"Wah, pantas Pak Gunawan selalu bawa bekal, masakan istrinya ternyata luar biasa rasanya, enak banget! ngalahin masakan resto yang biasa saya makan." puji Farhan teman Mas Gunawan yang kebetulan malam ini makan bersama dengan kami.
Wajah Mas Gunawan pucat, matanya menatapku takut-takut. Selama ini Mas Gunawan tak pernah mau jika kutawarkan membawa bekal dari rumah.
"Ah, Bapak bisa saja. Ini hanya masakan sederhana."
"Beneran lho, Bu Alina. Ikan bakar ini enak sekali. Saya suka ngiler melihat bekal Pak Gunawan. Dari wanginya saja sudah menggoda. Baru kali ini saya dapat merasakan rasanya." laki-laki itu terkekeh.
Suapannya makin lahap, sangat berbeda dengan Mas Gunawan yang terlihat salah tingkah. Dia makan Ikan bakar kesukaannya itu tak berselera, tak seperti biasanya.
"Memang Bapak tak pernah di ajak makan bareng sama Mas Gunawan?" pancingku.
"Walah, ga pernah, Bu. Dia lahap aja sendiri. Lagi pula sepertinya memang porsi untuk makan sendiri, hehe. Beruntung Pak Gunawan memiliki istri seperti Ibu."
Aku tersenyum getir. Bagaimana tidak, sak prasangka mulai menyelimuti hati.
"Hayo lah, Pak. Tak usah bahas yang di kantor, mumpung bisa makan masakan istri saya, hayo kita nikmati" potong Mas Gunawan, dengan wajah canggung.
"Ha ha ha iya, Pak. Seharusnya saya bawa istri ke sini. Sayang, istri saya sedang sibuk banyak urusan." sahut Pak Farhan tanpa curiga, jika di antara Mas Gunawan denganku sedang ada perang mata yang sedang membara.
"Bekal Mas Gunawan selalu habis kah, Pak? kadang saya suka curiga makanannya dibuang, karena kotaknya selalu kosong sampai dirumah." pancingku lagi.
Mas Gunawan menatapku, tapi aku pura-pura tak peduli.
"Wah, mesti habis, Bu. Kotak biru yang selalu dia bawa emang tak pernah menyisakan makanan." sahutnya semangat.
Aku ber-oh ria. Padahal hati ini makin tak karuan. Berarti jelas jika makanan itu memang bekal dari rumah bukan dibeli dijalan, tapi, rumah siapa? siapa yang membuatku makanan itu untuknya? berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.
Usai makan malam itu, Pak Farhan masih tetap ngobrol diluar bersama Mas Gunawan. Sedangkan aku memilih dikamar. Mencoba mencari tahu tentang kotak makanan dan bekal yang dikatakan oleh Pak Farhan.
[Rin, apa kabar?]
Pesan kukirim ke Rina. Teman kantor Mas Gunawan yang aku kenal saat ada acara gathering di kantornya.
[Baik, Mbak Alina. Mbak sendiri apa kabar?" balasnya cepat, Sepertinya Rina memang sedang memegang ponselnya sehingga pesanku cepat terbalas.
[Kabar baik, Rin. Oh ya Rin, di kantin biasanya ada masakan apa saja, Rin? saya bingung mau bawain bekal apa buat Mas Gunawan, nanti biar makan di kantin saja.]
[Wah, bukannya Pak Gunawan ga mau makan masakan di kantin, Bu? setiap hari kan bawa bekal, yang Ibu siapkan? ]
Berarti benar kata Pak Farhan, kalau Mas Gunawan selalu bawa bekal yang katanya aku siapkan. Padahal sebenarnya masakan itu bukan aku yang masak.
[Iya, Rin. Saya bingung harus masak ikan bakar terus, takut Pak Gunawan bosan.]
[Biasanya kan selang-seling, Bu. Ayam penyet, rendang, ikan bakar dan ibu pasti paham, kan ibu yang menyiapkan, bukan?]
Aku terdiam. Masakan yang disebutkan Rina memang masakan kesukaan Mas Gunawan. Tapi, aku sama sekali tak pernah membawakan untuknya. Karena Mas Gunawan selalu menolak.
[Oh, ya sudah Rin. Makasih ya.] Ketikku mengakhiri chatting itu.
Suara mobil Pak Farhan terdengar menjauh sepertinya dia sudah pulang. Sebentar lagi Mas Gunawan pasti akan masuk ke kamar ini. Aku menyimpan ponselku dibawah bantal lalu mematikan lampu, hingga hanya tersisa temaram cahaya dari luar.
Gegas aku tidur dengan posisi menghadap tembok, agar Mas Gunawan tidak curiga jika aku masih terjaga..
Suara pintu terbuka terdengar jelas, diiringi langkah kaki yang mendekat dan gerakan tubuh yang naik ke atas ranjang. Aku memejamkan mata, tak lama sebuah kecupan hangat mendarat di puncak kepalaku. Lalu sosok itu kembali menuruni ranjang. Dan pintu kembali tertutup.
Aku menghela napas dalam-dalam, selama ini aku tak pernah mencurigai Mas Gunawan. Setiap malam memang dia akan menghabiskan waktu di ruang kerjan sebelum tidur bersamaku. Tapi, kali ini aku merasakan ada sesuatu yang harus aku selidiki.
Perlahan aku menurunkan kaki dan berjalan menuju pintu, dengan sangat hati-hati aku membukanya. Agar tak mengeluarkan suara. Cahaya diluar sudah gelap, hanya kamar sebelah dimana, ruangan itu disulap menjadi ruang kerja Mas Gunawan yang masih menyala lampunya.
"Besok tak usah bawain bekal dulu, ya."
" ......"
Sepertinya Mas Gunawan sedang melakukan panggilan telepon.
"Lusa aja, siapkan ikan bakar lagi."
"....."
"Sabar, ya ..."
Dadaku terasa sesak mendengar pembicaraan itu. Dengan siapa Mas Gunawan bicara. Tak dapat aku pendam lagi.
Brak!
Pintu terbuka lebar, wajah Mas Gunawan pias. Dia bergegas mematikan ponselnya dan berdiri menghampiriku. Air mata yang berusaha kutahan luruh sudah.
"Sayang, belum tidur? kenapa menangis?"
Wajahnya yang tadi pucat tampak biasa lagi. Malah terlihat mengkhawatirkan diriku.
"Mas, siapa yang membawakan bekal untukmu? masakan siapa itu, Mas?" suaraku bergetar menahan tangis.
"Bekal? oh bekal yang tadi Pak Farhan bilang?" dia terkekeh.
"Itu masakan Mama, Sayang. Mama yang menyiapkan makanan itu untuk Mas."
Mas Farhan menarik kepalaku ke dadanya. Apakah kau jujur, Mas? kenapa hatiku belum bisa menerima.
"Kamu yakin, Mas? bukan perempuan lain kan, Mas?"
Mas Gunawan membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
"Tak ada wanita lain di hati Mas, selain kamu, Sayang. Only you!"
Aku menangis terisak. Sejak dua tahun pernikahan kami, belum pernah ada pertengkaran hebat terjadi. Mas Gunawan selalu memberikan apa yang kupinta. Mama mertua juga sangat sayang, rasanya tak ada alasan untukku mencurigainya.
"Jangan menangis lagi, tadi Mas menelpon Mama, agar Mama tak perlu menyiapkan bekal untuk Mas besok. Mas mau makan masakan istri Mas yang tercinta."
Hatiku menghangat.
"Aku akan masak untuk Mas besok, aku janji masak yang enak."
Mas Gunawan kembali memelukku erat, lalu perlahan mengajakku ke kamar.
"Mas ga jadi kerja?"
"Ga. Malam ini Mas sangat rindu sama kamu, Sayang."
Wajahku bersemu, meski kami belum dikaruniai
anak, Mas Gunawan tak pernah mempermasalahkan. Dan malam itu kami pun melebur menjadi satu, berharap ada cinta yang tumbuh disana.
****
Sebelum subuh aku selesai mandi, mengeluarkan ikan yang berada di freezer agar esnya mencair untuk kumasak sebagai bekal makan siang Mas Gunawan. Adzan subuh belum lah berkumandang, aku memilih merapikan rumah, menyapu dan memilih pakaian kotor yang hendak kucuci.
Saat mau meraih tas kerja Mas Gunawan, tiba-tiba kotak makanan berwarna biru jatuh ke lantai. Kotak makanan siapa ini? Aku tak merasa tak pernah membeli kotak ini? Apa punya Mama, seperti yang Mas Gunawan katakan?
"Sayang?" Seketika aku menoleh ke arah suara di belakangku."Mas, ini kotak makanan siapa?" Aku memperlihatkan kotak biru itu padanya. Wajahnya sedikit menegang, kemudian menghela napas pelan."Oh, itu punya Mama. Mas, lupa mengembalikannya kemarin."Aku menatap Mas Gunawan lekat."Kamu setiap hari mampir ke rumah Mama, lalu pulang, juga mampir lagi untuk mengembalikan kotaknya?" Tanyaku, Mas Gunawan mengangguk."Itu tandanya Mama sayang sama kamu, biar kamu ga capek masak bekal untuk Mas." Mas Gunawan merangkul pundakku."Bukan masalah sayang, Mas. Aku juga yakin Mama sayang sama aku. Tapi, selama ini Mama ga pernah cerita kalau bawain kamu bekal.""Mungkin Mama lupa, maklum sudah tua."Aku pura-pura mengiyakan walau sejujurnya aku tak percaya. Selama ini aku tak pernah melihat ada kotak makanan seperti itu dirumah Mama. Dan Mama juga tak pernah bercerita jika suamiku itu selalu dia siapkan bekal. Padahal kami hampir setiap Minggu main kesana. "Ya sudah, Mas mandi dulu. Jangan lup
"Kamu disini, Sayang?" Mas Gunawan sudah bisa mengendalikan diri. Dia mendekat dengan wajah yang sudah kembali biasa."Iya, pulang dari ketemuan sama teman-teman aku langsung kesini." Jawabku datar."Itu apa, Mas?" Aku menunjuk ke arah plastik yang dia bawa."Oh ini? Boneka. Mama tadi minta boneka." Jawabnya sambil melirik ke arah Mama yang sedari tadi mematung di depan pintu."Eh, ah iya! Itu boneka pesanan Mama. Kasian kemarin Mama melihat ada anak-anak yang ngumpulin barang-barang bekas dari tong sampah. Mama kira mereka akan senang menerima boneka ini." jawabnya sedikit tergagap."Dimana Ma? Perasaan selama ini di sini, Alina belum pernah melihat anak kecil yang memungut sampah?""Iya, kamu kan jarang-jarang ke sini, Lin." Sahut Mama."Wan, kamu simpan saja boneka itu di kamar Mama. Nanti Mama serahkan kepada yang berhak."Mas Gunawan mengikuti perintah ibunya dengan patuh. Setelah boneka itu dimasukkan ke kamar Mas Gunawan kembali duduk di sofa bersamaku dan Mama."Kotak makanan
[Ya ampun, Lin. Kamu sabar, ya. Jangan gegabah. Dan jangan cepat menarik kesimpulan sebelum tau hal sebenarnya.] Ketik Anggi di grup rempong, ketika aku mengirim pesan salah satu teman Mas Gunawan. Juga tangkapan layar story wa kontak bernama RS ke sana.[Iya, Lin. Kamu selidiki dulu benar-benar. Kalau suamimu terbukti selingkuh, baru kamu pites perkututnya.] sahut Dea, geram.[Kalau menurutku sih, suaminya Alina ga ada tampang fuckboy lho.] Kini Dea Nabila angkat bicara [Tampang ga menjamin, gue udah berapa kali bilang. Banyak serigala berbulu domba. Jangan ketipu. Lihat gue nih, kalian tau si Ramzi kan? penampilan aduhai, rohani banget, kelakuannya kayak roh halus.] Lea menyisipkan emoticon tertawa mengeluarkan air mata sebanyak lima biji.Ramzi adalah mantan suami Lea. Tiga tahun usia pernikahan mereka sampai Lea mengetahui Ramzi sudah menikah lagi. Perempuan itu seakan trauma, meski sudah menikah lagi tapi dia menganggap pernikahan itu sebatas status. Lea hanya malu menyandang st
"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku."Pembantu??"Aku mengernyitkan dahi. Lalu menanyakan ciri-ciri pembantu yang dimaksud Rina. Berbekal cerita dari bawahan Mas Gunawan itu, aku akan mencari keberadaan perempuan yang telah merusak rumah tanggaku. Aku yakin dia hanya perempuan tak benar yang ingin memetik hasil tanpa perlu menemani perjuangan dari awal.Malamnya, walau hati penuh emosi aku melancarkan aksi. Aku menyuguhkan teh hangat pada Mas Gunawan yang baru saja pulang. Teh yan sudah kububuhi obat tidur. Seperti biasa laki-laki itu baru sampai dirumah jam sepuluh malam. Lembur ditambah jalanan yang macet katanya. Huh! dia tak tau aku sudah tau semua dari Rina. Mas Gunawan tak pernah Over time, lelakiku itu selalu pulang tepat waktu, jam lima dia sudah keluar dari kantor. Namun, selama ini dia beralasan telat karena pekerjaan."Lembur lagi, ya Mas?" Aku duduk disampingnya."Iya, Sayang. Ke
Plak!Mas Gunawan memegang pipinya yang aku tampar."Seharusnya kamu itu tahu diri, Mas! Aku bertahan dengan kamu yang punya kekurangan! Kamu itu man ...!""Alina!" Pekik Mas Gunawan membuat ucapanku mengantung di udara."Apa, Mas! Kamu malu? Kamu mau menampar aku balik? Silahkan!" tantangku. Akal sehatku seakan hilang melihat kenyataan didepan mata. Mas Gunawan menatap mataku nyalang, laki-laki itu berjalan kian mendekat tanpa memutuskan pandangan ke mataku, hingga jarak kami tinggal beberapa senti saja. "Puas kamu mempermalukan diri sendiri!" lirihnya dengan menekan setiap kata. Kemudian berjalan ke belakangku. Laki-laki itu meraih tangan perempuan berkerudung yang duduk menunduk. Lalu berjalan melewatiku dengan tangan yang saling menyatu. Aku terpaku, apa yang kulihat seakan sebuah mimpi buruk yang mampir dalam tidur tanpa do'aku semalam. Bayangan Mas Gunawan akan menarik tanganku lalu memohon ampunan sambil bersujud di kaki, Tapi semua hanya mimpi belaka. Aku terduduk lemas."Ba
Mama mengangguk pelan. Aku kembali tergugu, selama ini aku dibodohi oleh Mama dan Mas Gunawan. "Mama tega pada Alina! Mama ga sayang sama Alina! Mama pembohong! Mama membiarkan Mas Gunawan punya selingkuhan, Mama jahat!" "Alina! Tunggu dulu, Nak! Mama belum selesai." Mama berusaha mengejarku yang sudah berlari keluar. Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala terasa berdenyut hebat. "Lu hancur banget! Kita kerumah gw dulu, ya.". Aku bergeming tak menjawab perkataan Lea. Memicingkan mata sambil menyenderkan kepala, sementara air mata masih terus setia mengalir. Menjelang magrib kami sampai dirumah Lea. Aku sempat tertidur saking lelahnya. Rumah besar Lea tampak sangat menawan. Lea turun terlebih dahulu. Aku mengikuti dari belakang. Perempuan yang memakai celana jeans yang sengaja di robek bagian depan itu berjalan santai. "Hayo! Nanti gw ajak lu jalan-jalan biar ga bete. Mumpung ada si Ubay dirumah." Katanya sambil terus berjalan. Entah siapa Ubay itu aku pun tak tahu. "Bay, t
"Hayuk naik!" titah seseorang yang berada dalam mobil putih itu.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Mas Ubay yang ada di kursi kemudi menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, dibelakangnya ada Lea yang tampak cemberut dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang tadi dia kenakan."Kalian sudah selesai perang saudaranya?" sindirku. Masalahku saja sudah membuat pening ditambah pula dengan mereka yang adu mulut dihadapanku."Sudah! tenang saja, uraaa!"seru Ubay sambil memamerkan gigi-giginya yang putih."Ayo, buruan naik. Pakaian kamu itu juga mengundang kejahatan apalagi malam-malam begini. Lain kali jangan salah masuk toko. Beli baju sesuai usia! Ingat umur." Lelaki berwajah lumayan tampan itu terus mengoceh tanpa memperhatikan aku yang sudah mulai bertanduk."Buruan! Jangan ikut-ikutan Lea, dia sudah error dari lahir!" Lanjutnya lagi."Adaaau!" Ubay terpekik."Sembarangan, lu!" protes Lea sambil menowel kepala Ubay memakai sandal jepit yang dia pakai.Hadeuh,
"Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.