Seorang pria bermata cokelat tua menatap tajam seorang perempuan yang ia dorong ke dinding. Perempuan pirang berambut sebahu itu tidak bisa meloloskan diri karena si pria berotot mengunci pergerakannya.
“Kau harus menerima kontrak ini!” pria itu mencengkram raham bagian bawah perempuan pirang itu dengan kencang hingga membuat si perempuan menampakkan wajah kesakitan.
“Tolong lepaskan aku Gerald! Kau menyakitiku,” ucap si perempuan pirang dengan air mata yang mulai menetes.
“Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu setuju untuk menandatangani kontrak ini,” ancam si pria bernama Gerald.
Dialah Gerald Alexander, seorang manajer artis yang juga merangkap sebagai bandar narkoba. Pekerjaannya sebagai manajer artis hanyalah kedok untuk menutupi pekerjaan utamanya sebagai pemasok narkoba terbesar di kota New York.
Gadis pirang yang ia intimidasi adalah kekasihnya, Renatta Rushman yang juga merupakan artis yang ia manajeri. Gerald bukanlah pria baik, ia sering memaksakan kehendaknya pada Renatta. Perempuan pirang itu tidak memiliki keberanian untuk melawan sang kekasih karena Gerald memiliki banyak anak buah yang siap melaksanakan perintah yang diberikan oleh Gerald.
“Aku mohon jangan memaksaku untuk menerima kontrak ini!”pinta Renatta dengan suara memelas.
“Aku tidak mau mendengar penolakan darimu!” ujar Gerald dengan menambah kekuatan cengkramannya pada rahang Renatta.
“Aku hanya ingin kau memberiku waktu istirahat sejenak saja Gerald. Sudah hampir satu tahun kau tak memberikanku waktu libur meski hanya sehari. Aku mohon untuk kali ini biarkan jadwal hari Mingguku kosong!” Renatta mengiba.
“Sekali tidak, tetap tidak! Jika kau ingin istirahat, beristirahatlah saat kau tak lagi bernafas” Gerald tetap pada keputusannya.
Renatta tahu diriny atak akan menang melawan pria itu, “Baiklah! Aku akan menerima kontrak itu. Sekarang tolong lepaskan aku!” pinta Renatta dengan air mata yang semakin menderas.
Pria kejam itu, melepaskan tangannya dari rahang Renatta, “Ini baru namanya kekasih yang baik, sekarang tanda tangani kontraknya sayang,” Gerald menepuk-nepuk pipi Renatta dengan lembut.
Renatta mengambil berkas kontrak yang ada di tangan Gerald. Ia tak berani menatap kekasihnya itu. Dengan berat hati ia pun menandatangani kontrak iklan. Setelah selesai ditandangani, kontrak itu kembali ia serahkan pada Gerald.
Si pria bermata cokelat tua itu melihat sekilas berkas yang ditanda tangani oleh Renatta, lalu menutupnya, “Hapus air matamu! Aku tidak suka melihat perempuan cengeng,” ujar Gerald nada kesal.
Buru-buru Renatta menghapus air matanya. Ia tidak ingin kembali membuat sang kekasih marah. Pria itu benar-benar menakutkan saat amarah menguasainya.
“Malam ini dandanlah yang cantik, kita akan ke peluncuran produk kecantikan perusahaan B and B. Aku dengan susah payah berhasil mendapatkan undangan ini, jadi jangan sampai dandananmu mengecewakanku,” bisik Gerald di telinga Renatta.
Setelah itu, Gerald keluar dari kamar Renatta dengan membawa berkas kontrak. Pria itu merasa puas karena keinginannya terpenuhi. Sepeninggal sang kekasih, Renatta menjatuhkan dirinya di atas lantai kamar. Tubuhnya ia sandarkan pada tembok.
Hati perempuan pirang itu begitu pilu. Batinnya tersiksa. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menumpahkan air mata yang ditahannya. Ia ingin lepas dari pria kejam itu, tetapi ia tidak bisa melakukannya. Hidupnya benar-benar hancur sejak ia bertemu dengan Gerald.
Pertemuan pertamanya dengan Gerald berlangsung tiga tahun lalu di saat musim panas. Saat itu Renatta sedang mengikuti casting iklan minuman isotonik di sebuah pantai di kawasan New Jersey. Saat itu dia sudah hampir tiga tahun tinggal di New York untuk mengejar impiannya sebagai model kelas dunia, tetapi sayangnya dalam kurun tiga tahun itu karier modelnya tidak berjalan dengan baik. Ia hanya mendapatkan tawaran pekerjaan dengan agensi-agensi kecil.
Sudah tak terhitung lagi berapa banyak casting yang ia ikuti untuk produk-produk terkenal dan agensi besar tetapi dia selalu gagal. Ia berharap bisa mendapatkan kontrak dari casting minuman isotonik itu, meskipun ia tahu kemungkinannya sangat kecil karena model-model yang lebih terkenal dan di atas dirinya banyak yang mengikuti casting itu.
Saat itulah, seorang pemuda dengan wajah tampan dengan bertelanjang dada menghampiri dirinya. Pemuda itu mengenalkan dirinya sebagai manajer artis-artis dan model papan atas. Ia menawarkan Renatta untuk bergambung dalam managemennya. Renatta tak langsung menyetujuinya.
Perempuan pirang itu tidak begitu saja mempercayai ucapan si pria yang baru dikenalnya. Pria asing itu memberikan kartu namanya dan meminta Renatta untuk memikirkan tawarannya.
Saat Renatta kembali ke apartemennya yang berada di pusat kota New York, ia pun menyelidiki latar belakang pemuda itu dari internet. Setelah melihat nama-nama model yang pernah diorbitkan oleh pemuda itu, Renatta pun memutuskan untuk menghubunginya.
Pria itu ternyata tidak bohong jika sudah banyak mengorbitkan artis dan model ternama di New York, salah satu model yang diorbitkan pemuda itu bahkan menduduki sepuluh besar model terlaris di dunia. Semua informasi itu diperoleh oleh Renatta dari internet tentunya. Panggilan telepon yang dilakukan Renatta saat itu adalah awal dari hilangnya kebebasan yang dimilikinya.
Pada masa awal-awal perkenalan mereka, Gerald adalah pria yang manis. Dia sangat perhatian pada Renatta hingga membuat perempuan itu merasa begitu nyaman dan terlindungi saat berada di sisi pria yang baru dikenalnya.
Baru satu bulan bekerja di bawah Gerald, tawaran iklan mulai berdatangan. Itu membuat Renatta semakin percaya pada sosok pemuda itu. Tidak heran jika Gerald mudah dalam mendapatkan iklan-iklan besar untuk artisnya, termasuk Renatta karena ia memiliki jaringan luas dengan para petinggi-petinggi perusahaan besar di New York. Tentu saja koneksi itu ia dapatkan dari bisnisnya yang lain.
Tiga bulan setelah Renatta bergabung dengan Gerald, fotonya sudah mulai banyak dimuat di majalah-majalah besar New York. Renatta sangat bahagia saat itu. Ia benar-benar menganggap Gerald sebagai pahlawannya. Hal itu pula yang membuat Renatta tanpa ragu menerima Gerald sebagai kekasihnya ketika pria bermata cokelat tua itu menyatakan cinta.
Namun, semua kebahagiaan Renatta itu tak berlangsung lama. Semakin hari perlakuan Gerald semakin berubah. Sosok pria manis, penyayang, dan selalu memperlakukannya dengan baik itu tak lagi ada pada diri Gerald. Renatta benar-benar tak lagi mengenal kekasihnya itu. Padahal perempuan pirang itu telah menyerahkan segenap jiwa dan raganya pada Gerald. Ia bahkan rela meyerahkan kesuciannya pada pemuda itu.
Hari-hari Renatta semakin pilu ketika kekasihnya itu terus memaksanya untuk bekerja tanpa libur. Saat Renatta menolak, tanpa segan Gerald akan berbuat kasar padanya. Saat Renatta ingin kabur, pria kejam itu mengancam akan menyebarkan video panas mereka berdua ke media dan menghabisi nyawanya.
Renatta terkejut, ia tak menyangka bahwa selama ini Gerald merekam malam-malam kebersamaan mereka. Perempuan pirang itu tak ingin hidupnya hancur, terutama hidup keluarganya. Ia tak ingin membuat keluarganya malu dengan tindakannya.
Akhirnya, ia terpaksa hidup terperangkap dalam bayang-bayang Gerald. Selain takut aibnya tersebar, ia juga takut pria itu benar-benar akan membunuhnya.
∞
Udara di musim gugur terasa sejuk meski sedikit dingin. Suasana terlihat lebih gelap daripada saat musim panas, mentari tidak memancarkan cahayanya dengan maksimal. Meski sinar mentari terlihat redup, semangat dan keceriaan Carla untuk bermain dengan anak-anak di rumah sakit tertap membara.Pada suatu pagi di musim gugur yang cukup dingin, Carla kembali pergi ke rumah sakit. Senyum manis tak lepas dari wajahnya. Gadis bermata abu-abu itu membawa bunga aster ungu di tangannya yang ditanam di pot berwarna putih. Ia bermaksud memberikan bunga itu kepada Suster Jane sebagai hadiah untuk kelahiran cucu perempuannya.Pada pagi hari seperti itu, biasanya Suster Jane berada di taman mengawasi pasien-pasien yang sedang berjemur dan menghirup udara segar alam bebas. Oleh karena itu, Carla pun dengan riang menuju ke taman rumah sakit St Thomas’.Ketika tiba di taman yang pepohonannya mulai layu dengan daun-daun yang hampir tak tersisa di tubuhnya, ia mengedarkan pand
Kakek Tom nampaknya tidak merasa bosan untuk terus mengomeli Carla agar kembali bekerja dan berhenti mengurusi orang sakit. Gadis bermata abu-abu itu sesekali memberikan tatapan kesal, lalu mencoba menganggap gurauan Kakek Tom sebagai candaan belaka. Carla lebih nyaman menghabiskan waktu-waktunya dengan para pasien di rumah sakit karena selama ini sebagian besar di hidupnya memang banyak dihabiskan di sana. Ia senang menghibur orang-orang yang sedang tak sehat, bercanda bersama mereka, sesekali membawakan mereka bunga dari tokonya. Pagi itu yang berusaha menasihati Carla agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah sakit bukan hanya Kakek Tom tetapi juga Suster Jane. Suster yang telah Carla anggap seperti keluarganya sendiri itu menyarankan Carla untuk mencari hiburan lain selain datang ke rumah sakit. Perempuan empat puluh lima tahun itu menyarankan Carla untuk bersenang-senang dengan hidupnya, sementara waktu melupakan tentang tempat bernama rumah sakit.
Sbastian dengan terpaksa memakan cokelat pemberian Cheril meski dia sebenarnya tidak suka makan-makanan manis, ia tidak mau gadis kecil itu kembali merasa takut padanya. Carla masih berdiri di tempatnya, menatap Sbastian dengan pandangan awas, ia tidak ingin dokter itu kembali menyakiti hati sahabat kecilnya.“Kau lebih tampan saat dilihat dari dekat,” ucap Cheril sambil terus menatap Sbastian yang sedang memakan cokelat pemberiannya.“Benarkah? Aku tidak merasa tampan selama ini,” ucap Sbastian dengan wajah datar.“Sok rendah hati,” celetuk Carla yang membuat Sbastian langsung memberikan lirikan kesal.“Kau tampan tapi wajahmu juga terlihat sedikit menyeramkan, apalagi saat kau sedang marah,” ucap Cheril kembali.“Dia seperti monster saat sedang marah,” ucap Carla yang membuat Cheril dan teman-temannya tertawa. Sbastian berpura-pura tak mendengarnya. Ia sudah malas berdebat dengan Carla.
Jalanan Oxford memang tidak pernah mati, semakin sore suasana semakin ramai. Toko-toko berderet sepanjang jalan, menyediakan berbagai macam barang-barang bermerek, suvernir, kafe, dan lain-lain. Surga belanja bagi mereka yang hobi berbelanja.Sore itu ketika jalanan Oxford mulai bercahaya karena lampu-lampu jalanan dan pertokoan mulai dinyalakan, Carla masih sibuk dengan bunga-bunga di tokonya. Orchid, itulah nama tokonya. Diberi nama demikan karena ibunda Carla sangat menyukai bunga anggrek. Berbagai macam warna, jenis, bentuk, dan wangi bunga dapat ditemui di toko bunga miliknya. Terletak di salah satu sudut jalan Oxford. Bersebelahan dengan kafe dan toko buku.Di toko dengan interior bergaya Inggris modern itulah Carla menghabiskan hari-harinya jika sedang tidak menjadi relawan di rumah sakit. Toko peninggalan ibunda tercintanya itu ia rawat dengan penuh cinta. Dia sangat mencintai toko bunganya, selain karena alasan Carla begitu menyukai bunga dan tanaman, dia juga
“Hai, apa yang kau lakukan di sini?” tegur Suster Jane pada Carla yang sedang mengintip-intip di balik tembok tak jauh dari ruangan Sbastian.Gadis bermata abu-abu itu terkejut ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya, “Oh Tuhan Suster Jane,” ucap Carla sambil memegang dada kirinya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Suster Jane dengan wajah sedikit khawatir.“Ya, sedikit,” ujar Carla sambil mengerucutkan bibirnya.“Tapi, kau baik-baik saja bukan?” Suster Jane nampak khawatir.Carla tersenyum lembut, “Aku baik-baik saja Suster Jane.”“Syukurlah, tapi apa yang sedang kau lakukan di sini? Kenapa kau seperti bersembunyi?” tanya Suster Jane sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.Carla menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tindakannya memang tak masuk akal karena terlihat seperti seorang pengintai, tapi dia benar-benar merasa penasaran ddengan si dokter
Suster Jane menatap Carla dengan tajam, gadis bermata abu-abu itu menggosok-gosok telinganya yang terasa panas karena mendapatkan jeweran yang cukup lama dari sang suster. Mereka kini berada di kantin rumah sakit.Carla berpura-pura mengamati kantin rumah sakit itu, ia tidak ingin langsung menatap Suster Jane yang masih terlihat sangat kesal padanya. Suster Jane meminum jus jeruk yang dipesannya, tatapannya tetap berkonsentrasi pada Carla.“Kau meman gadis keras kepala,” ucap Suster Jane dengan sinis.“Itu sudah takdirku,” ucap Carla dengan santai.Suster Jane melipat kedua tangannya di atas meja, “Kenapa kau tidak bisa sekali saja mendengarkan nasihatku?”“Aku hanya tidak bisa melakukannya. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa berhenti sebelum rasa penasaranku terobati,” ucap Carla sambil memainkan bunga plastic yang ada di atas meja mereka.Suster Jane menghembuskan nafas berat, menatap Ca
“Aku harap setelah kau mendengarkan ceritaku, kau tidak akan lagi memiliki niat untuk mengintai Dokter Sbastian,” ucap Suster Jane ketika Carla berpamitan padanya untuk kembali ke toko bunga.“Aku memang sudah tidak berniat untuk mengintainya lagi atau sembunyi-sembunyi memperhatikannya,” ucap Carla diiringi senyum misterius.“Aku tidak menyukai senyuman itu, aku sangat tahu arti senyuman itu Carla,” ucap Suster Jane dengan tatapan kesal.Carla memainkan matanya, “Jangan terlalu khawatir, aku akan baik-baik saja,” Carla mencoba untuk menyakinkan Suster Jane.“Kau memang keras kepal.”Carla tersenyum kecil, “Ya, itulah aku. Tapi aku masih penasaran bagaimana Suster tahu tentang ancaman yang diberikan oleh Kakek Sbastian?” Carla menatap penuh selidik suster kenalan baiknya itu.“Aku tidak akan mengatakan alasannya, lagi pula bukankah kau harus kembali ke toko bunga?&
“Gaun itu sangat cocok untukmu Carla,” ucap Joy dengan raut bahagia ketika gadis bermata abu-abu itu keluar ruang ganti.Halter dress berwarna cokelat muda nampak begitu indah dipakai Carla. Membuat leher gadis berambut panjang itu terlihat jenjang. Gaun sepanjang kaki Carla itu terbuat dari bahan Barbie Crepe kualitas nomor satu hingga terasa nyaman saat dipakai dan kainnya yang jatuh akan mengikuti bentuk tubuh. Terdapat belahan di bagian samping gaun itu dari bagian paha hingga ujung gaun yang akan terbuka jika digunakan untuk berjalan. Hal itu menambah kesan seksi dan membuat kaki jenjang Carla tampak terlihat indah.“Kau membuatnya dengan sempurna Joy. Ini indah sekali,” puji Carla dengan tulus.“Aku senang jika kau menyukainya,” Joy merapikan gaun itu sambil melihat jika ada kekurangan di gaun rancangannya.“Aku sangat menyukainya, bagiamana bisa kau membuat gaun ini begitu
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan