Miranda kembali santai setelah mengatar makanan Armand. Restoran kembali sepi. Perempuan itu berdiri di pantry bersama Nia, yang asik bercerita. Tapi sayangnya, dia tidak mendengarkan sahabatnya itu.
Dia diam-diam mengamati Armand yang sedang menyantap makanannya. Entah kenapa dia mempunyai firasat buruk terhadap pria itu. Pasalnya aneh sekali. Padahal seumur hidupnya belum ada pria asing yang mengajaknya berkenalan. Apa lagi pria itu sangat tampan. Tentu Miranda merasa heran. Apa alasan pria itu mengajaknya berkenalan? Biasanya pria asing mengajak perempuan berkenalan itu karena punya ketertarikan. Tapi menengok siapa dirinya, rasanya tidak mungkin jika pria itu tertarik dengannya. Lantas apa alasan pria bernama Revan itu mengajaknya berkenal? Apa benar hanya ingin berteman? “Iya, kan, Mir?” Nia menepuk pundak Miranda. Membuyarkan Intan dari keterpakuannya. Miranda terkesiap, “Apa, Nya. Kamu ngomong apa?” Nia menepuk dahinya, “Kamu dari tadi bengong, Mir. Tidak mendengarkan aku bicara.” Miranda menyengir kuda, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya Tuhan. Jadi sedari aku mencerocos bicara tapi tidak kamu dengarkan.” Nia mendesis tajam, “Memang ada apa sih? Kenapa kamu bengong?” “Ah, itu.” Miranda menggaruk tengkuknya, ragu bercerita. Dahi Miranda berkerut, menatap penuh selidik sahabatnya itu, “Apa?” “Itu.” Miranda melirik Armand yang tampak khidmat menyantap makannya. “Ada apa lagi dengan pria itu? Apa dia mengatakan sesuatu yang menyakiti hatimu?” Miranda menggeleng. “Dia tadi mengajakku berkenalan.” “Oh, ya?” Miranda mengangguk. “Siapa namanya?” “Armand.” Nia mengangguk-angguk, “Lantas apa yang membuatmu ke pikiran? Bukankah tidak ada yang salah jika dia mengajakmu berkenalan?” “Tidakkah menurutmu sangat aneh kenapa dia tiba-tiba ingin berkenalan denganku?” Nia mengedikan bahu, “Aneh? Memang apanya yang aneh? Dia hanya ingin mengenalmu. Tidak ada yang salah dengan itu.” “Dalam konteks ini tentu ada, Nia. Pria mengajak perempuan berkenalan pasti ada alasannya.” “Alasan?” Miranda mengangguk, “Jika, pria mengajak perempuan berkenalan biasanya mereka punya ketertarikan dengan lawan jenisnya. Tapi dalam konteksku. Sepertinya pria itu tidak mungkin tertarik denganku. Entah kenapa aku memiliki firasat buruk dengannya.” “Tidak selalu, Miranda. Bisa saja dia hanya ingin berteman denganmu. Jadi, buang firasat burukmu itu.” “Kamu percaya perempuan dan lelaki bisa berteman, Nya?” “Tentu. Kenapa tidak?” Miranda berdecak, “Pikiranmu polos sekali untuk orang yang berpengalaman dalam berpacaran.” “Lantas menurutmu bagaimana?” “Kalau aku tentu tidak, Nia. Jika pria dan perempuan berteman pasti salahnya ada perasaan berat sebelah. Kalau tidak pria, ya perempuan.” “Jadi, menurutmu pria itu tertarik denganmu?” “Aku tidak berpikir begitu, Nia. Pria tampan seperti itu, mana mungkin tertarik kepada – “ Miranda tidak bisa menyelesaikan kata-katanya kala melirik Armand berjalan ke arah kasir untuk melakukan transaksi yang letaknya tidak jauh darinya dan Nia berdiri. Sepertinya pria itu sudah selesai makan. Nia dan Miranda mendadak salah tingkah. Saling melirik karena pria yang mereka bicarakan berdiri di antara mereka. Hal yang kedua itu tidak duga, setelah melakukan transaksi, Miranda menyapa Intan dengan ramah, “Hai, Miranda. Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa lagi besok.” Miranda terkesiap. Tidak siap dengan sapaan pria itu hanya mengangguk-angguk. Pun dengan Nia. Namun alih-alih terpana pria itu menyapa Miranda, dia justru terpana dengan ketampanan pria itu yang jauh lebih tampan jika dilihat dari dekat. Dia jadi bertanya-tanya dalam hati. Benarkah pria tampan ini mengajak Miranda berkenalan? “Woah, dia tampan sekali jika terlihat dari dekat.” Nia berdecak penuh kagum. Miranda tidak berkomentar. Tentu dia juga mengakui jika pria itu memang tampan. Sebab itulah dia merasa heran kenapa pria itu mengajaknya berkenalan. Tidak hanya Miranda yang merasa heran. Darah – sang kasir yang melihat pria tampan tadi menyapa Intan juga terkejut. Bagaimana bisa pria tampan itu mengenal Miranda? Tidak ingin mati penasaran, Darah meninggalkan meja kasirnya. Menghampiri Miranda dan bertanya, “Kamu kenal dengan pria tadi, Mira?” Miranda menggeleng, “Tidak juga.” “Tapi tadi dia menyapa kamu? Jelas dia mengenal kamu.” “Kami baru saja berkenalan saat aku mengantar makannya tadi,” jawab Miranda apa adanya. Mata Darah seketika membola, “Kamu berkenalan dengannya? Sungguh?” Miranda mengangguk. Darah tersenyum miring, “Kamu pasti duluan yang menggodanya? Mengajaknya berkenalan? Iya, kan?” “Enak saja! Big no. Dia yang mengajakku berkenalan lebih dulu,” sanggah Miranda, tidak terima. Sorry, ya, walau pun jelek-jelek begini, dia tidak pernah kecentilan dengan pria. Pantang baginya. Darah berdecih, memandang Mirana dari atas sampai bawah dengan remeh, “Itu tidak mungkin? Pria setampan dia mana mungkin mau berkenalan dengan kamu. Ya, kecuali yang kamu yang kegenitan lebih dulu.” “Jaga bicara kamu. Memang apa salahnya jika pria itu mengajak Intan berkenalan?” tanya Nia yang tidak suka temannya dituduh. Darah menggeleng kepala, “Kamu ini naif atau bodoh sekali, Nia. Bisa-bisa percaya ucapan Intan. Pria tadi jelas tidak mungkin mengajak Intan terlebih dulu. Secara temanmu ini jelek. Jauh dari kata menarik.” Nia hendak menyanggah, tapi Miranda berucap lebih dulu, “Terserah apa pendapat kamu.” malas menjelaskan. Toh, Darah tidak mungkin percaya. Sejak mereka di masa training, perempuan itu tidak suka dengannya. Apa yang dia katakan tidak mungkin didengar. Darah mendengus, sebelum pergi, dia berucap, “Dasar murahan!” “Hais, dia.” Nia meradang mendengar penuturan Darah. Dia hendak menghampiri perempuan itu. Memberi pelajaran, tapi Intan menahannya, “Sudah biarkan saja. Jangan menimbulkan masalah. Nanti kita kena pecat.” Nia menarik napas dalam mengontrol emosinya. “Tuh, kan, Darah saja heran. Kamu saja yang merasa tidak.” Miranda kembali membahas apa yang masih menjadi keheranannya. “Itu karena Darah tidak senang sama kamu, Mir. Makanya dia tidak percaya,” tukas Nia, “Entah dia punya dendam kesumat apa sama kamu? Sejak dulu kenapa dia tidak suka sama kamu? Dan kamu terima saja saat dia mengejek kamu.” Miranda mengedikan bahu, “Entahlah. Aku rasa sejak bertemu dengannya, aku tidak pernah menyinggungnya. Mungkin sudah hukum alamnya. Tidak semua orang di dunia ini menyukai kita, pun sebaliknya. Jadi, biarkan saja. Tidak usah ambil pusing.” *** “So, bagaimana rencana kamu, Ar?” tanya Leonel, meletakan gelas alkohol di atas meja. Kini empat sahabat baik itu sedang berkumpul di ruang VVIP sebuah klub malam. “Berjalan dengan lancar. Hari ini kamu sudah berkenalan.” “Hanya berkenalan?” Dahi Gio berkerut. Armand mengangguk, “Santai saja. Aku masih punya waktu enam hari lagi. Tidak usah terburu-buru.” “Memang kamu yakin bisa memenangkan hatinya, Ar?” timpal Marcus.” “Kamu meremehkanku, Mark?” “Bukan begitu. Hanya saja dia sepertinya kata Leonel, perempuan itu sepertinya sulit di dekati.” “Aku, Armand Kafeel Pramudya. CEO World Group, tidak pernah ada kata kalah dalam kamusku,” ucap Armand penuh percaya diri. Gio mengedikan bahu, “Kita lihat saja nanti. Hati-hati, Mand. Bisa-bisa kamu jatuh hati sungguhan dengannya. Awas jangan sampai hanyut dengan permainan sendiri." Armand mendengus. Itu tidak akan pernah terjadi. Dia tidak akan takluk lagi dengan yang namanya perempuan. Cukup satu kali. Pernah dikhianati membuatnya tidak percaya lagi dengan yang namanya perempuan. “Kamu mau ke mana, Mark?” tanya Leonel ketika melihat Marcus beranjak, membenarkan pakaian. “Tentu mencari gadis. Mumpung sudah ada di sini aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.” “Kalau begitu aku ikut.” “Aku juga,” timpal Gio. “Kamu?” Marcus melirik Armand. Armand menggeleng, “Kalian saja.” “Okey, kalau begitu kami bersenang-senang dulu.” Armand tidak menganggapi, setelah kepergian sahabat-sahabatnya itu, dia termangu. Memikirkan rencana bagaimana mendekati Miranda. Jujur, sedikit cemas. Ucapan Marcus tadi terngiang di kepalanya. Bagaimana kalau Intan bukan gadis yang mudah didekati? “Tidak, tidak. Aku pasti bisa mendekati perempuan itu,” gumam Armand. Menyangkal kekhawatirannya itu.Armand mendesah ketika melihat jam di pergelangannya sudah menunjukkan jam dua belas siang. Waktunya istirahat. Makan siang. Armand lekas menonaktifkan komputernya, beranjak dari kursi kebesarannya. Kalau boleh jujur sebenarnya malas makan siang di luar. Pekerjaannya menumpuk. Dia lebih suka makan siang kantornya sambil memeriksa berkas. Namun demi melancarkan misinya menaklukkan gadis bernama Miranda itu, dia tidak punya pilihan. Apa boleh buat. Dengan berat hati dia menjeda sejenak pekerjaannya. Bahkan Davin – Sekretaris Armand itu juga merasa heran. Tidak biasanya bos mereka meninggalkan meja kerjanya selain pulang. Namun sebagai sekretaris yang baik, tidak ambil pusing. Enggan ikut campur. Dan kebetulan sekali ketika Armand tiba di restoran itu, Miranda berada di pantry. Dengan senyum tampan di wajahnya, dia menyapa pria itu, “Hai.” *** Miranda yang baru kembali ke pantry usai membersihkan meja yang baru ditinggal pengunjung tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ket
Miranda menarik napas panjang, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan kasar setiba di kosan. “Kenapa kamu?” Nia – yang baru keluar dari kamar mandi bertanya. Hari ini perempuan itu libur untuk memindahi barang-barangnya ke kosan Miranda. Beberapa hari yang lalu, mereka berdua sudah sepakat tinggal bersama untuk meringkan biaya tempat tinggal. Karena Nia juga anak rantauan. Datang ke kota untuk mengadu nasib sama seperti Miranda. Dan nasib mereka juga tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara dan tidak memiliki figur ayah lagi. Sebab itulah mereka jadi dekat dari dulu sampai sekarang hingga berani memutuskan tinggal bersama. “Capek, ya? Memang restoran hari ini ramai?” tanyanya lagi kala Miranda tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Sambil mengeringkan handuk dengan rambut, dia ikut duduk di samping Miranda yang terbaring. Miranda menggeleng, “Tidak juga.” “So? Apa yang membuat kamu lusuh sekali?” Miranda melirik sang sahabat, beringsut duduk, “K
Brak. Miranda sedang memasukkan tasnya ke dalam loker ketika Darah menutup pintu lokernya dengar kasar. Membuatnya terlonjak karena kaget. Untung tangannya sudah berada di luar. Jika masih di dalam bisa di pastikan tangannya cacat. Karena aksi tidak sopan Darah, Miranda menatap perempuan itu dengan nanar, penuh amarah, “Kamu apa-apaan, Dar? Apa masalahmu?” “Apa hubunganmu dengan pria itu?” tanya Darah dengan nada sinis miliknya setiap kali berhadapan dengan Miranda. Dahi Miranda berkerut menatap Darah, “Pria siapa maksudmu?” “Pria yang menyapamu hari itu? Siapa dia? Apa hubungan kalian? Kenapa dia mencarimu tadi?” “Maksudmu Armand? Dia datang lagi?” tukas Miranda dengan alis bertaut. Melupakan sejenak kesinisan Darah. Dia tidak menduga jika Armand datang lagi. Untungnya hari ini, dia berniat menukar jadwalnya dengan Nia. Jadi mereka tidak perlu bertemu. “Oh, jadi namanya Armand.” “Oh, jadi namanya Armand?” Darah tersenyum sinis, “Apa hubungan kalian? Bagaimana kamu bisa
“Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S
Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr
“Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La
“Hoam!” Miranda menguap lebar setelah mereka dalam perjalanan pulang. Lelah bekerja dan jalan-jalan bersama Armand tadi, ditambah perut kenyang membuatnya mengantuk. Namun dia berusaha tetap terjaga. Takut Armand berbuat macam-macan dengannya. Walau sebenarnya apa yang harus dilihat dari. Dia tidak menarik. Tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Armand khilaf.“Tidur saja jika mau tidur. Kalau sudah sampai nanti aku akan membangunkan,” ucap Armand melirik Miranda yang sudah beberapa kali menguap.“Tidak. Aku tidak mengantuk, hanya menguap saja,” elak Miranda.“Begitu, ya?” Armand mengangguk-angguk. Tidak lagi berkomentar. Padahal dia tahu betul Miranda sedang berbohong. Terlihat jelas sekali mata perempuan itu terlihat kuyu sekali. Entah apa alasan perempuan itu menahan kantuknya.Lima menit kemudian, Miranda tidak kuasa lagi menahan kantuknya. Perempuan itu jatuh tertidur.Armand yang melihat itu hanya tersenyum tipis, fokus mengemudi.Dua puluh menit kemudian mereka sampai. Armand
Miranda mendesa lega setelah melihat mobil Armand melaju meninggalkan halaman kosannya melalu kaca jendela. Rasanya beban di dadanya terangkat setelah mengatakan yang apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir. Dia harap pria itu mendengarkan ucapannya tadi. Tidak menemuinya lagi. Jadi dia tidak perlu merasa waspada lagi. Alasan pria itu menyukainya tidak cukup membuatnya percaya. Tidak begitu kuat. Hanya karena dia mengembalikan uang kembali yang lebih dan membantu seorang kakek menyeberang jalan raya, Armand tertarik padanya? Sungguh? Miranda menggeleng. Itu tidak mungkin. Hal yang dia lakukan itu terlalu kecil untuk membuat pria tampan dan kaya seperti Armand tertarik kepadanya. Sementara dia sering melalukan kebaikan lebih dari itu. Seperti memberi fakir miskin di jalan, memberi donasi kepada orang yang membutuhkan setiap bulannya. Tetapi, tetap tidak membuat mantan kekasihnya dulu jatuh hati kepadanya. Pria itu hanya menganggapnya uang berjalan saja. Bagi Miranda, alasan Arman
“Hoam!” Miranda menguap lebar setelah mereka dalam perjalanan pulang. Lelah bekerja dan jalan-jalan bersama Armand tadi, ditambah perut kenyang membuatnya mengantuk. Namun dia berusaha tetap terjaga. Takut Armand berbuat macam-macan dengannya. Walau sebenarnya apa yang harus dilihat dari. Dia tidak menarik. Tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Armand khilaf.“Tidur saja jika mau tidur. Kalau sudah sampai nanti aku akan membangunkan,” ucap Armand melirik Miranda yang sudah beberapa kali menguap.“Tidak. Aku tidak mengantuk, hanya menguap saja,” elak Miranda.“Begitu, ya?” Armand mengangguk-angguk. Tidak lagi berkomentar. Padahal dia tahu betul Miranda sedang berbohong. Terlihat jelas sekali mata perempuan itu terlihat kuyu sekali. Entah apa alasan perempuan itu menahan kantuknya.Lima menit kemudian, Miranda tidak kuasa lagi menahan kantuknya. Perempuan itu jatuh tertidur.Armand yang melihat itu hanya tersenyum tipis, fokus mengemudi.Dua puluh menit kemudian mereka sampai. Armand
“Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr
Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d
“Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S
Brak. Miranda sedang memasukkan tasnya ke dalam loker ketika Darah menutup pintu lokernya dengar kasar. Membuatnya terlonjak karena kaget. Untung tangannya sudah berada di luar. Jika masih di dalam bisa di pastikan tangannya cacat. Karena aksi tidak sopan Darah, Miranda menatap perempuan itu dengan nanar, penuh amarah, “Kamu apa-apaan, Dar? Apa masalahmu?” “Apa hubunganmu dengan pria itu?” tanya Darah dengan nada sinis miliknya setiap kali berhadapan dengan Miranda. Dahi Miranda berkerut menatap Darah, “Pria siapa maksudmu?” “Pria yang menyapamu hari itu? Siapa dia? Apa hubungan kalian? Kenapa dia mencarimu tadi?” “Maksudmu Armand? Dia datang lagi?” tukas Miranda dengan alis bertaut. Melupakan sejenak kesinisan Darah. Dia tidak menduga jika Armand datang lagi. Untungnya hari ini, dia berniat menukar jadwalnya dengan Nia. Jadi mereka tidak perlu bertemu. “Oh, jadi namanya Armand.” “Oh, jadi namanya Armand?” Darah tersenyum sinis, “Apa hubungan kalian? Bagaimana kamu bisa
Miranda menarik napas panjang, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan kasar setiba di kosan. “Kenapa kamu?” Nia – yang baru keluar dari kamar mandi bertanya. Hari ini perempuan itu libur untuk memindahi barang-barangnya ke kosan Miranda. Beberapa hari yang lalu, mereka berdua sudah sepakat tinggal bersama untuk meringkan biaya tempat tinggal. Karena Nia juga anak rantauan. Datang ke kota untuk mengadu nasib sama seperti Miranda. Dan nasib mereka juga tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara dan tidak memiliki figur ayah lagi. Sebab itulah mereka jadi dekat dari dulu sampai sekarang hingga berani memutuskan tinggal bersama. “Capek, ya? Memang restoran hari ini ramai?” tanyanya lagi kala Miranda tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Sambil mengeringkan handuk dengan rambut, dia ikut duduk di samping Miranda yang terbaring. Miranda menggeleng, “Tidak juga.” “So? Apa yang membuat kamu lusuh sekali?” Miranda melirik sang sahabat, beringsut duduk, “K
Armand mendesah ketika melihat jam di pergelangannya sudah menunjukkan jam dua belas siang. Waktunya istirahat. Makan siang. Armand lekas menonaktifkan komputernya, beranjak dari kursi kebesarannya. Kalau boleh jujur sebenarnya malas makan siang di luar. Pekerjaannya menumpuk. Dia lebih suka makan siang kantornya sambil memeriksa berkas. Namun demi melancarkan misinya menaklukkan gadis bernama Miranda itu, dia tidak punya pilihan. Apa boleh buat. Dengan berat hati dia menjeda sejenak pekerjaannya. Bahkan Davin – Sekretaris Armand itu juga merasa heran. Tidak biasanya bos mereka meninggalkan meja kerjanya selain pulang. Namun sebagai sekretaris yang baik, tidak ambil pusing. Enggan ikut campur. Dan kebetulan sekali ketika Armand tiba di restoran itu, Miranda berada di pantry. Dengan senyum tampan di wajahnya, dia menyapa pria itu, “Hai.” *** Miranda yang baru kembali ke pantry usai membersihkan meja yang baru ditinggal pengunjung tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ket