"Nomor antrean dua puluh tiga. Poli penyakit dalam."
Seorang ibu-ibu paruh baya dibantu anaknya masuk ke ruang periksa. Ibu itu memakai kursi roda. Sepertinya sakitnya sudah parah. Ada seorang perawat yang mendampingi, sepertinya pasien rujukan dari poli lain.
Nadine merasa gelisah sedari tadi, berkali-kali melirik kertas di tangan. Antreannya masih panjang dengan nomor urut tiga puluh tujuh. Itu berarti, masih enam belas orang lagi yang akan masuk dan diperiksa sekian lama. Setelah itu baru gilirannya. Perutnya sudah sangat nyeri, karena asam lambung yang kumat.
Nadine meminta izin tidak masuk kerja hari ini untuk pergi ke rumah sakit supaya cepat ditangani. Padahal ini awal bulan, laporan pasti menumpuk. Dia merasa tidak enak hati, tetapi apa mau dikata. Namanya sakit, siapa juga yang mau.
"Suster!"
Nadine memanggil seorang perawat yang keluar dari ruangan itu. Di tangannya terdapat setumpuk rekam medis milik pasien.
"Ya, Ibu?"
"Apa saya boleh duluan?"
"Maaf, Ibu. Pasien masuk sesuai nomor antrean."
"Saya, kan pasien umum. Bukan asuransi."
"Benar. Tapi, aturannya memang begitu. Pasien masuk sesuai nomor antrean. Ibu bersabar aja, sambil menunggu."
"Ini saya udah sakit banget, tau!"
"Boleh saya lihat sakitnya apa?"
Perawat itu meminta kertas yang dipegang Nadine. Gadis itu menyerahkannya dengan cepat.
"Oh, asam lambung. Apa Ibu sudah sarapan?" tanyanya sopan.
"Belum. Perut saya mual gini, mana bisa makan."
Nadine menjawab dengan kesal. Perih yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Di tambah mual yang semakin lama semakin memuncak.
Niatnya urung melihat banyak orang yang sedang menunggu. Mungkin karena bercampur baur dengan pasien lain, membuatnya mualnya semakin menghebat.
Bau minyak angin, minyak gosok, entah bau apa saja menyebar di segala penjuru ruangan. Ruangan ini memakai AC, sehingga segala macam aroma bercampur menjadi satu.
"Ibu beli roti di kantin sebelah, ya. Dicemil sedikit-sedikit biar mengurangi mual. Ini sebentar saja kok periksanya. Sabar menunggu," saran perawat itu sembari tersenyum.
Pelayanan adalah yang terutama bagi rumah sakit ini. Sekalipun kadang mendapat tindakan yang kurang baik dari pasien, karyawan di rumah sakit ini tetap berlaku sopan.
"Ini udah perih banget. Saya nggak kuat. Saya masuk aja duluan boleh, gak? Yang penting diperiksa aja. Nanti obatnya nyusul," ucap Nadine setengah memaksa.
Si perawat masih bersabar dan tersenyum. Ada banyak pasien yang seperti ini, ingin selalu didahulukan dan tidak mau ikut antrean.
"Berikan sama saya nomor antrean Ibu. Tunggu sebentar, saya tanyakan dulu," jawabnya tenang.
Setelah menerima kertasnya, perawat tadi mengetuk pintu ruang poli penyakit dalam.
"Permisi, Dokter." Si perawat mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka.
"Ya, ada apa?" Terdengar suara lelaki menyahut dari dalam ruangan.
"Ini ada pasien umum. Minta didahulukan. Apa boleh?" Dia bertanya dengan sopan.
"Ikut antrean aja," jawab si dokter.
"Tapi maksa, Dok. Katanya udah gak kuat."
"Keluhannya apa?" lanjut si dokter.
"Asam lambung."
"Suruh tunggu sebentar. Saya periksa Ibu ini dulu. Mau dirawat inap setelah ini," kata dokter itu tegas.
"Baik, saya sampaikan."
Perawat itu keluar untuk mendatangi Nadine yang sedang duduk di sebelah seorang bapak tua yang sedari tadi tersenyum senang melihat wajahnya.
Nadine memang cantik dengan tubuh yang semampai. Lekuknya indah dan pas di semua bagian. Kulitnya juga halus putih bersih, tidak ada cacat atau tanda. Make-up natural yang dipakainya semakin menambah kecantikan.
Hari ini Nadine menggelung rambut panjangnya. Ditambah aroma tubuh yang selalu harum, gadis itu semakin memikat. Apalagi dia memakai segaram kantor sebuah bank swasta terkenal. Siapa saja pasti akan tertarik melihatnya.
Nadine menekuk bibir sembari menyilang kaki karena kesal ditatap terus oleh bapak yang tadi.
Mending juga kalau ganteng kayak Zayn Malik. Dasar tua-tua keladi, umpat Nadine dalam hati.
"Permisi, Ibu."
"Ya?"
"Kata dokternya sebentar, ya. Boleh masuk setelah pasien yang ini," ucap si perawat.
"Kok gitu?" Dahi Nadine berkerut tak senang.
"Pasien yang ini mau dirawat inap. Jadi dokter perlu melakukan beberapa pemeriksaan tertentu," jelas si perawat dengan tenang.
"Ya udah. Saya nunggu, tapi abis ini giliran saya, ya? Saya mau balik kantor, nih. Nggak enak izin terus."
Nadine menatap si perawat dengan wajah galak.
"Iya, Bu. Sebentar, ya. Nanti dipanggil."
Nadine dengan sabar menunggu. Bapak yang tadi sudah pergi entah kemana. Syukurlah, sekarang dia bebas. Lehernya berasa pegal karena sedari tadi menoleh ke kiri.
"Nomor antrean dua puluh empat. Poli penyakit dalam."
Tidak ada yang masuk. Beberapa pasien saling berpandangan, kemudian terdiam karena belum giliran mereka.
Nadine masih berada posisinya, duduk sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ada pasien yang masuk ke poli mata dan poli penyakit jantung. Ada juga ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya karena menumpahkan minuman di baju.
"Nomor antrean dua puluh empat. Poli penyakit dalam."
Panggilan antrean diulang untuk kedua kalinya dan belum ada yang masuk. Seorang perawat keluar dari ruangan itu. Di tangannya terdapat sebuah berkas.
"Bapak Khairul. Bapak Khairul." Dia memanggil dan mencari pasien yang dimaksud, tetapi tak seorang pun yang masuk.
"Bapak Khairul. Poli penyakit dalam." Panggilan diulangi sekali lagi.
Seorang bapak tua tegopoh-gopoh masuk. Dia duduk di kursi paling ujung. Bapak ini sepertinya lupa. Wajar saja, usianya juga sudah sepuh. Beliau juga datang sendirian, sepertinya tidak ada yang mendampingi.
"Maaf. Saya lupa, Suster," kata dengan lemas. Sepertinya bapak itu menahan sakit sedari tadi, hanya sejak tadi diam saja.
"Silakan masuk, Pak."
Nadine tersadar ketika bapak itu masuk ke ruangan dan merasa heran. Bukannya perawat itu sudah berjanji kalau selesai pasien yang tadi, sekarang giliran dia. Kenapa malah yang lain didahulukan?
Nadine bergerak menuju pintu dan mengetuknya.
"Ya, Ibu" tanya si perawat kebingungan.
"Perawat yang tadi bilang, katanya setelah pasien yang tadi, sekarang giliran saya."
"Oh iya, Ibu. Maaf saya terlupa. Ibu, pasien yang umum, kan?"
"Iya. Saya ini udah nggak tahan suster. Lambung saya perih. Habis ini harus balik kantor lagi. Saya dikejar waktu," keluh Nadine.
"Sebentar, ya. Bapak ini sudah terlanjur masuk. Ibu boleh masuk setelah ini."
"Gak bisa! Harus saya yang duluan. Saya gak mau nunggu lama. Saya mau masuk sekarang!"
Nadine mencoba menerobos ke arah pintu. Perawat itu menghalangi agar gadis itu jangan sampai masuk.
Nadine mencoba lagi, hingga kejadian itu belangsung terus dan mereka masih saling dorong. Lama-lama perawat itu menyerah juga. Pasien yang satu ini benar-benar luar biasa.
Luar biasa tidak sopannya.
"Ibu, sebentar. Bapak itu lagi diperiksa. Kasihan. Ibu harap menunggu sebentar!" Nada suara perawat itu sedikit meninggi.
"Nggak bisa, dong! Pokoknya saya mau masuk! Mau diperiksa sekarang." Nadine masih saja mencoba.
Perawat itu kalah. Tubuhnya kecil. Jelas saja Nadine yang menang. Gadis itu bergegas masuk untuk mencari di mana dokternya. Ternyata ada di sebuah bilik yang dibatasi oleh kain putih dan sepertinya sedang memeriksa pasien.
Nadine duduk di kursi yang telah disediakan dan dengan santainya mengetukkan jari di meja.
"Suster, periksanya kok lama?"
Perawat itu hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Nadine. Gadis itu cantik tetapi attitude-nya kurang baik. Sudah menyerobot antrean, minta diperiksa dengan cepat lagi. Salah satu cobaan bagi para pekerja medis untuk menguji kesabaran.
"Masih diperiksa. Ibu tunggu saja."
"Lama banget, sih. Dokternya masih baru ya?" tanya Nadine usil.
"Iya, Ibu. Baru praktek hari ini."
"Oh, belum pengalaman. Pantas aja periksanya lama."
Hingga lima belas menit kemudian, Nadine masih menggerutu tidak jelas, membuat perawat itu mengucap istigfar berulang kali.
***
Sementara itu, di balik bilik periksa, sang dokter mendengarkan pembicaraan mereka. Hanya saja, dia tidak memerdulikan. Pasiennya yang sekarang lebih membutuhkan pertolongan.
"Ih, kok lama, sih."
Nadine menggerutu lagi, kebiasaan jeleknya jika sedang kesal. Dia menatap hiasan yang dipasang di dinding. Gambar organ tubuh manusia dan beberapa poster tentang penyakit. Pandangannya fokus ke salah satu poster mengenai penyakit pencernaan. Pikirnya, mungkin seperti inilah yang sedang dia alami.
Tak lama tirai dibuka. Seorang laki-laki berjas putih menampakkan wajah.
"Ini ada apa ya, Suster?" tanya Janu kebingungan.
"Ibu ini minta didahulukan, Dok. Gak sabar nunggu." Perawat itu menunjuk ke arah Nadine.
Janu menoleh. Bersamaan dengan itu juga Nadine ikut menoleh.
Nadine tertegun dengan lidah kelu. Sosok yang berdiri di depannya ini begitu memukau. Lelaki itu sangat menawan dengan perawakan jangkung. Wajah dan tubuhnya seperti pahatan patung dewa-dewa Yunani, kokoh dan sangat jantan. Jika digambarkan mirip seperti Brad Pitt si Archilles, ksatria paling tampan dalam kisah perang Troya.
"Eh, Dokter. Maaf, saya tidak bermaksud begitu," ucapnya terbata karena gugup. Nadine menelan ludah dengan hati yang sedang tak karuan. Matanya tak berkedip melihat Janu.
Janu mengulum senyum, merasa lucu melihat gadis itu menatapnya lekat. Dia sudah terbiasa dilihat para wanita seperti itu.
Ekspresi wajah Nadine saat ini sama seperti si bapak yang menatapnya tadi, senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila.
"Jadi gimana?"
"Silakan, Dokter. Saya menunggu antrean aja," kata Nadine tersipu malu.
Janu tergelak dan melanjutkan tindakan untuk pasien yang tadi. Sekilas sempat diliriknya logo yang melekat di baju Nadine. Ternyata karyawati sebuah bank nasional. Pantas saja cantik.
Janu membuang pandangan saat Nadine membuka kancing baju. Wajahnya merona menahan malu. Biasanya di bagian penyakit dalam pasien yang ditemui setiap hari adalah para lansia. Rezeki katanya kalau pas lagi kerja dapat yang cantik begini.Nadine tersenyum senang. Entah kenapa dia ingin menggoda pak dokter tampan itu. Biasanya juga dia kalem, tidak ganjen pada laki-laki. Padahal nasabahnya banyak. Rata-rata pengusaha, pejabat atau orang-orang pemegang posisi penting di pemerintahan maupun perusahaan.Mereka juga berwajah tampan. Beberapa berstatus single. Ada juga yang sudah menduda. Juga suami orang yang suka menggoda. Untungnya Nadine kuat iman dan tidak mau terjerumus. Harga diri sebagai seorang wanita tetap dijaga."Cukup. Biar saya periksa dulu."Nadine menghentikan aksinya. Gadis itu mengulum senyum. Tadi Janu yang membuatnya nervous, sekarang gilirannya. Adi
Sabtu malam di sebuah kamar yang penghuninya sedang asyik sendirian. Entah apa yang sedang dikerjakan Janu. Matanya fokus dan tak berkedip menatap layar laptop.'Jack, nongkrong, yuk.'Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ternyata dari Abraham. Janu yang sedari tadi hanya bermalas-malasan segera membuka dan membacanya.'Males gue.''Ada cafe baru di dekat rumah sakit. Kopinya enak.''Ajak yang laen aja.''Lu lagi ngapain?''Ngeliatin rekam medis pasien.' Begitulah jawaban yang Janu ketikkan.'Ya elah segitunya. Ini hari libur, Bro. Nyantai dikitlah.''Beneran gue males.''Makanya keluar Jangan ngadem di rumah mulu. Mana tau ketemu cewek cakep?''Yaudah Bentar. Di mana sih tempatnya.' Balas Janu lagi.'Ntar gue share lokasi.'
Nadine langsung masuk ke kamar setelah tiba di rumah dan mengabaikan panggilan sang mama. Dia masih kesal karena perbuatan Janu di cafe tadi. Gadis itu langsung berganti pakaian dan merebahkan diri untuk melepas penat. Malam Minggu bukannya senang, tetapi malah dongkol setengah mati.Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk di whatsapp.'Hei.'Nadine melihatnya sebentar dan tak berniat membalas. Gadis itu sudah menduga jika Janu akan menghubunginya lewat chat. Dia mencebik lalu melemparkan benda pipih itu ke kasur.Nadine teringat saat perjalanan tadi. Janu memaksa untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Janu fokus menyetir dengan santai, sementara Nadine berpura-pura bermain ponsel. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka benar-benar canggung."Kamu cantik."
'Ada stalker ternyata.'Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Nadine. Gadis itu melihat berkali-kali, memastikan apa memang benar Janu yang mengirimnya. Dia masih mencoba menerka apa maksud dari lelaki itu."Ehem."Nadine menoleh saat mendengar suara Niken, rekan kerjanya sesama teller."Sstttt ... diem, Kak," bisik Nadine."Beresin kerjaan dulu, baru chatting-an," tegur Niken.Sikap Nadine itu kalau sampai terlihat atasan mereka itu bisa bahaya. Apalagi kalau salah menghitung uang nasabah, bisa nombok mereka."Siapa sih yang nge-chat? Dari tadi senyum mulu," tanya Niken."Dokter Janu."Nadine menghentikan aktivitasnya kemudian menggeser duduk agar berdekatan dengan Niken.Mendengar nama Janu disebut, Niken juga ikut menghentikan aktivitasnya. Wanita itu
Janu memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggilnya mama. "Ma, sorry lama.""It's ok, Sayang. Kita nungguin, kok."Dua wanita paruh baya itu saling berpandangan dan mengangguk."Kenalin ini, Sasa. Putri semata wayang Tante." Si ibu berbaju kuning yang bernama Reina itu memperkenalkan.Janu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan gadis yang bernama Sasa itu."Sasa ini masih single, loh. Cocok ya sama Janu. Sama-sama free." Reina mulai berpromosi."Eh, iya."Janu mengangguk karena sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini. Perjodohan dan dia menjadi malas."Yuk, kita langsung pilih gaun aja. Biar gak lama. Habis ini kita makan," usul Sarah.Tak lama, mereka tampak
Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Janu baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita patih baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar. "Ini pasti calon ibu mertua," batin Janu. Keluarga Nadine terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Janu yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu."Mama gak usah gitu juga kali," sungut Nadine saat keluar dan menghampiri mamanya. "Mama pengen liat, siapa cowok yang nganter kamu pulang," bisik Ratih."Mama jangan norak, deh," ucap Nadine sembari
Janu memarkirkan mobilnya di belakang. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung. "Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggo
Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Janu pintar sekali mengambil hati Raka."Nak Janu. Kamu benar-benar serius dengan Nadine?" tanya Pandu."Serius, Om," jawab Janu cepat."Om, memang agak ketat sama Nadine, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."Pandu menatap menatap Janu lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat, Nadine akan berjodoh dengan lelaki baik-baik."Iya, Om."Janu menjawab dengan tegas. Sepertinya dia lupa, bahwa tadi baru saja menjalin hubungan dengan Rani."Kalau begitu, gak usah lama-lama. Om gak suka pacaran atau ya ... yang seperti itulah."Janu mengangguk. Dia mengerti, bahwa jika berada di posisi yang sama dengan Raka, mungkin dia akan melakukan hal yang sama."Saya serius sama Nadine. Cuma perlu minta waktu. Kami baru kenalan. Mauny
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s