Pertemuan menyenangkan. Yudha semakin ceria karena bisa bicara banyak dengan Allan dan Mimi. Juga berkenalan dengan Andini. Sungguh hari yang luar biasa buatnya. Sayang, kunjungan tidak bisa lebih dari satu jam. Meskipun hanya sejenak, sangat berkesan rasanya. Andini pun merasa berada di lapas, bertemu Yudha menjadi hari yang tak akan dia lupakan. Setiap orang punya kisah hidup masing-masing. Ada banyak kejadian tak diharapkan terjadi. Rencana berantakan, semua yang ditata hancur tak bersisa, dan rasanya hanya menabrak tembok di depan. Namun, jika mau bersabar, niat menata hati, langkah baru bisa dimulai lagi. Itu yang Andini pelajari dari hidup Yudha dan Allan. Keluar dari rumah pesakitan, Alla meluncur menuju rumah. Sepanjang jalan pembicaraan mereka masih seputar Yudha. Allan begitu senang sahabatnya punya kesempatan bebas lebih cepat dari yang dia kira. Rasanya hari itu makin menyenangkan saja. "Tidak sabar aku, dapat kabar Yudha akan mendapat keringanan dan segera bisa menghiru
Mimi menengadah membalas tatapan Allan. Dia bersungguh-sungguh dengan yang dia katakan. Meskipun dia bicara tenang dan lembut, Mimi bisa merasa yang Allan katakan seperti sebuah perintah bukan permintaan. "Aku akan sayang kamu, Mi. Akan selalu sayang sama kamu." Mata Allan masih menghujam pada dua bola mata Mimi. Mimi mengangguk. Dia tak punya alasan juga menolak kekasihnya ini. Jika mereka saling sayang, apa yang ditunggu. Cepat atau lambat mereka akan menikah juga. "Thank you." Allan mendekatkan wajahnya dan mengecup lagi puncak kepala Mimi, lalu keningnya. Mimi memeluk pinggang Allan. Dia ingin merasakan kasih Allan yang tumpah untuknya, juga mengalirkan rasa sayang buat pria istimewa itu. "Istirahatlah. Aku juga akan segera tidur. Berharap besok saat membuka mata, aku dan kamu ada di altar, bersiap berjanji hidup bersama." Allan tersenyum. "Kakak ...." Mimi ingin tertawa mendengar ucapan Allan. Tetapi tentu saja hatinya kembali melambung. Allan melepas Mimi dan membiarkan ga
Perkataan Yudha cukup mengejutkan buat Allan, sekalipun yang dia katakan benar. Andini, model terkenal itu, seorang publik figur, apakah mungkin dia akan mempedulikan Yudha? Jika dulu, Yudha adalah mahasiswa dengan potensi luar biasa. Seperti Allan, kebanggaan kampus. Pada dosen bahkan bisa memprediksi kalau di masa depan Yudha akan jadi Seniman sukses dan ternama. Namun, keadaan berbalik begitu cepat. Saat Yashinta menghantam hatinya, seluruh hidup Yudha porak poranda. Wanita yang dia cintai itu bahkan merenggut nyawa karena emosi Yudha yang tak tertahankan. Semua berbeda. Yudha luluh lantak. Dia bukan apa-apa. Dia hanya pria bodoh dan malang yang harus meringkuk di balik terali besi untuk mempertanggungjawabkan nyawa Yashinta yang melayang. Allan tidak bisa menjawab pertanyaan Yudha. Dia juga tidak mungkin membujuk Andini agar mau membuka hati untuk Yudha. Andai Yudha bukan pesakitan, sangat mungkin Allan berani mencomblangi mereka berdua. Tapi kenyataan sekarang, hampir tidak mung
Pernyataan Andini membuat Yudha merasa mendapat aliran air sejuk. Apa yang Andini katakan seolah membuka pintu dia bisa memberanikan diri mendekat pada Andini. Tinggal caranya saja agar Andini pun dengan lebar menerima Yudha untuk mendekat padanya. "Kurasa kamu benar. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Benar juga, bahwa setiap orang sangat bisa mengalami kegagalan dan melakukan kesalahan. Namun, jika ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya, pasti akan melakukan yang terbaik." Yudha memandang Andini. Dia sangat berharap apa yang Andini ungkapkan sebenarnya ditujukan untuk dirinya juga. Berharap Andini menyukainya rasanya terlaluh jauh, tapi Yudha tidak akan menyia-nyiakan peluang yang ada di depan mata. "Aku ingat kisah seorang pria yang justru menemukan jati diri dan tujuan hidup saat dia berada di tempat paling gelap di dalam hidupnya. Penjara. Penjara tidak melenyapkan sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Dia menjadi seorang yang besar setelah hukumannya berakhir." Sek
Hati Allan menghangat. Apa yang Mimi katakan membuat dia begitu girang. Mimi mengatakan dia yakin dengan Allan, kalau harus menikah muda, dia siap. Allan makin tidak sabar saja menunggu Mimi selesai kuliah. Dengan senyum lebar, dia gandeng Mimi dan mengajaknya pulang. Yang Mimi katakan tadi akan membangkitkan semangat Allan. Dia akan siapkan segala sesuatu sebaik mungkin untuk hari bahagia dia dan Mimi nanti. Meskipun Mimi tipe gadis yang simple, tidak akan minta macam-macam, tapi Allan akan buat sesuatu yang istimewa untuk menyatukan cinta mereka. Mimi pun, setelah dia mengatakan isi hatinya pada Allan, merasa kelegaan. Memang, kesibukan terus berjalan, waktu bersama Allan juga masih belum akan lebih banyak, setidaknya dia bisa yakin, dua tahun lagi, tidak akan ada yang menghalangi dia bisa terus di samping pria yang dia cintai. "Kak, ini keren, wow banget!" Mimi menggandeng tangan Allan memasuki galeri yang sudah dipermak dengan dekorasi sesuai tema, tentang cinta. Warna merah dan
Allan paham, sangat paham apa yang Mimi rasakan dan pikirkan. Karena dia juga pemikiran yang sama. Bukan sesuatu yang mudah seorang narapidana bisa berhubungan dengan seorang yang bebas dan baik di luar penjara. Bahkan semisal dia sudah menuntaskan hukuman, lalu menjadi pria bebas, orang di sekitarnya juga tidak mudah menerima dia."Aku juga merasa itu yang menyulitkan hubungan mereka. Seandainya pun sungguh mereka bisa saling menerima, aku tidak tahu dengan papaku dan Tante Lea. Apakah mereka akan dengan gampang menyetujui kalau Kak Andini punya pasangan pria yang pernah lama mendekam di balik jeruji besi?" Allan memandang Mimi.Mimi menarik nafas dalam. Ah, kisah cinta manusia bisa jadi begitu rumit. Bahkan kalau dia ingat kisahnya sendiri dengan Allan. Semua tidak bisa diduga.Allan mengajak Mimi meninggalkan galeri. Hari sudah makin malam, dan rasa lelah sudah terasa mendera tubuh. Pulang, membersihkan diri dan berbaring di atas kasur yang empuk pasti akan s
Senyum Yudha melebar. Dia sengaja membuat Allan penasaran. Allan pasti ingin tahu apakah Yudha sudah menyatakan isi hatinya pada Andini, lalu apakah Andini juga memberi jawaban pada Yudha? "Kakakmu bukan hanya cantik, Allan. Tapi juga smart." Itu yang Yudha katakan. Dia juga berteka-teki. "Katakan saja yang jelas, Yudha." Allan gemes rasanya dengan temannya itu. "Jika matahari dan bulan bisa menampakkan wajah di langit yang sama, mengapa tidak bintang juga akan hadir di sana?" Yudha mengatakan kalimat yang terdengar seperti syair. "Apa? Kamu baca puisi?" Allan makin bingung. "Kakakmu minta aku memberikan makna dari kalimat itu. Minggu depan, jika aku bisa menjawab atau memberi penjelasan maknanya, dan menurut dia tepat, dia akan menjawab penyataan isi hatiku." Yudha kembali menjelaskan maksud perkataannya. Allan menggeleng tak percaya. Yang dia tahu Andini itu seorang model, bukan pujangga. Apa lagi ini? Benar-benar membingungkan. "Sudahlah, kamu dan Kak Andini saja yang mikir.
Semua mata masih memandang pada Allan dan Andini, yang tanpa sengaja mereka duduk bersebelahan. Seolah-olah mereka akan dihakimi atas kesalahan yang mereka lakukan. Allan merasa sedikit lebih tegang sekarang. Sedang Andini, dia sudah mempersiapkan hari ini. Dia tahu apa yang akan dia katakan di depan mereka semua yang memandangnya. "Yudha memang di dalam kungkungan karena pernah melakukan kesalahan. Tetapi dia bukan orang jahat. Yang terjadi padanya adalah sebuah kesalahan karena seseorang yang terluka dengan keadaan dirinya." Andini berkata begitu rapi dan tearah. Allan justru mulai gelisah. Dia tidak ingin jika dia harus bicara, dia salah ucap lalu dia akan mengacaukan semuanya. "Allan, aku akan katakan apa yang aku tahu tentang Yudha, jika ternyata ada yang tidak benar, kamu luruskan, karena kamu ada di sana saat semua itu terjadi." Andini menoleh pada Allan. Allan merasa lehernya tercekat. Tapi dia menganggukkan kepala. Kisah pedih itu kembali dikuak. Kejadian menyakitkan yang
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter