenti memberontak!” bentak Adam sembari mencengkram kedua pergelangan tangan gadis itu agar berhenti melawannya. Bentakannya sukses membuat Pricillia tertegun sesaat, kedua manik biru langitnya kini memancarkan rasa takut. Ditambah dengan sorot mata tajam dari pemuda itu yang semakin menguatkan rasa takutnya. Usai menghela napas kasar, Adam akhirnya melunak, “Bisakah sekali saja kamu menuruti perkataanku?” Sorot mata Pricillia seolah melontarkan pertanyaan ‘Kenapa aku harus menurutimu?’ padanya. “Karena aku ini sudah menjadi kakakmu! Suka atau tidak
'Mereka tahu bahwa masa depan hubungan keluarga ini bergantung pada seberapa baik mereka bisa menyembunyikan kebenaran yang ada' *** Dalam suasana malam yang tenang, Adam dan Pricillia melangkah masuk ke ruang tamu rumah mereka setelah menghabiskan waktu berkencan di tepi danau. Kesan manis perjalanan mereka masih menggelayut di udara, namun atmosfer hangat itu terhenti ketika mereka berhadapan dengan Thomas, ayah mereka, yang duduk di sofa sambil sibuk dengan iPad di tangannya. Cahaya dari layar elektronik itu menyoroti ekspresi waspada di wajah Thomas, menciptakan ketegangan yang dapat dirasakan di ruangan itu. Thomas menyapa mereka dengan nada ramah, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam. Dengan pertanyaan yang seakan-akan mencari jawaban, ia bertanya, "Habis dari mana kalian berdua? Dan kenapa baru pulang sekarang?" Adam dengan sigap menjawab, "Kami baru saja menonton film di bioskop, Ayah." Sementara Pricillia hanya mengangguk setuju, berusaha men
'Apakah ini benar-benar baik untuk kita? Ataukah kita semakin terjebak dalam labirin yang kelam?' *** Percikan cahaya bulan membingkai malam mereka saat Adam dan Pricillia memasuki wilayah terlarang untuk menjalani kencan mereka. Mereka berdua berdiri di tepi danau yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan yang gelap dan menyiratkan keadaan misterius. Adam memandang Pricillia dengan senyum licik yang sulit diartikan. Malam itu, bulan bersinar cerah, menerangi langkah mereka yang melangkah ke wilayah terlarang. Adam memimpin Pricillia melintasi pinggir danau yang sunyi, diapit oleh pepohonan rimbun yang memancarkan aura misterius. Dalam sorotan cahaya bulan, wajah Adam terangkat, senyumnya menciptakan ketegangan yang sulit dipahami di antara mereka. Pricillia, berdiri di sampingnya, merasakan getaran emosional yang mengalir dalam kegelapan malam. "Selamat datang di tempat paling eksklusif untuk berkencan, Pricillia," ujar Adam samb
'Kita sudah menjalani petualangan ini cukup lama, dan sekarang, kita akan menjelajah wilayah yang lebih gelap dan rumit.' *** "Oke, kalau memang itu yang kamu mau, jangan salahkan aku kalau besok berita tentang hubungan kita yang tak seharusnya menyebar ke seluruh kampus." Deg deg! Ucapan itu dari mulut Adam berhasil menghidupkan kembali kenangan akan perlakuan buruk dan cemoohan yang pernah dialami Pricillia di kampus. Tubuhnya tiba-tiba lemas, terutama saat membayangkan betapa hancurnya hati ibunya nanti ketika mengetahui tentang hubungan mereka yang tak seharusnya. Dunianya kembali terasa gelap, sunyi, dan sepi. Tak ada siapa pun di sana, kecuali dirinya dan Adam. Perasaan bersalah kembali menyergap Pricillia. Pikirannya menjadi kacau. Terlebih lagi, tatapan pemuda berkulit hitam itu bagaikan rantai yang mengikat tubuhnya kuat, membuatnya sulit untuk bernapas. Lidahnya terasa kelu, tak bisa mengeluarkan suara atau sepatah kata pun. Entah mengapa semuanya terasa begitu sulit
'Tapi tekadnya kembali digoyahkan ketika suara berat Adam yang penuh intimidasi itu masuk ke telinganya.' *** "BA*INGAN! KEPA*AT!!!" Sudah di ambang batas kesabaran, Thomas langsung bergegas ke arah wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya. Tanpa aba-aba, pria paruh baya itu langsung melayangkan pukulan sekaligus tamparan keras. Serangannya yang tanpa ampun menyebabkan kepala Diana terbentur lantai dengan cukup keras. Hingga darah segar mengalir dari pelipisnya. Melihat ayahnya murka seperti itu, Adam bersorak penuh kemenangan di dalam hatinya.Tanpa membuang waktu lagi, ia berpura-pura memasang ekspresi ketakutan seraya buru-buru memakai kembali boxer juga celana panjangnya. Sementara, Elle yang terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya, hanya bisa bergeming. Otaknya seakan memerlukan lebih banyak waktu untuk mencerna maksud dari perilaku tak lazim yang dilakukan oleh seorang ibu kandung pada putra semata wayangnya sendiri. Sementara Pricillia hanya bisa
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Nalar dan adab sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Ia hanya ingin kembali merasakan sesuatu yang disebut surga duniawi.' *** "Se-sekarang Adam berada di rumah ... Diana." Seketika iris mata Thomas membulat dengan sempurna. Rahangnya tampak mengeras. Bahkan, gemuruh emosi terpancar jelas dari sorot matanya. Elle bahkan sempat bergidik ngeri ketika merasakan aura membunuh terpancar dari suaminya. Bagaimana Adam bisa tahu di mana sosok wanita itu berada? Apa selama ini mereka masih saling berhubungan satu sama lain? Apa wanita itu yang memaksa Adam untuk terus berhubungan dengannya? Pria paruh baya itu semakin dibuat frustasi oleh pikirannya sendiri. Perasaannya juga semakin was-was ketika ingatan akan perbuatan bejat mantan istrinya terhadap Adam kembali berputar di kepalanya. "Adam sudah mengirim lokasinya saat ini ke ponsel Pricillia. Jaraknya cukup jauh dari sini. Ja
'Suaranya seperti tercekat.Terlebih ketika dirinya harus menyebutkan nama dari sosok yang paling dibenci oleh suaminya.' *** "Umm ... Nick. Sepertinya Tante dan Pricillia harus pulang. Jadi, maaf karena malam ini kami tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Tapi, tenang saja. Besok kami akan kemari lagi. Selamat malam," ujar Elle usai menutup sambungan telepon dari Thomas. Pricillia langsung mengerutkan dahinya, menatap khawatir sang Ibu. Gadis bermanik biru langit itu kemudian menyentuh lengan Elle. Sentuhannya membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arahnya. Ketika iris mata mereka saling bertemu, Elle memberinya sebuah senyum yang tak sampai ke mata. Senyum yang terkesan dipaksakan. Menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pricillia. Jangan khawatir," ucap Elle kemudian mengajak Pricillia untuk bergegas ke kediaman Thomas. Gadis bernetra biru langit itu hanya diam dan mengikuti ibunya dari belakang. Meski Elle berkata tidak apa-apa, Pricillia tahu pasti ada yang tidak beres. Terliha
'Kalau kamu tetap tidak minta maaf hari ini juga. Maka uang beserta fasilitas yang telah Ayah sediakan untukmu akan Ayah sita selamanya!' *** Drap drap drap-- "Nick! Pricillia ... haahh ... ba-bagaimana ... keadaan Nick??" seru Elle dengan nada panik. Napasnya terengah-engah karena telah berlari dari depan gedung rumah sakit. {Tenang, Bu. Dokter sedang menanganinya,} sahut Pricillia lewat gerakan tangannya. Sementara itu, Adam yang juga ada di sana memilih duduk diam sambil menyilangkan kakinya. Tanpa berinisiatif untuk meminta maaf atau sekadar menjelaskan perbuatannya pada Elle. Ketika iris mata mereka bertemu, Elle langsung menegurnya dengan keras, "Adam, kenapa kamu melakukan itu? Meski dia bukan sepupu kandungmu. Tapi, kamu sadar 'kan kalau perbuatanmu itu sudah kelewat batas?" Matanya menilik tajam, seolah menuntut permintaan maaf. Adam membuang muka ke sembarang arah. Pemuda mix-raced itu hanya menghela napas panjang, malas menanggapi sikap ibu sambungnya yang menurutnya
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s