Nadine langsung masuk ke kamar setelah tiba di rumah dan mengabaikan panggilan sang mama. Dia masih kesal karena perbuatan Janu di cafe tadi. Gadis itu langsung berganti pakaian dan merebahkan diri untuk melepas penat. Malam Minggu bukannya senang, tetapi malah dongkol setengah mati.
Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk di w******p.
'Hei.'
Nadine melihatnya sebentar dan tak berniat membalas. Gadis itu sudah menduga jika Janu akan menghubunginya lewat chat. Dia mencebik lalu melemparkan benda pipih itu ke kasur.
Nadine teringat saat perjalanan tadi. Janu memaksa untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Janu fokus menyetir dengan santai, sementara Nadine berpura-pura bermain ponsel. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka benar-benar canggung.
"Kamu cantik."
Dokter Janu bilang dia cantik dan semua orang mengakui hal itu.
"Tapi sayang--"
Nadine memberanikan diri untuk bertanya karena melihat gelagat Janu yang berbeda sejak awal mereka memasuki cafe. Lelaki itu memberikan sinyal suka dari cara memandang dan berbicara kepadanya.
Nadine berharap dalam hati, semoga kejomloan akut yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun bisa segera berakhir bahagia dengan dokter tampan itu.
"Nama kamu siapa? Saya lupa. Pasien saya banyak."
Sial! Wajah Nadine seketika berubah. Selera makannya hilang, padahal baru saja mencicipi red velvet yang dipesan tadi. Janu lupa dengan namanya karena pasiennya banyak. Lalu, kenapa lelaki itu tidak bertanya sejak awal bertemu.
Nadine menutup wajah dengan bantal. Ponselnya bergetar terus, tanda ada banyak pesan yang masuk.
'Saya minta maaf soal yang tadi.'
Nadine sengaja mengabaikannya karena ngin tahu reaksi Janu jika dia bersikap cuek.
'Saya beneran lupa nama kamu.'
Janu berkata jujur saat menyampaikannya. Tipe lelaki yang tidak suka berbual kalau sedang melakukan pendekatan dengan lawan jenis. Dia memang tidak pandai menggombal hanya untuk menyenangkan hati wanita.
Nadine menjadi gamang, ingin membalas pesan itu tetapi gengsi. Namun, jika tidak dijawab malah membuatnya penasaran. Gadis itu mengetukkan jari di layar ponsel dan masih menimbang-nimbang.
Sementara itu, Janu mondar-mandir di kamarnya karena gelisah menunggu balasan dari Nadine. Saat mengantar gadis itu pulang, dia memaksa meminta nomor ponselnya.
Awalnya Nadine menolak, tetapi akhirnya luluh juga. Apalagi saat Janu membayarkan semua tagihan makanan mereka. Kedua teman gadis itu bahkan bersorak dan berulang kali mengucapkan terima kasih.
Janu berkali-kali melihat ponsel, berharap akan ada balasan dari Nadine. Sayang, status pesannya hanya dibaca. Sepertinya gadis itu memang benar-benar marah.
Akhirnya Janu menyerah, yang penting nomor gadis itu sudah disimpan. Nanti dia bisa menghubunginya lagi. Kalau perlu menelepon sebagai permintaan maaf.
Janu merebahkan diri di ranjang karena merasa begitu lelah. Besok libur jadi dia hanya perlu visite ke bangsal rawat inap. Setelahnya dia bisa pulang dan beristirahat seharian di rumah.
Ada banyak tanggung jawab yang harus dia pikul, juga waktu yang banyak tersita untuk pekerjaan. Bebagai macam hal berkelebat di benaknya. Lelaki itu kembali mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nadine.
Ternyata melupakan nama seorang wanita, padahal kita menyukainya cukup fatal. Dia baru tahu hari ini. Selama ini lelaki itu memang tidak terlalu mengerti cara mendekati wanita. Mungkin sesekali dia harus belajar dengan sesama rekan seprofesi yang jago bergonta-ganti pasangan.
'Ya udah kalau masih ngambek.'
'Kalau gak mau maafin saya juga gak apa-apa.
'Ingat jangan telat makan.'
'Siapin cemilan sama obat di tas.'
'Jangan banyak pikiran.'
'Kalau sakit ingat saya.'
'Saya siap mengobati.'
Rentetan pesan Janu kirim karena sedari tadi tak bisa menghilangkan resahnya.
'Asal kamu jangan ...."
'Jangan apa?' Akhirnya Nadine membalas karena merasa penasaran.
'Jangan godain pas saya mau periksa.'
Nadine terdiam karena ternyata Janu tahu akan niatnya waktu itu.
'Saya laki-laki normal. Gak kuat iman kalau melihat yang begituan.' Begitulah pesan balasan yang dikirim Janu.
Nadine menutup wajah dengan bantal karena malu ketika Janu mengingatkan kejadian itu lagi. Dia kembali melihat pesannya dan bingung hendak membalas apa.
'Iya, Pak dokter.' Jarinya kembali meluncur mengetikkan kata-kata, sembari mengulum senyum.
Sederetan pesan dari si dokter tampan itu memenuhi notifikasinya malam ini. Sejak tadi tawa Nadine menggema di dalam kamar. Rasa kesalnya berangsur hilang berganti bahagia tiada tara.
Nadine belum pernah dia dirayu seperti ini sebelumnya. Gadis itu kembali melihat pesan-pesan yang dikirimkan Janu dan membacanya ulang. Lalu, dia meletakkan tangan di depan dada sembari merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Inikah yang namanya cinta?
***
Janu memarkir Toyota Fortuner miliknya dengan cantik. Awal bulan begini biasanya parkiran akan penuh karena pasien yang membludak. Lelaki itu berjalan santai menuju meja resepsionis untuk menyetor telunjuknya pada finger print. Dia berjalan mundur saat sidik jarinya terdeteksi untuk memberikan kesempatan kepada karyawan yang lain.
Beberapa pegawai rumah sakit, khususnya wanita, tampak berbisik-bisik saat dia datang. Ada yang sengaja berkerumun untuk mendekatinya karena ingin berkenalan secara langsung atau sekedar bertegur sapa. Saat dia membalikkan tubuh, Janu hampir terjatuh karena menyenggol seseorang.
"Maaf, Dokter."
Rani menatap Janu dengan ketakutan. Gadis itu merasa sungkan karena pernah ditegur oleh lelaki itu sewaktu lambat menangani pasien di Instalansi Gawat Darurat. Dia baru lulus sebagai dokter umum, sehingga masih grogi jika menangani kasus-kasus tertentu.
"Hati-hati."
Janu mengucapkan itu sembari tersenyum karena Rani selalu menghindar setiap kali bertemu.
"Permisi, Dokter." Rani berpamitan karena tak mau berbasa-basi lebih lama.
"Eh, Dokter Rani. Maaf soal yang waktu itu."
Rani tertegun melihat senyum Janu yang langka. Rasanya dia ingin mengambil gambarnya dan memamerkan kepada khalayak ramai kalau senyum lelaki ini manis sekali. Dia seperti mendapat rezeki nomplok hari ini.
"Iya gak apa-apa, Dokter."
"Saya duluan, ya."
Janu segera menyingkir karena penggemarnya mulai berdatangan. Lelaki itu hanya menanggapi dengan anggukan ketika beberapa karyawan wanita menyapanya.
"Dokter, mundur dikit, dong!"
Seseorang sengaja menyenggol Janu saat dia akan berbalik.
"Ada apa, ya?"
"Gantengnya kelewatan."
Seketika suara tawa menggema di mana-mana. Janu sungguh tak menyangka akan mendapatkan sarapan pagi seperti ini.
Mereka tergelak kemudian berlal meninggalkan Janu yang masih terbengong mendengar ucapan yang tadi.
Rani yang melihat kejadian itu juga ikut tertawa, kemudian berjalan bersisian dengan Janu. Suasana di antara mereka perlahan mulai mencair.
"Langsung ke poli, Dok?"
Rani mendongak ketika berbincang dengan Janu. Lelaki itu begitu jangkung sehingga dia harus mengerasakan suara saat berbicara.
"Iya. Dokter Rani mau ke mana?"
"Ke atas dulu. Ada sosialisasi penggunaan hand hygine buat para perawat di ruangan. Saya dan tim PPI dimintain tolong sama komite medik."
"Kapan rapatnya? Kok saya gak tahu."
"Seminggu yang lalu. Sekarang rumah sakit lagi gencar sosialisai penggunaan masker dan hand hygine."
Mereka asyik berbincang sehingga membuat beberapa perawat yang lewat memandang Rani dengan tatapan iri.
Janu memang menjaga jarak dengan wanita sekalipun itu sesama rekan medis. Bukannya sombong, hanya dia malas karena pernah menjadi bahan gosip saat program Wajib Kerja Dokter Spesialis di sebuah rumah sakit.
"Bener, Dokter. Kadang kita suka lupa."
"Untuk hand hygine apa harus sesuai dengan tujuh langkah itu?"
"Sebagian sudah, ada juga yang belum. Semua perlu diedukasi lagi. Kadang jika terburu-buru beberapa orang suka abai."
"Berarti pengeluaran untuk belanja cairan cuci tangan meningkat, dong?" tanya Janu.
"Pastinya, Dokter. Hanya saja itu kan dapurnya instalansi farmasi. Bukan ranahnya kita."
Mereka melanjutkan perbincangan hingga Janu menghentikan langkah. Dia akan berbelok menuju poli penyakit dalam, tempatnya bekerja hingga nanti pukul dua siang.
"Saya jalan dulu."
Janu berpamitan dengan sopan. Tutur katanya juga halus. Kalau sudah begitu, wanita mana yang tidak akan jatuh hati melihatnya.
"Sampai ketemu lagi ya, Dokter."
Rani membalas ucapan Janu dengan hati berdebar. Berada di satu tempat kerja juga tidak menjamin mereka bisa bertemu setiap saat.
Janu mengiyakan kemudian berbalik, ketika Rani memanggilnya kembali.
"Eh, Dokter!"
"Ya?"
"Selamat bekerja."
Senyuman paling tulus Rani hadiahkan kepada Janu. Lelaki itu tertegun. Ada desiran halus di dadanya saat melihat dua lekuk di sudut pipi gadis itu. Senyumnya mirip seperti seseorang yang pernah singgah di masa lalunya.
Janu mengangguk lalu berjalan menuju ruangan. Perawat pendampingnya sudah menunggu sejak. Lelaki itu mengambil snelli dan segera memakainya.
"Berapa daftar pasien hari ini, Suster?"
"Seratus lima orang, Dokter."
"Saya sendiri atau--"
"Dibagi dua dengan Dokter Anwar. Hanya saja beliau kan sudah mau pensiun. Jadi pasien dokter lebih banyak." Perawat itu menjelaskan.
"Saya dapat berapa?"
"Tujuh puluh lima pasien. Sisanya untuk dokter Anwar."
"Berarti jam dua siang belum tentu selesai, ya?"
"Jam tiga sepertinya, Dokter."
"Oke. Berarti nanti tolong jika ada yang nganterin snack, jatah saya di-double. Saya butuh tenaga ekstra hari ini," ucapnya sembari menghela napas.
"Baik, dokter."
"Kamu siapkan dulu yang lain. Saya ada keperluan sebentar," ucapnya sembari melirik Tag Heurer Formula 1 di tangannya. Masih ada waktu dan dia ingin mengirim pesan.
'Aku pulang sore. Pasien hari ini ramai. Lanjut visite lagi.'
Jaanu sudah berjanji kepada ibunya untuk mengantar ke sebuah butik setelah selesai bekerja. Ada sebuah gaun yang beliau ingin beli.
Dia menunggu hingga beberapa saat, tetapi belum ada respons. Lelaki itu kembali memainkan jari untuk membuka media sosial yaitu I*******m. Dahinya berkerut saat melihat ada satu akun yang mengikutinya.
"Nadine moet ini siapa?" terka Janu dalam hati.
Akun itu menyukai hampir semua postingannya. Padahal selama empat tahun ini foto yang dia unggah tidaklah banyak. Hanya moment tertentu saja yang dia bagikan, misalnya saat wisuda kelulusan, peringatan hari Raya Idul Fitri, travelling dengan teman-teman dan beberapa kegiatannya di rumah sakit.
Janu menjadi penasaran, kemudian membuka profile akun tadi. Tampaknya berbagai macam foto selfie seorang gadis dengan berbagai pose di berbagai tempat wisata yang menjadi latarnya.
Ada juga beberapa foto saat gadis itu mengikuti pelatihan kerja di berbagai hotel ternama. Total postingannya hampir seribuan. Gadis itu mungkin setipe orang yang suka mengabadikan setiap moment yang berharga dalam hidupnya.
Dari semua postingan yang ada, tampak gadis itu sedang memeluk dua orang pria wanita paruh baya dan seorang remaja lelaki. Itu pastilah orang tua dan adiknya. Mereka sedang berlibur ke pulau Dewata.
"Nadine. Pasien gue yang cantik itu."
Janu membatin dalam hati, lalu membuka WhatssApp dan mencari nama seseorang. Nadine Bank Alaya. Dia memang menyimpan nomor gadis itu beserta tempat kerjanya agar tidak lupa. Bisa gagal lagi pendekatannya jika sampai terulang.
'Ada stalker rupanya.'
Janu mengetikkan kata-kata itu sembari mengulum senyum. Tak lupa dia menyelipkan emoji senyum setelahnya. Pesannya sudah terkirim, tetapi belum terbaca. Gadis itu pasti sedang melayani nasabah.
Janu tersenyum saat mengingat tingkah Nadine. Gadis itu sungguh absurd hingga mencarinya mencarinya di media sosial.
"Dokter, apa kita sudah bisa mulai?"
"Oke."
Janu mengaktifkan 'mode sunyi' pada ponselnya meletakkan benda itu di meja. Satu per satu pasien mulai masuk. Lelaki itu mulai berkonsentrasi dengan pekerjaan, hingga tak menyadari bahwa ada banyak pesan yang masuk dari mamanya.
'Ada stalker ternyata.'Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Nadine. Gadis itu melihat berkali-kali, memastikan apa memang benar Janu yang mengirimnya. Dia masih mencoba menerka apa maksud dari lelaki itu."Ehem."Nadine menoleh saat mendengar suara Niken, rekan kerjanya sesama teller."Sstttt ... diem, Kak," bisik Nadine."Beresin kerjaan dulu, baru chatting-an," tegur Niken.Sikap Nadine itu kalau sampai terlihat atasan mereka itu bisa bahaya. Apalagi kalau salah menghitung uang nasabah, bisa nombok mereka."Siapa sih yang nge-chat? Dari tadi senyum mulu," tanya Niken."Dokter Janu."Nadine menghentikan aktivitasnya kemudian menggeser duduk agar berdekatan dengan Niken.Mendengar nama Janu disebut, Niken juga ikut menghentikan aktivitasnya. Wanita itu
Janu memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggilnya mama. "Ma, sorry lama.""It's ok, Sayang. Kita nungguin, kok."Dua wanita paruh baya itu saling berpandangan dan mengangguk."Kenalin ini, Sasa. Putri semata wayang Tante." Si ibu berbaju kuning yang bernama Reina itu memperkenalkan.Janu mengulurkan tangan dan berkenalan dengan gadis yang bernama Sasa itu."Sasa ini masih single, loh. Cocok ya sama Janu. Sama-sama free." Reina mulai berpromosi."Eh, iya."Janu mengangguk karena sudah tahu apa maksud dari pertemuan ini. Perjodohan dan dia menjadi malas."Yuk, kita langsung pilih gaun aja. Biar gak lama. Habis ini kita makan," usul Sarah.Tak lama, mereka tampak
Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Janu baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita patih baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar. "Ini pasti calon ibu mertua," batin Janu. Keluarga Nadine terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Janu yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu."Mama gak usah gitu juga kali," sungut Nadine saat keluar dan menghampiri mamanya. "Mama pengen liat, siapa cowok yang nganter kamu pulang," bisik Ratih."Mama jangan norak, deh," ucap Nadine sembari
Janu memarkirkan mobilnya di belakang. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung. "Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggo
Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Janu pintar sekali mengambil hati Raka."Nak Janu. Kamu benar-benar serius dengan Nadine?" tanya Pandu."Serius, Om," jawab Janu cepat."Om, memang agak ketat sama Nadine, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."Pandu menatap menatap Janu lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat, Nadine akan berjodoh dengan lelaki baik-baik."Iya, Om."Janu menjawab dengan tegas. Sepertinya dia lupa, bahwa tadi baru saja menjalin hubungan dengan Rani."Kalau begitu, gak usah lama-lama. Om gak suka pacaran atau ya ... yang seperti itulah."Janu mengangguk. Dia mengerti, bahwa jika berada di posisi yang sama dengan Raka, mungkin dia akan melakukan hal yang sama."Saya serius sama Nadine. Cuma perlu minta waktu. Kami baru kenalan. Mauny
Janu menatap lekat pada sesosok gadis dihadapannya. Wajahnya ayu dan nyaman dipandang, membuat denyar halus tiba-tiba saja muncul menyusup ke hatinya secara perlahan."Kenapa kamu ngeliatin kayak gitu?" tanya Rani tersipu malu. Senyum manis yang terukir di bibirnya, membuat Janu semakin berdebar-debar.Rani memang terlihat berbeda karena hari ini dia memakai gaun baru dan memoles wajahnya dengan make-up. Lispstiknya merah menyala. Alisnya melingkar indah dengan eye liner. Maskara membuat bulu matanya tampak lentik. Sapuan blush-on yang sempurna di pipi, membuat Janu ingin mencubitnya sedikit.Tunggu dulu. Kenapa Rani jadi mirip seperti Nadine?"Tumben, hari ini pake dress. Biasanya pake snelli," goda Janu. Melihat Rani semakin merona, dia berhenti menatap lalu memalingkan pandangan."Memangnya saya gak boleh dandan kalau lagi ketemu pacar?"Ya, mereka resmi berpacaran setelah hari itu. Di mana Rani menembak Janu dan laki-laki itu mengiyakan."Nanti kamu malah ditaksir pasien, loh. Ata
Janu bergegas mencari pasien yang dimaksud saat memasuki instalansi gawat darurat."Mana orangnya?""Itu, Dokter!"Si perawat menunjuk ranjang paling ujung. Tampak seorang gadis sedang berbaring menyamping. Di sebelahnya ada seorang wanita paruh baya sedang duduk menunggu."Tante?"Wanita paruh baya itu menoleh. Benar saja, itu Sarah mamanya Nadine. Bersamaan dengan itu, gadis itupun ikut menoleh."Janu, ini sakit," lirih Nadine manja sambil memegang perut. Wajahnya begitu pucat dengan peluh yang mengucur di dahi.Janu langsung memasang stetoskop dan memeriksna perut Nadine dengan teliti. Benar saja, asam lambungnya parah. Hingga lelaki itu menggeleng karena tak habis pikir."Kamu makan apa?"Ada nada amarah dalam suara Janu. Dia sudah mengingatkan berkali-kali agar gadis itu menjaga pola makan. Asam lambung tidak bisa dianggap remeh. Jika sudah parah dan menjadi GERD maka akan berbahaya."Bakso mercon." Suara Nadine nyaris tak terdengar saat mengucapkannya. Dia takut jika lelaki itu
Warning!Cuma adegan kiss ✌️Ketika jarum jam menunjukkan angka dua belas, Janu memilih untuk istirahat dan melanjutkan pekerjaan pada pukul satu nanti. Dia merasa khawatir kepada Nadine. Gadis itu memang dijaga oleh mamanya, tetapi tetap saja dia tidak bisa lepas tangan.Jadi, Janu memutuskan untuk mengunjungi pasiennya yang satu itu terlebih dahulu. Khusus Nadine, hanya boleh dirawat olehnya, kecuali jika memang harus dirujuk ke spesialis lain.Janu memasuki lift menuju lantai tiga, di mana kamar Nadine berada. Dia mampir sebentar di ners station untuk melihat status pasien yang akan dikunjunginya hari ini. Untuk gadis itu, dia tidak mau didampingi oleh siapa pun dengan alasan keluarga. Lagipula sakitnya tidak parah.Setelah berbasa-basi dengan yang lain, Janu memasuki kamar Nadine dengan tenang. Gadis itu tampak sendirian. Entah di mana mamanya berada.Janu mendekati ranjang dan menatap Nadine yang masih tertidur dengan pulas. Dengan lembut diusapnya kepala gadis itu. Sekalipun tan
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s