Beranda / Romansa / Hatimu Bukan Sebongkah Batu / 96. Pembelaan Tak Terduga

Share

96. Pembelaan Tak Terduga

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-27 14:46:28

Semua keceriaan yang Mimi bisa rasakan hari itu lenyap seketika. Ternyata urusan dengan Sherly masih ada rentetannya. Sekarang bahkan meluas. Mimi masih belum merespon apa-apa terhadap semua berita yang menyudutkan dirinya. Mimi tidak tahu bagaimana meluruskan semua itu. 

Kabar negatif yang sudah beredar di dunia maya, tidak akan mudah dihilangkan. Sekalipun Mimi berusaha menangkis, belum tentu orang akan langsung berubah pikiran dan memandangnya dengan sisi positif. Seakan percuma saja misal Mimi memberi komentar atas postingan Sherly. 

"Mi, kamu ga jawab apa-apa di situ?" Dayinta memandang Mimi. 

"Ga akan menyelesaikan masalah, Day. Apa orang akan percaya? Sudahlah. Aku ga mau peduli." Mimi merasa penat. Dia tidak ingin hatinya tercabik untuk sesuatu yang dia tidak perlu menggubrisnya.

Dengan lesu Mimi masuk ke dalam kamarnya. dia mengambil buku dan berusaha tenggelam dengan apa yang dia baca. 

Di ruang tengah, Dayinta da

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   97. Luka Itu Sudah Pergi

    Velia menoleh ke teras rumah besar itu. Lea dan kedua putrinya serta menantunya melambaikan tangan padanya dan Allan. Sedang Ferdinand, dia tersenyum tipis, duduk di kursi roda. Velia menyusul Allan masuk ke dalam taksi online yang menjemputnya untuk menuju ke bandara. Hati Velia penuh kelegaan. Tidak ada lagi cemas dan resah. Tidak pula rasa marah yang sekian lama terus tersimpan di dadanya. semua luka itu telah pergi. "Jalan, Pak." Velia berkata pada sopir. Perlahan mobil meninggalkan rumah megah dan cantik keluarga Ferdinand. Allah yang ada di sisi Velia tersenyum. Mamanya telah berhasil mengalahkan semua kepedihan dan kekecewaan masa lalunya. Sangat lega melihat Velia bisa tersenyum manis saat bersama Ferdinand dan Lea. Sedang Allan, ternyata menyenangkan punya dua kakak yang cantik dan perhatian. Astari, wanita yang tegas, berkharisma dan cerdas. Andini, dia lebih ceria dan manja. Walaupun begitu kesan dia wanita mandiri tetap terlihat. "Tuhan memang punya waktu untuk segala

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   98. Nehan Beraksi

    Mobil Allan masuk area kampus Mimi. Tiba-tiba saja Mimi merasa sesuatu mendesak di dadanya. Ada sedikit cemas juga mencuat. Padahal sejak bangun dia merasa baik-baik saja. Allan menoleh pada Mimi. Tatapan Mimi berubah, tidak setenang tadi. Pasti dia merasa tidak nyaman dan gelisah menghadapi teman-teman kuliahnya. Allan sebenarnya sudah bilang sebaiknya Mimi di rumah saja. Paling tidak membuat dirinya tenang lebih dulu. Tapi Mimi ngotot minta ke kampus. Alasannya siang ada rapat evaluasi panitia. Dia harus datang. Allan memarkir mobil. Mimi tidak segera beranjak. Dia duduk menatap lurus keluar kaca mobil. Allan memandang Mimi. Dia memastikan apakah mimi mau lanjut kegiatan hari itu atau kembali pulang. "Kamu jadi turun?" tanya Allan. Mimi mengangguk. "Ya, Kak." Mimi melepas sabut pengaman dan keluar dari mobil. Allan ikut turun dan menemani Mimi menuju ke kelas. Biasanya Allan hanya akan menurunkan Mimi langsung dia tinggal pergi meneruskan urusannya sendiri atau kembali pulang. N

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   99. Sekali Lagi Aku Minta Maaf

    Mimi mengurungkan niatnya melangkah. Nehan menatapnya dari tempat dia berdiri. Mimi tidak tahu cowok itu sengaja datang menemuinya atau dia ada urusan di kampus ini. Yang pasti Mimi tidak berharap bertemu dengan cowok itu. Dia tidak mau muncul masalah lain lagi gara-gara Nehan berdekatan dengannya. "Mi, dia cari kamu pasti." Seorang teman yang baru keluar ruangan berbisik pada Mimi. Mimi menoleh padanya. "Ga tahu," kata Mimi. "Kamu perlu ditemani?" tanya cewek dengan gaya sedikit tomboy itu. "Ga apa, aku baik-baik, kok." Mimi menjawab tenang, padahal hatinya mulai berdebaran. "Oke. Aku duluan." Cewek itu menepuk pundak Mimi dan melangkah menjauh. Nehan maju mendekat ke arah Mimi. Wajah cowok itu tampak tidak tenang. Sulit digambarkan. Ada rasa bersalah, ada sedikit malu, tetapi tatapan sayang masih ada juga di sana. "Bisa aku bicara dengan kamu?" tanya Nehan pada Mimi. Mimi memandang Nehan, belum tahu apa yang akan dia katakan. Jika dia mengiyakan, bisa jadi masalah memang. Jik

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   100. Dia Hanya Masa Lalu

    Jalanan semakin ramai, senja akan segera turun. Mobil Allan masih terparkir di pinggir jalan, tidak peduli keramaian di sekitarnya. Di dalamnya, Allan dan Mimi, saling memandang. Perkataan Mimi membuat Allan ingin tahu lebih jauh apa yang Mimi rasakan dengan kejadian mengejutkan dua hari ini. "Belajar bagaimana?" Allan meminta Mimi menjelaskan lebih jauh perasaannya. "Kak Allan dan Tante Velia terluka karena Om Ferdi. Bertahun-tahun berusaha hidup dengan baik, menyisihkan semua perih, tapi ternyata baru tuntas sekarang. Luka itu pergi, setelah menerima kenyataan dan melepas maaf secara penuh," kata Mimi. Dia tidak tahu apakah perkataannya ini akan memicu sesuatu di hati Allan. Allan tersenyum mendengar itu. Senyum yang Mimi lihat, senyum kelegaan, bukan kesal atau sinis. "Kamu benar, Mi. Sekarang melihat papa, bahkan keluarganya, bukan hal yang buruk. Mereka bagian hidupku." Di pikiran Allan tampak satu per satu wajah keluarga Ferdinand muncul. "Dan ... tentang Yashinta ...." Meng

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   101. Ingin Melupakan Cinta Itu

    Insiden mengejutkan karena Sherly, tidak perlu waktu lama mulai mereda. Mimi lega, sangat lega. Semua boleh dikatakan berjalan normal kembali. Dia terus sibuk dengan perkuliahan, persiapan juga semester depan dia akan magang. Bagusnya, tempat magang Mimi tak jauh dari galeri Allan. Saat tahu itu, Allan juga sangat senang. Mereka bisa berangkat dan pulang bersama nanti. Allan dan teman-temannya di galeri sudah punya setidaknya event yang akan mereka gelar kembali. Baik untuk seni lukis maupun dunia fotografi. Event pada pembukaan galeri yang lalu memang langkah awal yang sangat menguntungkan. Acara sukses, orang langsung kenal galeri mereka bahkan cukup banyak yang menanyakan kapan akan ada event lagi. Dan bagusnya makin berkembang bukan melulu foto, tapi juga video pendek yang akan disertakan dalam event selanjutnya. "Peserta pasti makin meluas. Sekarang lagi marak video pendek yang menarik dan punya muatan pesan baik untuk penontonnya. Aku punya tema menarik. Bisa menjangkau ketiga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   102. Kunjungan Istimewa

    Hari yang dinanti tiba juga. Andini datang ke Malang. Allan menyempatkan melihat event yang diikuti Andini. Kali ini Andini menjadi juri untuk lomba modelling pelajar SMP dan SMA. Ikut menyaksikan acara yang digelar di salah satu sekolah ternama di kota ini, cukup menyenangkan. Memori dipaksa kembali ke masa sekolah. Masa-masa yang menyenangkan. "Seru juga ya, lihat acara kayak gini. Jadi ingat saat sekolah dulu." Allan memandang ke seluruh area yang cukup luas. Suasana meriah, riuh, dan sibuk. Semua tampak penuh semangat dengan kegiatan ini. "Ya, Kak. Aku dulu suka nonton aja kalau lomba modeling. Aku kan bisanya nyanyi, hee ..." Mimi tersenyum lebar. Usai acara, Andini langsung menghampiri Allan dan Mimi. Dia memeluk mereka bergantian dengan senyum ceria. Pelukan Allan, terasa hangat. Rindu Andini benar-benar terobati. "Kangen. Banget. Makasih udah mau datang ke sini," kata Andini senang. "Kebetulan hari ini Mimi ga ada kuliah. Dan, sekalian aku ada rencana mengunjungi teman. K

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   103. Maafkan Aku Karena Masih Sayang Kamu

    Pertemuan menyenangkan. Yudha semakin ceria karena bisa bicara banyak dengan Allan dan Mimi. Juga berkenalan dengan Andini. Sungguh hari yang luar biasa buatnya. Sayang, kunjungan tidak bisa lebih dari satu jam. Meskipun hanya sejenak, sangat berkesan rasanya. Andini pun merasa berada di lapas, bertemu Yudha menjadi hari yang tak akan dia lupakan. Setiap orang punya kisah hidup masing-masing. Ada banyak kejadian tak diharapkan terjadi. Rencana berantakan, semua yang ditata hancur tak bersisa, dan rasanya hanya menabrak tembok di depan. Namun, jika mau bersabar, niat menata hati, langkah baru bisa dimulai lagi. Itu yang Andini pelajari dari hidup Yudha dan Allan. Keluar dari rumah pesakitan, Alla meluncur menuju rumah. Sepanjang jalan pembicaraan mereka masih seputar Yudha. Allan begitu senang sahabatnya punya kesempatan bebas lebih cepat dari yang dia kira. Rasanya hari itu makin menyenangkan saja. "Tidak sabar aku, dapat kabar Yudha akan mendapat keringanan dan segera bisa menghiru

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   104. Pesan Sahabat Untuk Kakak

    Mimi menengadah membalas tatapan Allan. Dia bersungguh-sungguh dengan yang dia katakan. Meskipun dia bicara tenang dan lembut, Mimi bisa merasa yang Allan katakan seperti sebuah perintah bukan permintaan. "Aku akan sayang kamu, Mi. Akan selalu sayang sama kamu." Mata Allan masih menghujam pada dua bola mata Mimi. Mimi mengangguk. Dia tak punya alasan juga menolak kekasihnya ini. Jika mereka saling sayang, apa yang ditunggu. Cepat atau lambat mereka akan menikah juga. "Thank you." Allan mendekatkan wajahnya dan mengecup lagi puncak kepala Mimi, lalu keningnya. Mimi memeluk pinggang Allan. Dia ingin merasakan kasih Allan yang tumpah untuknya, juga mengalirkan rasa sayang buat pria istimewa itu. "Istirahatlah. Aku juga akan segera tidur. Berharap besok saat membuka mata, aku dan kamu ada di altar, bersiap berjanji hidup bersama." Allan tersenyum. "Kakak ...." Mimi ingin tertawa mendengar ucapan Allan. Tetapi tentu saja hatinya kembali melambung. Allan melepas Mimi dan membiarkan ga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-05

Bab terbaru

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   114. Semua Mungkin Saja Terjadi

    Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   113. Menjawab Teka-Teki

    Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   112. Kenyataan Mulai Terbuka

    Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter

DMCA.com Protection Status