Dayinta dengan cepat menemui Ricky. Setelah mendapat pesan dari Mimi, dia langsung merasa cemas. Apa yang Nehan mau? Kenapa dia membawa Mimi? Pasti ada yang tidak beres. "Ky, gimana? Kamu tahu daerah Songgoriti?" Dayinta bicara dengan rasa kuatir. "Aku ga paham la. Ke sana pernah ke tempat rekreasi doang. Kalau daerah villa kan cukup luas. Duh, tuh cowok mau apa, sih?" Ricky juga bingung. Mereka tidak tahu harus mencari Mimi ke mana. Keduanya ingin cepat menyusul, tapi juga bingung karena tidak paham tempat di mana Mimi sekarang. "Minta Mimi share loc di mana dia," pinta Ricky. "Iya, ini lagi aku chat." Dayinta masih sibuk dengan ponsel. "Day, Kak Allan." Ricky memandang Dayinta. "Ah, kamu benar. Kak Allan mungkin tahu daerah itu." Dayinta mulai jadi semangat. Dia mencari nomor kontak Allan. Tapi dia mikir juga mau bicara apa pada Allan. Sudah lama mereka tidak ada komunikasi karena Mimi berselisih dengan Allan. "Udah ayo, cepat." Ricky tidak sabar karena Dayinta hanya mematung
Dayinta menunjuk sebuah villa bercat putih dengan pagar berwarna hitam. Dia minta Ricky menghentikan motor di depan gerbang. Allan juga menghentikan mobil dan segera turun menemui Ricky dan Dayinta. "Kalau sesuai lokasi yang Mimi kirim, benar, ini tempatnya. Ayo, masuk." Allan membuka pagar. Ternyata tidak terkunci. Dayinta dan Ricky pun mengekor di belakang Allan. "Sepi, Kak. Ga ada tanda-tanda manusia," kata Dayinta. Ricky memperhatikan sekeliling. Memang villa itu seperti kosong. Kalau misal mereka di sini, harusnya ada kendaraan Nehan, atau jendela terbuka. Semua tertutup, seperti ditinggalkan kosong. Allan mendekat ke pintu depan dan memencet bel. Tidak ada suara apapun di dalam. Allan mencoba mengintip dengan menempelkan wajahnya di jendela kaca. Tidak bisa terlihat jelas. Dayinta mencoba menelpon Mimi, tapi tidak ada jawaban. Masuk panggilannya, tapi tidak diangkat. "Ayo, Mi ... angkat telpon kamu," ujar Dayinta gusar. Ricky berjalan memutar ke sebelah samping. Ada pagar
Keluar dari rumah Allan, Ricky mengantar Dayinta kembali ke tempat kosnya. Tapi dia lebih dulu mengajak Dayinta makan malam. Sederhana saja. Mereka beli bakso yang mereka temui di pinggir jalan sambil lewat. Tapi ternyata lumayan enak juga. Sambil menikmati bakso panas, mereka masih bicara tentang kejadian yang dialami Mimi. Benar-benar mereka tidak menyangka, Nehan bisa segila itu kelakuannya. Dayinta dan Ricky selama ini cukup kagum dengan kakak tingkat mereka itu. Ternyata siapa yang menduga dia punya sisi lain yang mengerikan. "Kurasa, dia pasti biasa aneh-aneh sama ceweknya. Kalau nggak, mana mungkin dia tega sama Mimi." Dayinta masih kesal, bicaranya sedikit ketus. "Bisa jadi. Ingat yang aku lihat dia sama cewek di tempat kosnya? Itu juga entah cewek yang mana lagi. Serius, aku masih heran ternyata kating sekelas Nehan bisa kayak gitu." Ricky juga cuma bisa geleng kepala memikirkan Nehan. "Menurut kamu, Mimi akan lapor kejadian ini ga? Memproses buaya itu?" tanya Dayinta. "A
Tatapan Mimi belum beralih. Permintaan Allan rasanya seperti hadiah istimewa buat Mimi. Allan minta Mimi balik ke rumah ini lagi. Ada rasa lega yang meluap di hati Mimi. Mimi rindu rumah ini, rindu kamar depan ini yang biasa dia tempati, yang ternyata masih sama seperti saat Mimi keluar dari rumah ini. "Maafkan aku, Mi." Allan membuyarkan lamunan Mimi. "Kenapa minta maaf, Kak? Aku justru menjadii beban. Tante Velia dan Kak Allan ikut kepikiran karena aku jauh. Aku, aku seharusnya lebih sabar sama Kakak," kata Mimi. Dia tidak mau Allan merasa bersalah begitu. Pilihan Mimi sendirilah untuk keluar dan pindah kos. "Kamu sudah sabar, aku yang terlalu egois." Allan menatap mata Mimi yang masih sedikit bengkak. Yang Allan khawatirkan Mimi akan mengalami trauma karena kejadian di villa. Kekasih Mimi, orang yang dia cintai justru tega menyakitinya. "Aku, aku akan tinggal di sini lagi." Mimi menyetujui permintaan Allan. Allan tersenyum. Senang dan lega. Mimi akan dekat lagi dengannya. Setia
Refleks, Mimi memegang lengan Dayinta erat. Tiba-tiba saja tangannya gemetar, dadanya berdegup kencang, kedua kaki Mimi terasa lemas. Dayinta dan Ricky pun sangat terkejut, Nehan berani datang ke rumah ini! "Mimi ...," panggil Nehan. "Papa ...," ucap Mimi. "Papa!" "Kita masuk, Mi." Dayinta membantu Mimi berdiri. "Mi, tolong, aku mau bicara sama kamu." Nehan maju beberapa langkah. Dia menatap Mimi yang mulai ketakutan. Mimi tidak mau melihat ke arah Nehan. "Aku mau masuk." Itu yang Mimi bisikkan pada Dayinta. "Oke, kita masuk." Dayinta merangkul Mimi dan membawa gadis itu ke ruang dalam. Hendra, Viviana, Allan, dan Velia muncul. Rasa terkejut juga mereka tunjukkan karena Mimi pucat sekali. "Kenapa?" tanya Allan. "Nehan. Dia di depan," jawab Dayinta. "Dia di sini?" Allan tak kalah terkejut mendengar itu. "Ayo, kita ke kamar saja." Viviana mengajak Mimi ke dalam. Dayinta ikut masuk ke kamar. Sedangkan Hendra, Allan, dan Velia menuju ruang depan. Nehan berdiri berharap Mimi akan
Suasana ruang tamu hening, meski ada beberapa orang di sana. Orang tua Mimi, Velia dan Allan, lalu Ricky dan Dayinta. Mereka diam, memandang pada Mimi yang duduk dengan wajah sendu, sesekali memandang pada Nehan. Mimi, menguatkan hatinya untuk bertemu Nehan. Sebenarnya dia belum siap. Tapi dia meyakinkan dirinya sendiri, dia harus menyelesaikan persoalan dengan Nehan. Viviana dan Hendra ada di kiri dan kanannya. Mereka mendampingi Mimi agar gadis itu bisa tetap tenang berhadapan dengan Nehan. "Ayo, kita ke dalam." Velia mengusap pundak Allan. Dia berpikir Mimi mungkin akan lebih nyaman jika tidak banyak orang yang ikut terlibat dengan pembicaraannya. Allan mengangguk. Lalu dia mengikuti Velia ke dalam. Begitu pula Ricky dan Dayinta akhirnya memilih meninggalkan ruang tamu. Tinggal Nehan berhadapan dengan Mimi dan orang tuanya. Dia melihat Mimi yang memandang lurus padanya, tapi tatapan Mimi tidak ke arahnya. Mimi memang tidak mau melihat Nehan. Rasa marah dan muak memenuhi rongga d
Hari-hari berlalu. Mimi makin membaik. Kesedihannya perlahan menghilang. Apalagi dia fokus dengan studinya. Ujian sudah di depan mata. Hingga akhir bulan Mimi akan bergelut dengan berbagai ujian. Mimi tidak mau memikirkan yang lain. Setiap ingat Nehan, dia akan cepat alihkan dengan melakukan berbagai aktivitas. Viviana sudah balik ke Surabaya. Tapi setiap hari berulang kali Viviana akan menghubungi Mimi, memastikan jika putrinya itu baik-baik saja. Velia dan Allan juga sama. Mereka terus mendampingi Mimi agar dia cepat pulih. "Mi, kalau ujian selesai, kamu pulang?" tanya Allan. "Iya, Kak. Aku mau pulang." Mimi menjawab sambil tangannya menyirami bunga-bunga di taman depan. Sementara Allan merapikan sederetan tanaman di sisi yang lain. "Aku antar, ya? Jadi papa mama kamu ga usah jemput ke sini." Allan menawarkan diri. "Oh, oke ...." Mimi menoleh pada Allan. Lalu dia kembali memperhatikan tanaman yang dia siram. "Ada rencana ke mana gitu, liburan?" tanya Allan lagi. "Belum tahu, K
Mimi memandang Allan. Pria tampan di depannya itu menunggu jawaban Mimi. "Aku ... Beri aku waktu ... Aku akan memikirkannya." Mimi mengalihkan pandangan. Dia melihat keluar jendela mobil, lurus ke depan. Allan sedikit kecewa. Meskipun dia tahu sangat mungkin Mimi tidak akan segera menjawab, dia tetap berharap, ada peluang Mimi bisa menerima dia. "Oke. Aku akan menunggu. It is okay." Allan mengulum senyum tipis di bibirnya. Lalu kembali dia menjalankan mobilnya. Perjalanan mereka berlanjut. Dan suasana tidak seceria sebelumnya. Baik Allan maupun Mimi tidak banyak bicara. Senyum dan canda hanya sesekali saja terdengar. Hingga tiba di rumah keluarga Mimi, kekakuan belum juga mencair. Setelah mobil di parkir, segera Mimi turun. Sambil. Menenteng kopernya, Mimi bergegas masuk ke rumah. Dia mencari Viviana, sang ibu. Viviana memeluk Mimi erat. Dia sangat lega putrinya pulang dengan keadaan baik. Mimi bisa tersenyum lebar. Sangat melegakan. "Terima kasih sudah mengantar Mimi, Allan. Ka
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter