Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.
Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.
Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Musim gugur membuat kota London terlihat seperti kota bertabur emas. Dedaunan yang hijau berubah cokelat kemerahan. London terlihat begitu anggun. Musim gugur membuat bangunan-bangunan tua yang berdiri di ibu kota negara Inggris itu nampak semakin gagah.Carla Bons, seorang gadis berdarah Inggris-Rusia berusia dua puluh dua tahun dengan ceria memasuki aula rumah sakit St Thomas'. Salah satu rumah sakit terkenal yang terletak di pusat kota London. Berlokasi di Westminster Bridge Rd, London SE1 7EH, United Kingdom.Mata abu-abu indahnya berkilau karena rona bahagia. Gadis dengan tinggi sekitar 170 sentimeter itu membawa seikat balon yang berjumlah sekitar lima belas buah balon dengan berbagai warna ke dalam aula rumah sakit.Baru saja memasuki pintu aula, beberapa anak sudah berlarian menghampirinya dan mendesak gadis itu untuk memberikan balon pada mereka."Tenanglah! Tenang! Aku akan memberikan balon ini jika kalian tenang," Carla mencoba menertibkan bebe
Demi membuat sahabat kecilnya tersenyum bahagia, Carla pun menuruti keingan gadis kecil itu. Ia akan menyerehakan hadiah dari Cheril pada si dokter tampan, yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu siapa sebenarnya dokter yang dimaksud anak sembilan tahun itu.“Itu dokternya, yang sedang memarahi suster itu,” Cheril menunjuk seorang dokter dengan tinggi badan sekitar 180 sentimeter, rambut berwarna cinnamon brownnya tertata rapi dengan potongan model rambut Ivy League.Mata hijaunya terlihat menatap kesal pada seorang perawat yang sedang tertunduk di hadapannya. Sekilas wajah dokter itu mirip dengan actor Andrew Garfield dengan garis wajah yang lebih tegas dan sorot mata yang lebih tajam.Carla tak begitu menyukai raut wajah dokter itu karena terlihat galak dan tatapan mengintimidasinya sangat membuat hati tak nyaman.“Carla, ayo serahkan hadiahku, tunggu apa lagi!” desak Cheril, mereka berdua sedang
Carla menemuka Cheril tengkurap menangis di kamar rawatnya. Gadis bermata abu-abu itu sungguh tak senang melihat sahabat kecilnya yang biasanya selalu terlihat ceria menjadi begitu sedih. Ia benar-benar kesal dengan sikap Sbastian yang begitu kasar dan angkuh.“Hai, apa kau baik-baik saja?” Carla menyentuh pundak Cheril dengan lembut.Gadis kecil itu tak menjawab. Ia masihh menangis sesenggukan. Carla duduk di atas tempat duduk sahabat kecilnya. Ia membelai lembut rambut Cheril yang dikuncir kuda.“Cheril, di dunia ini tidak semua orang baik, mungkin Dokter Sbastian adalah salah satu orang yang tidak baik itu. Jadi, berhentilah untuk menangisinya! Dia sama sekali tidak pantas untuk menerima kebaikanmu,” Carla mencoba untuk menghibur sahabat kecilnya.Cheril mulai tenang, kemudian ia bangkit dari posisi tengkurapnya. Duduk menatap Carla dengan mata yang masih dipenuhi air mata, “Jadi, dia bukan orang baik?”Carla
Seorang pria bermata cokelat tua menatap tajam seorang perempuan yang ia dorong ke dinding. Perempuan pirang berambut sebahu itu tidak bisa meloloskan diri karena si pria berotot mengunci pergerakannya.“Kau harus menerima kontrak ini!” pria itu mencengkram raham bagian bawah perempuan pirang itu dengan kencang hingga membuat si perempuan menampakkan wajah kesakitan.“Tolong lepaskan aku Gerald! Kau menyakitiku,” ucap si perempuan pirang dengan air mata yang mulai menetes.“Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu setuju untuk menandatangani kontrak ini,” ancam si pria bernama Gerald.Dialah Gerald Alexander, seorang manajer artis yang juga merangkap sebagai bandar narkoba. Pekerjaannya sebagai manajer artis hanyalah kedok untuk menutupi pekerjaan utamanya sebagai pemasok narkoba terbesar di kota New York.Gadis pirang yang ia intimidasi adalah kekasihnya, Renatta Rushman yang juga merupakan artis yang ia manajer
Udara di musim gugur terasa sejuk meski sedikit dingin. Suasana terlihat lebih gelap daripada saat musim panas, mentari tidak memancarkan cahayanya dengan maksimal. Meski sinar mentari terlihat redup, semangat dan keceriaan Carla untuk bermain dengan anak-anak di rumah sakit tertap membara.Pada suatu pagi di musim gugur yang cukup dingin, Carla kembali pergi ke rumah sakit. Senyum manis tak lepas dari wajahnya. Gadis bermata abu-abu itu membawa bunga aster ungu di tangannya yang ditanam di pot berwarna putih. Ia bermaksud memberikan bunga itu kepada Suster Jane sebagai hadiah untuk kelahiran cucu perempuannya.Pada pagi hari seperti itu, biasanya Suster Jane berada di taman mengawasi pasien-pasien yang sedang berjemur dan menghirup udara segar alam bebas. Oleh karena itu, Carla pun dengan riang menuju ke taman rumah sakit St Thomas’.Ketika tiba di taman yang pepohonannya mulai layu dengan daun-daun yang hampir tak tersisa di tubuhnya, ia mengedarkan pand
Kakek Tom nampaknya tidak merasa bosan untuk terus mengomeli Carla agar kembali bekerja dan berhenti mengurusi orang sakit. Gadis bermata abu-abu itu sesekali memberikan tatapan kesal, lalu mencoba menganggap gurauan Kakek Tom sebagai candaan belaka. Carla lebih nyaman menghabiskan waktu-waktunya dengan para pasien di rumah sakit karena selama ini sebagian besar di hidupnya memang banyak dihabiskan di sana. Ia senang menghibur orang-orang yang sedang tak sehat, bercanda bersama mereka, sesekali membawakan mereka bunga dari tokonya. Pagi itu yang berusaha menasihati Carla agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah sakit bukan hanya Kakek Tom tetapi juga Suster Jane. Suster yang telah Carla anggap seperti keluarganya sendiri itu menyarankan Carla untuk mencari hiburan lain selain datang ke rumah sakit. Perempuan empat puluh lima tahun itu menyarankan Carla untuk bersenang-senang dengan hidupnya, sementara waktu melupakan tentang tempat bernama rumah sakit.
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan