Share

Bab 115

Author: Mutiara Sukma
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Maafkan Lea, Ma," ujarku ketika pagi telah menyapa. Kemarin aku sempat membuat orang-orang di rumah ini panik. Stres karena memikirkan sikap mertua dan dilema jika mengadu pada suami. Aku meminum obat sakit kepala dan tidur dengan lelapnya.

"Tak apa, Nak. Kalau ada apa-apa cerita sama, Mama. Barangkali Mama bisa bantu."

Aku menghela napas dalam-dalam. Mama sosok Ibu dan mertua yang di idam-idamkan. Aku tau betul bagaimana Mama sangat menyayangi Alina. Alina sudah seperti anaknya sendiri, tak ada bedanya denganku.

"Alina beruntung punya mertua seperti Mama," gumamku.

Mama tersenyum. "Mama yang beruntung punya menantu seperti Alina. Mama bangga punya anak-anak yang akhirnya bisa membuat Mama dan Papa tersenyum. Ya, walau sampai saat ini Mama belum bisa mengikuti jejak kalian, Mama yakin suatu saat nanti Mama, mampu."

Rasa haru menyeruak dalam dada. Berharap Mama bisa memakai hijab seperti yang aku dan Alina pakai. Memang kehadiran Alina memberikan pengaruh baik buat keluarga kami. Kini
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
tunjukkan pada mertuamu Lea bahwa km berhasil
goodnovel comment avatar
Yuni Kazandozi
aduh mamanya nyariin pembantu buat lea yg msh muda an,jgn sampe az Arsyad tergoda pesona pembantu nya nanti
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Hati yang Terbagi    Bab 116

    Selama ini aku hanya menganggap ijazah itu hanya sebuah kertas tanpa makna. Capek kuliah tapi aku malas untuk bekerja. Secara keuanganku selalu di cukupkan oleh Papa. Tapi, setelah menikah semua kiriman sudah dihentikan. Aku benar-benar mengharapkan Mas Arsyad, dan itu sangat memalukan. Meski kemarin-kemarin aku tetap bertahan."Ya sudah, gw akan bimbing lu! Tapi, ijin dulu sama Arsyad. Nanti dia marah. Bagaimanapun lu wanita bersuami. Apa-apa harus ijin dengannya.""Makasih ya, Bang, Ma!" Aku hendak memeluk Bang Ubay. Tapi, dia menghindar."Eh, eh! Apaan peluk-peluk! Mandi sana! Bau juga! Nanti kemeja gw bau asi!"Aku terkekeh, dan makin semangat mengejar Bang Ubay."Lea! Udah! Habis lahiran kok pecicilan!" teriak Mama."Rasain!" seru Bang Ubay sambil tertawa puas.****Malam hari, aku memijit kaki Mas Arsyad. Alifa yang tengah tidur di kamar sebelah membuatku dan Mas Arsyad kini berasa pengantin baru lagi. Walau tak bisa malam pertamanya. Pembantu baru bernama Yati, itu sangat cekat

  • Hati yang Terbagi    Bab 117

    "Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari

  • Hati yang Terbagi    Bab 118

    Tak lama, Mas Arsyad pulang. Aku menyambut kedatangannya. "Mas tadi dapat pesan dari Ibu, jika Ibu mau mampir. Jadi, Mas buru-buru pulang,"bisiknya."Bukan karena ada mantan kamu, 'kan?""Ya, enggak lah. Buat apa!" sahutnya.Kami pun berjalan beriringan ke ruang tamu. Mas Arsyad menciumi tangan Ibunya. Lalu mengangguk ke arah Tasya yang masih menatap dengan tatapan penuh kerinduan."Apa kabar, Mas?" "Baik!" Jawab Mas Arsyad singkat.Mama yang menyadari jika perempuan itu menatap Mas Arsyad berkata "Mbak Tasya ini belum nikah, ya?"Dia gelagapan."Be-- belum, Tante.""Oh, pantes. Buru-buru nikah saja. Menikah itu bagian dari usaha untuk menghindari kemaksiatan yang tak sengaja maupun yang sengaja kita lakukan.""Maksud, Tante?" "Iya! maksud, Jeng apa?" Ibu ikut bertanya, dengan suara meninggi."Ya, misalnya, maksiat melihat suami orang dan membayangkan dia menjadi milik kita. Atau maksiat karena tiba-tiba mata tak sengaja menatap suami orang lain dengan cinta," sindir Mama. Perempu

  • Hati yang Terbagi    Bab 119

    "Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari

  • Hati yang Terbagi    Bab 120

    Perempuan itu meradang. Wajahnya memerah."Maaf, Tante. Saya pamit!" Tasya bangun dan berjalan cepat ke arah pintu."Ini maksudnya apa?"Ibu masih belum paham, atau memang sengaja pura-pura tak mengerti."Mbak Tasya, kalau nanti udah ga kuat jadi pramugari. Bisa menghubungi Lea lho, dia pasti punya penawaran pekerjaan yang terbaik untuk Mbak," teriak Alina. Tasya tak menjawab.Arsyad yang melihat adegan itu terpana. Pasti dia bingung dengan apa yang terjadi."Arsyad, Ibu pulang." Perempuan setengah baya itu memberikan Alifa pada Mas Arsyad lalu setengah berlari mengejar Tasya."Memang ada apa sih?" suamiku itu masih mode bingung."Arsyad, jawab pertanyaan Mama. Apa perempuan itu mantan kekasih kamu!" bentak Mama.Wajah Mas Arsyad pucat, dari wajahnya jelas sekali apa jawaban yang akan keluar dari bibirnya.Kini kami duduk di ruang tamu, suasana hening. Mama masih menunggu jawaban Mas Arsyad."Maaf, Ma. Sebenarnya dia benar mantan Arsyad. Tapi, Arsyad benar-benar sudah tak ada keingina

  • Hati yang Terbagi    Bab 121

    "Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari

  • Hati yang Terbagi    Bab 122

    Aku menunduk menyembunyikan tawa. Alina sungguh cerdas. Dia membumkam mulut Ibu. Ibu kena mental, tak berani lagi memuji-muji perempuan ga jelas itu.Tak lama, Mas Arsyad pulang. Aku menyambut kedatangannya. "Mas tadi dapat pesan dari Ibu, jika Ibu mau mampir. Jadi, Mas buru-buru pulang,"bisiknya."Bukan karena ada mantan kamu, 'kan?""Ya, enggak lah. Buat apa!" sahutnya.Kami pun berjalan beriringan ke ruang tamu. Mas Arsyad menciumi tangan Ibunya. Lalu mengangguk ke arah Tasya yang masih menatap dengan tatapan penuh kerinduan."Apa kabar, Mas?" "Baik!" Jawab Mas Arsyad singkat.Mama yang menyadari jika perempuan itu menatap Mas Arsyad berkata "Mbak Tasya ini belum nikah, ya?"Dia gelagapan."Be-- belum, Tante.""Oh, pantes. Buru-buru nikah saja. Menikah itu bagian dari usaha untuk menghindari kemaksiatan yang tak sengaja maupun yang sengaja kita lakukan.""Maksud, Tante?" "Iya! maksud, Jeng apa?" Ibu ikut bertanya, dengan suara meninggi."Ya, misalnya, maksiat melihat suami orang

  • Hati yang Terbagi    Bab 123

    POV Alina.Kasian Lea. Ternyata kisah hidupnya ga semanis drama Korea. Aku baru tau jika Ibu mertua Lea, tak menyukai pilihan anaknya. Bahkan terang-terangan membawa perempuan yang menjadi mantan kekasih suaminya dulu. Ingat itu, hatiku seakan menangis. Gimana dulu aku juga pernah merasakan hal yang sama, saat Mama membawa Aina ke rumah. Bahkan berniat mau menikahkan kembali perempuan itu dengan Mas Ubay.Beruntung semua kebusukan perempuan itu dapat terbongkar, dan kini mendekam di penjara karena kebodohannya sendiri. Karir yang cemerlang seketika padam. Padahal jika berjalan lurus-lurus saja dia pasti akan hidup bahagia, terlebih saat ini dia sedang hamil. "Mikirin apa, Sayang?" Mas Ubay yang baru masuk kamar langsung merebahkan diri disampingku yang sedang menidurkan Hafidz."Kasian Lea, ya, Mas."Mas Ubay menghela napas panjang. "Rumah tangga memang begitu, ada ujian yang akan membuat kita kuat. Karena rumah tangga, bertemunya dua insan dalam pernikahan adalah satu-satunya ibadah

Latest chapter

  • Hati yang Terbagi    Bab 145

    Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s

  • Hati yang Terbagi    Bab 144

    Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M

  • Hati yang Terbagi    Bab 143

    "Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman

  • Hati yang Terbagi    Bab 142

    Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm

  • Hati yang Terbagi    Bab 142

    Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi

  • Hati yang Terbagi    Bab 141

    Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita

  • Hati yang Terbagi    Bab 140

    "Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h

  • Hati yang Terbagi    Bab 139

    Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua

  • Hati yang Terbagi    Bab 138

    Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.

DMCA.com Protection Status