Angin terasa makin dingin karena hari sudah gelap. Cahaya lampu yang remang-remang memang membuat kesan romantis di sekitar Mimi dan Nehan. Tempat yang cantik dan indah, melengkapi manisnya kebersamaan dua sejoli itu. Nehan memandang Mimi. Dia ingat, hari itu dia menelpon Mimi dan gangguan datang. Dengan cepat dia memotong pembicaraan dan mengakhiri panggilan. Dia pikir Mimi tidak mendengar, ternyata dia bertanya juga. Yang Nehan takutkan adalah Ricky akan memberitahu Mimi kalau dia melihat Nehan dengan seorang wanita, ternyata tidak. Mimi justru menanyakan hal yang lain. Setidaknya Nehan sudah mengantisipasi apa yang akan dia katakan jika Mimi bertanya soal hubungannya dengan cewek lain. "Oh, itu ... sepupuku, Mi. Aku pernah bilang, kan?" Nehan meraih tangan Mimi. Dia tetap tenang dan tersenyum manis pada Mimi. "Sepupu? Apa dia tinggal serumah dengan kakak?" Mimi mencoba meminta penjelasan. Buat Mimi tidak masuk akal juga kalau dia dengan keponakannya ber-sayang ria begitu. Awalnya
Kalimat yang Allan katakan membuat Mimi merasa ragu untuk bicara pada Allan. Beberapa saat dia tak bergerak, tak merespon apapun. "Kamu dengar yang aku katakan?" Allan membuyarkan lamunan Mimi. "Eh, iya, Kak. Aku dengar. Aku ingin kita baikan." Sedikit takut, Mimi bicara lalu menundukkan kepala. Allan terdiam. Ya, selama ini dia dan Mimi seolah bermusuhan. Gara-gara Nehan, bukan gara-gara Mimi tidak jujur kalau sudah pacaran dengan Nehan. Allan menepuk kursi di sisinya. Mimi melangkah mendekat, duduk di kursi itu. Hati Mimi makin dag dig dug. Dia takut salah bicara lalu Allan akan marah besar. "Oke. Kita baikan." Allan memandang Mimi. Ada rasa lega mengalir di hati Mimi. Meskipun tanpa ekspresi, kata-kata itu Allan ucapkan. Dan Mimi tahu Allan serius, dia tidak bohong. "Maafkan aku, Kak. Aku sudah menyakiti Kak Allan. Sama sekali aku ga ada maksud begitu." Mimi mengucapkan lagi maaf, yang sudah lama dia pernah ucapkan, dia tulis dalam surat, dan dia ulang lagi. "Aku akan baik-b
Dengan kasar Mimi mengusap kedua pipinya yang basah. Dia tak menduga ternyata pria yang dia cintai, yang terlihat begitu baik, adalah seorang pendusta. Nehan punya kekasih selain Mimi. Betapa perih rasa hati Mimi. Dia dipermainkan. Selama ini Mimi sudah menemukan tanda-tanda, tetapi dia menyisihkan semua itu. Naif! Hanya karena dia cinta pada Nehan dan terperdaya sikap Nehan yang semanis itu. Ternyata semua sandiwara belaka. "Kamu yakin, Mi?" Dayinta memandang Mimi. Mimi mengangguk lalu menceritakan kejadian yang baru dia alami. Juga setidaknya dua kejadian yang sempat membuat Mimi curiga. Tapi semua itu dia buang jauh-jauh, tidak ingin berpikiran buruk pada Nehan. Dayinta cukup lega mendengar ini. Kemudian dia bisa juga bercerita tentang kecurigaan Ricky dan penyelidikan yang Ricky lakukan terhadap pacar Mimi. "Apa? Jadi kamu dan Ricky tahu kalau Kak Nehan sebenarnya ..." Mimi menatap Dayinta. "Mi, kami belum yakin. Belum ada bukti nyata. Sama seperti kamu, kami curiga. Itu saja.
Nehan memandang Mimi. Kedua tangan Nehan memegang bahu Mimi. Dia sedikit memaksa Mimi melihat padanya. Nehan masih ingin meyakinkan Mimi bahwa hanya Mimi yang ada di dalam hatinya. "Mi, aku ga bohong soal perasaanku. Aku jatuh cinta sama kamu. Dan rasa sayangku terus berkembang buat kamu. Sherly memang masih di sekitarku. Tapi aku tahu tujuan hidupku ke depan seperti apa. Dan yang aku lihat ada kamu di sana, bukan Sherly." Nehan sepenuh hati mengucapkan ini. Mata Mimi masih basah. Marah dan kecewa tentu saja jelas menggelayut di wajahnya yang cantik itu. Dan Nehan merasa sangat bersalah telah membuat Mimi menangis. "Mi, kumohon, beri aku waktu. Aku hanya sayang sama kamu. Please ..." Mimi menunduk dalam-dalam. Dia juga sayang Nehan. Nehan pria pertama yang membuat Mimi merasakan getaran cinta, kasmaran, dan bagaimana rasanya menjadi seorang kekasih. Ternyata hanya beberapa saat, keindahan cinta yang dia rasakan harus berbalik menjadi sebuah kesalahan besar. Dan itu kenyataannya. Mi
Pesan yang Mimi terima dari Allan membuat Mimi tersenyum lebar. Allan sudah selesai skripsinya. Dia mengirim foto telah tuntas sidang di depan dosen. Ternyata Allan terus berjuang. Mimi sangat senang. Dengan cepat Mimi menjawab pesan dari Allan. - Kak, congrats. I am proud of you. You are great, my brother. Ah, hati Mimi sedikit membaik. Kabar dari Allan membuat Mimi terhibur. Dia tidak terlalu memikirkan rasa kecewanya karena Nehan. Pesan balasan masuk lagi dari Allan. - Thank you always support. Mimi terdiam. Allan mengatakan Mimi selalu support dia. Sedangkan sekian lama mereka tidak ada komunikasi, tidak ada saling memberi kabar. Baru beberapa hari terakhir saja. Tapi Allan merasa Mimi selalu support dia. Padahal justru Mimi melukai Allan karena tidak jujur soal Nehan. Mimi tidak tahu harus merespon apa dengan pesan terakhir Allan. Bingung memilih kata yang tepat untuk menjawab. Pesan Allan masuk lagi. - Aku akan menemui Yudha. Andai bisa bersama kamu. Pesan itu membuat Mim
"Nehan ngapain kamu?" Ricky bicara setengah suara, tapi nadanya jelas sangat kesal. "Nanti saja, kuliah mau mulai." Dayinta mengingatkan. Ricky mengembuskan napas berat dan mengarahkan pandangan ke depan kelas. Dosen sudah berdiri di depan kelas siap mengajar hari itu. Mimi dan kedua sahabatnya pun tidak melanjutkan perbincangan. Mereka memfokuskan diri pada kelas yang mulai berjalan. Mimi sulit berkonsentrasi. Bagaimanapun situasi dia sangat mengganggu dia belajar. Mimi biasanya bisa mencatat dengan lengkap, tapi kali ini hanya beberapa baris kalimat saja yang bisa dia tuangkan dalam catatan. Kepalanya berpikir keras, bagaimana dia bisa bersikap tegas pada Nehan agar cowok itu tidak kembali lagi. Karena Mimi yakin, Nehan pasti akan terus mengejar dia. Setelah kuliah usai, Mimi berkeinginan cepat pulang. Dia tidak ingin keduluan Nehan datang dan memaksa bertemu. Hari ini seharusnya ada latihan paduan suara. Tetapi Mimi sudah sangat malas. Karena jika ingat paduan suara, maka yang m
Di dalam kamarnya, Mimi menangis tersedu-sedu. Dia menelungkupkan wajah pada bantal. Suara tangisnya tidak terdengar jelas, tetapi bahunya berguncang-guncang. Dayinta mendekati Mimi. Dia mengusap punggung Mimi, tapi tidak bicara apapun. Dia biarkan Mimi melepas marah dan sedihnya. Untuk kesekian kali gadis itu menangis. Padahal dia berusaha tegar. Namun kali ini, pertahanannya runtuh. Kedatangan kekasih Nehan membuat hati Mimi carut marut lagi. Apalagi di depan teman-teman kos yang lain. Entah apa pikiran mereka tentang Mimi. Mimi sangat malu. Orang tidak akan menahan pikirannya untuk bertanya lebih dulu yang mereka lihat benar atau salah. Sangat mudah mereka langsung menyimpulkan yang mereka lihat itulah kenyataannya. Mimi rasanya tidak bisa bertemu dengan siapapun. Dia ingat mamanya, dia juga ingat Velia. Tapi malu untuk menghubungi mereka. Mimi pun tidak ingin jadi beban orang-orang yang sayang padanya. Setelah sekian lama menangis, Mimi duduk. Dia bersandar di dinding, sibuk men
Dayinta dengan cepat menemui Ricky. Setelah mendapat pesan dari Mimi, dia langsung merasa cemas. Apa yang Nehan mau? Kenapa dia membawa Mimi? Pasti ada yang tidak beres. "Ky, gimana? Kamu tahu daerah Songgoriti?" Dayinta bicara dengan rasa kuatir. "Aku ga paham la. Ke sana pernah ke tempat rekreasi doang. Kalau daerah villa kan cukup luas. Duh, tuh cowok mau apa, sih?" Ricky juga bingung. Mereka tidak tahu harus mencari Mimi ke mana. Keduanya ingin cepat menyusul, tapi juga bingung karena tidak paham tempat di mana Mimi sekarang. "Minta Mimi share loc di mana dia," pinta Ricky. "Iya, ini lagi aku chat." Dayinta masih sibuk dengan ponsel. "Day, Kak Allan." Ricky memandang Dayinta. "Ah, kamu benar. Kak Allan mungkin tahu daerah itu." Dayinta mulai jadi semangat. Dia mencari nomor kontak Allan. Tapi dia mikir juga mau bicara apa pada Allan. Sudah lama mereka tidak ada komunikasi karena Mimi berselisih dengan Allan. "Udah ayo, cepat." Ricky tidak sabar karena Dayinta hanya mematung
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter