Kampus ramai dan meriah. Acara yang diselenggarakan di kampus Mimi untuk merayakan hari jadi universitas sukses besar. Pagelaran seni yang juga disiapkan berlangsung heboh. Panitia sangat puas dan bangga bisa mengadakan acara dengan lancar. Mimi yang sejak pagi sibuk, tidak merasa lelah karena hati yang gembira. Bersama panitia lainnya Mimi terus memastikan acara akan berakhir dengan baik hingga acara penutupan jam lima sore. "Great job, Guys! Thank you kerja kerasnya. Para dosen acungkan jempol buat kita. Huuhh!!" Ketua panitia bertepuk tangan girang saat mereka makan siang bersama. "Dahsyat kalian. Lanjutkan perjuangan!!" Salah seorang menimpali sambil angkat dua jempolnya. "Yesss! Lega banget. Ga sia-sia kerja keras selama ini!" Yang satu lagi berseru senang. "Mi, kamu jadi lo, isi acara. Jadi bintang tamu mewakili panitia saat penutupan nanti." Ketua seksi acara mendekati Mimi yang masih menikmati ayam bakar di depannya. "Hei, ngaco. Aku ga sempat latihan. Ntar lupa lirik cil
Di atas panggung lagi. Mimi merasa cukup tegang dan gugup. Di hadapan sekian banyak pandangan mata, degdegan juga rasa hatinya. Tangannya terasa dingin dan sedikit gemetar. Ketika Nehan sudah di sisinya rasa nervous makin meningkat. Jika dulu, bernyanyi bersama Nehan adalah sesuatu yang istimewa, apalagi ketika mereka pacaran, semua telah berbeda. Mimi menahan hati, takut air mata menitik karena rasa takut belum sepenuhnya hilang. Para penonton bersorak, berteriak memanggil namanya dan Nehan. Ini kejutan besar karena pasangan duet andalan kampus manggung bareng lagi. Suitan, seruan, dan semua kegembiraan seolah dilempar dari area penonton ke arah panggung. Namun, Mimi berjuang, agar bisa bernyanyi dengan lancar, hingga lagu usai. Itu saja. Di bawah panggung, Ricky dan Dayinta menatap ke arah Mimi dan Nehan dengan mata melotot. Mereka seolah tidak percaya menyaksikan Mimi bernyanyi lagi, berduet dengan Nehan. Tidak mungkin. Rasanya tidak mungkin. Apa yang terjadi? Mimi tidak mengatak
Dayinta memandang Mimi. Lagi, Mimi menggeleng keras-keras. Dia tidak mau Dayinta memberitahu Allan apa yang terjadi dengan dirinya. "Ah, iya, Kak. Masih sibuk. Nanti biar Mimi hubungi Kak Allan. Aku segera kasih tahu Mimi." Dayinta berusaha tetap tenang bicara dengan Allan. Mimi mengembuskan nafas lega. Dayinta meletakkan ponsel dan memandang Mimi. "Aku belum kontak Kak Allan atau Tante Velia. Aku ga tau apakah mereka di sana baik-baik. Aku ga mau kasih kabar buruk. Mereka nanti akan cemas." Mimi menjelaskan alasannya agar Dayinta tutup mulut. Dayinta mengusap pundak Mimi. Dia mengerti apa yang Mimi risaukan. "Lalu kamu mau bilang apa?" tanya Dayinta. Mimi meraih tasnya yang ada di dekat bantal. Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor kontak Allan. Segera Mimi mengirim chat pada Allan. - Hai, Kak. Sorry, baru kelar acara. Aku baik-baik saja. Kakak tenang saja. Aku ajak Dayinta tidur di rumah. Mimi tunjukkan pesan yang dia kirim pada Dayinta. Dayinta mengangguk. Sepertinya
Semua keceriaan yang Mimi bisa rasakan hari itu lenyap seketika. Ternyata urusan dengan Sherly masih ada rentetannya. Sekarang bahkan meluas. Mimi masih belum merespon apa-apa terhadap semua berita yang menyudutkan dirinya. Mimi tidak tahu bagaimana meluruskan semua itu. Kabar negatif yang sudah beredar di dunia maya, tidak akan mudah dihilangkan. Sekalipun Mimi berusaha menangkis, belum tentu orang akan langsung berubah pikiran dan memandangnya dengan sisi positif. Seakan percuma saja misal Mimi memberi komentar atas postingan Sherly. "Mi, kamu ga jawab apa-apa di situ?" Dayinta memandang Mimi. "Ga akan menyelesaikan masalah, Day. Apa orang akan percaya? Sudahlah. Aku ga mau peduli." Mimi merasa penat. Dia tidak ingin hatinya tercabik untuk sesuatu yang dia tidak perlu menggubrisnya. Dengan lesu Mimi masuk ke dalam kamarnya. dia mengambil buku dan berusaha tenggelam dengan apa yang dia baca. Di ruang tengah, Dayinta da
Velia menoleh ke teras rumah besar itu. Lea dan kedua putrinya serta menantunya melambaikan tangan padanya dan Allan. Sedang Ferdinand, dia tersenyum tipis, duduk di kursi roda. Velia menyusul Allan masuk ke dalam taksi online yang menjemputnya untuk menuju ke bandara. Hati Velia penuh kelegaan. Tidak ada lagi cemas dan resah. Tidak pula rasa marah yang sekian lama terus tersimpan di dadanya. semua luka itu telah pergi. "Jalan, Pak." Velia berkata pada sopir. Perlahan mobil meninggalkan rumah megah dan cantik keluarga Ferdinand. Allah yang ada di sisi Velia tersenyum. Mamanya telah berhasil mengalahkan semua kepedihan dan kekecewaan masa lalunya. Sangat lega melihat Velia bisa tersenyum manis saat bersama Ferdinand dan Lea. Sedang Allan, ternyata menyenangkan punya dua kakak yang cantik dan perhatian. Astari, wanita yang tegas, berkharisma dan cerdas. Andini, dia lebih ceria dan manja. Walaupun begitu kesan dia wanita mandiri tetap terlihat. "Tuhan memang punya waktu untuk segala
Mobil Allan masuk area kampus Mimi. Tiba-tiba saja Mimi merasa sesuatu mendesak di dadanya. Ada sedikit cemas juga mencuat. Padahal sejak bangun dia merasa baik-baik saja. Allan menoleh pada Mimi. Tatapan Mimi berubah, tidak setenang tadi. Pasti dia merasa tidak nyaman dan gelisah menghadapi teman-teman kuliahnya. Allan sebenarnya sudah bilang sebaiknya Mimi di rumah saja. Paling tidak membuat dirinya tenang lebih dulu. Tapi Mimi ngotot minta ke kampus. Alasannya siang ada rapat evaluasi panitia. Dia harus datang. Allan memarkir mobil. Mimi tidak segera beranjak. Dia duduk menatap lurus keluar kaca mobil. Allan memandang Mimi. Dia memastikan apakah mimi mau lanjut kegiatan hari itu atau kembali pulang. "Kamu jadi turun?" tanya Allan. Mimi mengangguk. "Ya, Kak." Mimi melepas sabut pengaman dan keluar dari mobil. Allan ikut turun dan menemani Mimi menuju ke kelas. Biasanya Allan hanya akan menurunkan Mimi langsung dia tinggal pergi meneruskan urusannya sendiri atau kembali pulang. N
Mimi mengurungkan niatnya melangkah. Nehan menatapnya dari tempat dia berdiri. Mimi tidak tahu cowok itu sengaja datang menemuinya atau dia ada urusan di kampus ini. Yang pasti Mimi tidak berharap bertemu dengan cowok itu. Dia tidak mau muncul masalah lain lagi gara-gara Nehan berdekatan dengannya. "Mi, dia cari kamu pasti." Seorang teman yang baru keluar ruangan berbisik pada Mimi. Mimi menoleh padanya. "Ga tahu," kata Mimi. "Kamu perlu ditemani?" tanya cewek dengan gaya sedikit tomboy itu. "Ga apa, aku baik-baik, kok." Mimi menjawab tenang, padahal hatinya mulai berdebaran. "Oke. Aku duluan." Cewek itu menepuk pundak Mimi dan melangkah menjauh. Nehan maju mendekat ke arah Mimi. Wajah cowok itu tampak tidak tenang. Sulit digambarkan. Ada rasa bersalah, ada sedikit malu, tetapi tatapan sayang masih ada juga di sana. "Bisa aku bicara dengan kamu?" tanya Nehan pada Mimi. Mimi memandang Nehan, belum tahu apa yang akan dia katakan. Jika dia mengiyakan, bisa jadi masalah memang. Jik
Jalanan semakin ramai, senja akan segera turun. Mobil Allan masih terparkir di pinggir jalan, tidak peduli keramaian di sekitarnya. Di dalamnya, Allan dan Mimi, saling memandang. Perkataan Mimi membuat Allan ingin tahu lebih jauh apa yang Mimi rasakan dengan kejadian mengejutkan dua hari ini. "Belajar bagaimana?" Allan meminta Mimi menjelaskan lebih jauh perasaannya. "Kak Allan dan Tante Velia terluka karena Om Ferdi. Bertahun-tahun berusaha hidup dengan baik, menyisihkan semua perih, tapi ternyata baru tuntas sekarang. Luka itu pergi, setelah menerima kenyataan dan melepas maaf secara penuh," kata Mimi. Dia tidak tahu apakah perkataannya ini akan memicu sesuatu di hati Allan. Allan tersenyum mendengar itu. Senyum yang Mimi lihat, senyum kelegaan, bukan kesal atau sinis. "Kamu benar, Mi. Sekarang melihat papa, bahkan keluarganya, bukan hal yang buruk. Mereka bagian hidupku." Di pikiran Allan tampak satu per satu wajah keluarga Ferdinand muncul. "Dan ... tentang Yashinta ...." Meng
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter