"Loh kenapa? Kalian kan suami istri tak baik tinggal terpisah. Tetaplah disini. Jika Gunawan masih menyia-nyiakan kamu, Mama pastikan semua harta Mama, tak akan Mama berikan padanya. Mama juga akan memaksa dia menceraikan perempuan itu sekarang."Aku menunduk dalam. Mama belum tahu jika semua harta Mama sudah hilang dibawa Siti. Dan aku tak punya istri lagi."Bukan Ma, bukan karena itu." Alina menoleh padaku, tepat saat aku melihat kearahnya."Alina mau fokus dengan restoran. Sementara Alina akan tinggal dekat resto, sehingga ga capek bolak-balik." Aku menghela nafas lega. Alina masih memikirkan kesehatan Mama, sehingga masih merahasiakan perceraian kami."Sayang, Mama janji tak akan merepotkan kamu. Mama akan berusaha agar cepat sembuh. Tak apa, Mama pakai pembantu. Tapi, Mama mau kamu tetap disini."Yes! Aku yakin langkah Lina makin berat meninggalkan Mama."Maaf Ibu, sebenarnya Alina masih dalam masa training. Dia akan saya angkat sebagai kepala toko jika pekerjaannya bagus. Jadi u
Back to Alina "Kamu merasa ga sih, pembantu Tante Tety itu aneh." ujar Lea, saat kami baru saja pulang dari rumah Mama Tety. Sejak Mama pulang dari rumah sakit, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya walau sekali seminggu. Itupun ditemani Lea juga Ubay, ada rasa sungkan juga bertamu ke rumah mantan. Padahal niatnya hanya untuk bertemu Mama. Tapi, takut nanti justru jadi fitnah. "Aneh, gimana?" "Kayak bukan pembantu gitu. Kalau Asisten rumah tangga biasanya terlihat dari pembawaannya. Lebih sopan, nurut, dan suka bersih-bersih." "Ga semua juga, Lele! Kadang ada yang jadi ART karena terpaksa. Padahal ga ada bakat dan kemauan. Cuma butuh uang." sahut Ubay yang tengah menyetir. "Tapi, ini beda lho. Kayak ga ada aura seorang pembantu." "Hahaha, ada-ada aja lu! Segala pembantu ada auranya." Ubay malah tertawa ngakak. "Ih, gw serius tau!" rajuk Lea. "Ini juga serius!" Ubay tak mau kalah. "Rese' emang lu, Bang!"Sungutnya. "Eh, btw lu udah jadian kan? Traktir dong."cetus L
Telepon dimatikan sepihak. Aku menghela nafas berat. Padahal aku sudah berharap hari ini bisa ke restoran dengan tenang dan mencari alasan untuk menghindari undangan Lea di acara lamaran Ubay itu. Tapi, teman si tukang paksa itu telah hendak menjemputku ke sini. Aku kembali duduk. Menatap resah ke halaman. Entah kenapa aku tak siap melihat laki-laki itu melamar wanita lain. Walau memang mereka sepadan. Tak lama sebuah mobil masuk ke halaman rumahku. Disusul satu buah mobil lagi yang parkir di sebelahnya. Aku berdiri, kok Lea menjemputku rame-rame begini. Oh mungkin, berangkat bareng-bareng ke rumah si perempuan.Satu per satu penumpang turun dari mobil itu. Lea, Nabila, Anggi, Dea, mereka ada disana. Senyum merekah terlihat dari bibir teman-teman rempongku itu.Ditangan mereka masing-masing memegang parcel. Aku bergegas mengunci pintu."Lho, ga usah dibawa turun. Biar aku yang kesana."Dari mobil satunya, Lea keluar menghampiriku setengah berlari. "Buka pintunya, Al." Aku terdiam, b
"Sebaiknya Mbak, nginap dirumah saudara Mbak saja dulu malam ini. Atau mau dirumah saya juga tak apa-apa. Tapi, ya begitulah keadaan rumah kami." ujar Pak RT. "Tak usah, Pak. Gapapa, nanti saya minta teman kesini."tolakku halus."Insya Allah, warga akan saya minta untuk berjaga-jaga di sekitar sini. Nanti kita lihat rekaman CCTV yang terpasang di depan gerbang perumahan. Semoga saja orang itu segera bisa kita tangkap."Pak RT yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu memang begitu peduli pada warganya. Karena itu, aku cukup betah tinggal disini. Meski, kalau untuk sesama tetangga jarang ada interaksi karena rata-rata para pekerja semua yang sibuk diluar dan pulang hanya untuk beristirahat saja.Aku mengirim foto rumahku yang kacanya sudah jebol itu ke grup rempong.[Kenapa itu, Al?] balas Anggi cepat. [Ada yang melempar ini kerumah, Nggi.] Aku mengirim foto tulisan dibatu tadi.[Ya ampun, Alina. Pelakunya sudah tertangkap?][Belum.][Ya ampun, kamu nginap di rumahku saja malam in
Keesokan harinya aku diantar Lea dan Ubay pulang ke rumah."Apa ga sebaiknya kamu tinggal di rumahku aja sampai benar-benar aman, Al." ujar Lea setelah sampai dirumahku."Tak usah, Le. Aku disini saja. InsyaAllah gapapa, kok.""Nanti, kalau ada apa-apa jangan lupa langsung kabari, ya.""InsyaAllah, pasti kalian yang aku kabari terlebih dahulu.Tak lama Ubay datang bersama Pak RT yang tadi sudah aku kenalin padanya."Kami sudah melihat rekaman cctv, wajah dua pengendara itu tak begitu jelas terlihat karena tertutup helm. Nomor polisi kendaraannya juga tidak jelas. Sepertinya sengaja agar tak bisa dilacak.""Tak apa, Pak. Semoga saja ini hanya ulah orang iseng." sahutku.Setelah aku mengucapkan terima kasih, Pak RT pun pulang. "Sebentar lagi ada orang bayaranku yang akan menjaga kamu 24 jam. Jadi, kamu ga perlu khawatir." tutur Ubay."Maksudnya?""Aku udah nyewa dua orang body guard untuk menjaga kamu. Sementara! sampai aku yang akan jadi bodyguard kamu." "Cieee ...!""Lea apaan, sih!
Karena kejadian seperti itu, rencana pernikahan dimajukan. Bahkan tanpa menunggu Mamanya Lea yang masih di luar negeri, yang sedang ikut Papanya mengurus bisnis mereka."Tunggu Mama aja dulu, Bay."Ubay menatapku, lekat."Mas, maksudnya." aku meralat sambil menyunggingkan senyum tanda perdamaian."Jangan! aku khawatir akan keselamatan kamu.""Iya, Al. Nurut aja kan enak, bentar lagi kawin!" cetus Lea.Aku mencubit pinggang Lea. Sahabatku itu kabur menghindar. Akhirnya lewat sambungan telepon, kedua orangtua Ubay mengijinkan. Walau terdengar agak keberatan. Mungkin karena terkesan buru-buru. Tapi, Ubay bersikeras agar tetap menikah dalam waktu lima hari ini.Malam ini setelah pulang dari rumah Lea aku merebahkan diri di ranjang. Rasanya seperti mimpi. Dalam waktu dekat aku mengalami dua peristiwa besar dalam hidupku. Perceraian dan kembali menikah untuk kedua kalinya. Sungguh ironis, disaat aku sedang berusaha melupakan sakit karena dibohongin suami. Kini aku harus merasakan hidup den
"Mbak mau minum apa?""Ga usah repot-repot, Mbak. Saya ga lama kok.""Gapapa, Mbak. Saya buatkan teh, ya."Tanpa menunggu jawabanku, perempuan seksi itu berlalu."Mama tak suka sama dia. Gunawan, ah. Mama ingin mati saja." nada suara Mama terdengar berat."Mama, ga boleh begitu. Gimana pun mas Gunawan adalah anak Mama.""Entahlah, Sayang. Mungkin jika tidak ada kamu Mama tidak semangat lagi melanjutkan hidup ini."Aku terdiam. Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan kepada Mama bahwa aku akan segera menikah. Keadaan Mama sedang tak baik-baik saja."Tinggallah di sini lagi, Nak. Mama khawatir perempuan tadi mengganggu suamimu. Gunawan, itu bod*h, Mama capek mengingatkan dia."Entah apa yang terjadi yang jelas ada sesuatu antara Mas Gunawan dengan Fatma. "Tapi, Ma ..." "Mama sudah mengalihkan semua aset Mama atas namamu. Kau simpan baik-baik, ya.""Tapi, Ma ... Ya Allah ... Kenapa harus pada Alina,Ma. Kan ada Mas Igun." aku menjawab cemas. Gimana ini?Mama menggeleng cep
"Heh! Kamu sini!" Tante Irma menatap garang pada Fatma yang mulai ketakutan. Perempuan itu menghampiri Tante Irma ragu-ragu. "Kamu mau ke mana? Ingat ya Fatma kamu itu hanya pembantu di rumah ini! Jika kamu macam-macam, saya akan bilang kepada bibimu biar kamu dipulangkan lagi ke kampung." ancam Tante Irma. "Ja-jangan, Bu. Saya masih mau bekerja." "Kalau mau bekerja, kamu kerja yang benar! Dari awal saya sudah peringatkan, jangan pakai baju kekurangan bahan seperti ini. Apa kamu tidak malu, walaupun kamu pakai baju tapi tubuhmu tercetak dengan jelas." "Malu, Bu." Lirihnya. "Sekarang ganti baju kamu!" Fatma berbalik arah dengan wajah masih menunduk. "Tunggu!" cegahku. Aku memeriksa kantong celana Fatma dimana obat tadi dia simpan. "Ada apa, Al?" Tante mendekatiku, heran. Fatma berusaha menepis tanganku. Namun, aku bersikukuh memeriksa celana perempuan itu. "Ini! Ini apa?" seruku sambil mengacungkan sebuah bungkusan dengan plastik kecil berisi bubuk warna putih. "I-itu obat
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.