Plak!
Mas Gunawan memegang pipinya yang aku tampar.
"Seharusnya kamu itu tahu diri, Mas! Aku bertahan dengan kamu yang punya kekurangan! Kamu itu man ...!"
"Alina!" Pekik Mas Gunawan membuat ucapanku mengantung di udara.
"Apa, Mas! Kamu malu? Kamu mau menampar aku balik? Silahkan!" tantangku. Akal sehatku seakan hilang melihat kenyataan didepan mata. Mas Gunawan menatap mataku nyalang, laki-laki itu berjalan kian mendekat tanpa memutuskan pandangan ke mataku, hingga jarak kami tinggal beberapa senti saja.
"Puas kamu mempermalukan diri sendiri!" lirihnya dengan menekan setiap kata. Kemudian berjalan ke belakangku.
Laki-laki itu meraih tangan perempuan berkerudung yang duduk menunduk. Lalu berjalan melewatiku dengan tangan yang saling menyatu. Aku terpaku, apa yang kulihat seakan sebuah mimpi buruk yang mampir dalam tidur tanpa do'aku semalam. Bayangan Mas Gunawan akan menarik tanganku lalu memohon ampunan sambil bersujud di kaki, Tapi semua hanya mimpi belaka. Aku terduduk lemas.
"Bangun, Alina!" dengan cepat Lea menangkap tanganku lalu menarikku dari tempat yang mulai dikerumuni orang-orang itu. Pandangan mata mereka penuh iba, seakan aku seorang pesakitan yang dibuang saat membutuhkan bantuan, sangat menyedihkan.
Wajahku sudah basah oleh air mata, tak menyangka Mas Gunawan malah memilih wanita itu. Apa karena dia memakai kerudung? Sedangkan aku tidak?kalau dia menyukai wanita seperti itu, kenapa dia tak mengajariku? Aku tergugu saat tubuh ini sudah berada dalam mobil. Mobil Mas Gunawan yang tadi parkir di samping kami, sudah tak ada. jelas saja laki-laki itu sudah kabur duluan dengan selingkuhannya.
"Sudah Lin! penting amat nangisin laki-laki! kayak dia yang paling penting aja di dunia ini!" ketus Lea.
Aku tak menjawab, bagaimanapun, munafik jika aku tak sedih, jika tak sakit hati dengan apa yang dilakukan oleh suamiku sendiri.
"Kemana?" tanya Lea.
"Kerumah Mama." jawabku singkat. Tanpa kata lagi, Lea melajukan mobil menuju kediaman Mama Mas Gunawan. Mama harus tahu apa yang dilakukan anaknya.
Sejam kemudian aku sampai. Lea memutuskan untuk tetap di mobil. Setengah berlari aku menuju rumah. Mengetuk pintu dengan tergesa. Pintu terbuka lebar, sosok Mama muncul dengan wajah heran.
"Ya Allah, ada apa, Nak?"
Aku langsung menghambur ke pelukan Mama. Mama mengelus punggungku tanpa sibuk bertanya, Mama selalu menjadi tempat ternyaman untukku melepas resah. Entah apa jadinya jika aku berpisah dengan Mas Gunawan. Apakah aku akan sanggup jauh dari Mama.
"Hayo, kita masuk dulu." Mama membawaku ke sofa. Masih dengan isak tangis aku duduk sementara Mama berlalu ke belakang lalu kembali dengan membawa secangkir teh hangat.
"Minum dulu biar tenang." titah Mama.
Aku menerima pemberian Mama lalu menyesap hingga tandas. Setelah cukup tenang aku menceritakan semuanya pada Mama. Memperlihatkan rekaman yang tadi dibuat Lea.
Mama menghela nafas panjang, ketika baru saja selesai memutar ulang video itu.
"Alin, mau cerai saja dengan Mas Gunawan, Ma." kataku dengan suara bergetar. Berat untuk menjalani diawal, tapi aku rasanya tak akan mampu tetap bertahan. Sementara perlakuan Mas Gunawan sangat menyakiti hatiku, lebih sakit dari pada saat dulu aku ditinggalkan begitu saja oleh temannya yang menjadi calon suamiku.
"Alina, sebenarnya sedari dulu Mama ingin mengatakan pada kamu, Nak. Tapi, Mama tak tega. Kamu sudah seperti anak Mama sendiri. Mama sangat sayang sama kamu, sama seperti Mama menyayangi Gunawan."
Mama menjeda ucapan. Dadaku berdebar kencang, apa yang akan Mama katakan pasti sebuah kenyataan yang menyakitkan. Apakah Mama sudah tau dengan perempuan itu?
"Mama sudah tau semua?"
Mama mengangguk pelan. Aku kembali tergugu, selama ini aku dibodohi oleh Mama dan Mas Gunawan. "Mama tega pada Alina! Mama ga sayang sama Alina! Mama pembohong! Mama membiarkan Mas Gunawan punya selingkuhan, Mama jahat!" "Alina! Tunggu dulu, Nak! Mama belum selesai." Mama berusaha mengejarku yang sudah berlari keluar. Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala terasa berdenyut hebat. "Lu hancur banget! Kita kerumah gw dulu, ya.". Aku bergeming tak menjawab perkataan Lea. Memicingkan mata sambil menyenderkan kepala, sementara air mata masih terus setia mengalir. Menjelang magrib kami sampai dirumah Lea. Aku sempat tertidur saking lelahnya. Rumah besar Lea tampak sangat menawan. Lea turun terlebih dahulu. Aku mengikuti dari belakang. Perempuan yang memakai celana jeans yang sengaja di robek bagian depan itu berjalan santai. "Hayo! Nanti gw ajak lu jalan-jalan biar ga bete. Mumpung ada si Ubay dirumah." Katanya sambil terus berjalan. Entah siapa Ubay itu aku pun tak tahu. "Bay, t
"Hayuk naik!" titah seseorang yang berada dalam mobil putih itu.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Mas Ubay yang ada di kursi kemudi menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, dibelakangnya ada Lea yang tampak cemberut dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang tadi dia kenakan."Kalian sudah selesai perang saudaranya?" sindirku. Masalahku saja sudah membuat pening ditambah pula dengan mereka yang adu mulut dihadapanku."Sudah! tenang saja, uraaa!"seru Ubay sambil memamerkan gigi-giginya yang putih."Ayo, buruan naik. Pakaian kamu itu juga mengundang kejahatan apalagi malam-malam begini. Lain kali jangan salah masuk toko. Beli baju sesuai usia! Ingat umur." Lelaki berwajah lumayan tampan itu terus mengoceh tanpa memperhatikan aku yang sudah mulai bertanduk."Buruan! Jangan ikut-ikutan Lea, dia sudah error dari lahir!" Lanjutnya lagi."Adaaau!" Ubay terpekik."Sembarangan, lu!" protes Lea sambil menowel kepala Ubay memakai sandal jepit yang dia pakai.Hadeuh,
"Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi
"Plis, sayang, Mas hanya punya Mama saat ini. Mas tak mau kehilangan dia. Bantu Mas, Mama ingin kamu datang."Aku melipat tangan di dada."Maaf, Mas. Aku tak bisa. Minta saja selingkuhan kamu itu merawat Mama, bukankah dia juga rajin mengurus suami orang, kenapa ga sekalian Mama kamu dia urusin." Jawabku ketus. "Sayang, tolonglah, nanti Mas akan jelaskan. Kamu hanya salah paham.""Salah paham apa? Kamu kira aku ini bod*h ya, Mas?kamu kira aku ini buta, ga bisa melihat dengan jelas siapa yang lebih kamu bela. Sudahlah, siapkan dirimu untuk persidangan kita.""Alina, jangan keras hati seperti ini, Sayang. Kamu tak boleh egois.""Apa egois? Kamu ga salah, Mas? Aku egois?" Aku tertawa lebar, menertawakan laki-laki yang bahkan tak pandai menempatkan rasa."Seharusnya kamu membeli kaca yang besar, lalu kamu berdiri didepannya. Kamu ngaca! Siapa yang egois, dan siapa yang munafik! Pengkhianat, penipu!""Cukup Alina!" Bentakannya menghentikan ocehanku. Dada Mas Gunawan naik turun menahan emo
Grup rempong heboh dengan cerita dari Lea, walau Lea hanya seakan melempar berita dan akulah yang menjawab semua pertanyaan dari teman-teman yang penasaran dengan apa yang terjadi.[Udahlah, Lin. Buat apa lagi bertahan. Udah mand*l, tukang selingkuh lagi. mending bawa sini, biar aku kiloin di Mang Didin.] Ketik Dea.[Ish, kamu jangan sadis gitu. Kalau dikiloin paling cuma buat makanan kucing, sini aku bawa ke penangkaran buaya, biar buaya ngerasain makan daging sesamanya.] balas Anggi.Aku terkekeh."Kamu sih, Lea, segala dilempar ke grup." sungutku."Ya, nggak apa-apa, biar tuh grup rame, nggak anyep kayak hidup gw." sahutnya."Yang bikin anyep kan kamu sendiri. Punya suami, bukannya diintilin kemana pergi, malah dibiarkan sendirian di luar kota.""Ah, yang namanya nasib walau kita ikutin ke mana pergi, kalau emang sudah dasar buaya tetap aja kita kena apesnya."seloroh Lea."Iya, sih kayak aku." "Eh, sorry, gw ga nyindir elu lho.""Gapapa, tak perlu merasa bersalah gitu. Kenyataan m
"Maaf Tante, Alina ga bisa. Sekali lagi Alina minta maaf."Wajah Tante Irma tampak kecewa. Tapi, aku tak bisa datang sekarang. Aku yakin di sana ada Mas Gunawan dan perempuan itu. Rasanya hati ini belum sanggup melihat mereka. Walau lisanku berkata sudah bisa move on dari Mas Gunawan, tapi jujur saja hati ini nelangsa."Baiklah, kalau itu menjadi keputusanmu, Nak. Tante tidak akan memaksa. Tetapi, jika nanti kamu berubah pikiran dan ingin bertemu Mama mertuamu, kabari Tante. Biar Tante yang atur agar kamu tak bertemu dengan Gunawan. Tante paham, kamu pasti sangat sakit hati."Tante Irma menggenggam tanganku, erat."Percayalah, Alina semua tidak seperti yang kamu pikirkan.""Maksud Tante apa? Mas Gunawan jelas-jelas selingkuh di belakangku. Bahkan sekarang dia terang-terangan membawa wanita itu ke hadapan Mama. Apa itu masih kurang untuk membuktikan lelaki itu bukan lelaki yang baik.""Alina, cobalah bicara baik-baik dulu dengan suamimu. Kalian ini sudah dewasa, selesaikan masalah deng
Aku keluar dari kamar Mama dengan Hati yang hancur dan penuh luka. "Lin ...""Gapapa, Tante. Alina, gapapa!" Aku mengusap kasar air mata saat Tante Irma mendekat. Perempuan yang selalu kuhormati itu menatapku dengan pandangan penuh iba."Alina, tunggu Gunawan pulang dulu, ya." Aku menggeleng cepat. "Maaf Tante, Alina buru-buru. Salam aja buat Mas Gunawan." Aku memaksakan seulas senyum di bibir.Tante Irma terus merangkulku, itu sudah cukup membuatku merasa punya posisi disini. Karena fakta yang terjadi sebenarnya, tanpa disadari sudah menjadi bumerang untukku sendiri."Alina, kalau ada waktu, saya ingin bicara banyak hal dengan kamu." Kali ini Raisa angkat bicara. Aku menoleh ke arah suara. Perempuan itu cantik, feminim, kerudung maroon yang digunakannya membuat wajah putih bersih itu makin terlihat berseri. Wajar jika Mas Gunawan lebih memilih dia."InsyaAllah!" jawabku singkat."Al, ini nomor telpon saya, nanti saya akan menghubungi kamu."Raisa mendekat lalu menyerahkan sebuah k
Mobil putihku baru saja mau keluar dari pekarangan rumah Lea, ketika sebuah mobil berwarna hitam metalik hendak masuk. Mobil itu membunyikan klaksonnya berkali-kali. Siapa sih?Aku menurunkan kaca jendela."Hei, Alina!" teriak teman-temanku yang menerbitkan senyum dibibir.Dea, Nabila dan Anggi, mereka datang setelah Lea mengabarkan jika aku akan pindah ke kontrakanku sendiri."Kalian, ngapain?" "Hmm ... masih nanya aja. Kamu yang ngapain, main pergi-pergi aja. Kamu anggap apa kita ini, ha?"seru Anggi, galak."Aku ga pergi jauh, cuma pindah aja. Kan ga enak kalau nanti suami Lea kembali, aku masih disini." ujarku memberi alasan."Halah! Alasan!" decih Lea yang menghampiri kami. Aku menyunggingkan senyum. Sebenarnya alasannya bukan itu. Ada hal yang tiba-tiba mengetuk hatiku, aku ingin berubah dan menjalani hidup dengan caraku sendiri."Dah, ah! aku pamit, ya. Keburu siang.""Eh, main pamit aja. Sini kita anter." Aku tak bisa lagi menolak. Dea telah lebih dahulu naik ke mobilku, seda
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.