Share

Bab 3

Penulis: Awan Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-10 13:46:46

Bruk.

Miranda menghempaskan tubuhnya dengan kasar di tempat tidur setiba di kosannya. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu seperti yang biasa lakukan. Dia sudah tidak tahan lagi, tubuhnya terlalu penat untuk melakukan hal tersebut. Restoran tempatnya bekerja begitu ramai. Dia ingin merilekskan sejenak tubuhnya.

Selagi menyantaikan diri, Miranda menerawang langit kosannya. Mengingat kejadian yang terjadi hari ini. Ingatan Intan terjadi saat dia melayani empat pria tampan tadi di restoran. Masih terngiang jelas dalam ingatan Miranda bagaimana salah satu pria itu menghinanya tadi. Meremehkan dirinya.

Miranda rasanya kesal sekali jika mengingat kejadian itu. Memang apa salahnya jika orang jelek sepertinya bekerja di tempat yang elit? Apa orang yang bekerja di tempat yang bagus hanya boleh orang yang cantik dan tampan saja? Orang jelek sepertinya tidak layak. Tidak peduli seberapa bagus kinerjanya. Lantas di manakah tempat yang layak untuk orang jelek sepertinya? Dan apa pekerjaannya? Petani? Tukang cuci? Art?

Huft.

Miranda menghela napas panjang. Memikirkan itu membuat tubuhnya yang sudah letih semakin letih. Tidak ingin lebih malas lagi, Miranda beranjak dari tempat tidur. Membersihkan diri.

Usai makan malam, Miranda memainkan ponselnya sejenak. Tepat pukul sepuluh malam, dia memutuskan untuk berselancar ke alam mimpinya. Entah itu indah atau tidak. Dia tidak ingin terlambat berangkat kerja besok.

Esok pagi harinya, Miranda terbangun dengan tubuh remuk redam. Efek kerja kemarin. Rasanya dia malas sekali bekerja hari ini. Tapi, mengingat ada tiga orang yang dia kasih di kampung harus diberi nafkah, Miranda mengesamping lelahnya. Beranjak dari tempat tidur.

Tiga puluh menit kemudian, Miranda sudah rapi. Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, dia melirik sekali lagi kelabatnya di cermin. Memastikan penampilan. Setidaknya walau tidak cantik, dia harus rapi.

Matahari bersinar cerah, langit biru dengan awan putih mengepul sejauh mata memandang saat Miranda keluar dari kosannya. Hari yang cerah untuk memulai aktivitas. Dengan semangat Miranda menggayuh kakinya menuju tempat kerjanya. Jarak kosan dan tempat kerjanya memang tidak jauh, dia hanya butuh waktu sepuluh menit hanya dengan berjalan kaki.

Miranda datang ke kota ini lima tahun silam. Sebagai sulung tiga bersaudara, dia nekat merantau ke kota untuk membantu sang ibu mencari nafkah. Menyusul temannya Tika - yang sudah merantau lebih dulu darinya - dan sekarang temannya itu sudah menikah, tinggal bersama suaminya. Sementara sang ayah sudah meninggal saat dia kelas dua sekolah menengah atas.

Di usianya yang masih belia, Miranda harus merasakan beratnya hidup. Tapi gadis itu tidak pernah mengeluh, ikhlas menjalani hidup.

***

Tidak seperti kemarin, Restoran hari ini tidak begitu ramai walau sudah jam makan siang. Maklum bukan akhir pekan, pengunjung yang datang tidak seramai akhir pekan. Hanya ada beberapa meja yang terisi. Cukup membuat para karyawan bersantai sejenak. Apalagi mereka tidak dalam pengawasan sang manajer.

Termaksud Miranda dan Nia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka mengobrol di depan pantry. Namun obrolan menarik mereka harus terhenti ketika ada pengunjung yang datang.

Nia yang menghampiri pengunjung itu.

Tidak lama pengunjung baru datang, Miranda bersiap menyambutnya. Namun ketika merasa tidak asing dengan pengunjung itu, dia terpaku sejenak. Pria itu adalah salah satu teman pria yang menghinanya kemarin.

Miranda tidak menyangka salah satu empat pria kemarin itu datang. Apa tidak ada tempat lain yang harus mereka datangi? Kenapa harus restoran ini lagi?

Untungnya pria itu datang sendirian, tidak datang bersama teman-temannya kemarin. Namun Miranda tetap merasa waspada. Dia takut pria itu menghinanya sama seperti teman pria itu kemarin. Rasanya enggan sekali dia menghampiri pria itu.

Akan tetapi, karena hanya dia yang menganggur, Miranda tidak punya pilihan. Dengan berat hati, dia menghampiri pria tersebut.

“Mau pesan apa, Mas?” Miranda bertanya dengan ramah setiba di hadapan sosok pria tersebut dengan gugup.

Pria tersebut – yang tidak lain adalah Armand yang sedang memulai aksinya mengangkat wajah setelah membaca buku menu.

Seketika tatapannya mereka bertemu dengan tatap Intan. Dia menatap Miranda cukup dalam.

Miranda yang gugup semakin gugup ditatap begitu dalam orang Revan. Jantungnya berdebar kencang. Cemas pria itu akan menolaknya. Lalu menghinanya seperti teman pria itu kemarin. Sebenarnya, dia tidak takut jika pria itu menghinanya, tapi dia tidak ingin berdebat. Takut kehilangan pekerjaan.

Namun kecemasan Miranda tidak terjadi, Armand memutus kontak mata mereka lebih dulu. Menunjuk beberapa gambar di buku menu, “saya pesan ini, ini, dan ini.”

dalam hati, Miranda mendesah lega. Dia lekas mencatat pesanan pria tersebut di captain order. Setelah itu melafazkannya.

Merasa yang disebutkan Miranda benar, Armand mengangguk.

“Baiklah, kami akan siapkan pesanan, Mas. Mohon ditunggu sebentar.” Miranda pamit undur diri.

“Tunggu sebentar!” Armand menyergah langkah Miranda yang sudah hendak pergi.

Jantung Miranda kembali berdetak kencang ketika pria itu menyergahnya. Dengan terbata dia bertanya, “Iya – Mas? Ada apa? Apa ada yang masih mau di pesan?”

Armand mengulum senyum melihat Miranda yang gugup. Dia pikir perempuan itu gugup pasti karena terpesona dengannya. Seperti gadis pada umumnya. Dia lantas menggeleng, berucap, “Saya ingin minta maaf atas ucapan teman saya kemarin. Apa yang diucapkan tentang kamu kemarin sangat kelewatan. Atas namanya saya minta maaf.

Miranda tertegun mendengar pernyataan pria itu. Dia tidak menyangka pria itu meminta maaf untuk hinaan teman pria itu kemarin. Ternyata pria itu berbeda dengan temannya. Dia sudah salah menduga.

“Kamu mau memaafkannya, kan?” Armand bertanya kala tidak segera mendapat tanggapan dari Intan.

Miranda mengangguk, “Iya, saya maafkan. Tapi tolong sampaikan pada teman Mas. Tidak ada manusia di dunia ini yang ingin terlahir jelek. Semua orang di dunia ini pasti ingin terlahir sempurna. Berparas menawan dan banyak uang. Tapi, sayangnya tidak banyak orang seberuntung dirinya. Tapi meski begitu, kita di mata sang pencipta sama saja. Tidak ada perbedaan. Jadi tolong sampai padanya untuk menjaga lisannya. Saat dia menghina seseorang itu sama saja dengan dia menghina Tuhan – sang pencipta.”

Armand terpaku dengan penuturan Miranda, Untuk pertama kalinya, dia tergagu, mengangguk, “Iya, akan saya sampai, kan?”

“Baiklah kalau begitu permisi.”

Armand mengangguk lagi.

***

“Bukankah pria itu salah satu teman pria yang menghinamu kemarin, Mir?” Nia sudah lebih dulu kembali ke pantry bertanya. Dia sempat memperhatikan Miranda cukup lama berinteraksi dengan pria itu.

Miranda mengangguk, “Iya.”

“Lantas apa dia mengatakan sesuatu, Mira? Aku perhatikan tadi kalian mengobrol cukup lama? Dia tidak menghinamu seperti temannya kemarin, kan?” Nia bertanya cemas takut sahabatnya itu sakit hati.

Miranda menggeleng, “Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia justru meminta maaf untuk perkataan temannya kemarin.”

“Sungguh?”

Miranda mengangguk.

Nia mendesa lega, “Syukurlah kalau begitu. Itu artinya, dia berbeda dengan temannya.”

Miranda mengangguk lagi membenarkan. Mereka kembali bekerja ketika untuk membersihkan meja yang ditinggal pengunjung.

selegi menunggu pensanannya tiba, Armand diam-diam memperhatikan Miranda yang sedang bekerja.

Dalam hati, dia bergumam, “Dia sangat tekun dan cekatan. Pantas saja dia sangat marah kemarin ketika Gio meragukan kinerjanya hanya tidak berparas cantik.”

***

Lima belas menit kemudian, pesanan Armand siap. Entah kebetulan macam apa? Miranda yang lagi-lagi luang mengantarkan pesanan pria itu. Dengan hati-hati, dia meletakan pesanan Miranda di atas meja.

“Terima kasih,” ucap Miranda

Miranda mengangguk, “Selamat menik – “

“Nama saya Armand.” Armand berujar lebih dulu sebelum Intan sempat menyelesaikan kalimatnya.

Dahi Miranda berkerut melihat tangan pria yang bernama Armand itu terulur ke arahnya. Dalam hati, dia bertanya, “Maksudnya apa ini? Dia mengajakku berkenalan?”

“Nama kamu siapa? Kita mungkin bisa berteman baik.” tanya Armand kala mendapati Miranda diam saja. Keherannya tergambar jelas di wajah gadis itu.

Miranda melirik wajah dan tangan Armand bergantian. Dengan ragu, dia menjabat tangan pria itu, “Miranda. Nama saya Miranda."

Miranda mengangguk-angguk, mengulas senyum di wajah tampannya. "Nama yang bagus, Senang berkenalan denganmu, Miranda."

Miranda juga mengulas senyum – tipis.

Dengan tangan bertaut, Mereka saling menatap untuk beberapa detik. Menyelami sosok satu sama lain. Membuat waktu seolah berhenti sejenak. Restoran itu mendadak senyap. Seolah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu.

Miranda yang tersadar sempat terpanah dengan pria itu segera memutus pandangan lebih dulu. Menarik tangan. “Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Saya harus kembali bekerja.”

Armand mengangguk. Seulas senyum culas terbit di wajahnya setelah Miranda pergi. Tahap pertama telah terlewati. Gadis itu pasti sudah mengira dia tertarik dengannya.

Bab terkait

  • Hello, My Destiny   Bab 4

    Miranda kembali santai setelah mengatar makanan Armand. Restoran kembali sepi. Perempuan itu berdiri di pantry bersama Nia, yang asik bercerita. Tapi sayangnya, dia tidak mendengarkan sahabatnya itu. Dia diam-diam mengamati Armand yang sedang menyantap makanannya. Entah kenapa dia mempunyai firasat buruk terhadap pria itu. Pasalnya aneh sekali. Padahal seumur hidupnya belum ada pria asing yang mengajaknya berkenalan. Apa lagi pria itu sangat tampan. Tentu Miranda merasa heran. Apa alasan pria itu mengajaknya berkenalan? Biasanya pria asing mengajak perempuan berkenalan itu karena punya ketertarikan. Tapi menengok siapa dirinya, rasanya tidak mungkin jika pria itu tertarik dengannya. Lantas apa alasan pria bernama Revan itu mengajaknya berkenal? Apa benar hanya ingin berteman? “Iya, kan, Mir?” Nia menepuk pundak Miranda. Membuyarkan Intan dari keterpakuannya. Miranda terkesiap, “Apa, Nya. Kamu ngomong apa?” Nia menepuk dahinya, “Kamu dari tadi bengong, Mir. Tidak mendengarkan

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-10
  • Hello, My Destiny   Bab 5

    Armand mendesah ketika melihat jam di pergelangannya sudah menunjukkan jam dua belas siang. Waktunya istirahat. Makan siang. Armand lekas menonaktifkan komputernya, beranjak dari kursi kebesarannya. Kalau boleh jujur sebenarnya malas makan siang di luar. Pekerjaannya menumpuk. Dia lebih suka makan siang kantornya sambil memeriksa berkas. Namun demi melancarkan misinya menaklukkan gadis bernama Miranda itu, dia tidak punya pilihan. Apa boleh buat. Dengan berat hati dia menjeda sejenak pekerjaannya. Bahkan Davin – Sekretaris Armand itu juga merasa heran. Tidak biasanya bos mereka meninggalkan meja kerjanya selain pulang. Namun sebagai sekretaris yang baik, tidak ambil pusing. Enggan ikut campur. Dan kebetulan sekali ketika Armand tiba di restoran itu, Miranda berada di pantry. Dengan senyum tampan di wajahnya, dia menyapa pria itu, “Hai.” *** Miranda yang baru kembali ke pantry usai membersihkan meja yang baru ditinggal pengunjung tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ket

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-21
  • Hello, My Destiny   Bab 6

    Miranda menarik napas panjang, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan kasar setiba di kosan. “Kenapa kamu?” Nia – yang baru keluar dari kamar mandi bertanya. Hari ini perempuan itu libur untuk memindahi barang-barangnya ke kosan Miranda. Beberapa hari yang lalu, mereka berdua sudah sepakat tinggal bersama untuk meringkan biaya tempat tinggal. Karena Nia juga anak rantauan. Datang ke kota untuk mengadu nasib sama seperti Miranda. Dan nasib mereka juga tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara dan tidak memiliki figur ayah lagi. Sebab itulah mereka jadi dekat dari dulu sampai sekarang hingga berani memutuskan tinggal bersama. “Capek, ya? Memang restoran hari ini ramai?” tanyanya lagi kala Miranda tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Sambil mengeringkan handuk dengan rambut, dia ikut duduk di samping Miranda yang terbaring. Miranda menggeleng, “Tidak juga.” “So? Apa yang membuat kamu lusuh sekali?” Miranda melirik sang sahabat, beringsut duduk, “K

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-21
  • Hello, My Destiny   Bab 7

    Brak. Miranda sedang memasukkan tasnya ke dalam loker ketika Darah menutup pintu lokernya dengar kasar. Membuatnya terlonjak karena kaget. Untung tangannya sudah berada di luar. Jika masih di dalam bisa di pastikan tangannya cacat. Karena aksi tidak sopan Darah, Miranda menatap perempuan itu dengan nanar, penuh amarah, “Kamu apa-apaan, Dar? Apa masalahmu?” “Apa hubunganmu dengan pria itu?” tanya Darah dengan nada sinis miliknya setiap kali berhadapan dengan Miranda. Dahi Miranda berkerut menatap Darah, “Pria siapa maksudmu?” “Pria yang menyapamu hari itu? Siapa dia? Apa hubungan kalian? Kenapa dia mencarimu tadi?” “Maksudmu Armand? Dia datang lagi?” tukas Miranda dengan alis bertaut. Melupakan sejenak kesinisan Darah. Dia tidak menduga jika Armand datang lagi. Untungnya hari ini, dia berniat menukar jadwalnya dengan Nia. Jadi mereka tidak perlu bertemu. “Oh, jadi namanya Armand.” “Oh, jadi namanya Armand?” Darah tersenyum sinis, “Apa hubungan kalian? Bagaimana kamu bisa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-21
  • Hello, My Destiny   Bab 8

    “Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-13
  • Hello, My Destiny   Bab 9

    Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-26
  • Hello, My Destiny   Bab 10

    Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-27
  • Hello, My Destiny   Bab 11

    “Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-28

Bab terbaru

  • Hello, My Destiny   Bab 13

    Miranda mendesa lega setelah melihat mobil Armand melaju meninggalkan halaman kosannya melalu kaca jendela. Rasanya beban di dadanya terangkat setelah mengatakan yang apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir. Dia harap pria itu mendengarkan ucapannya tadi. Tidak menemuinya lagi. Jadi dia tidak perlu merasa waspada lagi. Alasan pria itu menyukainya tidak cukup membuatnya percaya. Tidak begitu kuat. Hanya karena dia mengembalikan uang kembali yang lebih dan membantu seorang kakek menyeberang jalan raya, Armand tertarik padanya? Sungguh? Miranda menggeleng. Itu tidak mungkin. Hal yang dia lakukan itu terlalu kecil untuk membuat pria tampan dan kaya seperti Armand tertarik kepadanya. Sementara dia sering melalukan kebaikan lebih dari itu. Seperti memberi fakir miskin di jalan, memberi donasi kepada orang yang membutuhkan setiap bulannya. Tetapi, tetap tidak membuat mantan kekasihnya dulu jatuh hati kepadanya. Pria itu hanya menganggapnya uang berjalan saja. Bagi Miranda, alasan Arman

  • Hello, My Destiny   Bab 12

    “Hoam!” Miranda menguap lebar setelah mereka dalam perjalanan pulang. Lelah bekerja dan jalan-jalan bersama Armand tadi, ditambah perut kenyang membuatnya mengantuk. Namun dia berusaha tetap terjaga. Takut Armand berbuat macam-macan dengannya. Walau sebenarnya apa yang harus dilihat dari. Dia tidak menarik. Tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Armand khilaf.“Tidur saja jika mau tidur. Kalau sudah sampai nanti aku akan membangunkan,” ucap Armand melirik Miranda yang sudah beberapa kali menguap.“Tidak. Aku tidak mengantuk, hanya menguap saja,” elak Miranda.“Begitu, ya?” Armand mengangguk-angguk. Tidak lagi berkomentar. Padahal dia tahu betul Miranda sedang berbohong. Terlihat jelas sekali mata perempuan itu terlihat kuyu sekali. Entah apa alasan perempuan itu menahan kantuknya.Lima menit kemudian, Miranda tidak kuasa lagi menahan kantuknya. Perempuan itu jatuh tertidur.Armand yang melihat itu hanya tersenyum tipis, fokus mengemudi.Dua puluh menit kemudian mereka sampai. Armand

  • Hello, My Destiny   Bab 11

    “Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La

  • Hello, My Destiny   Bab 10

    Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr

  • Hello, My Destiny   Bab 9

    Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d

  • Hello, My Destiny   Bab 8

    “Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S

  • Hello, My Destiny   Bab 7

    Brak. Miranda sedang memasukkan tasnya ke dalam loker ketika Darah menutup pintu lokernya dengar kasar. Membuatnya terlonjak karena kaget. Untung tangannya sudah berada di luar. Jika masih di dalam bisa di pastikan tangannya cacat. Karena aksi tidak sopan Darah, Miranda menatap perempuan itu dengan nanar, penuh amarah, “Kamu apa-apaan, Dar? Apa masalahmu?” “Apa hubunganmu dengan pria itu?” tanya Darah dengan nada sinis miliknya setiap kali berhadapan dengan Miranda. Dahi Miranda berkerut menatap Darah, “Pria siapa maksudmu?” “Pria yang menyapamu hari itu? Siapa dia? Apa hubungan kalian? Kenapa dia mencarimu tadi?” “Maksudmu Armand? Dia datang lagi?” tukas Miranda dengan alis bertaut. Melupakan sejenak kesinisan Darah. Dia tidak menduga jika Armand datang lagi. Untungnya hari ini, dia berniat menukar jadwalnya dengan Nia. Jadi mereka tidak perlu bertemu. “Oh, jadi namanya Armand.” “Oh, jadi namanya Armand?” Darah tersenyum sinis, “Apa hubungan kalian? Bagaimana kamu bisa

  • Hello, My Destiny   Bab 6

    Miranda menarik napas panjang, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan kasar setiba di kosan. “Kenapa kamu?” Nia – yang baru keluar dari kamar mandi bertanya. Hari ini perempuan itu libur untuk memindahi barang-barangnya ke kosan Miranda. Beberapa hari yang lalu, mereka berdua sudah sepakat tinggal bersama untuk meringkan biaya tempat tinggal. Karena Nia juga anak rantauan. Datang ke kota untuk mengadu nasib sama seperti Miranda. Dan nasib mereka juga tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara dan tidak memiliki figur ayah lagi. Sebab itulah mereka jadi dekat dari dulu sampai sekarang hingga berani memutuskan tinggal bersama. “Capek, ya? Memang restoran hari ini ramai?” tanyanya lagi kala Miranda tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Sambil mengeringkan handuk dengan rambut, dia ikut duduk di samping Miranda yang terbaring. Miranda menggeleng, “Tidak juga.” “So? Apa yang membuat kamu lusuh sekali?” Miranda melirik sang sahabat, beringsut duduk, “K

  • Hello, My Destiny   Bab 5

    Armand mendesah ketika melihat jam di pergelangannya sudah menunjukkan jam dua belas siang. Waktunya istirahat. Makan siang. Armand lekas menonaktifkan komputernya, beranjak dari kursi kebesarannya. Kalau boleh jujur sebenarnya malas makan siang di luar. Pekerjaannya menumpuk. Dia lebih suka makan siang kantornya sambil memeriksa berkas. Namun demi melancarkan misinya menaklukkan gadis bernama Miranda itu, dia tidak punya pilihan. Apa boleh buat. Dengan berat hati dia menjeda sejenak pekerjaannya. Bahkan Davin – Sekretaris Armand itu juga merasa heran. Tidak biasanya bos mereka meninggalkan meja kerjanya selain pulang. Namun sebagai sekretaris yang baik, tidak ambil pusing. Enggan ikut campur. Dan kebetulan sekali ketika Armand tiba di restoran itu, Miranda berada di pantry. Dengan senyum tampan di wajahnya, dia menyapa pria itu, “Hai.” *** Miranda yang baru kembali ke pantry usai membersihkan meja yang baru ditinggal pengunjung tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ket

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status