Carla berdiri di depan pintu menuju taman rumah sakit. Dari pintu itu dia bisa melihat taman rumah sakit yang telah dipenuhi oleh salju. Gadis itu rasanya ingin sekali bermain bola salju atau sekadar membuat boneka salju di luar sana, tetapi sayangnya dia tidak bisa melakukan itu di halaman rumah sakit. Para pasien di larang keluar bangunan rumah sakit di saat salju turun. Mereka hanya boleh berkeliaran di dalam gedung. Jika dia melakukannya seorang diri akan terlihat aneh dan menyedihkan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun yang tiba-tiba berdiri di samping Carla sambil menarik-narik tangan gadis bermata abu-abu itu.
Carla menoleh ke sumber suara, setelah melihat anak laki-laki itu, ia pun tersenyum manis. Kemudian, Carla membungkukkan badannya untuk menyamai tinggi badannya dengan bocah laki-laki itu, “Aku sedang melihat salju di luar sana,” ucap Carla sambil menunjuk ke arah tamna yang te
Sbastian menarik paksa Carla untuk ikut dengannya. Dokter berhati dingin itu membawa si gadis bermata abu-abu ke gudang penyimpanan, tak jauh dari tempat mereka berdebat karena Sbastian tak ingin perdebatan mereka berdua menjadi tontonan orang-orang yang ada di sekitar mereka.“Apa kau tak puas hanya dengan mengganggu hidupku? Sekarang kau juga melibatkan pasienku?” Sbastian melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Carla, gadis penjual bunga itu merasakan ngilu di pergelangan tangannya karena cengkraman Sbastian yang terlalu erat.“Aku sama sekali tidak mengganggu pasienmu,” ucap Carla sambil memijat-mijat pergelangan tangannya.“Kau membawa pasienku pergi dari kamar rawatnya, apa itu artinya kau tidak mengganggunya?” Sbastian memukul tembok yang ada di sampingnya, Carla sempat berjingkat karena terkejut.“Bisa tidak kau itu jangan langsung marah-marah dan mengambil simpulan begitu saja, kau kan belum
Sbastian berjalan ke ruang rawat Michael dengan perasaan kesal. Dirinya tak terima mendapatkan nasihat dari Carla. Rasanya emosinya sangat ingin meledak. Saat tiba di kamar Michael, sudah ada suster yang sedang memeriksa bocah laki-laki itu. Sbastian meminta suster itu untuk pergi, meninggalkan dirinya dan Michael dalam kamar itu.Bocah sebelas tahun itu nampak takut pada sosok Sbastian. Matanya tak berani menatap wajah Sbastian. Ia terus menundukkan kepalanya, bersiap untuk menerima amarah yang akan diluapkan oleh sang dokter.“Kenapa kau terus menunduk? Apa wajahku terlihat menakutkan?” tegur Sbastian, Michael hanya diam, dia tetap menundukkan kepalanya.Sbastian duduk di kursi yang berada tepat di samping ranjang Michael.“Aku bukan musuhmu, kenapa kau terus menundukkan kepalamu? Apa wajahku menyeramkan?” ucap Sbastian dengan nada datar.Michael tetap tak bergeming. Bocah itu masih merasa takut pada dokter yang merawatnya
“Kau?” ucap Carla yang terkejut dengan kehadiran Sbastian yang begitu tiba-tiba.“Apa yang terjadi? Kenapa kalian nampak sedang berdebat?” tanya Sbastian sambil secara bergantian menatap suster muda itu dan Carla.“Maaf, saya permisi. Tidak ada yang perlu saya katakan lagi,” ucap si suster muda yang usianya mungkin baru dua puluh lima tahunan.Carla berdecak kesal, dia mengacak-acak rambut panjangnya. Sbastian memberikan tatapan aneh pada gadis bermata abu-abu itu, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau terlihat frustasi?”Carla menatap Sbastian dengan sinis, “Sejak kapan kau peduli dengan urusanku?”Sbastian menghembuskan nafas kesal, “Ya, kau memang benar, aku tidak peduli dengan urusanmu. Jadi, tidak perlu kau jawab pertanyaanku yang tidak penting itu,” ucap Sbastian dengan sinis.Kemudian, Sbastian pun berjalan meninggalkan Carla. Buru-buru gadis bermata abu-abu it
Carla meletakkan pot keramik berwarna cokelat polos yang telah ditanami dengan bunga Amaryllis berwarna merah di atas meja panjang di depan sofa yang ada di pojok ruangan kantor Sbastian. Gadis bermata abu-abu itu membersihkan rumput-rumput liar yang ada di sekitar tanaman Amaryllisnya.Saat itulah, ia mendengar ada yang membuka pintu ruangan Sbastian. Ia menolehkan pandangannya pada pintu itu, dilihatnya sosok Sbastian dengan rambut yang awut-awutan dan wajah kusut. Carla tahu bahwa sore itu si dokter muda baru selesai mengoperasi pasiennya.“Apa operasinya berjalan lancar?” tanya Carla yang masih berada di tempatnya duduk.Sbastian menolehkan pandangannya pada sumber suara. Dilihatnya sosok Carla yang sedang menatapnya di kejauhan. Sbastian menghembuskan nafas kasar, namun dia tak menjawab pertanyaan gadis bermata abu-abu itu.Dokter angkuh itu berjalan menghampiri Carla. Lalu, menghembuskan dirinya dan menyandarkan puggungnya di sofa yang a
Sbastian berjalan dengan wajah penuh amarah menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Tujuan dokter yang sedang memakai kemeja biru langit yang dipadukan dengan celana kain hitam itu adalah bangsal kelas VIP. Kedua tangannya mengepal erat di samping badan, menandakan dirinya yang sedang berusaha untuk menahan amarah yang siap meledek.Setibanya di bangsal VIP, ia dengan buru-buru masuk ke salah satu ruangan yang berada di bagian paling ujung. Ia buka pintu kamar VIP itu dengan kasar. Ditemuinya seorang suster berusia sekitar empat puluh lima tahun sedang mengobrol dengan seorang kakek tua yang berbaring di atas ranjang perawatan.“Suster Jane keluar dari sini!” bentak Sbastian dengan wajah merah karena marah.Suster Jane dan Kakek tua itu mengalihkan tatapan mereka ke sumber suara. Mendengar teriakan yang cukup menggelegar itu, Suster Jane menelan salivanya, wajahnya terlihat tegang, berbeda dengan si kakek tua yang wajahnya tetap terlihat tenang.
Sbastian benar-benar diliputi amarah. Ia sangat kesal dengan keputusan sang kakek. Kekesalannya itu ia salurkan dengan memecahkan barang-barang di ruang kerjanya. Ia juga membuat meja kerjanya berantakan dan memukul-mukul dinding ruangannya dengan tangan untuk melampiaskan segala amarah yang terpendam. Hal itu membuat buku-buku jari tangan kanannya terluka dan berdarah.Namun, rasa sakit di buku-buku jarinya itu sama sekali tak terasa karena rasa sakit di hatinya lebih mendominasi. Ia tak peduli dengan luka-luka yang diderita buku-buku jarinya. Ia tetap melanjutkan aksi pelampiasan itu.Saat dokter bermata hijau itu sedang sibuk melampiaskan amarah dalam dirinya, seseorang membuka ruangannya tanpa mengetuk pintu. Sbastian tak peduli. Ia mengabaikan siapa pun yang masuk ke ruangannya.“Oh Tuhan Sbastian, apa yang kau lakukan?” seru sosok yang baru saja masuk ruangan dokter angkuh itu.Sbastian tak bergeming, ia tetap memukul-mukulkan buku-buku
“Keluar dari sini!” bentak Sbastian.Carla mengerucutkan bibirnya, kemudian dia duduk di samping Sbastian. Dokter bermata hijau itu menatap kesal pada si gadis penjual bunga.“Aku memintamu untuk keluar dari ruanganku, bukan menyuruhmu duduk di sampingku!” ucap Sbastian dengan mata menatap tajam.“Kau tahu bukan aku ini tidak mudah untuk menuruti perintah orang lain,” ujar Carla diringin senyum mengejek.“Dan aku ini seorang yang pemaksa,” Sbastian berdiri dari sofa yang didudukinya.Carla menarik paksa tangan Sbastian hingga membuat pria bermata hijau itu kembali terduduk karen atarikan mendadak yang dilakukan oleh Carla, “Apa yang kau lakukan?” teriak Sbastian dengan penuh amarah.“Aku membuatmu duduk kembali,” ucap Carla dengan wajah polos.“Aku mohon padamu, keluar dari ruanganku sekarang! Jangan membuat kepalaku semakin sakit!” ucap Sbastian denga
Dua porsi sup jamur telah berada di tangan Carla. Gadis itu kembali lagi ke ruangan Sbastian dengan wajah riang. Saat tiba di depan ruangan dokter angkuh itu, tanpa mengetuk pintu, Carla langsung membuka pintu ruangannya.Ruangan Sbastian begitu gelap padahal tadi saat ditinggalkan Carla ruangan itu masih diterangi dengan lampu-lampu yang menyala. Carla yakin pasti Sbastian lah yang telah mematikan lampu di ruangannya.Carla pikir mungkin Sbastian sudah pergi dari ruangan itu dan menenangkan diri dengan pulang ke rumah. Meski ia tahu bahwa Sbastian mungkin tidak ada lagi di sana, Carla tetap mencari tombol untuk menyalakan lampu ruangan itu karena ia ingin melihat apakah ruangan Sbastian sudah dirapikan atau belum.Ketika tombol lampu ditemukan, tombol itu pun ditekan, lampu seketika menyala. Saat itu pula, seseorang berteriak terkejut, “Apa-apaan ini? Siapa itu?”Carla terjingkat, terkejut dengan teriakan seseorang yang ternyata ada di dalam
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan