Arka menyandarkan tubuhnya di dinding, memejamkan matanya sejenak untuk menahan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya, dadanya terasa sesak ketika melihat wanita yang ia cintai ternyata dicintai juga oleh kakak kandungnya sendiri. Air mata kini luruh membasahi wajahnya yang tampak pucat. Tidak peduli bila semua orang yang melihatnya kini akan menganggapnya sebagai lelaki lemah, cengeng, dan tak berdaya. Tapi biarlah. Untuk kali ini, ia tak peduli. Ia hanya ingin meluapkan segalanya, mengeluarkan semua rasa sakit yang selama ini ia tahan. Rasa marah, sedih, kecewa, dan hampa bercampur menjadi satu, menghantam setiap sudut hatinya yang kini terasa remuk. Mengapa harus Arga? Mengapa harus kakaknya sendiri yang merebut hati Kiran? Jika saja orang lain yang menggantikan dirinya di hati wanita itu, mungkin Arka takkan merasakan luka sedalam ini. Tapi ini adalah Arga, seseorang yang seharusnya ia percayai, seseorang yang selama ini ia hormati dan kagumi. Arka membayangkan bagaimana
Air panas yang mengalir ke dalam bak mandi perlahan mulai menenangkan tubuh Arga yang lelah. Setelah berbulan-bulan berada di Prancis untuk dinas, tubuhnya terasa kaku dan penat. Ototnya terasa tegang, dan rasa lelah yang menumpuk selama perjalanan panjang membuatnya ingin segera menenangkan pikiran dan segera beristirahat. Saat uap hangat memenuhi ruangan, Arga memejamkan mata, menikmati setiap detik kehangatan yang meresap ke dalam tubuhnya. Otot-otot kekarnya yang semula tegang kini mulai melonggar, napasnya juga menjadi lebih teratur. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos hitam santai dan celana pendek. Setelah merasa lebih segar, Arga berjalan perlahan menuju kamar Noah. Kamar itu berada di ujung lorong, sebuah ruangan yang dihiasi dengan poster-poster kartun favorit Noah. Pintu kamar sedikit terbuka, Arga mengintip ke dalam. Ia melihat Noah masih tidur pulas sambil memeluk boneka kesayangannya. Arga tersenyum tipis, lalu masuk dengan hati-hati
Arga duduk di ruang keluarga, menghadap ke arah jendela, langit sudah terlihat terang dan berawan. Udara hangat siang ini tak mampu menyejukkan hatinya yang terus berkecamuk. Helaan napas berat terus terdengar dari bibirnya yang kaku. Semua terasa begitu rumit. Hubungannya dengan Kiran, wanita yang ia cintai, seolah menjadi beban berat yang menghimpit. Bukan hanya karena masa lalu Kiran dengan Arka, adiknya, tetapi juga karena ayah Kiran, James, yang dengan tegas menolak hubungan mereka. Saat ini, Arga sedang berbicara dengan mertuanya, Budiono. Mereka duduk bersama, membicarakan semua kekalutan yang menghantui pikiran Arga. "Pa, hubungan kami tidak mudah," ujar Arga lirih, sambil menatap jauh ke depan. "Karena sejarah antara Kiran dan Arka. Meski mereka sudah lama bercerai, aku masih merasa ada bayangan masa lalu yang terus menghantui kami." Budiono menatap menantunya dengan perhatian. Ia bisa merasakan beban yang dipikul Arga. Sebagai seorang mertua, ia tahu Arga tengah mengha
Seseorang berhenti tepat di depan pintu ruang Maria dirawat, ia memutar gagang pintu, tepat ketika pintu terbuka matanya terbelalak melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Seluruh dunianya seakan runtuh ketika melihat Maria, terbaring tak berdaya di bawah tekanan bantal yang dibekap oleh Lita. "Apa yang kamu lakukan?!" Mata Lita terbelalak, terkejut. Tawanya seketika terhenti. Tapi bukannya melepas bantal itu, ia justru semakin menekannya dengan keras. "Haaa ... haaa ... aku hanya ingin mengakhiri semuanya. Aku hanya ingin memastikan dia tidak bisa merusak hidupku lagi!" "Gila kau!" Arga berteriak, ia berlari cepat mendekati Lita dan tanpa ragu menarik tubuh wanita itu dengan kasar. Lita terhempas ke belakang, sampai terjatuh di lantai. "Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu sudah benar-benar kehilangan akal?!" bentak Arga, suaranya menggema di ruangan tersebut. Dia segera melempar bantal itu ke lantai dan menunduk ke arah Maria yang wajahnya sudah memucat. "Ma! Ma ... bert
Tubuh Arga terasa begitu kaku, lidahnya kelu, dan jantungnya seolah berhenti berdetak. Kakinya seperti tak bertulang, sampai tak mampu menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, menjauh dari kenyataan yang baru saja menghantamnya begitu keras. Pandangannya tertuju pada pintu ICU yang terbuka, di mana ibunya, wanita yang selalu ia anggap sebagai pilar kekuatan dalam hidupnya, kini terbaring tak bernyawa. Arga mencoba memaksa kakinya untuk melangkah masuk, mencoba mengumpulkan keberanian melihat ibunya untuk yang terakhir kali. Namun, semakin ia berusaha, semakin hancur perasaannya. Sementara itu, Arka langsung bergerak menuju ruangan ICU, meski wajahnya sudah sembab oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir sejak kabar buruk itu disampaikan. Rasa sakit di hatinya begitu nyata. Namun, ia berusaha memberanikan diri melihat ibunya, untuk terakhir kali. Di dalam ruangan itu, tubuh ibunya terbaring diam di atas brankar, sudah ditut
Di ruang keluarga sudah dipenuhi oleh canda tawa, terdengar suara kegirangan seorang anak kecil. Gadis mungil berusia empat tahun, ia sedang tertawa riang saat menunggangi seseorang yang ada di bawahnya. Tubuh mungilnya begitu lincah saat menunggangi punggung seorang pria tua yang tak lain adalah kakeknya sendiri. "Hiyaa! Kuda lari lebih cepat!" seru gadis kecil itu. James tertawa kecil dan menggerakkan tubuhnya maju mundur, seolah-olah ia benar-benar seekor kuda yang sedang berlari. Meskipun kerap kali ia merasa nyeri di pinggangnya. Rasa sakit itu sudah sering datang. Namun kali ini, ia abaikan saja demi melihat senyum cucunya. Kinanti yang melihat kebahagiaan suami dan cucunya dari dapur hanya tersenyum, ia juga sangat bahagia, terlebih setiap hari suasana di rumahnya selalu dihiasi oleh tawa. James memang sering kali memanjakan cucunya sendiri, apa pun yang diinginkan gadis kecil itu, James selalu menurutinya. "Pa, sudah kubilang jangan main kuda-kudaan lagi! Kamu tahu sen
Udara siang ini terasa dingin, angin bertiup sepoi-sepoi membawa ketenangan yang samar-samar menusuk hati. Langit sedikit mendung, seolah ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh mereka yang datang ke pemakaman hari ini. Kiran, James, dan Kinanti berjalan perlahan dengan langkah berat, membawa buket bunga masing-masing di tangan mereka. Clarissa yang masih kecil, berjalan di samping Kiran dengan wajah polos, ia belum memahami suasana yang berat di sekelilingnya. Ketika mereka tiba di Indonesia, mereka memutuskan untuk mengunjungi makam Maria, Kiran berhenti sejenak, memandangi batu nisan mantan ibu mertuanya dengan hati yang duka. Kakinya terasa berat, seolah tak sanggup melangkah lebih dekat. Namun, ia menghela napas panjang, mencoba menahan sesak di dadanya, Kiran memberanikan diri untuk melangkah maju, dan perlahan meletakkan bunga di atas pusara Maria. "Ma … maafkan aku, maafkan aku bila aku tidak bisa menjaga Mama." Suaranya terhenti sejenak. Mata Kiran sudah memerah,
Kiran dan Arka duduk di sebuah bangku taman, terdiam, mereka tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Suasana di sekitar mereka terasa begitu hening, hanya suara angin yang berhembus dan tawa anak-anak di kejauhan yang memecah kesunyian. Namun, di antara mereka, seakan tak ada yang mampu berbicara. Suara mereka tersendat di tenggorokan, dan lidah mereka terasa kelu. Sudah lima tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu. Lima tahun sejak perceraian mereka, dan takdir kini mempertemukan mereka kembali dalam situasi yang tak terduga. Arka melirik Kiran dari sudut matanya. Wanita itu tampak begitu berbeda dari yang ia ingat. Kiran kini lebih anggun dan modis, penampilannya lebih tertata. Pakaian sederhana yang ia kenakan memperlihatkan sosok yang dewasa, dan wajahnya terlihat lebih matang. Namun, juga lebih dingin. Dulu, Kiran selalu ceria, tapi kini ada jarak yang tak terlihat di antara mereka. "Sudah lama kita tidak bertemu." Akhirnya Arka membuka suara. Suaranya terdengar se
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.