Arga menghela napas panjang saat mematikan panggilan telepon dari James. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa ayah Kiran tiba-tiba ingin bertemu dengannya. Suaranya terdengar serius, bahkan sedikit tegang. Meski ia dan James cukup dekat, karena hubungan mereka selama bertahun-tahun, ada sesuatu yang terasa janggal dari permintaan pertemuan ini. Namun, karena rasa hormatnya pada James, ia tidak berpikir dua kali dan langsung bersiap untuk pergi. Arga berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya sejenak. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, menyesuaikan dengan suasana pertemuan yang seharusnya formal. Namun, tetap santai. Ia merapikan rambutnya dengan jari, lalu menghela napas panjang lagi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya sambil menyambar jaket hitam yang tergantung di sandaran kursi. Setelah memastikan semua barangnya — kunci, dompet, dan ponsel — berada di tempatnya, ia pun keluar dari apartemen. Di perjalanan, pikiran Arga terus berputar tentang kemungkinan-kemungki
Nadira yang memperhatikan perubahan ekspresi sahabatnya, langsung menyentuh bahu Kiran. "Kamu nggak apa-apa?" bisik Nadira lagi. Kiran menggeleng lemah. Matanya tertuju pada Arga yang duduk dengan ekspresi tegang di hadapan ayahnya. Hatinya terasa pedih ketika mendengar bagaimana ayahnya memaksa Arga untuk meninggalkannya. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut James terasa seperti belati yang menusuk hatinya berkali-kali. Kiran menelan ludah, berusaha menahan isak yang hendak keluar. Ia tidak ingin berada di sini. Ia tidak ingin mendengar lebih lanjut. Namun, kakinya seakan terpaku, tidak bisa bergerak. Saat Arga berkata dengan tegas bahwa ia tidak akan meninggalkan Kiran, bahwa Kiran adalah hidupnya, Kiran merasa ada secercah kehangatan di dalam hatinya. Ia tahu Arga benar-benar tulus mencintainya. Ia tahu Arga akan selalu berjuang untuknya. Namun, mendengar ayahnya terus memaksa dan mengancam Arga, membuat kepercayaan diri Kiran mulai goyah. Apakah hubungan mereka akan be
Kemarin malam, Arga menghubungi Kiran, dan menyuruhnya untuk bertemu di apartemen, meskipun Kiran tak tahu apa yang sebenarnya akan dikatakan lelaki itu. Perasaan gelisah menggelayut di hatinya sejak beberapa hari lalu, setelah mendengar percakapan antara Arga dan ayahnya. Ia perlu kejelasan dari Arga—mencari tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Arga setelah semua yang terjadi. Apa Arga benar-benar berniat meninggalkannya, seperti yang ayahnya minta? Namun, tepat ketika Kiran hendak mengetuk pintu apartemen, pintu itu terbuka dari dalam, dan seseorang keluar. Kiran tertegun, matanya melebar seketika saat menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Nina, sekretaris Arga tengah tersenyum kepadanya. "Kiran?" "Hai," balas Kiran sambil tersenyum. "Arga ada?" "Oh, dia ada di dalam. Masuk saja." "Terima kasih." Kiran melangkah masuk, sementara Nina kembali ke unit apartemennya sendiri. Kiran mengedarkan pandangan, memperhatikan ruangan itu dengan teliti, tapi ada sesuatu yang aneh.
Arka menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan matanya sejenak untuk menahan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya, dadanya terasa sesak ketika melihat wanita yang ia cintai ternyata dicintai juga oleh kakak kandungnya sendiri. Air mata kini luruh membasahi wajahnya yang tampak pucat. Tidak peduli bila semua orang yang melihatnya kini akan menganggapnya sebagai lelaki lemah, cengeng, dan tak berdaya. Tapi biarlah. Untuk kali ini, ia tak peduli. Ia hanya ingin meluapkan segalanya, mengeluarkan semua rasa sakit yang selama ini ia tahan. Rasa marah, sedih, kecewa, dan hampa bercampur menjadi satu, menghantam setiap sudut hatinya yang kini terasa remuk. Mengapa harus Arga? Mengapa harus kakaknya sendiri yang merebut hati Kiran? Jika saja orang lain yang menggantikan dirinya di hati wanita itu, mungkin Arka takkan merasakan luka sedalam ini. Tapi ini adalah Arga, seseorang yang seharusnya ia percayai, seseorang yang selama ini ia hormati dan kagumi. Arka membayangkan bagaimana
Air panas yang mengalir ke dalam bak mandi perlahan mulai menenangkan tubuh Arga yang lelah. Setelah berbulan-bulan berada di Prancis untuk dinas, tubuhnya terasa kaku dan penat. Ototnya terasa tegang, dan rasa lelah yang menumpuk selama perjalanan panjang membuatnya ingin segera menenangkan pikiran dan segera beristirahat. Saat uap hangat memenuhi ruangan, Arga memejamkan mata, menikmati setiap detik kehangatan yang meresap ke dalam tubuhnya. Otot-otot kekarnya yang semula tegang kini mulai melonggar, napasnya juga menjadi lebih teratur. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos hitam santai dan celana pendek. Setelah merasa lebih segar, Arga berjalan perlahan menuju kamar Noah. Kamar itu berada di ujung lorong, sebuah ruangan yang dihiasi dengan poster-poster kartun favorit Noah. Pintu kamar sedikit terbuka, Arga mengintip ke dalam. Ia melihat Noah masih tidur pulas sambil memeluk boneka kesayangannya. Arga tersenyum tipis, lalu masuk dengan hati-hati
Arga duduk di ruang keluarga, menghadap ke arah jendela, langit sudah terlihat terang dan berawan. Udara hangat siang ini tak mampu menyejukkan hatinya yang terus berkecamuk. Helaan napas berat terus terdengar dari bibirnya yang kaku. Semua terasa begitu rumit. Hubungannya dengan Kiran, wanita yang ia cintai, seolah menjadi beban berat yang menghimpit. Bukan hanya karena masa lalu Kiran dengan Arka, adiknya, tetapi juga karena ayah Kiran, James, yang dengan tegas menolak hubungan mereka. Saat ini, Arga sedang berbicara dengan mertuanya, Budiono. Mereka duduk bersama, membicarakan semua kekalutan yang menghantui pikiran Arga. "Pa, hubungan kami tidak mudah," ujar Arga lirih, sambil menatap jauh ke depan. "Karena sejarah antara Kiran dan Arka. Meski mereka sudah lama bercerai, aku masih merasa ada bayangan masa lalu yang terus menghantui kami." Budiono menatap menantunya dengan perhatian. Ia bisa merasakan beban yang dipikul Arga. Sebagai seorang mertua, ia tahu Arga tengah mengha
Seseorang berhenti tepat di depan pintu ruang Maria dirawat, ia memutar gagang pintu, tepat ketika pintu terbuka matanya terbelalak melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Seluruh dunianya seakan runtuh ketika melihat Maria, terbaring tak berdaya di bawah tekanan bantal yang dibekap oleh Lita. "Apa yang kamu lakukan?!" Mata Lita terbelalak, terkejut. Tawanya seketika terhenti. Tapi bukannya melepas bantal itu, ia justru semakin menekannya dengan keras. "Haaa ... haaa ... aku hanya ingin mengakhiri semuanya. Aku hanya ingin memastikan dia tidak bisa merusak hidupku lagi!" "Gila kau!" Arga berteriak, ia berlari cepat mendekati Lita dan tanpa ragu menarik tubuh wanita itu dengan kasar. Lita terhempas ke belakang, sampai terjatuh di lantai. "Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu sudah benar-benar kehilangan akal?!" bentak Arga, suaranya menggema di ruangan tersebut. Dia segera melempar bantal itu ke lantai dan menunduk ke arah Maria yang wajahnya sudah memucat. "Ma! Ma ... bert
Tubuh Arga terasa begitu kaku, lidahnya kelu, dan jantungnya seolah berhenti berdetak. Kakinya seperti tak bertulang, sampai tak mampu menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, menjauh dari kenyataan yang baru saja menghantamnya begitu keras. Pandangannya tertuju pada pintu ICU yang terbuka, di mana ibunya, wanita yang selalu ia anggap sebagai pilar kekuatan dalam hidupnya, kini terbaring tak bernyawa. Arga mencoba memaksa kakinya untuk melangkah masuk, mencoba mengumpulkan keberanian melihat ibunya untuk yang terakhir kali. Namun, semakin ia berusaha, semakin hancur perasaannya. Sementara itu, Arka langsung bergerak menuju ruangan ICU, meski wajahnya sudah sembab oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir sejak kabar buruk itu disampaikan. Rasa sakit di hatinya begitu nyata. Namun, ia berusaha memberanikan diri melihat ibunya, untuk terakhir kali. Di dalam ruangan itu, tubuh ibunya terbaring diam di atas brankar, sudah ditut
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.