Mobil yang dikendarai Ray memasuki pelataran parkir sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan.
Lantas, Ray melangkah santai menuju ke lantai enam apartemen itu. Saat Ray membuka pintu apartemen nomor 666 itu, dia langsung disambut oleh seorang wanita yang duduk di depan televisi. Kedua kakinya menyilang sedangkan tangan kanannya memegang cangkir yang berisi teh hangat.
“Prita,” tukas Ray heran, “kok kamu belum siap sih?”
Prita menyibakkan rambut gelombangnya. “Ray,” sambutnya sambil menyunggingkan bibir merahnya.
Ray melirik jam tangan hadiah dari Kiara. “Jam setengah sebelas ini kita meeting lho. Dan banyak hal yang harus dipersiapkan. Sekarang sudah hampir jam sembilan.”
Prita berjalan perlahan ke depan Ray, menatap pria bermata cokelat itu. “Sayang, semalam kamu bermain terlalu cepat.” Kemudian Prita merangkulnya.
Ray balas melingkarkan kedua lengannya di pinggang Prita. “Sorry, Ta. Kamu tahu sendiri kan, istriku missed call beberapa kali.”
Prita berdecak manja. “Jadi kamu cepat-cepat gara-gara dia?”
“Bukannya begitu Prita sayang, bisa berantakan kan kalau dia tahu aku sedang sama kamu. Dan tahu nggak, semalam itu ternyata ulang tahun pernikahan kami yang keempat.”
Prita menggeleng-gelengkan kepalanya. “Astaga, suami macam apa kamu, Ray.” Tukasnya dengan nada bercanda, menyentuh hidung mancung Ray.
“Yah, semua kan demi kamu, Ta.” Ray lalu mendaratkan ciuman mesra di bibir Prita. “Nah, sekarang ganti jubah mandi kamu itu dan kita siap-siap pergi ke kantor.”
“Ray, masih ada satu jam lagi sebelum masuk kantor,” tukas Prita. “Kita lanjut yang semalam dulu gimana?” Prita mengedipkan mata kirinya dengan menggoda.
“Tapi, Ta—“
Prita melepaskan rangkulannya. Sedetik kemudian, jubah mandi itu melesat ke atas lantai, menyisakan tubuh Prita yang tidak dihiasi seutas benang sama sekali.
“Rey, kamu yakin mau ke kantor sekarang? Waktu kita masih banyak lho.” Prita mengerlingkan matanya.
Desakan nafsu langsung menguasai tubuh Ray. Dia tersenyum nakal dan mendorong tubuh Prita ke atas sofa. Dengan sigap Prita menanggalkan seluruh pakaian di tubuh Ray dan melemparnya sembarangan ke lantai.
“Gini dong, Ray. Kamu pakai parfum yang kuberikan untukmu.” Tukas Prita begitu Ray mulai menjelajahi tubuhnya. “Wanginya betul-betul membuatku bergairah.”
Setelah itu mereka asyik bergerumul di atas sofa. Desahan-desahan mereka pun memenuhi setiap langit-langit di ruangan apartemen itu.
***
“Gimana kalau kita ketemuan pas jam makan siang aja?” usul Kiara sambil memilah-milah baju kotor Ray. Dia tidak mau Ray marah lagi hanya karena kemejanya belum siap.
“Sebenernya gue pengin brunch, Ki. Tapi ya udahlah, gue paham kok jadi istri itu pasti sibuk kan?” jawab Nabila.
“Yah, begitulah Bil.” Jawab Kiara singkat.
“Kalo gitu sampe ketemu di Bakerzin, my girl!” suara Nabila yang ceria itu pun menghilang saat Kiara memutuskan sambungan telepon.
Akhirnya, dia bisa keluar sejenak dari rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga. Tapi sebelum itu dia harus izin dulu dengan Ray.
Ray, hari ini aku ketemuan dengan Nabila ya. Boleh kan? Ketik Kiara. Namun, pesannya itu tidak langsung dijawab.
“Ya sudahlah, yang penting aku sudah bilang sama Ray.” Batin Kiara lagi. Kemudian, Kiara melanjutkan kegiatan beberes rumah pagi itu.
Pukul setengah dua belas siang, Kiara sudah duduk berhadapan dengan Nabila, sahabatnya semasa SMA. Mereka mengambil tempat di sebelah jendela yang menghadap ke koridor mal.
“Ya ampun, Ki. Gue bener-bener kangen sama lo!” pekik Nabila setelah mereka cipika-cipiki. “Lo nggak banyak berubah, masih cantik kayak dulu. Cuma yah agak terlihat lelah gitu sih. Emang jadi ibu rumah tangga sebegitu capeknya ya?”
Kiara hanya tersenyum tipis lalu mengedikkan bahu. “Yah, setiap pagi aku harus menyiapkan sarapan, nyuci baju, setrika, beberes rumah. Begitulah.”
“Kok bisa-bisanya sih lo nggak punya asisten rumah tangga?” tanya Nabila terkejut. Kiara hanya bisa mengedikan bahunya.
“Sebenernya, Ray nggak mengizinkan aku punya ART, Bil.” Tukas Kiara setelah menyeruput macchiato di hadapannya.
“What?!” sela Nabila setengah memekik. “Bukannya Raymond anak orang kaya ya? Maksud gue mertua lo kan Keluarga Djaya, salah satu pengusaha besar di sini. Yah, walaupun nggak sampai masuk Majalah Forbes sih, tapi tetep aja kaya. Mereka punya usaha tekstil itu kan? Waktu SMA aja mobilnya Ray gonta-ganti kan?”
“Ray bilang gajinya nggak cukup untuk bayar ART.”
Alis Nabila bertautan. “Bentar, bentar. Gue nggak salah denger nih?”
Kiara menghela napas panjang. “Waktu awal menikah, kami memang tinggal di rumah mertuaku, Bil. Di sana segala kebutuhan terpenuhi. Selepas Raymond lulus kuliah, kami diharuskan untuk tinggal sendiri. Mertuaku, Arianto Djaya, yang kamu bilang pengusaha itu, tidak akan memberikan segalanya dengan mudah bagi anak-anaknya. Kakaknya Ray, Alex, bahkan memulai karirnya sebagai staf magang di kantor. Tapi aku tahu Ray kecewa. Dia pikir dia bisa langsung menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan ayahnya.”
Nabila manggut-manggut. “Tapi hebat juga si Ray, karena dia kan sekarang jadi manajer. Padahal waktu sekolah dulu dia sering banget bolos kan.”
“Itu juga atas usaha ibu mertuaku, Bil. Beliau sangat memanjakan Ray. Yah, mungkin karena Ray anak bontot. Ray marah besar dan mengancam akan kabur kalau dia harus jadi staf biasa di kantor ayahnya. Akhirnya, ibu mertuaku membujuk suaminya agar memberikan jabatan manajer pada Ray.” Terang Kiara.
“Tapi apa iya gaji sekelas manajer nggak bisa gaji ART?”
“Aku nggak masalah kok mengerjakan semua ini.” Tandas Kiara.
“Yah, kalian memang pasangan mengejutkan sekaligus serasi waktu SMA.” Balas Nabila setelah menggigit macaron. “Nggak ada yang menyangka Raymond si bad boy jadian sama bidadari berprestasi macam lo, Ki. Raymond ganteng dan lo cantik. Semua anak sirik sama kalian tau.”
“Masa sih? Aku nggak pernah merasa begitu.”
“Ah elah, Ki. Apalagi pas kalian nikah. Wah, pesta pernikahan kalian itu bak negeri dongeng. Temen-temen cewek sekelas kita pada pengin jadi lo, Ki.” Terang Nabila penuh semangat. “Tapi jujur gue sempet kaget waktu lo memutuskan untuk menikah di usia semuda itu. Maksud gue, lo harus merelakan beasiswa lo ke Belanda demi menikah dengan Raymond!”
“Aku memang begitu mencintai Raymond, Bil.”
Nabila berpangku tangan, memandang pengunjung mal yang lalu-lalang. “Hah, beruntungnya diri lo, bisa menemukan tambatan hati secepat itu. Sedangkan gue masih aja jomblo.”
“Tenang, Bil. Kamu pasti juga akan menemukan belahan jiwamu.” Hibur Kiara. “Jalan hidup setiap orang kan beda-beda.”
Hidangan yang mereka pesan pun datang. Sambil menyantap makan siang, Kiara dan Nabila pun bersnostalgia tentang masa SMA mereka. Sudah lama sekali Kiara tidak tertawa lepas seperti ini karena sebagian besar hidupnya belakangan ini hanya dihabiskan dengan rutinitas yang membosankan.
***
Ray memakirkan mobilnya di basement mal.
“Yuk, Ta. Perutku udah keroncongan nih.”
“Sebentar, Ray. Aku mau touch up dulu.” Prita mengeluarkan peralatan make-up dari tasnya. Dia memoles bibirnya berkali-kali dan membubuhkan bedak di wajahnya.
“Tadi kita bener-bener apes.” Ray menyandarkan punggungnya ke jok mobil. “Kita telat meeting setengah jam dan Papa ada di sana. Sial.”
“Memangnya Papamu nggak bilang apa bakal dateng ke meeting tadi?”
“Beliau memang suka muncul mendadak, Ta. Karena ada Papa, meeting jadi lebih lama dari biasanya. Sekarang kita jadi telat makan siang.”
Prita membereskan peralatan make-up-nya. “Tapi yang penting tadi presentasi kamu lancar kok. Wajah Pak Arianto Djaya terlihat manggut-manggut puas.”
“Masa sih, Ta? Padahal aku gugup banget saat tahu Papa ada di situ.”
Prita mengangguk. “Tenang aja, semua pasti berjalan lancar.”
Ray menoleh ke arah Prita dan menyentuh dagu wanita itu dengan lembut. “Itu semua karena bantuanmu, Ta. Kalo nggak ada kamu yang bantuin aku menyiapkan laporan, aku pasti sudah kelabakan.”
Prita tersenyum bangga. Mereka pun keluar dari mobil dan masuk ke dalam mal.
“Ray, aku toilet dulu ya.” Prita menyerahkan tas merahnya pada Ray.
“Lho, mau dandan lagi?”
“Bukan Ray, aku kebelet pipis.”
“Aku tunggu di sini aja ya.”
Prita segera berlalu menuju toilet. Saking terburu-burunya, dia sampai menyenggol bahu seorang perempuan yang baru saja keluar dari toilet. Barang yang dibawa perempuan itu terjatuh. Tapi Prita tidak peduli. Dia melenggang begitu saja tanpa rasa bersalah.
Kiara mendesah pelan sambil memunggut tas belanjaannya yang terjatuh. Dia sempat menoleh sebentar ke wanita yang menyenggolnya tadi karena wangi parfum wanita itu terasa familier.
Kiara menyampirkan tasnya dan bergegas menemui Nabila yang sedang menunggunya di salah satu gerai baju. Tapi seketika langkahnya berhenti begitu dia mendapati Ray yang sedang asyik menatap layar ponselnya.
“Ray?” Kiara langsung menghampiri suaminya itu. “Kamu ngapain di sini?”
Ray mendongak dan dia langsung melonjak kaget seperti habis melihat kuntilanak begitu mendapati Kiara berdiri di hadapannya.
“Ray, kamu nggak apa-apa?” tanya Kiara heran. Matanya tertuju pada tas merah yang dipegang Ray. “Itu tas siapa, Ray?”
Ray menelan ludah dalam-dalam. Tenggorokannya seakan tercekat. “Sial!” pekik Ray dalam hati. “Ini..ini tas..”
Kiara menatap Ray curiga. Gelagat Ray seperti maling yang tertangkap basah. Apalagi dia tergagap seperti itu. Napas Kiara memburu cepat. Matanya menyipit dan berujar, “Itu tas siapa Ray? Dan kenapa kamu ada di sini?”
“Hai,”
Pandangan Kiara kini beralih pada seorang wanita dengan rambut bergelombang yang muncul di sebelah Ray. Wanita itu mengenakan blus merah berdada rendah dengan rok ketat berbelahan tinggi. Heels sepatunya sepertinya mencapai lebih dari tujuh senti meter.
Kiara berdeham dan menarik napas panjang. “Hai juga.”
“Terima kasih, Pak, sudah menjaga tas saya,” sahut Prita pada Ray dengan nada formal. Kecanggungan nampak pada raut Ray saat menyerahkan tas itu pada Prita. Lantas, Prita menjulurkan tangannya di hadapan Kiara. “Saya Prita, asisten pribadi Pak Raymond.”Kening Kiara mengerut. “Asisten pribadi? Sejak kapan Ray punya asisten pribadi? Dia nggak pernah memberitahuku tentang hal itu.” batin Kiara sambil menatap Prita dengan seksama.“Ah, Kiara,” Kiara berusaha tersenyum sopan seraya membalas jabatan tangan Prita.“Oh, Bu Kiara,” Prita manggut-manggut.Ray berdeham sebentar sebelum akhirnya buka suara. “Oh iya, Ki, aku lupa cerita soal asisten pribadi baruku.”Kedua mata Prita yang dibubuhi bulu mata lebat itu menyapu penampilan Kiara kali ini.“Hm, cantik juga,” komentar Prita dalam hati. “Gayanya simpel namun elegan. Lihat saja bagaima
Malam minggu kali ini, Kiara terpaksa menghabiskan waktu bersama keluarga suaminya, Keluarga Djaya.Acara makan malam itu bertujuan untuk merayakan keberhasilan Alex dalam memimpin perusahaannya yang telah berhasil melantai di BEJ serta kesuksesan istrinya yang baru saja membuka butik tas-tas mahal di bilangan elit Jakarta.Kehidupan Alex dan Bianca memang terlihat begitu sempurna. Apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang sekarang berumur lima tahun. Hal itu membuat Ray dan Kiara merasa tertekan. Ray merasa terbebani dengan kesuksesan Alex sedangkan Kiara merasa tertinggal karena belum dikaruniai anak.“Kenzo, jangan lari-lari, Nak.” Ucap Bianca dari ruang makan saat Kenzo berlari riang ke halaman belakang diikuti oleh susternya. “Sus, jangan sampai Kenzo jatuh ya.”Arianto Djaya duduk di ujung meja, dikelilingi oleh istri, para anak serta menantunya yang duduk di kedua sisi meja makan yang berbentuk persegi panj
Prita berdecak kesal saat dia mengenakan pakaian dalamnya kembali. Di sampingnya, Ray terlihat kelelahan.“Belakangan ini kamu kenapa sih, Ray?” Prita membenarkan dress hitamnya. “Nggak menggairahkan seperti dulu. Kamu bosan denganku, hah?”Ray hanya bisa menghela napas panjang. Staminanya memang menurun karena hampir setiap hari harus berbagi dengan dua wanita. Belum lagi tekanan agar dia bisa memenangkan tender membuat kadar stresnya meningkat.“Jangan berprasangka buruk gitu dong, Ta. Kamu tahu sendiri kan tekanan pekerjaan kita akhir-akhir ini kayak gimana?” sahut Ray pada akhirnya.Prita beringsut ke arah Ray dan membenarkan posisi kerah kemejanya. “Aku ada ide. Gimana kalau kita melepas penat dengan liburan? Kita pergi ke Bali.”Dahi Ray mengernyit. “Liburan? Ke Bali?”Prita mengangguk yakin. “Bilang aja sama kantor kalau kamu mau ambil cuti. Nah, sedangkan aku
Kiara menutup kotak kado berwarna marun itu. Kemudian dia mengikatnya dengan pita keemasan. Sekali lagi, dia memandangi kotak itu sambil tersenyum. Di dalamnya tersusun rapi foto USG pertama serta test pack bekas itu.Lantas, Kiara kembali berbaring di atas ranjang. Dia baru saja mengalami morning sickness dan kepalanya masih terasa pusing.Ponselnya berbunyi. Akhirnya Ayahnya yang tinggal di Batam meneleponnya.“Kiara,” suara Ayahnya yang serak membuat emosi Kiara langsung meluap. Rasa rindu yang selama ini tertahan sedikit terbayarkan dengan mendengar suara sang Ayah tercinta. “Lho, Ki, kok kamu malah terisak sih?”Kiara menghapus air matanya yang seketika turun. “Maaf, Yah. Mungkin ini karena pengruh hormon jadi sering sedih begini.”“Ayah sudah baca pesan kamu. Ayah senang sekali akhirnya kamu hamil. Syukurlah, Ki. Jaga kondisimu baik-baik ya. Nanti Ayah akan menjengukmu di Jakarta.&rd
Pintu kamar tidur berderit pelan. Ray mengendap masuk supaya tidak membangunkan istrinya yang sedang terlelap itu. Dia baru sampai rumah pukul satu dini hari gara-gara penerbangannya delay dua jam.Ray melepaskan jaket denimnya dan menggantungkannya di hanger belakang pintu. Setelah itu dia bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih.Saat air keran mulai mengalir, Kiara terjaga. Dia lekas menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur.Hanya dengan sedikit bantuan cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan, Kiara merogoh saku celana suaminya yang ada di keranjang pakaian kotor. Namun dia tidak mendapati apa-apa. Kemudian Kiara memeriksa saku jaket denim milik Ray.Dia mendapati dompet juga ponsel milik suaminya.Kiara menggeser layar ponsel Ray. “Pin? Berapa nomor Pin-nya?” pikir Kiara cepat. Mencoba keberuntungan, Kiara memasukkan bulan dan tahun lahir suaminya. Salah. Lalu dia mencoba kombinasi tanggal
“Aaa!” Prita menjerit saat siraman alkohol itu membasahi wajah dan sebagian tubuhnya. Sementara Ray membutuhkan waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.Ray menoleh ke Kiara sambil mengerjap-ngerjapkan mata tidak percaya. “Ki..Ki..Kiara?”Beberapa orang menoleh dan bergumam dengan kejadian itu. Namun sebagian besar dari mereka tidak peduli.Napas Kiara naik turun. Dia sungguh tidak bisa mengendalikan emosinya yang kian memuncak. Dia ingin sekali meneriaki mereka dengan kata-kata kasar tapi semua seakan tertahan. Kiara terlalu kecewa, terlalu marah hingga dia hanya bisa terisak keras sekarang.Sisa alkohol itu dia siramkan lagi ke wajah Ray.Mendadak Ray bangkit dan mencengkram lengan Kiara sehingga wanita itu meringis kesakitan. Ray menyeretnya keluar dari kelab, menariknya ke koridor yang dipenuhi beberapa pasangan yang sedang bercumbu.Sampai akhirnya Ray mendorong pintu tangga darurat di ujung koridor
Beberapa Minggu KemudianTutup botol sampanye itu meletup ke udara diiringi dengan tepukan yang meriah.“Untuk kesuksesan Djaya Tekstil!” Arianto Djaya mengangkat gelas itu tinggi-tinggi di udara diikuti dengan para bawahannya yang juga meneriakkan kalimat yang sama.Malam ini mereka mengadakan makan malam mewah perusahaan di sebuah ballroom hotel atas keberhasilan Djaya Tekstil yang akhirnya memenangkan tender cukup besar. Mereka akan mulai memasok bahan seragam untuk sebuah perusahaan multinasional ternama.“Semua ini berkat kerja kerasmu,” Arianto Djaya menepuk pelan bahu putra bungsunya itu. “Papa bangga padamu, Ray.”Ray tak bisa menyembunyikan senyum kemenangannya. Kata-kata itulah yang memang ingin dia dengar dari mulut Papanya. Selain itu, dia sudah tidak sabar untuk menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan Djaya Tekstil yaitu Sinar Tekstil, seperti yang dijanjikan Aria
Brak!“Kurang ajar tuh si Ray!” Nabila berujar geram setelah tangannya memukul pinggiran meja keras-keras. “Ternyata yang gue lihat di Bali itu beneran Ray. Tahu gitu gue labrak mereka.”“Sabar, Bil,” Kiara mencoba menenangkan sahabatnya itu. “Malu dilihat orang.”“Sabar? Masa lo masih mau sabar sih, Ki. Ini udah kelewat batas! Lagian, ngapain sih lo ngasih kesempatan kedua segala sama cowok yang selingkuh?”“Aku pikir Ray akan berubah.” Kiara menatap earl green tea di hadapannya yang mulai dingin.“Selingkuh tuh kayak penyakit yang nggak ada obatnya, Ki.” Nabila menarik kursinya. “Mending lo cerai aja deh.”Kiara mengembuskan napas panjang. Perceraian? Hal itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia begitu mencintai Ray, cinta pertamanya dan berharap menjadi cinta terakhir di hidupnya juga.“Nggak semudah itu, Bil.”
#59Awan putih bergerak pelan, membuka hamparan langit biru yang cerah. Deburan ombak terdengar berderu memecah batu karang.Pelaminan putih dengan ornamen bunga-bunga yang membingkai indah berdiri kokoh membelakangi lautan. Jejeran bangku kayu tertata rapi di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana sudah dipersiapkan meja-meja panjang yang berisi makanan untuk jamuan para tamu.Beberapa tamu penting terlihat mulai berdatangan yang membuat para pengatur acara pernikahan ini mulai sibuk.Sementara itu di ruangan terpisah, Kiara berdiri menatap cermin panjang yang menggantung di depannya. Sambil memegang buket bunga mawar putih, tubuhnya dilapisi gaun pengantin putih gemerlap dengan ekor yang panjang. Rambutnya digelung sempurna dan di lehernya melingkar kalung berlian yang berkilau.“Astaga, lo begitu cantik.” Tukas Nabila dari balik punggung Kiara. “Orang-orang pasti bakalan terpukau dengan kecantikan lo.”Kiara tidak bis
#58Utami Djaya menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Berita di televisi nasional itu mengabarkan perihal keterlibatan Alisa yang ditemukan tewas bunuh diri atas penyekapan Kiara. Juga Bobby yang ditangkap di pelabuhan saat dia akan menyelundup masuk ke salah satu kapal yang akan berlayar.Berita soal Ray yang menyelamatkan mantan istrinya juga tersiar luas. Orang-orang menanggapnya sebagai kisah heroik. Banyak media yang ingin mewawancarai Ray maupun Keluarga Djaya, namun tentu saja semua itu mereka tolak.Keluarga Djaya tidak level untuk masuk ke dalam pemberitaan infotaiment atau pun acara bincang-bincang yang tidak jelas.“Sekarang anak kita jadi sorotan.” Keluh Utami.Arianto bersedekap seraya matanya tidak lepas dari layar televisi. “Aku tidak habis pikir semua ini terjadi pada keluarga kita.”“Tapi aku tetap bersyukur Ray selamat.” Balas Utami.“Tapi keri
#57Beberapa hari sebelumnya.“Anton, aku butuh bantuanmu.”Prita duduk di sebuah ruangan yang lembab. Di sekitarnya terdapat beberapa kabinet yang berkarat. Cat tembok di ruangan itu begitu kusam dan beberapa bagian bahkan terlihat mengelupas.Sebuah kipas angin yang reyot berputar di atas. Kipas itu hanya memutar angin panas yang bersirkulasi di ruangan ini.“Prita, sudah lama sekali aku enggak bertemu denganmu.” Pria yang bernama Anton itu menyibakkan rambut ikal gondrongnya itu. Matanya memindai Prita yang sedari tadi mengipasi dirinya dengan kertas, dari atas sampai bawah. “Kamu terlihat begitu berbeda.”“Yah, tentu saja. Terakhir kita bertemu itu saat reuni SD. Ingat?”Anton mengangguk. “Lantas, apa yang bisa kubantu?”“Aku tahu kamu masih berkecimpung di bisnis itu kan?” Prita menyipitkan matanya.“Bisnis apa?” ula
#56“Kiara!” Gian berlari ke arah tunangannya yang duduk di ranjang rumah sakit. Gaun yang dipakainya lusuh dan robek serta ada luka-luka di sekujur tubuhnya. Namun, kondisinya tidak begitu parah.“Gian…” Kiara memeluk kekasihnya itu dengan erat. Air mata langsung mengalir dari matanya. “A..aku…”“Sudahlah, Kiara.” Sergah Gian cepat, menghapus air mata yang membasahi pipi Kiara. “Aku sudah mendengar semuanya dari polisi. Yang penting kamu selamat, Sayang.”“Ray.” Tukas Kiara. “Dia yang menyelamatkanku, Gi.”“Aku tahu.”“Lantas, gimana keadaaannya sekarang?” tanya Kiara dengan suara yang agak gemetar.“Dia…dia sedang ada di ruang operasi. Dokter berusaha mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.” Terang Gian. “Dia sepertinya banyak kehilangan darah juga.”Kiara kembali ter
#55Lampu mobil Ray membelah jalanan yang gelap. Jalan yang dia lewati kini tidak beraspal. Di kanan kirinya terdapat beberapa bangunan kosong, tanah luas yang terbengkalai serta pepohonan yang lebat.Jantungnya berdentum cepat. Pikirannya begitu pening. Di kepalanya terlintas fakta bahwa memang benar wanita yang dia kenal selama ini bernama Jessica itu adalah mantan kakak iparnya. Lantas, Kiara yang dalam bahaya dan soal pembalasan dendam Alisa dan pria asing yang sedang dia untit ini.Untungnya, Ray masih sempat melihat Bobby di pelataran parkir dan berhasil mengikutinya sampai ke sini. Dengan menjaga jarak aman, Ray terus mengikuti mobil Bobby dari belakang.Ray menghentikan mobilnya di depan tanah kosong. Dengan kaki yang gemetar, dia berjalan menembus kegelapan. Ditemani cahaya senter dari ponselnya, Ray menerangi jalanan tanah yang basah. Samar-samar, dia melihat cetakan ban mobil yang menuntunnya ke sebuah gudang kosong yang gelap gulita.Ra
#54Mobil Ray berhenti di pelataran parkir Apartemen Sunny Hill. Jantungnya berdentum keras. Dia akan mengendap masuk ke dalam unit tempat tinggal Jessica untuk memastikan kebenaran identitas wanita itu.“Ah, sungguh bodoh. Aku nggak tahu kata sandi apartemennya!” tukas Ray dari balik kemudi. Dia mengigit bibirnya keras-keras. “Apa yang harus kulakukan?”Tiba-tiba mata Ray menangkap sosok Jesica yang berjalan tergesa melintasi pelataran parkir. Ray segera turun dan menghampirinya.“Jess!” seru Ray.“Astaga, mau apa si bodoh itu ada di sini?” batin Alisa kesal.“Jess, kebetulan.” Ujar Ray begitu dia berada di depan Alisa yang kali ini mengenakan rok mini dan tank top hitam. Alisa mengapit tas tangan cokelat.“Sepertinya dia habis dari kelab Madam,” pikir Ray dalam hati.“Oh, hai Ray. Gimana istrimu? Dia selamat kan? Nggak ada yang mencurigai kamu kan?&
#53Gian mengecup punggung tangan Kiara. “Kamu sungguh cantik malam ini.” Pujinya sembari kedua matanya memandangi penampilan Kiara.Dengan Gaun merah selutut tanpa lengan serta rambut Kiara yang digelung ke atas, membuatnya nampak begitu elegan. Sebuah kalung perak melingkar di lehernya yang jenjang.“Makasih, Gi. Tapi aku begitu gugup.” Balas Kiara. Dia bisa merasakan dentuman jangtungnya sendiri yang berdebar keras. “Ini kali pertamanya aku menghadiri acara di kantormu.”“Tenang saja, karyawanku nggak gigit kok.” Gian berusaha mencairkan suasana. Lantas, dia mengaitkan lengannya pada lengan Kiara, menuntunnya memasuki ballroom hotel yang mewah.Malam ini merupakan perayaan hari jadi perusahaan yang dipimpin Gian. Seluruh karyawan hadir beserta orang-orang penting. Itulah mengapa Kiara begitu cemas. Dia tahu bahwa semua mata akan tertuju padanya sebagai calon istri sang CEO. Apalagi pernikahan merek
Kedua mata Prita membelalak lebar. Pandangannya sedikit kabur namun perlahan dia bisa menangkap dengan jelas kondisi di sekitar. Dia mendapati dirinya terbaring dengan infus yang menggantung. Kedua lubang hidungnya dialiri selang oksigen sementara itu telinganya menangkap bunyi jantungnya yang berdetak perlahan.Tak lama setelah itu, Prita mendengar suara pintu yang mengayun diikuti dengan derap langkah yang mendekati dirinya.Sudut matanya menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sebelah ranjangnya.“Hai, Prita.” Ucap wanita itu dengan suara yang dingin. “Aku turut bersedih dengan kejadian yang menimpa dirimu.”Prita memalingkan wajahnya dan mendapati Kiara yang menatapnya dengan tajam. Tenggorokannya begitu tercekat. “Untuk apa dia ada di sini?!” pekik Prita dalam hati.Kiara mengembuskan napas panjang. Jari-jarinya yang lentik itu membelai pundak Prita dengan lembut. “Sungguh malang, kalian
Siang itu, awan hitam menggantung di langit. Sesekali gemuruh geluduk terdengar dari kejauhan.“Kami turut berduka,” Alex menepuk pelan pundak adiknya itu. Ray hanya bisa mengangguk pelan sambil menghela napas panjang.“Apa yang sebenarnya terjadi, Ray?” tanya Utami tidak percaya. Dia memandangi sosok putra bungsunya dengan iba. Lingkaran hitam di bawah mata Ray nampak jelas dengan rambut yang mencuat kesana-kemari.Ray hanya bisa bersandar pada tembok selasar rumah sakit yang dingin. Sesekali dia menyugar rambutnya, tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Dia tidak berani memandang mata Mamanya itu.Hatinya begitu berkecamuk. Dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi ketika Prita sadar nanti.Ray mengigit bibir bawahnya keras-keras. Seharusnya, dia tidak meninggalkan istrinya yang sekarat begitu saja. Seharusnya dia tidak mengikuti saran bodoh dari wanita yang dikenalnya dengan nama Jessica itu. Tapi apa daya, pik