Rini Kartika Sari duduk di meja kerjanya, menatap berkas-berkas yang tertumpuk di depannya dengan perasaan bercampur aduk.
Di tangannya tergenggam sebuah dokumen tipis yang berisi informasi mengejutkan tentang keluarga Santoso, informasi yang ia peroleh secara tidak sengaja saat mengurus beberapa keperluan bisnis keluarganya.
Awalnya, ia hanya mengira ini adalah dokumen keuangan biasa, tetapi setelah membaca lebih dalam, ia menyadari bahwa ini lebih dari sekadar angka. Ini adalah rahasia keluarga Santoso—sebuah kelemahan yang, jika dibuka ke publik, bisa menghancurkan reputasi mereka sepenuhnya.
Rini menggigit bibirnya, memandang kosong ke luar jendela kantornya. Keputusan untuk menggunakan informasi ini atau menyimpannya membuat pikirannya kalut. Meski dirinya tidak lagi menjalin hubungan dengan Rendra, hatinya masih menyimpan perasaan yang tak pernah sepenuhnya hilang.
Rendra adalah satu-satunya yang mampu membuatnya merasa utuh, namun sejak ia me
Suara desas-desus dan bisikan mengisi sudut-sudut kota, seperti angin yang berhembus membawa kabar buruk. Di pasar, di kafe-kafe kecil, dan di acara keluarga, orang-orang membicarakan satu hal—pertunangan antara Rendra Nugraha Santoso dan Intan Puspitasari resmi dibatalkan.Kabar ini menyebar dengan cepat, menjadi berita yang dibumbui dengan berbagai spekulasi dan rumor. Banyak yang mempertanyakan alasannya, namun tak sedikit yang menyalahkan Arum Putri Cahyaningtyas, yang mereka anggap sebagai penyebab semua masalah ini.Arum duduk di taman sekolah tempat ia mengajar, membiarkan udara pagi menyegarkan pikirannya. Namun, meski ia mencoba menikmati keheningan, pikiran tentang kabar yang tersebar terus menghantui.Ia bisa merasakan tatapan berbeda dari rekan-rekan kerjanya, seperti mata yang menyelidik dan penuh penilaian. Bahkan, beberapa dari mereka berhenti sejenak di lorong untuk berbisik-bisik saat ia lewat.“Arum, kau baik-baik saja?&rdquo
“Arum, kau tahu, aku tak akan pernah memaksamu.”Suara lembut Arga terdengar dalam ruangan yang tenang, hanya ditemani oleh dentingan halus sendok dan cangkir teh.Arum duduk di seberang meja, memandang keluar jendela kafe kecil di pinggiran kota, tempat ia sering datang saat ingin menghindari hiruk-pikuk masalah yang menghantam kehidupannya belakangan ini.Kehadiran Arga di sisinya, meski sederhana dan tanpa tuntutan, adalah sesuatu yang menenangkan, seperti udara pagi yang sejuk dan tenang.Arum menghela napas panjang, mengusap dahinya yang sedikit berkerut. “Arga, kau tahu seberapa besar aku menghargai kesabaranmu. Tapi… aku takut. Aku takut membuat keputusan yang justru memperkeruh keadaan.”Arga tersenyum, menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia tak pernah terburu-buru, tak pernah menekan. “Aku hanya ingin kau tahu, aku akan selalu ada di sini, Arum. Dengan atau tanpa keputusan yang kau buat. Apa pun yang terjad
Langit sore di kota itu mulai memerah saat Intan melangkah keluar dari gedung kantornya, sebuah tempat yang kini terasa lebih ringan, lebih bebas baginya. Sebelumnya, setiap langkahnya terasa dipenuhi beban harapan keluarga, aturan, dan ekspektasi yang tak pernah ia pilih sendiri.Namun belakangan ini, ada seseorang yang membuat dunianya berubah—Adiarja Wibowo, pria yang jauh lebih tua darinya namun mampu menghadirkan kedamaian yang baru dan aneh dalam hidupnya.Intan tersenyum saat melihat sosok Adiarja menunggunya di depan gedung, bersandar pada mobilnya dengan sikap santai namun penuh wibawa. Pria itu menatapnya dengan pandangan hangat yang penuh perhatian, senyumnya terangkat saat ia melihat Intan mendekat.“Intan, kau terlihat lebih cerah dari biasanya,” kata Adiarja dengan nada tenang namun penuh makna, membuka pintu mobil untuknya.Intan tersenyum malu-malu, hatinya berdebar. “Mungkin karena aku merasa hidupku mulai…
“Arum, kau tahu aku selalu ada di sini untukmu.”Suara lembut Arga mengiringi langkah-langkah mereka di tepi danau kecil di luar kota, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dan semua persoalan yang menghantui kehidupan Arum.Senja mulai merambat turun, memancarkan warna oranye lembut yang memantul di atas air, memberi ketenangan pada suasana di sekitar mereka. Di sinilah Arga membawa Arum, jauh dari segala pandangan yang menilai dan bisikan yang menghakimi.Arum tersenyum tipis, tatapannya masih tertuju ke depan, ke danau yang terhampar tenang. “Arga, aku tahu. Kau selalu ada saat aku merasa semua ini terlalu berat. Dan aku sangat menghargai itu.”Arga menundukkan kepala sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan. Sudah lama ia ingin mengutarakan isi hatinya, tetapi ia tak ingin membuat Arum merasa tertekan. Kini, di saat yang tepat ini, ia merasa siap untuk menyampaikan apa yang ada di hatinya, meski ia tak tahu jawaban apa yang akan diter
"Kenapa semuanya jadi begini, Arum?"Suara Rendra terdengar lelah dan penuh kehampaan. Mereka duduk di bangku kayu di taman yang sepi, tempat mereka dulu sering bertemu saat masih kecil. Namun, kali ini tak ada tawa, tak ada senyum penuh kebahagiaan. Hanya keheningan yang berat dan pandangan kosong yang terarah ke tanah.Arum menggenggam tangan Rendra, mencoba memberikan kekuatan yang ia sendiri merasa mulai goyah. Di depannya, Rendra terlihat seperti bayangan dirinya yang dulu—sosok penuh semangat yang kini hancur oleh beban yang tak pernah ia duga akan ia tanggung."Rendra…" Arum memulai dengan suara pelan, suaranya hampir bergetar. "Aku tahu ini sulit. Semua yang terjadi padamu, usahamu, keluargamu… ini bukan hal yang mudah dilalui. Tapi aku di sini. Aku selalu ada untukmu."Rendra mengangguk pelan, namun tatapan matanya tetap tak terfokus, seolah berada jauh dari sana. Seluruh kehidupannya, dari ambisinya membangun bisnis mandiri h
“Kau tahu, Arum, desas-desus ini tak akan berhenti begitu saja.”Dimas Aditya Kusuma menatap Arum dengan tatapan serius, matanya yang biasanya tenang kini tampak penuh kekhawatiran. Mereka duduk di ruang tamu rumah keluarga Cahyaningtyas, yang kini dipenuhi dengan aura tegang.Sejak kabar tentang Arum dan Rendra tersebar, nama keluarga Cahyaningtyas menjadi bahan pembicaraan, sebuah cerita yang tak henti-hentinya diperbincangkan, ditambah dengan berbagai versi dan tambahan yang tidak pernah terjadi.Arum menunduk, perasaan bersalah dan lelah bercampur menjadi satu. “Aku tahu, Pak Dimas… tapi aku juga tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa semakin aku mencoba menjelaskan, semakin banyak spekulasi yang muncul.”Dimas menghela napas panjang, menatap Arum dengan iba. Di dalam hatinya, ia merasa marah melihat nama baik keluarga Cahyaningtyas yang selama ini ia lindungi dari berbagai gangguan, kini terancam karena rumor yang
"Rendra, kau pikir hidupmu akan lebih mudah tanpaku?"Suara Rini Kartika Sari memecah keheningan di ruangan itu, nada suaranya tegas namun penuh ironi. Mereka berdiri berhadap-hadapan di ruang kerja Rendra yang kini tampak berantakan, sisa-sisa dokumen dan catatan bisnis yang telah gagal berserakan di meja.Rini, dengan wajahnya yang angkuh dan senyum tipis yang menyiratkan kepercayaan diri, menatap Rendra dengan sorot mata yang sulit ditebak.Rendra menghela napas, mencoba menjaga ketenangannya. “Rini, aku tak punya waktu untuk permainanmu. Jika kau datang hanya untuk mengungkit masa lalu, lebih baik kau pergi sekarang.”Rini mendekat, langkahnya tenang namun penuh ancaman. Ia memiringkan kepala, seolah menilai Rendra dengan tatapan tajam. “Permainan? Kau pikir ini permainan? Oh, Rendra, aku di sini untuk membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar masa lalu.”Rendra menatap Rini dengan sorot mata tak sabar. “Katakan
“Rendra, aku... aku sudah tak bisa menahan ini lagi.”Suara Ratna bergetar saat mereka berdiri di halaman belakang galeri batiknya, tempat yang biasanya membawa kedamaian bagi Ratna namun kini dipenuhi dengan perasaan yang membara dalam dadanya.Ia memandang Rendra, yang berdiri tak jauh darinya, mata pria itu menunjukkan keterkejutan bercampur simpati.Langit sore mulai memudar, berganti dengan rona keemasan yang memeluk suasana di sekitar mereka. Ratna, yang biasanya tenang dan penuh kendali, kini tampak rapuh. Matanya berkaca-kaca, wajahnya menyiratkan perasaan yang selama ini ia pendam, perasaan yang perlahan meremukkan hatinya.Rendra menatapnya dengan bingung. “Ratna… apa maksudmu?”Ratna menarik napas dalam, menguatkan dirinya untuk mengucapkan kata-kata yang begitu lama ia sembunyikan.“Selama ini, aku selalu berada di sisimu, memperhatikanmu dari jauh… menyimpan perasaan ini tanpa pernah b
“Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa
"Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu
"Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...
“Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda
“Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.
“Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania
"Jadi... ini keputusanmu?" Suara Arga terdengar pelan namun penuh kepastian. Mereka berdua duduk di sebuah bangku di taman kota yang sepi, tempat di mana mereka sering berbincang saat masih remaja, ketika dunia terasa lebih sederhana.Arum menundukkan wajahnya, merasa berat hati untuk mengucapkan kata-kata itu, namun ia tahu bahwa ia harus jujur. "Iya, Ga. Aku... aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku sangat menghargai kamu, semua yang sudah kamu lakukan buat aku, tapi..."Arga tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi hatimu tetap untuk Rendra," potongnya, menyelesaikan kalimat yang mungkin sulit bagi Arum untuk diucapkan.Arum mengangguk perlahan. "Maaf... aku merasa begitu bersalah sama kamu. Kamu selalu ada, selalu mendukungku saat aku terpuruk, saat aku sendiri.""Arum," Arga memotong, suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu bagaimana perasaanmu dari awal, tapi aku selalu berharap bahw
"Arum..." Rendra menghela napas dalam, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam keheningan sore yang menenangkan di taman kota. Ia menatap Arum dengan penuh harap, sementara gadis itu duduk di sebelahnya, tangan tertaut di pangkuannya, jelas menunjukkan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.Arum menunduk, melihat rerumputan yang bergoyang ditiup angin, mencoba menghindari tatapan Rendra. Ia tahu apa yang mungkin akan dikatakan Rendra. Di satu sisi, ada bagian dari hatinya yang ingin mendengarnya. Namun di sisi lain, ketakutan akan sakit yang sama terulang lagi membuatnya waspada."Aku tahu ini sulit bagimu," Rendra memulai lagi, nada suaranya penuh dengan kerendahan hati dan rasa bersalah yang selama ini tertahan. "Setiap kali melihatmu, aku sadar bahwa luka yang kuberikan masih membekas. Dan aku tahu, mungkin aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua."Arum mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Rendra yang kini menunjukkan ketulusan yang dalam, jauh lebih
Arum duduk di teras rumahnya, memandangi langit sore yang mulai meredup. Di tangannya, secangkir teh hangat menemani keheningan pikirannya yang bimbang. Pesan dari Rendra semalam masih terngiang di kepalanya.Ia merasa bahwa setiap kata dalam pesan itu memancarkan ketulusan dan penyesalan yang dalam.Di sisi lain kota, Rendra memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya menunjukkan kelelahan yang telah bersembunyi di balik ketenangannya selama ini. Kini, ia sadar bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan kepercayaan Arum dan memperbaiki dirinya sendiri.Dengan tekad yang baru, Rendra turun ke ruang kerja kecilnya. Di sana, di tengah dokumen-dokumen dan berkas yang telah ia susun, ia memulai langkah pertama dalam menebus semua yang pernah ia rusakkan.Ia memutuskan untuk menyusun laporan penuh tentang setiap proyek keluarganya yang mencurigakan dan menyerahkannya ke pihak berwenang. Rendra sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuktika