Janu memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggilnya mama.
"Ma, sorry lama."
Dua wanita paruh baya itu saling berpandangan dan mengangguk.
"Kenalin ini, Sasa. Putri semata wayang Tante." Si ibu berbaju kuning yang bernama Reina itu memperkenalkan.
Janu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan gadis yang bernama Sasa itu.
"Sasa ini masih single, loh. Cocok ya sama Janu. Sama-sama free." Reina mulai berpromosi.
"Eh, iya."
Janu mengangguk karena sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini. Perjodohan dan dia menjadi malas.
"Yuk, kita langsung pilih gaun aja. Biar gak lama. Habis ini kita makan," usul Sarah.
Tak lama, mereka tampak asyik memilih gaun. Tanpa disengaja, mata Janu menangkap siluet seorang wanita yang sangat dikenalnya. Dia segera berjalan meninggalkan ketiga orang tadi.
"Nadine?" sapanya.
Janu bergerak menuju sofa. Sementara Nadine berpura-pura tidak melihat.
"Hei!" Janu mengibaskan tangan di depan wajah gadis itu.
"Eh, kamu." Nadine berpura-pura terkejut dengan senyum terpaksa.
"Ngapain di sini?" tanya Janu.
"Nungguin temen. Lagi ambil baju di dalam," jawab Nadine. Dalam hatinya bertanya-tanya mengapa Niken begitu lama memgambil gaun.
"Oh. Mau saya temenin?"
"Gak usah. Saya nunggu di sini aja. Itu kamu lagi ditungguin sama mereka."
Nadine menunjuk tiga wanita yang masih memilih gaun sambil berbisik-bisik.
"Oh biarin saja. Milihnya lama. Saya di sini aja mau nemenin kamu."
Janu langsung duduk di sebelah Nadine yang terlihat semakin salah tingkah.
"Tapi, kan--" Kata-kata Nadine terhenti saat Sarah datang menghampiri mereka.
"Siapa ini, Nak?" tanya Sarah.
"Kenalin, Ma. Ini Nadine."
Dengan sigap Janu kembali berdiri. Begitu juga dengan Nadine. Gadis itu menyebutkan nama sambil bersalaman.
"Baru pulang kerja?" tanya Sarah sembari melirik seragam yang dipakai gadis itu.
"Iya, Tante. Ini lagi nungguin temen. Lagi ambil gaun di belakang." Nadine menjelaskan karena merasa risih dipandang dengan penuh selidik seperti itu.
"Oh begitu. Ngomong-ngomong kamu ini cantik banget."
Sarah menatap Nadine dengan lekat, melihat dari atas sampai ke bawah.
"Iya, dong. Pilihan Janu." Lelaki itu menjawab dengan percaya diri.
"Hah? Maksudnya?" tanya Nadine kebingungan. Dia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Dia pacar kamu?" tanya Sarah penasaran.
"Bukan," jawab Nadine cepat.
Jangan sampai Janu berbicara macam-macam. Tadi sekilas Nadine mencium seperti ada semacam bau-bau perjodohan antara Janu dan gadis muda itu.
"Oh! Tante kira kalian pacaran," ucap Sarah kecewa.
"Memang Nadine ini bukan pacar aku, Ma."
"Lalu?"
"Dia calon istri," jawab Janu santai.
Nadine tertegun dan tak dapat berkutik saat Janu merengkuh pundaknya. Dia bahkan sengaja menyentuh kepala gadis itu untuk menyakinkan sang mama agar percaya dengan aktingnya.
***
Janu menahan tawa, apalagi saat melihat bibir Nadine yang ditekuk. Gadis itu seperti anak kecil yang sedang merajuk. Sejak tadi pandangan matanya hanya menatap jalanan.
Janu sudah meminta maaf karena lancang telah menyentuh Nadine, tetapi gadis itu tidak terima. Apalagi saat dia memaksa untuk mengantar pulang, sehingga didiamkan sejak tadi.
Sambil menyetir, Janu memutar lagu. Rasanya lucu sekali saat melihat Nadine yang terus saja cemberut, sementara mereka hanya berdua di mobil.
"Cantik. Ingin rasa hati berbisik. Untuk melepas keresahan, dirimu ...."
Nadine membuang pandangan. Dia semakin kesal sewaktu Janu mengucapkan kata-kata cantik dan menoleh ke arahnya.
Akhirnya Nadine bicara juga. Suara Janu yang cempreng membuatnya gerah. Tangannya terangkat menutup kedua telinga.
"Enakan nyanyi dari pada manyun begitu. Gak asyik."
Janu melirik wajah cantik di sampingnya. Dia mencuri pandang pada sosok sempurna ciptaan Tuhan itu. Entah mengapa saat berada didekat Nadine, dia menjadi berbeda.
Mendengar itu, akhirnya Nadine menyerah juga. Gadis itu ingin mendiamkan Janu tetapi tidak mungkin, mengingat saat ini dia di antar pulang. Tadi setelah Niken selesai mengambil gaun, gadis itu meminta maaf kepada sahabatnya karena tidak bisa pulang bersama.
"Iya kalau suaranya bagus. Ini cempreng siapa juga yang mau dengar."
"Cantik-cantik kok mulutnya bawel," sindir Janu. Dia sengaja melakukan itu biar Nadine semakin kesal. Tenyata menggoda seorang wanita itu asyik juga.
"Anterin pulang sekarang!"
Janu merasa senang. Ternyata membuat wanita emosi itu gampang sekali. Bercanda sedikit saja, hatinya langsung panas.
Janu memutar balik kendaraannya, berlawanan arah dengan lokasi rumah Nadine.
"Inikan bukan jalan pulang ke rumah saya," protes Nadine.
"Kita makan dulu ya. Laper nih dari tadi," jawab Janu sembari fokus menyetir menuju salah satu tempat makan favoritnya.
"Tapi saya mau pulang cepat."
Nadine sudah ditunggu mamanya sejak tadi karena lupa berkabar kalau hendak menemani Niken. Ini akibat dari bergosip tentang Pak Beni yang menembaknya tadi.
"Bilang aja sama mama kalau pulangnya agak telat. Makan dulu sama saya."
Janu beralasan. Selain lapar, dia juga masih ingin berlama-lama dengan Nadine. Kapan lagi dia dapat kesempatan seperti ini.
Nadine mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada mamanya supaya tidak merasa khawatir. Tak lama benda pipih itu berdering.
"Halo, Ma," jawabnya.
Terdengar balasan dari suara di seberang sana.
"Kamu pulang diantar siapa, Nak?" Nada suara itu terdengar sedikit khawatir.
"Teman," jawab Nadine singkat.
"Siapa?" tanya mamanya penuh selidik.
"Ada aja, nanti dikenalin."
Nadine hendak memutuskan sambungan saat mendengan pertanyaan panjang lebar dari mamanya.
"Cowok?"
"Mah, udah dulu ya. Nanti Ndin telepon lagi. Bubbye."
Nadine menutup telepon. Padahal mamanya belum selesai berbicara.
Janu yang sedari tadi menguping percakapan itu akhirnya tak kuasa menahan tawa. Dia tergelak ketika gadis itu menyebut namanya sendiri dengan sebutan Ndin.
"Apanya yang lucu?" tanya Nadine galak.
"Ndin? Siapa, tuh?" Janu menggoda lagi.
"Kamu!"
Nadine memukul bahu Janu karena kesal sejak tadi digoda terus. Ndin itu adalah panggilan kesayangannya sejak kecil.
"Jangan mukul entar nabrak."
Janu menahan pukulan itu dengan sebelah tangannya. Sementara, tangan yang satu masih memegang setir.
"Biarin. Aku sebel."
Janu menepikan mobil dan berhenti di depan sebuah mini market. Dia menarik tangan Nadine karena gadis itu tak kunjung juga berhenti.
"Apaan, sih."
"Diem gak! Kamu mau kita nabrak orang? Saya belum mau mati. Belum ngerasain indahnya nikah."
Wajah Nadine merona. Akhirnya gadis itu memilih diam. Janu menghela napas. Kenapa semua wanita sifatnya begini, labil dan tidak bisa ditebak.
"Terserah kamu."
"Kita makan dulu. Habis itu aku antar kamu pulang. Saya lapar," jelas Janu.
Perutnya sudah melilit sejak tadi. Sehabis pulang dari butik, Janu menolak undangan makan yang ditawarkan oleh Sasa. Untungnya, mamanya tidak marah, karena dia sudah menggandeng Nadine.
Ternyata cara menyenangkan mamanya cukup sederhana, yaitu dengan membawa calon menantu, walaupun itu hanya fiktif belaka.
"Salah sendiri kenapa tadi gak makan dulu."
"Saya buru-buru ditungguin mama. Kalau makan dulu, jadinya kan kita gak bakal ketemuan," jawab Janu beralasan.
"Apa hubungannya?" tanya gadis itu.
"Saya gak bisa ngenalin kamu sebagai calon istri. Kalau tadi ikut mereka makan, malah jadinya gak bisa nganterin kamu pulang."
Nadine mendelik. Janu percaya diri sekali ketika mengatakan hal itu. Mereka baru saja kenal. Jangankan berpacaran, mengenal lebih dekat saja belum.
"Jangan asal ngomong, Pak Dokter," ucap Nadine ketus.
Sikap Janu tadi di depan sang mama seolah-olah sudah menandai dia sebagai miliknya. Nadine merasa kesal karena Sasa menatapnya seperti musuh. Tentu saja dia tak enak hati, apalagi saat melihat raut wajah mereka yang kecewa.
"Sorry soal yang tadi. Saya pinjam nama kamu. Saya kira mama ke butik karena memang mau beli dress. Ternyata saya mau dijodohin lagi sama anak temannya."
Janu menarik napas panjang. Dia menyandarkan tubuh lalu memejamkan mata sembari memijat dahi dengan perlahan.
"Kan kamu tinggal bilang gak mau. Apa susahnya?"
"Ya gak mungkin juga bilang begitu waktu ada Sasa. Gak etis namanya."
Janu kembali menoleh dan menatap wajah cantik di sampingnya.
"Jadi selama ini kamu suka dijodohin?" tanya Nadine penasaran. Sedikit demi sedikit dia mulai tertarik pada kehidupan pribadi pak dokter ini.
"Iya."
"Kesian." Nadine tersenyum geli.
"Ngejek saya?" Janu menyindir.
"Emang. Gantian boleh, kan?"
"Gak lucu."
"Katanya laper. Kenapa malah berhenti di sini?"
Janu menyalakan mesin mobilnya lalu mulai melaju.
"Saya antar kamu pulang aja. Gak jadi makan. Makin pusing kepala saya kalau begini."
Mobilnya berbelok arah menuju sebuah jalan yang sudah diinfokan Nadine tadi. Bukan sebuah komplek elit milik orang kaya. Hanya perumahan biasa, tetapi sejuk dan asri.
"Makasih, ya," ucap Nadine berpamitan ketika mereka tiba di depan rumahnya.
"Saya gak ditawarin masuk?"
"Gak!"
"Tadi katanya mau ngenalin yang nganter."
Nadine mendelik menatap lelaki itu. Tanpa berucap, dia bergegas keluar dan meninggalkan Janu begitu saja.
Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Janu baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita patih baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar. "Ini pasti calon ibu mertua," batin Janu. Keluarga Nadine terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Janu yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu."Mama gak usah gitu juga kali," sungut Nadine saat keluar dan menghampiri mamanya. "Mama pengen liat, siapa cowok yang nganter kamu pulang," bisik Ratih."Mama jangan norak, deh," ucap Nadine sembari
Janu memarkirkan mobilnya di belakang. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung. "Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggo
Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Janu pintar sekali mengambil hati Raka."Nak Janu. Kamu benar-benar serius dengan Nadine?" tanya Pandu."Serius, Om," jawab Janu cepat."Om, memang agak ketat sama Nadine, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."Pandu menatap menatap Janu lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat, Nadine akan berjodoh dengan lelaki baik-baik."Iya, Om."Janu menjawab dengan tegas. Sepertinya dia lupa, bahwa tadi baru saja menjalin hubungan dengan Rani."Kalau begitu, gak usah lama-lama. Om gak suka pacaran atau ya ... yang seperti itulah."Janu mengangguk. Dia mengerti, bahwa jika berada di posisi yang sama dengan Raka, mungkin dia akan melakukan hal yang sama."Saya serius sama Nadine. Cuma perlu minta waktu. Kami baru kenalan. Mauny
Janu menatap lekat pada sesosok gadis dihadapannya. Wajahnya ayu dan nyaman dipandang, membuat denyar halus tiba-tiba saja muncul menyusup ke hatinya secara perlahan."Kenapa kamu ngeliatin kayak gitu?" tanya Rani tersipu malu. Senyum manis yang terukir di bibirnya, membuat Janu semakin berdebar-debar.Rani memang terlihat berbeda karena hari ini dia memakai gaun baru dan memoles wajahnya dengan make-up. Lispstiknya merah menyala. Alisnya melingkar indah dengan eye liner. Maskara membuat bulu matanya tampak lentik. Sapuan blush-on yang sempurna di pipi, membuat Janu ingin mencubitnya sedikit.Tunggu dulu. Kenapa Rani jadi mirip seperti Nadine?"Tumben, hari ini pake dress. Biasanya pake snelli," goda Janu. Melihat Rani semakin merona, dia berhenti menatap lalu memalingkan pandangan."Memangnya saya gak boleh dandan kalau lagi ketemu pacar?"Ya, mereka resmi berpacaran setelah hari itu. Di mana Rani menembak Janu dan laki-laki itu mengiyakan."Nanti kamu malah ditaksir pasien, loh. Ata
Janu bergegas mencari pasien yang dimaksud saat memasuki instalansi gawat darurat."Mana orangnya?""Itu, Dokter!"Si perawat menunjuk ranjang paling ujung. Tampak seorang gadis sedang berbaring menyamping. Di sebelahnya ada seorang wanita paruh baya sedang duduk menunggu."Tante?"Wanita paruh baya itu menoleh. Benar saja, itu Sarah mamanya Nadine. Bersamaan dengan itu, gadis itupun ikut menoleh."Janu, ini sakit," lirih Nadine manja sambil memegang perut. Wajahnya begitu pucat dengan peluh yang mengucur di dahi.Janu langsung memasang stetoskop dan memeriksna perut Nadine dengan teliti. Benar saja, asam lambungnya parah. Hingga lelaki itu menggeleng karena tak habis pikir."Kamu makan apa?"Ada nada amarah dalam suara Janu. Dia sudah mengingatkan berkali-kali agar gadis itu menjaga pola makan. Asam lambung tidak bisa dianggap remeh. Jika sudah parah dan menjadi GERD maka akan berbahaya."Bakso mercon." Suara Nadine nyaris tak terdengar saat mengucapkannya. Dia takut jika lelaki itu
Warning!Cuma adegan kiss ✌️Ketika jarum jam menunjukkan angka dua belas, Janu memilih untuk istirahat dan melanjutkan pekerjaan pada pukul satu nanti. Dia merasa khawatir kepada Nadine. Gadis itu memang dijaga oleh mamanya, tetapi tetap saja dia tidak bisa lepas tangan.Jadi, Janu memutuskan untuk mengunjungi pasiennya yang satu itu terlebih dahulu. Khusus Nadine, hanya boleh dirawat olehnya, kecuali jika memang harus dirujuk ke spesialis lain.Janu memasuki lift menuju lantai tiga, di mana kamar Nadine berada. Dia mampir sebentar di ners station untuk melihat status pasien yang akan dikunjunginya hari ini. Untuk gadis itu, dia tidak mau didampingi oleh siapa pun dengan alasan keluarga. Lagipula sakitnya tidak parah.Setelah berbasa-basi dengan yang lain, Janu memasuki kamar Nadine dengan tenang. Gadis itu tampak sendirian. Entah di mana mamanya berada.Janu mendekati ranjang dan menatap Nadine yang masih tertidur dengan pulas. Dengan lembut diusapnya kepala gadis itu. Sekalipun tan
Janu mengejar Rani saat tak sengaja bertemu di parkiran belakang, saat mereka sama-sama akan pulang."Rani, tunggu!"Setelah mengantar kepulangan Nadine, Janu bergegas mencari Rani. Tidak mungkin dalam satu hari dia mengurus keduanya.Mendengar itu, Rani berjalan semakin cepat karena memang sengaja menghindari lelaki itu."Rani!"Janu meraih lengan mungil itu dan menariknya hingga tubuh mereka hampir bertabrakan."Apaan, sih."Rani meronta, merasa tak enak jika dilihat orang lain. Apalagi posisi mereka masih di rumah sakit. Untunglah parkiran belakang sepi, jadinya aman."Kamu jangan marah," bujuk Janu."Marah kenapa?" tanya gadis itu pura-pura tidak tahu."Soal itu--"Janu terbata, bingung ingin menjelaskan apa kepada Rani. Dia hendak menyangkal tetapi itu tidak mungkin. Apa yang dilihat gadis itu benar adanya."Kamu sibuk. Aku gak mau ganggu," jawab Rani tegas sembari melepaskan cekalan tangan Janu.Janu menjadi serba salah. Melihat wajah Rani yang nampak tegar, dia menjadi tak enak
"Jangan mempermainkan perasaan wanita."Janu terngiang kembali nasihat itu. Setelah dia menceritakan kejadian hari itu, mamanya meminta untuk memilih salah satu, Nadine atau Rani. Pada akhirnya, Nadine yang menjadi keputusan akhir. Janu sudah terlanjur menemui orang tua gadis itu. Lagipula perasaannya kepada Rani mungkin hanya sebatas suka. Buktinya justeru Nadine yang dia sentuh secara fisik. Janu memang sudah keterlaluan, mempermainkan hati dua orang gadis. Namun apa daya, semua sudah terjadi. Semoga Rani bisa menerima.Janu mengaktifkan ponsel yang mati karena kehabisan baterai. Kemarin malam dia hendak pergi ke rumah Nadine. Tiba-tiba saja ada panggilan dari rumah sakit yang memintanya datang karena ada pasien. Setelah selesai, laki-laki itu langsung pulang ke rumah karena hari sudah larut, lalu tertidur karena kelelahan. Nadine pasti kecewa. Namun, Janu akan menjelaskannya nanti. Secepatnya, sebelum terjadi kesalah-pahaman di antara mereka. Setelah sarapan dia bergegas berangk
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s