Janu membuang pandangan saat Nadine membuka kancing baju. Wajahnya merona menahan malu. Biasanya di bagian penyakit dalam pasien yang ditemui setiap hari adalah para lansia. Rezeki katanya kalau pas lagi kerja dapat yang cantik begini.
Nadine tersenyum senang. Entah kenapa dia ingin menggoda pak dokter tampan itu. Biasanya juga dia kalem, tidak ganjen pada laki-laki. Padahal nasabahnya banyak. Rata-rata pengusaha, pejabat atau orang-orang pemegang posisi penting di pemerintahan maupun perusahaan.
Mereka juga berwajah tampan. Beberapa berstatus single. Ada juga yang sudah menduda. Juga suami orang yang suka menggoda. Untungnya Nadine kuat iman dan tidak mau terjerumus. Harga diri sebagai seorang wanita tetap dijaga.
"Cukup. Biar saya periksa dulu."
Nadine menghentikan aksinya. Gadis itu mengulum senyum. Tadi Janu yang membuatnya nervous, sekarang gilirannya. Adil, kan?
Janu memasang steteskop di telinga dan meletakkannya di bagian perut Nadine sembari bertanya beberapa hal mengenai keluhannya.
Nadine terbaring pasrah. Saat diperiksa, matanya tak lepas menatap wajah tampan hadapannya. Tubuhnya yang jangkung membuat Janu terpaksa harus menundukkan wajah agar bisa lebih dekat ke arah gadis itu.
'Konsentrasi dokter. Temukan penyakitnya. Segera diagnosis dan berikan resep. Selesai.'
Bagaimana dia bisa konsentrasi kalau posisinya begini? Nadine tampak gugup. Napasnya terdengar seperti desahan di telinga Janu. Tangan lelaki itu sampai gemetaran dibuatnya. Ingin melakukan yang lain, bukan hanya memeriksa.
"Cukup. Silahkan rapikan pakaiannya. Saya berikan resep, ya." Janu menarik napas lega karena terbebas dari godaan setan yang terkutuk.
Nadine segera merapikan baju, lalu turun dari ranjang. Dia duduk berhadapan dengan Janu, yang sedang menuliskan sesuatu di kertas resep.
"Ini obatnya. Diminum dua kali satu tablet. Bawa saja resepnya ke apotik. Nanti dijelaskan lebih detail sama apotekernya."
Janu menjelaskan sedikit tentang penyakit yang diderita Nadine. Pasien zaman sekarang memang begitu. Mereka kritis dan suka bertanya.
Untunglah Nadine tidak bawel. Gadis itu lebih banyak mengiyakan, walaupun Janu hanya memberikan penjelasan secara umum.
"Iya, Dokter," jawab Nadine singkat.
"Mulai besok, bawa snack atau biskuit saat jam kerja sebagai cemilan sambil menunggu istirahat makan siang. Jadi, lambungnya gak perih. Jangan telat makan. Nanti maag-nya bisa kambuh lagi."
"Tapi saya nggak apa-apa kan, Dokter? Kalau parah, dirawat inap juga boleh."
Nadine tersenyum menggoda sembari mengerling manja. Kalau dia sampai menginap di rumah sakit, itu berarti bisa bertemu dengan dokter ini setiap hari.
"Nggak apa-apa. Rawat jalan aja cukup. Apa mau saya rujuk ke rawat inap? Nanti bisa disuntik sama diinfus," kata Janu menakut-nakuti.
"Kalau diinfus, jarumnya gede ya, Dokter?"
"Yah, tergantung stok yang ada di rumah sakit. Kalau yang kecil habis, kita pakai yang besar." Raut wajah Janu dibuat serius, padahal sedari tadi menahan tawa.
Nadine bergidik ngeri saat membayangkan jarum itu menusuk kulitnya. Sementara Janu tersenyum geli melihat ekpresinya. Benar seperti dugaan, gadis itu takut dengan jarum. Itu terlihat dari sikapnya.
"Kalau begitu saya dirawat jalan aja."
Kali ini si perawat yang tertawa. Dalam hatinya bergumam, lucu sekali pasien yang satu ini. Tadi marah-marah dan minta masuk duluan. Sekarang nyalinya ciut mendengar jarum.
"Suster!"
Janu menegur perawatnya dengan memberikan kode. Bagaimanapun juga, rasanya kurang sopan menertawakan pasien yang sedang sakit, sekalipun perangainya buruk.
"Maaf, Dokter." Si perawat mengulum senyum, lalu kembali bersikap serius.
"Jadi gimana, apa mau saya rujuk biar dirawat?" Janu bertanya ulang.
"Nggak usah. Saya minum obat aja," jawab Nadine cepat.
"Nah begitu aja."
Janu tersenyum menatap Nadine. Senyum seorang dokter yang ramah kepada pasien. Namun, Nadine mengartikannya lain. Lalu, mereka berpandangan lama. Seperti ada chemistry di antara keduanya.
"Ehem!"
Suara batuk seseorang mengagetkan mereka. Saat Nadine menoleh, ternyata si perawat tadi pelakunya. Untung saja sewaktu diperiksa dia tidak ikut. Bisa gagal niatnya untuk mendekati si dokter tampan itu.
Janu tersadar. Sungguh memalukan rasanya di hari pertama bekerja, dia menyukai pasien sendiri. Apalagi perawatnya tersenyum geli sewaktu melihat kelakuan mereka berdua.
"Suster. Tolong dibantu," ucap Janu sembari menyerahkan resep.
Perawat itu mengambil kertasnya, lalu berkata, "Mari, ikut saya."
Saat pintu terbuka, Nadine mengekori perawat itu. Dia mendengarkan setiap penjelasan lalu mengangguk karena sudah mengerti.
"Silahkan resepnya diambil di apotik ya, Bu. Sudah tau tempatnya?"
"Sudah tau, Suster. Di depan sana, 'kan? Dekat poli umum sama IGD."
"Iya benar. Ibu langsung ke sana saja. Silahkan antre dan menunggu obatnya disiapkan."
Nadine meninggalkan ruangan. Hatinya riang gembira. Belum minum obat saja rasanya sudah sembuh. Senyum dokter tampan tadi meluluhkan hatinya.
Sebelum keluar, Nadine sempat melirik ke arah name tag dokter itu. Janu Banyuaji namanya.
* * *
Seseorang memanggil namanya. Janu menoleh dan mendapati sesosok lelaki yang sama jangkung sedang berjalan ke arahnya.
"Hai Jack. Udah lunch?" sapa Abraham.
Mereka berjalan beriringan menuju lantai atas. Saat ini Janu sedang menuju kantin rumah sakit yang disediakan khusus untuk para karyawan.
Mereka bisa akrab karena berasal dari satu almamater saat mengambil sekolah spesialis. Jadi cocok sekali saat ditempatkan di rumah sakit ini. Janu dipanggil Jack karena itu adalah nickname-nya saat mereka Coass dulu.
"Ini baru selesai poli. Mau makan dulu. Lu mau ke mana?" Janu balik bertanya.
Mereka berjalan beriringan sembari berbincang. Beberapa karyawan rumah sakit menyapa kedua lelaki itu saat berpapasan. Ada juga yang sengaja berhenti untuk melihat ketampanan mereka.
"OK. Mau operasi. Ada yang sectio siang ini. Bayinya kembar."
Arah cafetaria dan kamar operasi memang berada pada satu lantai. Hanya saja, kamar operasi berada di bagian ujung dan agak tersembunyi dari ruangan yang lain.
"Wow, amazing, dong. Cowok apa cewek?" tanya Janu karena penasaran juga.
"Cowok cewek. Pinter mereka bikinnya. Sekali keluar jadi sepasang," jawab Abraham dengan wajah jahilnya.
Mereka berdua tergelak. Ada banyak kejadian di rumah sakit yang cukup menghibur selain kasus kecelakaan atau kematian.
"Gimana pasien hari ini? Aman?" tanya Abraham.
Ini hari pertama mereka bekerja, tentunya ingin saling berbagi cerita.
"Aman. Ada sedikit trouble, sih. Tapi bisa ke-handle." Janu menjawabnya dengan santai.
"Kenapa? Ada pasien resek?"
"Biasalah nyerobot antrean. Nggak sabaran."
Janu menjelaskan apa yang terjadi tadi pagi di polinya. Hanya saja dia tak menyebutkan bahwa pelakunya adalah seorang gadis cantik bernama Nadine.
"Emang susah kalau soal antrean, sih. Makanya negara kita susah maju. Masyarakatnya begitu. Adab dan etika masih minim," keluh Abraham.
Mereka tiba di persimpangan lalu berhenti. Janu melambaikan tangan dan menuju kantin, sedangkan Abraham berjalan menuju ruangan yang letaknya paling ujung. Mereka berpisah sampai di sini.
Sabtu malam di sebuah kamar yang penghuninya sedang asyik sendirian. Entah apa yang sedang dikerjakan Janu. Matanya fokus dan tak berkedip menatap layar laptop.'Jack, nongkrong, yuk.'Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ternyata dari Abraham. Janu yang sedari tadi hanya bermalas-malasan segera membuka dan membacanya.'Males gue.''Ada cafe baru di dekat rumah sakit. Kopinya enak.''Ajak yang laen aja.''Lu lagi ngapain?''Ngeliatin rekam medis pasien.' Begitulah jawaban yang Janu ketikkan.'Ya elah segitunya. Ini hari libur, Bro. Nyantai dikitlah.''Beneran gue males.''Makanya keluar Jangan ngadem di rumah mulu. Mana tau ketemu cewek cakep?''Yaudah Bentar. Di mana sih tempatnya.' Balas Janu lagi.'Ntar gue share lokasi.'
Nadine langsung masuk ke kamar setelah tiba di rumah dan mengabaikan panggilan sang mama. Dia masih kesal karena perbuatan Janu di cafe tadi. Gadis itu langsung berganti pakaian dan merebahkan diri untuk melepas penat. Malam Minggu bukannya senang, tetapi malah dongkol setengah mati.Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk di whatsapp.'Hei.'Nadine melihatnya sebentar dan tak berniat membalas. Gadis itu sudah menduga jika Janu akan menghubunginya lewat chat. Dia mencebik lalu melemparkan benda pipih itu ke kasur.Nadine teringat saat perjalanan tadi. Janu memaksa untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Janu fokus menyetir dengan santai, sementara Nadine berpura-pura bermain ponsel. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka benar-benar canggung."Kamu cantik."
'Ada stalker ternyata.'Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Nadine. Gadis itu melihat berkali-kali, memastikan apa memang benar Janu yang mengirimnya. Dia masih mencoba menerka apa maksud dari lelaki itu."Ehem."Nadine menoleh saat mendengar suara Niken, rekan kerjanya sesama teller."Sstttt ... diem, Kak," bisik Nadine."Beresin kerjaan dulu, baru chatting-an," tegur Niken.Sikap Nadine itu kalau sampai terlihat atasan mereka itu bisa bahaya. Apalagi kalau salah menghitung uang nasabah, bisa nombok mereka."Siapa sih yang nge-chat? Dari tadi senyum mulu," tanya Niken."Dokter Janu."Nadine menghentikan aktivitasnya kemudian menggeser duduk agar berdekatan dengan Niken.Mendengar nama Janu disebut, Niken juga ikut menghentikan aktivitasnya. Wanita itu
Janu memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggilnya mama. "Ma, sorry lama.""It's ok, Sayang. Kita nungguin, kok."Dua wanita paruh baya itu saling berpandangan dan mengangguk."Kenalin ini, Sasa. Putri semata wayang Tante." Si ibu berbaju kuning yang bernama Reina itu memperkenalkan.Janu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan gadis yang bernama Sasa itu."Sasa ini masih single, loh. Cocok ya sama Janu. Sama-sama free." Reina mulai berpromosi."Eh, iya."Janu mengangguk karena sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini. Perjodohan dan dia menjadi malas."Yuk, kita langsung pilih gaun aja. Biar gak lama. Habis ini kita makan," usul Sarah.Tak lama, mereka tampak
Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Janu baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita patih baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar. "Ini pasti calon ibu mertua," batin Janu. Keluarga Nadine terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Janu yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu."Mama gak usah gitu juga kali," sungut Nadine saat keluar dan menghampiri mamanya. "Mama pengen liat, siapa cowok yang nganter kamu pulang," bisik Ratih."Mama jangan norak, deh," ucap Nadine sembari
Janu memarkirkan mobilnya di belakang. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung. "Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggo
Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Janu pintar sekali mengambil hati Raka."Nak Janu. Kamu benar-benar serius dengan Nadine?" tanya Pandu."Serius, Om," jawab Janu cepat."Om, memang agak ketat sama Nadine, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."Pandu menatap menatap Janu lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat, Nadine akan berjodoh dengan lelaki baik-baik."Iya, Om."Janu menjawab dengan tegas. Sepertinya dia lupa, bahwa tadi baru saja menjalin hubungan dengan Rani."Kalau begitu, gak usah lama-lama. Om gak suka pacaran atau ya ... yang seperti itulah."Janu mengangguk. Dia mengerti, bahwa jika berada di posisi yang sama dengan Raka, mungkin dia akan melakukan hal yang sama."Saya serius sama Nadine. Cuma perlu minta waktu. Kami baru kenalan. Mauny
Janu menatap lekat pada sesosok gadis dihadapannya. Wajahnya ayu dan nyaman dipandang, membuat denyar halus tiba-tiba saja muncul menyusup ke hatinya secara perlahan."Kenapa kamu ngeliatin kayak gitu?" tanya Rani tersipu malu. Senyum manis yang terukir di bibirnya, membuat Janu semakin berdebar-debar.Rani memang terlihat berbeda karena hari ini dia memakai gaun baru dan memoles wajahnya dengan make-up. Lispstiknya merah menyala. Alisnya melingkar indah dengan eye liner. Maskara membuat bulu matanya tampak lentik. Sapuan blush-on yang sempurna di pipi, membuat Janu ingin mencubitnya sedikit.Tunggu dulu. Kenapa Rani jadi mirip seperti Nadine?"Tumben, hari ini pake dress. Biasanya pake snelli," goda Janu. Melihat Rani semakin merona, dia berhenti menatap lalu memalingkan pandangan."Memangnya saya gak boleh dandan kalau lagi ketemu pacar?"Ya, mereka resmi berpacaran setelah hari itu. Di mana Rani menembak Janu dan laki-laki itu mengiyakan."Nanti kamu malah ditaksir pasien, loh. Ata
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s