Anjani Pov
“Bab empat sudah ditandatangani pak Broto?”
Aku mendongak, lalu mengangguk, “Sudah pak,” jawabku sambil menatap Pak Ardan yang tengah fokus mengecek bab empat draf skripsiku.
Sesuai janji yang di buat Pak Ardan dua hari lalu via pesan singkat, hari ini aku mulai bimbingan dengannya di cafe Camilla sejak beberapa menit lalu.
“Deadline skripsimu bulan depan?” tanya Pak Ardan tanpa menatap kearahku.
“Iya, Pak.”
“Dan kamu baru sampai bab empat?”
Aku mematung, bingung harus menjawab apa. Wajah dingin Pak Ardan membuatku mengulas senyum tipis saja tak mampu.
“Satu minggu,” kata Pak Ardan sambil menaruh draf skripsiku ke atas meja, “Selesaikan bab lima dalam waktu satu minggu. Lusa temui saya lagi."
Aku menghela nafas panjang. Mau protes pun sepertinya hanya akan membuang - buang waktu dan tenaga saja. Wajah angkuh Pak Ardan sudah menunjukan kalau beliau bukan orang yang mudah diajak negosiasi.
Setelah mengangguk, aku mengulas senyum, “Baik, Pak.” Jawabku singkat.
Pak Ardan membenarkan letak kacamata beningnya, melipat tangannya di depan dada lalu menatapku dalam. Membuatku sedikit salah tingkah karena di tatap seperti itu olehnya.
Jila Pak Ardan adalah sosok pria tua bangka dengan rambut penuh uban mungkin aku bersikap akan biasa saja.
Tapi masalahnya, Pak Ardan adalah sosok pria dengan kadar ketampanan melampaui batas normal, tubuh atletis dan pahatan wajah yang nyaris sempurna. Aku saja sempat terkejut dan grogi mengetahui dospem baruku ternyata masih muda, mungkin umurnya tidak terpaut terlalu dariku. Tapi sayang, Pak Ardan tidak tau caranya tersenyum. Wajahnya selalu angkuh dan datar.
Aku mengusap perutku, karena kata Mamah, aku harus bilang amit-amit jika melihat hal yang tidak baik.
“Amit-amit, semoga anakku kelak tidak angkuh seperti nya.” ujarku dalam hati.
Wajah angkuh itu terlihat menyebalkan, dan aku tidak ingin anakku kelak menjadi menyebalkan seperti Pak Ardan.
Kening Pak Ardan mengerut, “Perutmu kenapa? Lapar?” tanyanya, mungkin ia bingung karena tanganku terus-terusan mengusap perut.
Aku menggeleng, “Nggak, Pak. Saya lagi hamil hehe...”
Wajah Pak Ardan tampak terkejut. Maklum saja, aku memakai jaket tebal yang membuat perut buncitku tidak terlalu nampak.
“Berapa bulan?”
Wow ! Aku tidak menyangka kalau Pak Ardan punya rasa penasaran juga.
“Tiga, Pak.” Jawabku canggung.
Pak Ardan manggut-manggut saja, mungkin bingung harus menanggapinya seperti apa. Makanya gelagatnya aneh.
“Omong-omong, sampai detik ini kamu belum ingat siapa saya?”
Aku mengernyit. Sementara dalam hati aku bertanya – tanya. Siapa yang mengingat siapa?
Peka dengan kebingunganku, Pak Ardan akhirnya buka suara atas inisiatifnya sendiri.“Saya kakak kelas kamu waktu SMP,”
Jelas aku terpekik. Rasanya aku tidak ingat memiliki kakak kelas setampan dia. Dan juga, kalaupun ada, ia tidak akan mengingatku. Aku tidak sepopuler itu di sekolah sampai harus diingat kakak kelas tampan semacam Pak Ardan.
Aku terkikik kecil mencairkan suasana, “Ngaco sih bapak! Salah orang kali Pak, senior saya dulu nggak ada yang seganteng bapak,” kataku, setelahnya aku meneguk milkshake vanilla pesananku.
Pak Ardan mengusap tengkuknya, lalu tersenyum tipis, tipis sekali hampir tidak terlihat, “Saya Ardan Mahesa yang pernah ngompol waktu upacara,”
“Uhuk!”
Aku tersedak, menepuk - nepuk dadaku cepat sambil terbatuk - batuk.“Hati - hati,” ujar Pak Ardan sambil menyodorkan tisu. Aku mengambilnya cepat dan mengelap sisi bibirku tak sabaran.
“Kak Esa?” panggilku ke Pak Ardan setelah batukku mereda.
Pak Ardan mengangguk tanpa menyahut, “Saya Esa, yang pernah bikin kamu nangis waktu itu,”
Untuk beberapa detik nafasku tercekat, aku menggeleng tak percaya. Bagaimana mungkin Kak Esa yang bertubuh gempal dengan pipi bulat macam bakpao bisa berubah sembilan puluh sembila persen seperti ini?
Pantas saja aku merasa tidak asing dengan nama Ardan Mahesa, ternyata dia memang Ardan yang aku kira.
“Sekarang saya sudah berubah jadi Ardan, Esa sudah menghilang bersama lemak ditubuh saya,”
Aku menghirup oksigen dalam - dalam, masih mencoba mencerna situasi tak terduga ini.
Mataku menatap Pak Ardan yang juga tengah menatap kearahku. Tatapan kita beradu, saling menelisik.Masih tidak menyangka bahwa Pak Ardan adalah Kak Esa, kakak kelas ku yang dulu menyebalkan dan sering membuatku menangis.
Kak Esa dulu bulan-bulanan bully disekolah. Sering memalak uang sakuku karena disuruh oleh yang merundungnya, jika aku tidak memberinya uang ia akan langsung menarik kerah bajuku hingga tubuhku terangkat. Kejam sekali, kan? mentang-mentang tenaganya besar!
'Sudah gendut, bodoh lagi! Punya badan besar apa gunanya kalo tidak digunakan untuk melawan mereka?!' Sambil menangis, aku memaki Kak Esa saat itu. Dan setelah itu ia tidak pernah memalakku lagi, karena kabarnya ia pindah sekolah setelah terlibat perkelahian dengan teman-teman yang merundungnya.
Seharusnya dulu aku merasa senang karena tidak ada yang memalak ku lagi. Tapi ntah kenapa kehilangan Kak Esa membuatku sedih, aku selalu merasa bersalah jika mengingat makian ku padanya waktu itu.
“Sekarang saya tidak gendut dan bodoh lagi kan?” ujar Pak Ardan membuat ulu hatiku seperti tertembak tepat sasaran. Tertohok dan agak malu. Dia yang dulu aku sebut bodoh kini duduk di hadapanku sebagai orang yang harus ke hormati. Balas dendam yang sempurna, Kak Esa!
Mataku berkaca, menatap Pak Ardan yang tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
Ragu-ragu tanganku membalas uluran tangannya.
“Apa kabar?” tanyanya sambil tersenyum manis.
“Baik, kak.” Jawabku lalu melepaskan tautan tangan kami.
“Sudah lama nggak ketemu, kamu masih belum berubah ya, masih gampang dibikin nangis.” Kata Pak Ardan yang membuatku mengusap mataku yang sudah berair.
Pak Ardan tertawa, “Kamu sudah menikah?” tanya Pak Ardan membuka topik pembicaraan kita yang melenceng dari topik sebelumnya. Mode teman lama di buka sejak kita berjabat tangan.
“Kalau belum masa iya saya bisa hamil kak--sori-sori, Pak, maksudnya,”
Pak Ardan tertawa kecil menutupi kebodohannya, “Iya juga, ya. Santai aja, Jan, panggil Ardan aja juga gakpapa kok, asal di luar kampus,”
Perubahan yang drastis. Dari wajah angkuh yang ku kira tidak tau caranya tersenyum, kini tanpa sebab ia tertawa dengan sendirinya.
“Oke, Ar...” ucapku ragu.
Pak Ardan menyilangkan kakinya, “Kegiatanmu saat ini selain kuliah apa Jan?”
Aku mengulum bibirku, “Em, kuliah aja. Mau fokus selesaiin skripsi biar cepat lulus,”
Pak Ardan tertawa kecil, “Memangnya kalau udah lulus mau ngapain, sih?” tanya Pak Ardan dengan nada mengejek.
“Nyusul suami, ke Jogja.”
Mata Pak Ardan melebar seketika, “Loh, suamimu di Jogja?”
Aku mengangguk singkat.
“Ternyata LDR nggak berlaku buat yang pacaran aja ya,” katanya jenaka.
Obrolan kita terjeda, ponsel Pak Ardan berbunyi. Ia beranjak menjauh setelah meminta izin padaku untuk menerima panggilan telepon tersebut.
Aku melirik jam yang melingkar di lenganku, sudah jam tiga, waktu cepat sekali berlalu, perasaan baru saja aku mendaratkan pantat di kursi ini beberapa menit lalu.
Tak lama, Pak Ardan datang kembali.
“Jan, kayaknya saya harus pergi sekarang. Kamu di pulang sama siapa?” tanya Pak Ardan sambil merapikan tasnya.
Aku ikut berdiri, “Aku naik taksi Ar,” kataku.
Pak Ardan memasukan ponselnya kedalam kantung celana bahan yang ia kenakan, “Kalo gitu saya antar aja, ayo.”
Aku panik, “Nggak perlu Ar, makasih, nanti merepotkan. Aku naik taksi aja, serius gakpapa,” kataku meyakinkan Pak Ardan. Kalau Arsya tau aku diantar pulang dengan laki-laki lain, dia pasti akan marah.
Pak Ardan menghela nafas panjang. Sepertinya ia menyerah untuk membujukku.
“Ya sudah. Kalo gitu saya duluan, lusa kita ketemu lagi buat liat progress mu, tempatnya kamu aja yang tentukan”
***
Sepulangnya dari pertemuan dengan Pak Ardan, aku langsung membersihkan tubuhku dan melaksanakan sholat ashar.
Selesai sholat, aku beranjak ke meja belajar lalu membuka laptop. Dalam waktu satu minggu bab lima sudah harus selesai, satu minggu... Dengan jam pakai laptop yang dibatasi sampai jam sembilan malam, apa mungkin aku bisa menyelesaikan bab lima dalam waktu satu minggu?
Langkahku hanya tinggal satu bab lagi, tapi itu tidak mudah.
Terlalu singkat. Aku tidak yakin bisa mencapai target.
Drt ...
Ponselku bergetar, chat masuk dari Arsya mengintruksi.
Suamiku: udah sholat?
Jariku menari diatas keyboard, mengetik balasan.
Me: udah mas
Suamiku: gimana bimbingan sama dospem barunya tadi?
Tentang Dosen pembimbingku yang baru, aku memang sudah cerita pada Arsya sejak dua hari lalu.
Me: ya begitu... Tau gak mas, masa ternyata dospem nya kakak kelas ku waktu SMP dulu!
Suamiku: Oh ya??? Terus??Me: kok respon mas kayak ibu - ibu mancing ghibah sih?
Suamiku: mana ada. Mas mau denger kamu cerita
Me: dospemku itu dulunya suka dibully mas, tapi hebat ya sekarang jadi dosen
Suamiku: wow ... Keren dong!
Me: dulu dia suka malak aku setiap hari
Suamiku: gak jadi keren
Suamiku: nanti kalo mas pulang, mas mau ketemu sama dospemmu, biar aku palak dia balik
Aku terkekeh, Arsya ada-ada saja.
Me: tapi dia malak aku gara – gara disuruh sama temannya, mas
Me: aslinya baik kok
Me: sekarang juga berubah banget penampilan nya
Suamiku: berubah gimana? jadi ganteng gitu?
Me: iya, tapi masih gantengan mas kok
Suamiku: dia udah nikah?
Me: gak tau, aku lupa tanya tadi
Suamiku: nanti kalo ketemu lagi tanya ya
Me: kayaknya sih belum, aku gak liat dia pakai cincin tadi
Suamiku: yaudah, kalau gitu besok kamu ke kampus, minta ganti dospem baru lagi sama Pak Galih
Me: LOH KOK GITU ?!
Suamiku: perintah suami nggak boleh dibantah, ingat ....
“Lo nggak capek apa Jan kuliah dengan keadaan hamil kayak gitu?” Anjani menghela nafas, pertanyaan yang sudah sering ia dengar. Katanya mereka prihatin dengan keadaan tubuhnya yang tengah hamil tapi masih harus disibukan dengan kegiatan perkuliahan. Padahal Anjani fine - fine saja menjalaninya. Anjani tersenyum simpul, menatap Naura yang menunggu jawaban darinya, “Jangankan merasa lelah, ngeluh aja gue jarang. Keadaan gue yang kayak gini nggak menyusahkan gue sama sekali kok, serius!" Cecilia yang duduk disamping Naura ikut menyahut, “Mungkin belum kali, baru tiga bulan kan? Nanti kalo udah gede juga baru kerasa capeknya,” “Betul tuh! Lagian kok lo boleh nikah sebelum lulus kuliah, kalo gue sih udah diusir dari rumah kali,” Nah kalau ini Jiya yang bicara. Demi apapun, mendengar ocehannya membuat Anjani menahan diri untuk tidak menarik rambut cewek bermulut lemes itu. Tidak etis se
Arsya: Jek, lagi sama bini gue gak? Jee Katama: lo kira hidup gue cuma dipake buat ngintilin bini lo? Arsya: sensi amat, gue kan cuma nanya Jee Katama: gak tau, digondol kucing kali bini lo Arsya mengusap wajahnya kasar. Dari pagi Anjani tidak ada kabar. Papahnya bilang Anjani pamit pergi dari rumah jam sembilan tadi dan sampai siang ini ponsel istrinya itu masih tidak aktif. Terlebih Jeka –sahabat karib Anjani sendiri tidak mengetahui keberadaan istrinya itu. Padahal kalo kemana-mana mereka pasti selalu bareng. Gimana Arsya tidak panik seperti ini? Memang semenjak kejadian masalah seminggu lalu komunikasi antara dirinya dan Anjani terasa hambar. Tidak romantis dan penuh perhatian seperti biasanya. Anjani cenderung singkat dan slow respon setiap membalas chatnya. Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya Arsya memang kecewa saat mengetahui Anjani berbohong padanya. Seperti apa sih sosok Ardan sampai - samp
Arsya mengusap matanya yang masih berat. Ia segera menyibak selimutnya tatkala merasa ada sesuatu di perutnya yang mendesak ingin keluar. Dengan cepat Arsya langsung berlari memasuki kamar mandi.Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama didalam kamar mandi, Arsya segera keluar sambil mengusap perutnya yang merasa tak enak sejak subuh tadi. Terhitung sudah tiga kali Arsya keluar masuk kamar mandi pagi ini."Kayaknya gue masuk angin nih," gumam Arsya mengingat semalam ia bergadang nonton bareng pertandingan bola dengan teman kantornya, belum lagi semalam ia pulang jam 2 dini hari.Melihat layar ponselnya yang menyala diatas meja, Arsya segera meraihnya. Terdapat puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Anjani di sana. Arsya menepuk jidat, sejak kapan ponselnya berubah jadi mode silent?Ah, iya, sejak meeting kemarin siang. Dan ia lupa mengubahnya lagi.
Deka Ipar: pesawat kak jani udah berangkat sejam lalu, kalau masih belum sampe tolong jemput di bandara ya bang Deka Ipar: gue takut kakak nyasar Arsya yang baru saja selesai bersih-bersih tempat kosnya langsung terdiam. Mencerna lebih dalam maksud pesan yang adik iparnya kirim setengah jam lalu. Segera jari jempol Arsya menekan cepat ikon berbentuk telpon di roomchat mereka. Belum ada jawaban, Deka mengabaikan panggilannya. Arsya: jani emang mau kemana, Ka? Lima menit berlalu, pesannya belum juga dibaca. Bergantian Arsya menghubungi Anjani dan Deka, tapi hasilnya sama, mereka kompak mengabaikan panggilannya. "Assalamu'alaikum, ada apa anak ganteng?" Arsya sedikit bernafas lega mendengar suara Mamahnya disebrang sana, "Walaikumsalam, Mah, Mamah dimana?" "Di hati ayahmu," jawab S
Anjani menatap Arsya penuh selidik. Memperhatikan gerak - gerik panik suaminya ntah karena apa. Keluar masuk kamar tidak jelas sedang melakukan apa."KAMU NGAPAIN SIH MAS?!" teriak Anjani kesal. Baru datang bukannya dikasih minum, malah disuruh nonton tingkah anehnya Arsya.Arsya yang baru mau kembali masuk kedalam kamar berhenti, menatap Anjani kikuk, lalu mengeluarkan cengiran bodohnya."Itu.. Hm.. Iya ya, mas ngapain ya daritadi?" ujar Arsya membuat Anjani menahan bibirnya supaya tidak kebablasan mengumpati suaminya itu.Anjani bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Arsya lalu menempelkan telapak tangannya pada kening pria itu."Oh, panas," kata Anjani lalu membawa Arsya masuk kedalam kamar."Tidur, mas masih demam," titah Anjani, Arsya segera merebahkan dirinya diatas ranjang nurut.Anjani melangkah keluar, menuju dapur. Menyeduhkan Arsya segelas teh manis anget. Karena apapun sakitnya, teh
Menyebalkan.Anjani paling nggak suka kalo liat Arsya lebih mementingkan pekerjaan atau tugas kuliah daripada dirinya, sedangkan mereka jarang punya waktu bersama.Arsya tuh ngerti nggak sih sama yang namanya memanfaatkan waktu?Nggak tau apa kalau nyari kesempatan buat mereka berada di satu atap yang sama itu nggak gampang.Segala cara udah Anjani lakukan buat menarik atensi suaminya itu. Dari mulai menaikan volume tivi hingga full, menghentak-hentakan kaki kesal, dan yang terakhir....Menimpuk kepala Arsya pakai remot AC.Dan itu berhasil."Nggak bisa dilanjut besok?" seru Anjani saat Arsya mendongak dan menatapnya bertanya. Arsya terlihat biasa saja walau Anjani sudah bersikap kurang ajar padanya.Arsya mengusap belakang kepalanya yang kena sasaran tadi, "Maunya gitu, tapi nanggung," jawab Arsya, lalu kembali fokus pada layar laptopnya lagi. Mengabaikan raut muka Anjani yang
Seminggu tinggal sama istri, akhirnya Arsya kembali merasakan rasanya diperlakukan layaknya seorang suami. Terakhir, empat bulan yang lalu Anjani melayani nya seperti ini. Iya, empat bulan yang lalu sebelum jarak memisahkan mereka.Untung saja urusan perkuliahan Anjani tinggal selangkah lagi, jadi ia tidak perlu menunggu lama-lama untuk kembali tinggal bersama."Nanti aku ke supermarket ya mas, kulkas udah kosong kayak dompet tanggung bulan," Seru Anjani sambil menyeduh susu hangat untuk Arsya."Iya, tapi nanti malam ya tunggu mas pulang kerja," jawab Arsya sambil menyicip susu hangat buatan sang istri. Kalo pagi Arsya memang kebiasaan minum susu daripada kopi. Kecuali kalo bergadangin tugas sampe pagi baru yang Arsya cari kopi."Emang mas gak capek? Aku bisa sendiri kok,""Nggak, pokoknya tunggu mas pulang."Anjani mengangguk nurut lalu memindahkan nasi gorengnya ke wadah, kemudian menyajikannya diatas meja mak
Arsya duduk sabar menunggu istrinya yang masih sibuk melihat - lihat skincare dan barang kebutuhan wanita lainnya dari setengah jam lalu. Sesuai janjinya, sepulang kerja Arsya langsung membawa sang istri ke mall alih - alih ke supermarket."Masss!!!" panggil Anjani yang sudah berdiri didepan meja kasir. "Bayar." ujarnya saat Arsya menoleh kearahnya.Arsya bangkit berdiri, menarik troli berisi sembako untuk keperluan rumahnya selama sebulan kedepan lalu berjalan menghampiri Anjani.Sesampainya dimeja kasir Arsya langsung mengeluarkan uangnya sebanyak total harga belanjaan sang istri. Daripada memakai kartu debit, Arsya lebih suka transaksi langsung pakai uang tunai."Sini aku aja yang dorong." seru Anjani sambil mengambil alih troli belanjaan dari tangan Arsya.Usai melakukan pembayaran, Anjani memimpin perjalanan mereka mengitari gedung mall. Wanita hamil itu tampaknya masih semangat menjalankan misinya menguras isi dompet sang suami.Arsya mering
7 Tahun KemudianHari libur bagi Arsya bukan lagi hari dimana ia bisa bersantai dan beristirahat di rumah. 8 tahun umur pernikahan, ia dan Anjani sudah di karunia 4 orang anak yang membuat waktu liburnya di sibukan dengan bermain dan mengurus buah hatinya.Sih sulung Arjeno Shakeel Cakrawala, bocah tampan yang sebentar lagi akan menduduki bangku sekolah dasar.anak kedua ada Archie Javier Cakrawala, anak laki-laki kedua yang umurnya 2 tahun lebih muda dari Jeno, tapi ia lebih aktif bermain di luar rumah bersama teman - temannya berbeda dengan Jeno yang lebih suka bermain di dalam rumah saja.Arjuno Keenan Cakrawala, sih bungsu gak jadi. Selain sudah lancar berbicara dan berjalan, Juno juga sudah lancar mengganggu kedua abangnya ketika sedang belajar.Kemudian ada sih bungsu yang baru berumur tiga bulan, anak ke empat Arsya dan Anjani yang satu ini berjenis kelamin perempuan, namanya
Anjani menatap cemas kearah Nisya yang tengah terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit, entah apa yang terjadi pada cewek itu hingga membuat ia hampir saja kehilangan nyawanya. Nisya kritis, urat nadinya hampir terputus, namun masih bisa tertolong karena Anjani bergerak cepat memanggil bantuan medis.Anjani belum tau jelas sebab dari goresan luka di urat nadi cewek itu, entah ia sendiri yang melukai tangannya, atau laki - laki tak di kenal yang memukuli wajah Arsya.Jeno menggeliat di dalam gendongannya, membuat Anjani bangkit dari duduknya kemudian menimang Jeno yang mungkin mengantuk."Kenapa, sayang?" tanya Anjani dengan nada lembutnya kepada Jeno."Ooo.." gumam Jeno seraya berontak dari gendongan Anjani."Shuttt, gak boleh nakal, tante Nisya lagi istirahat.." ujar Anjani seakan melarang anaknya untuk menangis.Tangan Anjani menepuk bokong Jeno pelan, biasanya kalau J
"Sya, ibu sama bapak pergi dulu ya, kamu jangan kemana - mana sebentar lagi mas mu pulang." ujar Tuti berbicara kepada Nisya yang sedang duduk melamun diatas tempat tidurnya. Cewek itu hanya menetap kearah Tuti sejenak kemudian memutuskan kontak matanya.Tuti yang melihat respon Nisya hanya menghembuskan napas berat saja, ia lantas menutup kembali pintu kamar Nisya dan berjalan menghampiri suaminya yang sudah menunggu diatas motor.Nisya menggigit kuku jempolnya, keadaannya cewek itu masih sama, tatapan matanya masih kosong, ekspresi wajahnya pun hanya satu, datar. Tak ada minat hidup dan aura yang keluar dari wajah manis gadis itu.Nisya beranjak turun dari tempat tidurnya, ia berjalan kedepan jendela, menatap lurus kearah luar rumahnya. Cuaca hari ini cukup bagus, mengingat kan Nisya pada suasana di kampusnya, biasanya di cuaca yang seperti ini ia bersantai di gazebo sembari menikmati bakso atau mie ayam bersama teman -
"Jeno, lihat Ayah. Yeayyy Jeno bisa terbang!!!" seru Arsya yang tampak asik bermain bersama Jeno. Ya, bagi Arsya itu menyenangkan, namun jika Anjani melihatnya mungkin Arsya akan di cubit keras-keras, sebab saat ini Arsya mengangkat tubuh Jeno tinggi-tinggi di atas tubuhnya, siapapun yang melihat hal itu mungkin akan berteriak karena mengerikan. Tapi anehnya, baik Arsya dan Jeno malah tertawa menikmati."Jeno terbang lagi ya, hushhhh" ujar Arsya kembali mengangkat Jeno tinggi - tinggi. Ya beginilah jika ia lepas dari pengawasan Anjani, bermain dengan Jeno semauanya.Jeno tertawa menampilkan gusinya yang belum tumbuh gigi, bermain terbang - terbangan seperti ini sudah menjadi kegiatan rutin yang Arsya dan Jeno selepas Arsya pulang kerja. Karena kalau Arsya pulang kerja, Anjani akan pergi mandi, di sana itu lah ia melakukan aksinya bersama Jeno."Mas"Mendengar namanya di panggil Anjani, dengan cepat Arsya langsung menurunkan Jeno dan duduk manis di a
Usai kepulangan keluarga kecil Juna ke Bandung beberapa jam lalu, kini Gerry harus melepas kepergian Anjani dan Arsya karena satu jam lagi jadwal penerbangan pesawat yang akan membawa Anjani dan Arsya ke Jogjakarta.Arsya dan Anjani berangkat ke bandara di antar Gerry, Renya, Neisya dan Deka. Keempatnya meluangkan waktu untuk mengantar Arsya dan Anjani ke bandara. Sesampainya di bandara mereka duduk menunggu sembari mengobrol dan bercanda."Deka, kapan - kapan main dong ke Jogjakarta, sama Handa juga." ujar Anjani tersirat rasa meledek, ia baru saja dapat bocoran dari Renya kalau ternyata Deka berpacaran dengan Handa.Jelas Anjani mengenal Handa, sebab saudara laki-laki Handa adalah sahabat baik Anjani. Rumah mereka juga bersebelahan. Padahal dulu Handa dan Deka gemar sekali bertengkar dan menjadi rival. Tapi entah bagaimana ceritanya mereka bisa saling jatuh cinta. Entahlah, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu
"Kalian ini bawa bayi pulang malam - malam." ujar Gerry yang baru saja memergoki anak dan menantunya yang baru tiba di rumah usai berkelana kerumah teman lama mereka.Sekarang sudah jam sebelas malam tapi Arsya dan Anjani baru pulang kerumah bersama Jeno yang sudah tertidur pulas di gendongan Anjani. Gerry yang melihat itu tentu saja menggelengkan kepalanya, tak habis pikir kenapa mereka pulang kerumah larut malam bersama Jeno yang seharusnya sudah tertidur dengan nyaman di atas kasur empuk nya, bukan di gendongan Anjani."Maaf, pah." ujar Arsya merasa bersalah, ia mengangkat pandangannya menatap Gerry dengan tatapan memohon.Gerry berdecak, "Anjani, bawa Jeno masuk. Arsya, kamu temanin papah main catur." ujar Gerry kemudian beranjak pergi.Anjani dan Arsya yang mendengar itu saling melempar tatapan dan tersenyum tipis, kalau Gerry mengajak Arsya main catur itu tandanya Gerry sudah memaafkan mereka.
"Lo udah gila ya, Chan?" sentak Anjani yang tengah naik pitam. Ibu satu anak itu tiba-tiba saja mengamuk ketika melihat kedatangan Chandra dengan anak gadis yang ia rangkul mesra.Chandra mengulum bibirnya, ia terdiam di hadapan Anjani yang sedang menghakiminya. Dan entah kenapa Chandra menciut tak berani menyahut saat Anjani memarahinya habis - habisan."Lo juga, neng!" Kini Anjani menatap gadis yang duduk ketakutan di samping Chandra. "Lo tau gak nih biawak satu udah punya bini, bentar lagi ada buntutnya."Anak gadis itulah hanya terdiam menunduk tanpa sepatah kata. Wajahnya merengut menahan tangis dan malu."Anak orang jangan di marahin, kalau mau marah ke Chandra aja." teguArsya yang Anjani balas dengan decihan."Sama dua-duanya juga salah!" jawab Anjani.Karena tak tega melihat wajah gadis itu pias, Beki mengeluarkan dompetnya. Memberika
"Happy birthday, Rais!" ujar Anjani kemudian mengecup pucuk kepala Rais yang hari ini umurnya genap satu tahun.Rais yang sedang berada di gendongan Yogi tersenyum malu, kedua tangannya memeluk erat-erat salah satu kado miliknya."Selamat ulang tahun, jagoan!" Kali ini Arsya yang bicara, mengacak rambut Rais yang sudah di sisir rapih oleh Hanum."Om, jangan di acak-acak dong rambutku, jadi berantakan lagi kan." timpal Hanum seolah mewakilkan Rais yang belum lancar berbicara.Arsya tertawa sumbang, "Iya deh, maaf ya nih Om rapihin lagi rambutnya." kata Arsya sambil merapihkan rambut Rais yang berantakan karenanya."Tuh lihat, dedek Jeno lucu banget ya, bang." ucap Yogi sembari menunjuk kearah Jeno yang sedang di gendongan Anjani, spontan Rais menatap kearah yang Ayahnya tunjuk. Mulut anak kecil itu menganga seakan terpesona.Hanum, Yogi, Anjani dan Arsya yang melihat reaksi
"Jeno lucu banget sih, jadi anak tante Marra aja mau gak?""Kalau Jeno jadi anak kamu, berarti anak aku juga dong?"Spontan Anjani membekap mulutnya merasa mual mendengar Jeka yang menyahuti ucapan Marra barusan. Ya, Anjani sudah tiba di Jakarta sabtu siang dan langsung di sambut dengan sepasang kekasih yang menjijikan di mata Anjani."Mar, lo di pelet apa gimana sih?!" celetuk Anjani menatap Marra tak menyangka. Marra dan Jeka sudah di depan mata, tentu Anjani tidak lupa tujuan utamanya, memberi pencerahan pada Marra yang siapa tau di pelet Jeka."Buset, congor nya bos!" sahut Jeka tak terima."Terus kenapa Marra bisa mau sama mahluk astral macam lo?" balas Anjani sewot.Jeka mendelik tajam, "Jelmaan bidadara surga gini di bilang mahluk astral." Jeka memainkan alisnya memasang wajah tengil."Dih," Anjani berdecih jijik. Tapi Jeka tak merasa tersinggung sa