Bu Ayu mengelus kepala Jelita dengan sayang. Sementara Pak Adibrata hanya fokus dengan kegiatannya sendiri. Dia tak mau ambil pusing apa yang terjadi di meja makan.
“Jadi apa kamu tahu posisi Jelita?”Hayu mendongak, menatap Bu Ayu, sejujurnya dia sudah tahu apa posisi Jelita, namun kenapa dia masih berharap terlalu banyak.“Mi!” seru Bisma pada putranya.“Kenapa? Dia harus tahu posisinya, Bisma.”“Tapi kalian sudah berjanji padaku untuk memberinya kesempatan untuk dekat dengan kalian. Bagaimana kalian bisa dekat, jika Mami selalu saja menolaknya, ketika dia berusaha masuk di dalam kegiatan kita, Bisma harus apa lagi. Kalian yang mengajukan syarat, tapi kalian juga yang melanggarnya. Please, Mi. Penuhi janji Mami.”Bisma kesal luar biasa. Dia tak mampu berbuat apa-apa kecuali mengingatkan kedua orang tuanya akan perjanjian mereka, yang sudah mereka sepakati bersama.Hayu merasa tak enak dengan apa yang terjadi saat ini, tapi bagaimana pun, dia sudah berusTerima kasih yang sudah mampir di sini, drop review kamu dengan komentar dan juga Vote, follow Kardinah.dinah😊😊😊
“Kamu tahu, kamu seperti kupu-kupu, pagi kamu terbang dan singgah di Bisma, siangnya kamu akan terbang dan menempel pada Candra. Luar biasa, tak ku sangka gadis sepolos dirimu, bisa memiliki trik yang luar binasa.”Hayu melotot, sungguh tak menyangka Jelita akan tega mengatakan itu padanya, padahal dia tahu kalau dua-duanya adalah atasan Hayu di kantor. Mereka sepertinya memang berniat menyerang mental Hayu habis-habisan.“Cukup! Jangan keterlaluan!” seru Bisma yang melangkah mendekati mereka bertiga dan menyerahkan barang yang dia beli pada asisten rumah tangganya.Bu Ayu hanya diam, menatap pada putranya yang tengah mendekati Hayu. dia kesal setengah mati, tapi untung saja, bukan dia yang berkata seperti itu, setidaknya Bisma tidak menganggap dirinya membully calon menantunya. Bisma hanya tahu, jika Jelita saja yang mengatakan hal yang paling tak disukai Bisma.“Jangan keterlaluan Jelita, Candra adalah atasannya di kantor. Kamu tahu itu, kenapa kamu tega sekal
“Tentu saja Jelita tak menolaknya, kue itu benar-benar enak, krispy di luar, juga lembut di dalam, membuat ketagihan,” ucap Jelita jujur. “Tentu saja, karena kue itu seperti pembuatnya!” Jelita dan Bu Ayu menoleh ke arah Bisma yang baru saja masuk. Melangkah mendekati maminya dan duduk di sebelahnya. “Jadi kamu tahu, kan, bedanya kamu dan Hayu? Kalian sungguh berbeda, Hayu itu seperti kue nastar yang kamu makan. Luar dalam menyenangkan, beda sama kamu yang luarnya crispy tapi dalamnya bergerigi.” Bu Ayu ingin tertawa karena ucapan putranya yang menurutnya konyol, tapi dia berusaha menahannya, dia tidak mau Jelita terluka, karena dia yang menertawakannya. “Sudahlah, bagaimanapun kamu harus lebih dekat dengan Jelita, bukankah kalian dekat cukup lama, mami, akan mencoba melihat siapa di antara dua perempuan ini yang bisa dekat dengan mami dan pantas mendampingi kamu, juga mengurus kamu.” “Tapi, Mi, Mami tidak boleh begitu, bukankah Mami sudah menyetujui syarat B
Bisma, cinta itu tidak saling menyakiti, tapi saling memahami, saling menyayangi dan melindungi.” Deg! Bisma menoleh ke arah Jelita, memegang keningnya, “Enggak panas, tapi tumben omongan kamu cerdas dan agak berbobot sedikit.” “Itu buat nyadarin kamu, kalau kamu harus memilih salah satu, kan, kamu nggak bisa mempertahankan Hayu, jadi lebih baik kamu melepaskannya.” Bisma mendesah kesal, dipikirnya Jelita memang benar-benar tulus, nyatanya ini hannyalah akal-akalan dia, supaya Bisma meninggalkan Hayu. “Jadi kamu modus, sok-sokan menasihati, tapi ternyata ingin menguntungkan diri sendiri, kamu memang luar binasa.” “Nah, itu tahu, mana ada perempuan bisa secerdas aku, Bisma. Kamu, bukannya suka perempuan yang cerdas, dan menarik, nah itu semua ada di aku, kan. Kamu bahkan sudah membuktikan bagaimana kecerdasanku selama ini.” Bisma menggelengkan kepala, menanggapi Jelita, membuatnya semakin pusing saja. Mereka sampai di lobi apartemen jelita. “Mau masuk
“Selamat pagi, dunia gila,” ucap Hayu menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Masih di atas ranjang tidurnya. Semalam, setelah pertengkarannya dengan Bisma, dia langsung saja tidur. Tak mau ambil pusing dengan segala perkataan Bisma yang tak jauh beda dengan biasanya. Malas memikirkannya. Diambilnya ponselnya yang berada di nakas. Dua panggilan tak terjawab dari atasannya. Keningnya berkerut, dia bertanya-tanya ada apa gerangan, minggu pagi yang cerah ini bosnya sudah meneleponnya berkali-kali. Seingatnya tidak ada pekerjaan yang mendesak. Tidak ada deadline yang harus dia kerjakan. Masih dihantui rasa penasarannya, Hayu mencoba menelepon kembali Candra. Beberapa kali deringan tapi tak dijawab, hingga dia bertekad, jika dalam deringan yang terakhir masih tidak ada jawaban dari Candra. Dia akan mengakhiri panggilannya dan membiarkan Candra saja yang menghubunginya kembali. “Halo?” sapa Candra dari seberang sana, segera mencecar pertanyaan pada Hayu. “Kamu ke mana
Hayu mengakhiri panggilan dari bosnya dan memencet tombol lift, naik ke apartemen Candra. Baru saja dia keluar dari lift, seseorang memanggilnya. Suara yang sangat familier itu membuatnya menoleh. “Hayu?” Dia menatap ke arah sumber suara, dia terkejut, sekaligus senang. “Dina? Lho, kamu kok sudah di sini, kamu sudah pulang dari dinas mendampingi CEO mu yang ganteng kayak opa-opa Korea itu?” Dina mengangguk dan memeluk Hayu, “Aku kangen, sudah lama kita tak bertemu, saling menyapa dan saling bercerita, kamu juga tak mengabariku sama sekali, kamu sibuk dengan Bisma sampai-sampai melupakan aku, begitu?” Hayu tertawa, “Mana mungkin aku melupakanmu, aku tak berani mengirimkan pesan padamu, karena aku takut mengganggumu yang sedang Business trip dengan Pak Sean, yang gantengnya nggak ketulangan itu. Makanya aku nggak berani hubungi kamu, Din. Kamu lagi ngapain di sini, jangan bilang Pak Sean juga tinggal di sini.” Dina mengangguk, “Iya, masa iya, aku yang tinggal d
“Bapak membohongi saya. Jadi maksud Bapak, menyuruh saya datang kemari untuk apa? Hah?” “Nanti, akan aku katakan tugasmu apa, tapi setelah sarapan, sekarang tugas kamu hanya menemaniku sarapan. mau kerja apa saja yang penting halal dan dapat uang lemburan, kan,” goda Candra pada Hayu yang tersenyum malu. Mengingat kata-katanya yang meminta uang lembur karena harus datang ke apartemen Candra di hari minggu. Hayu mengendikan bahunya acuh tak acuh, meneruskan sarapan paginya yang lumayan berat, dua piring spaghetti carbonara. Saat sedang asyik menikmati sarapannya, ponsel Hayu berdering, nada dering yang dia khususkan untuk kekasihnya. Hayu hanya melirik ponselnya tak berniat menjawabnya. Candra memicingkan matanya, ingin bertanya, namun sebisa mungkin dia tahan. Hayu yang meliriknya pun bersuara. “Pasti Bapak kepo, kan? Mau tahu siapa yang menelepon.” Candra memutar bola matanya malas, dia tahu, Hayu sedang mengejeknya. Tak perlu kamu jawab, aku sudah tahu siapa ya
“Bapak, Pak,” panggil Hayu menatap atasannya yang tampak sedang melamun. Hayu bahkan menggoyangkan tangannya di depan mata Candra, namun masih saja, pria itu tak bergeming sama sekali. Candra terlalu larut dalam lamunan dan pikirannya tentang dua sahabatnya, tentang cinta segitiga antara Hayu dan dua sahabatnya.“Ba..pak.., ada kebakaran...”Candra yang kaget, terlonjak dari duduknya, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari di mana kebakarannya.“Di mana, Hayu, dimana, cepat kamu ambil APAR (Alat Pemadam Api Ringan)! Go, Hayu! Serunya memberi perintah.Hayu yang melihat kepanikan Candra mendadak tak tahan menahan tawanya. Melihat wajah atasannya yang khawatir itu, seketika tawa Hayu, pecah.“Makanya, Pak, jangan suka melamun, tuh,kan, Bapak kesambet setan yang berkeliaran di sini.”Candra kesal bukan main, ingin rasanya dia memukul Hayu karena sudah mengerjainya dan membuatnya panik, meski dicover asuransi, dia tak mau jika apartemennya kebakara
Hayu sampai di rumah tepat setelah makan siang dengan Candra. Dia tak mau atasannya itu mengantarkan dirinya pulang. Apalagi dia ke sana menaiki motor maticnya. Meski Candra memaksanya, dia masih tetap kekeh dengan pendiriannya, dia tidak mau merepotkan atasannya itu. Hayu merebahkan tubuhnya keranjang, matanya menerawang pada kejadian di apartemen Candra, tak habis pikir dengan atasnya itu, meminta dirinya untuk menjadi istrinya. ‘Apa benar yang dikatakan Bisma waktu itu?’ Ya, sayup-sayup dia mendengar adu argumen dua sahabat itu, ketika hendak menyerahkan proposal yang akan di tanda tangani Candra, dia mendengar bahwa Candra sudah lama menyukainya, menyuruh Bisma melepaskan dirinya jika dia tak mampu mempertahankan dirinya. Hayu mendesah. Dia tidak mau gegabah, dia bukan kupu-kupu yang seperti Jelita bilang, singgah ke sana kemari hanya untuk mencari keindahan semata dan setelahnya, akan meninggalkannya begitu saja. Dia tidak mau cap murahan menempel pada dirinya.
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men