"Jangan mempermainkan perasaan wanita."Janu terngiang kembali nasihat itu. Setelah dia menceritakan kejadian hari itu, mamanya meminta untuk memilih salah satu, Nadine atau Rani. Pada akhirnya, Nadine yang menjadi keputusan akhir. Janu sudah terlanjur menemui orang tua gadis itu. Lagipula perasaannya kepada Rani mungkin hanya sebatas suka. Buktinya justeru Nadine yang dia sentuh secara fisik. Janu memang sudah keterlaluan, mempermainkan hati dua orang gadis. Namun apa daya, semua sudah terjadi. Semoga Rani bisa menerima.Janu mengaktifkan ponsel yang mati karena kehabisan baterai. Kemarin malam dia hendak pergi ke rumah Nadine. Tiba-tiba saja ada panggilan dari rumah sakit yang memintanya datang karena ada pasien. Setelah selesai, laki-laki itu langsung pulang ke rumah karena hari sudah larut, lalu tertidur karena kelelahan. Nadine pasti kecewa. Namun, Janu akan menjelaskannya nanti. Secepatnya, sebelum terjadi kesalah-pahaman di antara mereka. Setelah sarapan dia bergegas berangk
Malam ini, Sarah sibuk berdandan di depan kaca. Wanita paruh baya itu memakai bedak dan mengoleskan lipstik, juga berganti gaun berkali-kali."Mama udah cantik, belum?" "Udah, Ma. Jangan kelamaan. Keluarga Nadine nungguin," kata Anton yang sudah merasa bosan sejak tadi. "Harusnya mama itu pergi ke salon sama ke butik langganan cari baju yang pas. Masa' pake yang lama," sungutnya. "Udahlah, jangan ribet.""Gaun yang ini sempit, mama makin gendut jadinya." Wanita itu menarik gaun yang tersangkut di bagian perut.Beginilah situasinya setiap kali mereka akan pergi keluar. Apalagi ini acara khusus, di mana mereka akan melamar seorang Nadine untuk Janu. "Gendut juga papa tetap cinta." Sudah satu jam Anton menunggu di kamar hanya untuk menyaksikan istrinya berdandan. Dia tidak diizinkan keluar dan harus menjawab semua pertanyaan. Serba salah jadinya."Janu mana, Pa?" tanya Sarah saat berhasil menarik baju, setelah sebelumnya menahan napas dan menekan perutnya dengan tangan. "Udah nungg
Janu menatap wajah papanya dalam, kemudian menggeleng berulang kali setelah mendengar cerita secara detail. Dia tak menyangka, bahwa batalnya lamaran malam itu di rumah Nadine, disebabkan oleh perselisihan kedua orang tua mereka di masa lalu. "Semua memang udah lewat. Tapi, papa gak mau kamu berhubungan dengan keluarga Raka. Camkan itu!" ucap Anton tegas, kemudian berjalan meninggalkan mereka di ruang keluarga.Sarah memaksa Raka untuk bercerita, karena penasaran atas kejadian tadi. Selama ini dia tidak pernah tahu bahwa suaminya pernah berselisih paham dengan ayahnya Nadine. Air mata wanita itu terisak setelah mendengarkan semua. Janu meremas rambut karena kesal, juga mengusap wajah. Dalam hatinya bergumam mengapa semua menjadi rumit. Dia sungguh tak menyangka jika dulu papanya pernah melakukan kecurangan kerja sama, sehingga merugikan perusahaan milik keluarga Nadine.Anton adalah seorang pejabat pemerintahan yang memegang beberapa proyek penting. Saat lelang tender untuk pembangu
Niken menepikan mobilnya saat ada mobil lain yang menyalip di depan kemudian berhenti mendadak. Sepertinya si pengemudi memang sengaja hendak menghadang mereka. Untunglah jalanan ini memang sepi, tidak padat seperti jalan utama. Dia sengaja memutar supaya tidak terjebak macet. Tak lama si pengemudi keluar. Seorang lelaki berbadan jangkung yang memakai kemeja batik hitam. Melihat itu, Niken mencolek gadis di sebelahnya. Nadine langsung menutup mulut karena kaget saat melihat siapa yang mendekati mereka.Kaca mobil diketuk. Niken langsung membukanya, lalu tersenyum manis. "Dokter Janu," sapa wanita itu dengan sopan. Dia sudah tahu apa maksud lelaki ini saat menghentikan mobilnya. "Saya mau jemput Nadine."Janu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelah Niken. Matanya menatap tajam, seperti tanda jangan ada penolakan. Niken menoleh dan mendapati Nadine tertunduk malu, lalu berbisik, "Ikut sana. Udah dijemputin sama yayang." Nadine segera membuka pintu. Janu langsung meraih lengan
Wajah Nadine memerah saat rengkuhan di tubuhnya terlepas. Janu tersenyum senang dan juga menang.Matanya menyusuri lekuk sosok cantik di hadapannya ini. Membuat gadis itu merasa jengah dan melotot karena kesal. Janu sudah mulai berani sekarang, menampakkan hasratnya kepada sang kekasih. Mungkin karena mereka baru saja berbaikan. Juga sikap Nadine yang sejak tadi hanya pasrah, bahkan membalas sentuhannya. "Mata dijaga."Jemari halus Nadine menutup kedua mata kekasihnya. Melihat itu, tangan besar Janu kembali menarik tubuh mungil itu. "Kita kawin lari aja, yuk!" bisiknya mesra. "Idih." Nadine mendorong tubuh kekasihnya kemudian membuka pintu mobil. Sebelum dia benar-benar keluar, Janu mengucapkan sesuatu. "Ndin. Kita harus nyusun rencana buat naklukin papa," katanya serius. "Aku gak tau gimana caranya. Kamu yang lebih ngerti," kata Nadine pasrah.Janu merenung sejenak, lalu tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di benaknya."Kamu bisa masak?" Dia bertanya.Nadine menggeleng. "Aku j
Nadine menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu rumah itu. Sebenarnya, tak pantas bagi seorang gadis mendatangi rumah pacarnya.Namun, inilah usahanya untuk memenangkan hati sang calon mertua agar merestui hubungan mereka."Nadine?"Sarah terbelalak saat melihat siapa yang datang. Dia sungguh tak menyangka jika pagi-pagi sang calon menantu menampakkan diri."Tante."Nadine meraih tangan Sarah dan menciumnya sebagai tanda hormat. Bagiamanapun juga, adab tetap diutamakan. Itulah yang diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil."Ayo, masuk. Nanti Tante panggilkan Janu."Sarah membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Nadine masuk. Gadis menatap sekeliling ruangan dan duduk di sofa. Dia meletakkan bungkusan yang tadi dibawa ke meja.Sementara itu, Sarah berjalan ke belakang dan memanggil putranya. Tak lama, dia keluar dengan seorang ART yang mengikutinya dari belakang, dengan membawa sebuah nampan berisi minuman."Kamu ke sini sama siapa?"Sarah bertanya dengan ramah. Dia memang
Rendang. Menu itulah yang harus Nadine bawakan weekend nanti. Tak tanggung, yang diminta Raka adalah rendang khas Minang yang kering dengan warna sedikit gelap. Sepertinya beliau ingin calon menantunya membuat masakan khas dari berbagai daerah. Saat mengatakan itu kepada mamanya, Nadine seperti hendak menangis karena ingin menyerah. "Kita beli di warung Sederhana aja, Ma. Rendangnya enak banget," usul Nadine cepat. "Eh, gak boleh gitu. Kamu harus bikin sendiri. Nanti mama carikan resepnya di gugel," tolak mamanya. Sebenarnya menu itu sudah biasa dimasak di rumah mereka, hanya saja dalam versi yang berbeda. Keluarga Nadine adalah keturunan suku Sunda sehingga rasa rendang yang dibuat agak manis karena menambahkan gula. "Itu ngaduknya harus empat jam, Ma. Aku mana sanggup," keluh Nadine. Wajah Nadine terlihat masam sejak tadi. Bahkan dia menghabiskan sarapan dengan ogah-ogahan. Padahal hari ini mamanya membuat nasi goreng lengkap yang menjadi favorit keluarga. Ayam goreng men
Nadine memencet bel rumah Janu dengan tangan gemetaran. Gadis itu menarik napas berulang kali sembari melantunkan doa, semoga hari ini semua rencananya berjalan lancar. Di tangannya kini ada sebuah boks berisi rendang sesuai dengan permintaan sang calon mertua. Seorang ART membukakan Nadine pintu dan memintanya untuk menunggu sebentar. "Eh, kamu udah datang."Sarah menyambut Nadine dengan ramah di ruang tamu. Wanita paruh baya itu tampak cantik dengan blouse panjang berwarna biru laut dan rambut yang digelung. Dalam hati gadis itu berucap, pantas saja Janu begitu tampan. Mamanya saja tetap cantik di usia senja. "Iya, Tante. Rendangnya udah masak," kata Nadine sembari menyerahkan boksnya."Ayo, kita makan bareng. Om udah nungguin," ajak Sarah. Nadine tertegun, antara sungkan dan ragu. Lebih tepatnya mungkin takut karena jika salah berbicara atau bersikap, maka Anton akan berubah lagi. Dia sudah cukup nekat melakukan banyak kebohongan untuk mengambil hati mereka selama ini."Kenapa
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s