Share

Bab 2

Penulis: Mutiara Sukma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Sayang?" 

Seketika aku menoleh ke arah suara di belakangku.

"Mas, ini kotak makanan siapa?" 

Aku memperlihatkan kotak biru itu padanya. Wajahnya sedikit menegang, kemudian menghela napas pelan.

"Oh, itu punya Mama. Mas, lupa mengembalikannya kemarin."

Aku menatap Mas Gunawan lekat.

"Kamu setiap hari mampir ke rumah Mama, lalu pulang, juga mampir lagi untuk mengembalikan kotaknya?" Tanyaku, Mas Gunawan mengangguk.

"Itu tandanya Mama sayang sama kamu, biar kamu ga capek masak bekal untuk Mas." Mas Gunawan merangkul pundakku.

"Bukan masalah sayang, Mas. Aku juga yakin Mama sayang sama aku. Tapi, selama ini Mama ga pernah cerita kalau bawain kamu bekal."

"Mungkin Mama lupa, maklum sudah tua."

Aku pura-pura mengiyakan walau sejujurnya aku tak percaya. Selama ini aku tak pernah melihat ada kotak makanan seperti itu dirumah Mama. Dan Mama juga tak pernah bercerita jika suamiku itu selalu dia siapkan bekal. Padahal kami hampir setiap Minggu main kesana. 

"Ya sudah, Mas mandi dulu. Jangan lupa masak yang enak, ya." Lelaki itu menjawil daguku lembut. Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Setelah Mas Gunawan masuk ke kamar mandi, aku melangkah ke kamar. Mengambil ponselnya yang tersimpan di atas meja rias. Semalam bukan waktu yang tepat untukku menanyainya. Maling mana mau ngaku. Sedari awal aku sudah menaruh curiga dengan bekal makan siangnya itu. Jangan kira karena aku diam, aku tidak berbuat apa-apa.

Beruntung ponselnya tidak di pasword. Aku langsung memeriksa riwayat panggilan terakhirnya. Kosong, tak ada satupun kontak terpanggil disana, begitu juga dengan pesan dalam aplikasi hijau, semua bersih. Hanya beberapa chat kami dan temannya tersisa disana semua obrolan hanya seputar pekerjaan. Hebat sekali lelaki ini, dia sengaja menghapus jejak. Tak mungkin aku memeriksa seluruh isi kontaknya. Itu hanya akan buang-buang waktu. Karena aku juga tidak tau siapa yang harus kucari.

Berbekal tutorial dalam sebuah video yang dikirim Anggi di grup, aku langsung mempraktekkan. Tak butuh waktu lama, aku berhasil menyadap w******p milik Mas Gunawan. Ponsel segera kutaruh ditempat semula agar Mas Gunawan tak curiga.

"Sayang, lagi ngapain?"

"Eh, Mas. Udahan mandinya?" Aku sedikit gugup, ga nyangka dia sudah selesai di kamar mandi. Untung ponselnya sudah kutaruh kembali.

"Sudah, kamu lagi ngapain, Sayang?" Lelaki itu mendekat. Aku pura-pura memeriksa pesan.

"Ini tadi, ada pesan dari Anggi, ngajak makan-makan nanti siang. Boleh ga, Mas?" 

Lelaki itu beranjak menuju lemari sambil mengeringkan rambutnya.

"Boleh." Jawabnya singkat. Syukurlah Mas Gunawan tak melihat aku mengutak-atik ponselnya.

"Makasih, ya, Mas."

Dia menoleh lalu tersenyum. Akupun kembali ke dapur, menyelesaikan pekerjaan. Hingga suara adzan terdengar, gegas menuju kamar mandi untuk berwudhu lalu sholat subuh.

***

"Ini bekalnya, Mas." 

Aku menaruh kotak bekal Mas Gunawan ke dalam tasnya.

"Kok, warna hijau? Kotak yang biru kemarin mana?"

"Ada, di rak piring. Kenapa Mas? Mas, ga suka kotak ini? Isinya masakan kesukaan Mas juga kan?"

"Ga, gapapa kok. Mas suka. Soalnya itu kotak punya Mama, mau Mas balikin nanti."

"Ooh, punya Mama, ya? Oke, aku ambilkan." Aku beranjak ke dapur. Mengambil kotak biru yang telah kucuci itu, dan memasukkan ke dalam kantong plastik.

"Makasih, Sayang." 

Aku mengangguk lalu duduk tepat dihadapannya. Mas Gunawan makan dengan lahap, meski hanya dengan nasi goreng biasa yang kutambahkan telor mata sapi di atasnya. Dua tahun bersama, tak pernah Mas Gunawan menunjukkan tanda-tanda aneh. Semua berjalan seperti biasa. Hari libur kami selalu mengunjungi Mama atau main ke rumah Ibuku yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah orang tua Mas Gunawan. Walau setelah itu dia pergi dengan pakaian olahraganya, bermain futsal dengan teman-teman lama.

Kalau dipikir tak ada alasan untuk aku mencurigainya. Namun, firasat ini tak bisa kukendalikan. Seakan ada sesuatu yang disembunyikan Mas Gunawan dariku.

Lelaki itu sudah berangkat. Kini tinggallah aku dirumah sendiri. Dengan malas aku membuka aplikasi hijau. Grup geng yang diketuai Anggi masih sepi. Biasanya ibu-ibu muda itu sibuk dengan urusan anaknya sekolah. Beda denganku yang belum punya momongan.

Aku beralih ke akun Mas Gunawan. Sama, masih sepi. Tak terlihat ada percakapan disana. Perasaanku benar-benar tak tenang. 

[Gaes! Kalian sibuk, ya?]

Aku mengirimkan pesan di grup rempong yang beranggotakan, Anggi, Dea, Nabila dan si Emak tomboi, Lea.

[Tumben nih, gabut pagi-pagi, ada apa, Neng?] Sahut Dea cepat. Dea yang baru punya bayi yang berumur dua bulan itu pasti sedang rebahan menyusui bayinya.

[De, sebenarnya ini masalah serius. Aku ingin bertemu kalian. Bisakah?]

[Aku sih, ijin dulu ya, Lin. Soalnya Davina belum bisa ditinggal, dan aku belum bisa menyusui sambil duduk.]

[Iya, De. Aku paham kok keadaan kamu.] Balasku.

Tak lama Anggi menyahut. Begitu juga dengan Nabila dan Lea. Semua menyetujui untuk bertemu nanti siang di kafe tempat biasa kami bertemu.

Jam sudah menunjukkan angka 12 siang, aku sudah sampai di kafe yang dijanjikan. Belum ada yang datang. Sambil menunggu mereka aku memainkan ponsel, melihat-lihat postingan yang ada di F******k.

Bugh!

Seorang anak perempuan tak sengaja menabrakku. Ponsel ditangan hampir saja jatuh.

"Astaghfirullah, Bila, hati-hati, Sayang." Perempuan yang tampak seperti Ibu gadis kecil itu segera meraih tubuh anaknya.

"Ya Allah, Mbak, maaf yaa ... Anak saya ga sengaja menabrak Mbak."

"Maaf Tante." Ucap gadis lima tahunan itu takut-takut.

Aku mengulas senyum. 

"Gapapa, Tante gapapa, kok. Namanya siapa gadis cantik?"

"Sabila, Tante."jawabnya, ah imut sekali.

Aku mencubit pelan pipi gembul gadis itu. Ingin sekali rasanya punya anak seperti dia. Lucu dan sangat menggemaskan. Setelah basa-basi dan mengucapkan terima kasih, Ibu dan anak itu berlalu. Aku memandangi mereka hingga tak terlihat lagi punggungnya. Ah, andai saja Mas Gunawan sehat, tentu aku sudah hamil saat ini. Namun, hasil pemeriksaan waktu itu menyatakan Mas Gunawan tak bisa membuahi alias mand*l. 

Tak lama teman-temanku datang. Kami berbincang banyak hal termasuk kecurigaanku pada Mas Gunawan.

"Mungkin bener, Mamanya yang membuat bekal itu, Lin." Ucap Anggi. 

"Soalnya aku lihat suami kamu itu ga nakal, pendiam dan sayang banget sama kamu." Lanjutnya.

"Ye! Bisa aja cuma kedok!' bantah Lea.

"Kalau aku sih! Tetap status waspada. Bagaimanapun suami kita itu tetap saja lelaki tampan yang tak terlihat menggoda dimata wanita lain. Kalau bukan laki-lakinya, ya kadang perempuannya yang gatal." Lanjut Lea.

Setelah melepaskan uneg-uneg pada sahabat-sahabatku itu, kami pun berpisah. Saran dari mereka tetap aku tampung. Lea yang lebih vokal menyuruhku memata-matai Mas Gunawan.

Baiklah, mungkin ada benarnya. Lea yang statusnya sama denganku, mau membantu memantau jika ada kesempatan. Perempuan yang sudah lima tahun menikah itu belum juga mempunyai keturunan. Itu karena dia tak mau, beda denganku. Aku sangat ingin, tapi tak bisa karena suamiku yang dinyatakan infertilitas.

Hari sudah petang, aku berniat mampir ke rumah Mama. Lagi pula Mas Gunawan kan selalu pulang malam, aku juga sendirian sampai dia datang.

"Alina? Tumben kamu kesini, Sayang?" Mama menyambutku, pelukan hangat selalu dia berikan saat kami bertemu.

"Alina kebetulan lewat, Ma." Sahutku sambil membalas pelukannya.

Kami pun ngobrol-ngobrol diruang tamu. Hingga tak lama sebuah mobil masuk ke halaman.

"Siapa, Ma?" Aku menjulurkan kepala melihat dari jendela.

"Sepertinya, Mas Gunawan?" Lirihku, namun masih ragu karena wajah orang dalam mobil itu tak begitu jelas.

Mama bangun lalu berjalan ke arah pintu. Aku terus memperhatikan sosok yang hendak membuka pintu mobilnya itu. Benar Mas Gunawan, wajahnya berseri. Sambil berlari kecil dia melangkah ke arah rumah membawa sebuah plastik putih besar.

Tepat saat dia menginjak teras, aku berjalan ke pintu. Mata kami bertemu.

"Alina?" 

    

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yossi Yendrita sari
mantap........lanjut thor
goodnovel comment avatar
Domino
ok baguuuuuuuuuus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Hati yang Terbagi    Bab 3

    "Kamu disini, Sayang?" Mas Gunawan sudah bisa mengendalikan diri. Dia mendekat dengan wajah yang sudah kembali biasa."Iya, pulang dari ketemuan sama teman-teman aku langsung kesini." Jawabku datar."Itu apa, Mas?" Aku menunjuk ke arah plastik yang dia bawa."Oh ini? Boneka. Mama tadi minta boneka." Jawabnya sambil melirik ke arah Mama yang sedari tadi mematung di depan pintu."Eh, ah iya! Itu boneka pesanan Mama. Kasian kemarin Mama melihat ada anak-anak yang ngumpulin barang-barang bekas dari tong sampah. Mama kira mereka akan senang menerima boneka ini." jawabnya sedikit tergagap."Dimana Ma? Perasaan selama ini di sini, Alina belum pernah melihat anak kecil yang memungut sampah?""Iya, kamu kan jarang-jarang ke sini, Lin." Sahut Mama."Wan, kamu simpan saja boneka itu di kamar Mama. Nanti Mama serahkan kepada yang berhak."Mas Gunawan mengikuti perintah ibunya dengan patuh. Setelah boneka itu dimasukkan ke kamar Mas Gunawan kembali duduk di sofa bersamaku dan Mama."Kotak makanan

  • Hati yang Terbagi    Bab 4

    [Ya ampun, Lin. Kamu sabar, ya. Jangan gegabah. Dan jangan cepat menarik kesimpulan sebelum tau hal sebenarnya.] Ketik Anggi di grup rempong, ketika aku mengirim pesan salah satu teman Mas Gunawan. Juga tangkapan layar story wa kontak bernama RS ke sana.[Iya, Lin. Kamu selidiki dulu benar-benar. Kalau suamimu terbukti selingkuh, baru kamu pites perkututnya.] sahut Dea, geram.[Kalau menurutku sih, suaminya Alina ga ada tampang fuckboy lho.] Kini Dea Nabila angkat bicara [Tampang ga menjamin, gue udah berapa kali bilang. Banyak serigala berbulu domba. Jangan ketipu. Lihat gue nih, kalian tau si Ramzi kan? penampilan aduhai, rohani banget, kelakuannya kayak roh halus.] Lea menyisipkan emoticon tertawa mengeluarkan air mata sebanyak lima biji.Ramzi adalah mantan suami Lea. Tiga tahun usia pernikahan mereka sampai Lea mengetahui Ramzi sudah menikah lagi. Perempuan itu seakan trauma, meski sudah menikah lagi tapi dia menganggap pernikahan itu sebatas status. Lea hanya malu menyandang st

  • Hati yang Terbagi    Bab 5

    "Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku."Pembantu??"Aku mengernyitkan dahi. Lalu menanyakan ciri-ciri pembantu yang dimaksud Rina. Berbekal cerita dari bawahan Mas Gunawan itu, aku akan mencari keberadaan perempuan yang telah merusak rumah tanggaku. Aku yakin dia hanya perempuan tak benar yang ingin memetik hasil tanpa perlu menemani perjuangan dari awal.Malamnya, walau hati penuh emosi aku melancarkan aksi. Aku menyuguhkan teh hangat pada Mas Gunawan yang baru saja pulang. Teh yan sudah kububuhi obat tidur. Seperti biasa laki-laki itu baru sampai dirumah jam sepuluh malam. Lembur ditambah jalanan yang macet katanya. Huh! dia tak tau aku sudah tau semua dari Rina. Mas Gunawan tak pernah Over time, lelakiku itu selalu pulang tepat waktu, jam lima dia sudah keluar dari kantor. Namun, selama ini dia beralasan telat karena pekerjaan."Lembur lagi, ya Mas?" Aku duduk disampingnya."Iya, Sayang. Ke

  • Hati yang Terbagi    Bab 6

    Plak!Mas Gunawan memegang pipinya yang aku tampar."Seharusnya kamu itu tahu diri, Mas! Aku bertahan dengan kamu yang punya kekurangan! Kamu itu man ...!""Alina!" Pekik Mas Gunawan membuat ucapanku mengantung di udara."Apa, Mas! Kamu malu? Kamu mau menampar aku balik? Silahkan!" tantangku. Akal sehatku seakan hilang melihat kenyataan didepan mata. Mas Gunawan menatap mataku nyalang, laki-laki itu berjalan kian mendekat tanpa memutuskan pandangan ke mataku, hingga jarak kami tinggal beberapa senti saja. "Puas kamu mempermalukan diri sendiri!" lirihnya dengan menekan setiap kata. Kemudian berjalan ke belakangku. Laki-laki itu meraih tangan perempuan berkerudung yang duduk menunduk. Lalu berjalan melewatiku dengan tangan yang saling menyatu. Aku terpaku, apa yang kulihat seakan sebuah mimpi buruk yang mampir dalam tidur tanpa do'aku semalam. Bayangan Mas Gunawan akan menarik tanganku lalu memohon ampunan sambil bersujud di kaki, Tapi semua hanya mimpi belaka. Aku terduduk lemas."Ba

  • Hati yang Terbagi    Bab 7

    Mama mengangguk pelan. Aku kembali tergugu, selama ini aku dibodohi oleh Mama dan Mas Gunawan. "Mama tega pada Alina! Mama ga sayang sama Alina! Mama pembohong! Mama membiarkan Mas Gunawan punya selingkuhan, Mama jahat!" "Alina! Tunggu dulu, Nak! Mama belum selesai." Mama berusaha mengejarku yang sudah berlari keluar. Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala terasa berdenyut hebat. "Lu hancur banget! Kita kerumah gw dulu, ya.". Aku bergeming tak menjawab perkataan Lea. Memicingkan mata sambil menyenderkan kepala, sementara air mata masih terus setia mengalir. Menjelang magrib kami sampai dirumah Lea. Aku sempat tertidur saking lelahnya. Rumah besar Lea tampak sangat menawan. Lea turun terlebih dahulu. Aku mengikuti dari belakang. Perempuan yang memakai celana jeans yang sengaja di robek bagian depan itu berjalan santai. "Hayo! Nanti gw ajak lu jalan-jalan biar ga bete. Mumpung ada si Ubay dirumah." Katanya sambil terus berjalan. Entah siapa Ubay itu aku pun tak tahu. "Bay, t

  • Hati yang Terbagi    Bab 8

    "Hayuk naik!" titah seseorang yang berada dalam mobil putih itu.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Mas Ubay yang ada di kursi kemudi menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, dibelakangnya ada Lea yang tampak cemberut dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang tadi dia kenakan."Kalian sudah selesai perang saudaranya?" sindirku. Masalahku saja sudah membuat pening ditambah pula dengan mereka yang adu mulut dihadapanku."Sudah! tenang saja, uraaa!"seru Ubay sambil memamerkan gigi-giginya yang putih."Ayo, buruan naik. Pakaian kamu itu juga mengundang kejahatan apalagi malam-malam begini. Lain kali jangan salah masuk toko. Beli baju sesuai usia! Ingat umur." Lelaki berwajah lumayan tampan itu terus mengoceh tanpa memperhatikan aku yang sudah mulai bertanduk."Buruan! Jangan ikut-ikutan Lea, dia sudah error dari lahir!" Lanjutnya lagi."Adaaau!" Ubay terpekik."Sembarangan, lu!" protes Lea sambil menowel kepala Ubay memakai sandal jepit yang dia pakai.Hadeuh,

  • Hati yang Terbagi    Bab 9

    "Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi

  • Hati yang Terbagi    Bab 10

    "Plis, sayang, Mas hanya punya Mama saat ini. Mas tak mau kehilangan dia. Bantu Mas, Mama ingin kamu datang."Aku melipat tangan di dada."Maaf, Mas. Aku tak bisa. Minta saja selingkuhan kamu itu merawat Mama, bukankah dia juga rajin mengurus suami orang, kenapa ga sekalian Mama kamu dia urusin." Jawabku ketus. "Sayang, tolonglah, nanti Mas akan jelaskan. Kamu hanya salah paham.""Salah paham apa? Kamu kira aku ini bod*h ya, Mas?kamu kira aku ini buta, ga bisa melihat dengan jelas siapa yang lebih kamu bela. Sudahlah, siapkan dirimu untuk persidangan kita.""Alina, jangan keras hati seperti ini, Sayang. Kamu tak boleh egois.""Apa egois? Kamu ga salah, Mas? Aku egois?" Aku tertawa lebar, menertawakan laki-laki yang bahkan tak pandai menempatkan rasa."Seharusnya kamu membeli kaca yang besar, lalu kamu berdiri didepannya. Kamu ngaca! Siapa yang egois, dan siapa yang munafik! Pengkhianat, penipu!""Cukup Alina!" Bentakannya menghentikan ocehanku. Dada Mas Gunawan naik turun menahan emo

Bab terbaru

  • Hati yang Terbagi    Bab 145

    Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s

  • Hati yang Terbagi    Bab 144

    Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M

  • Hati yang Terbagi    Bab 143

    "Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman

  • Hati yang Terbagi    Bab 142

    Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm

  • Hati yang Terbagi    Bab 142

    Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi

  • Hati yang Terbagi    Bab 141

    Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita

  • Hati yang Terbagi    Bab 140

    "Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h

  • Hati yang Terbagi    Bab 139

    Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua

  • Hati yang Terbagi    Bab 138

    Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.

DMCA.com Protection Status