“Assalamu’alaikum. Rafi, aku ingin bertemu. Bisa kamu datang ke Kafe Wien jam tiga nanti?” Nazwa berbicara cepat saat suara di seberang telinganya berkata halo.
“Nazwa? Ada apa? Salsa dan Hanif ada masalah?” tanya Rafi kaget.
“Mereka baik. Hanya ada yang aku mau bicarakan! Aku tunggu di sana ya.” Nazwa langsung menutup panggilannya. Ia tak ingin berbasa-basi dengan Rafi. Sesungguhnya ia enggan untuk membicarakan hal ini, tapi tak bisa dibiarkannya tindakan Rafi yang menurutnya sudah sangat menyebalkan.
“Mama, bicara dengan siapa?” Pertanyaan Salsabila, putri pertamanya, mengagetkan Nazwa yang sempat melamun setelah menelpon Rafi tadi.
“Astaghfirullah, Kakak. Kaget Mama, Nak,” Nazwa mengusap dadanya.
“Mama kenapa sih? Sudah seminggu ini Salsa melihat Mama sering melamun,” Salsa kembali bertanya.
Nazwa tersenyum. Diulurkan tangannya sebagai isyarat agar Salsa mendekatinya. “Sini dekat Mama, Kak.”
Salsa mendekati Nazwa dan duduk di sebelah mamanya ini. “Ada apa, Ma?” Ia kembali bertanya.
“Adik Hanif kemana?” Nazwa belum mau menjawab pertanyaan anak pertamanya.
“Ada di kamar,” Jawab Salsa.
“Bisa tolong dipanggilkan? Ada yang mau Mama bicarakan dengan kalian.”
Salsa beranjak menuju kamar Hanif, adiknya. Tak lama mereka datang dan mengambil tempat di sebelah mamanya.
“Salsa, Hanif. Ada yang mau Mama tanyakan kepada kalian,” Nazwa memulai percakapan.
“Ada apa, Ma?” tanya Salsa dan Hanif berbarengan.
“Kalian tahu, Mama sangat bangga kepada kalian. Walaupun umur kalian belum dewasa, tetapi kalian sudah sangat dewasa dalam berfikir. Perpisahan Mama dan Papa adalah buktinya,” Nazwa terdiam sejenak. “Sekarang, kalian juga tahu, Mama saat ini dekat dengan Om Kafka. Sesungguhnya Om Kafka sudah meminta ijin untuk menikahi Mama. Sekarang Mama dan Om Kafka sedang menjalani proses untuk melangkah ke pernikahan. Mama ingin bertanya, bagaimana menurut kalian, Om Kafka itu? Apa kalian setuju, jika Mama menikah dengan Om Kafka?” tanya Nazwa lembut.
Salsa dan Hanif saling pandang. Mereka tahu bahwa suatu saat Mama mereka akan menanyakan hal ini. Dan sekaranglah saatnya. Sebetulnya, mereka sudah lebih dulu tahu rencana ini dari Om Kafka sendiri. Dan Om Kafka pun juga sudah menanyakan pendapat mereka. Waktu itu mereka menjawab bahwa, mereka sangat menyenangi Om Kafka dan tidak keberatan jika Om Kafka menikahi Mama. Tetapi jika ada pilihan di mana Mama dan Papanya bisa bersatu kembali, mereka ingin Mama dan Papanya menikah kembali.
“Ma, Salsa dan Hanif sangat sayang pada Mama. Kami begitu sedih waktu melihat Mama berpisah dengan Papa. Mama seperti orang lain yang kami tidak kenal. Dan kami tahu, Om Kafka yang telah mengembalikan Mama kami seperti semula. Om Kafka baik dan sepertinya sangat sayang pada Mama, juga Salsa dan Hanif. Tapi Ma ...,” Salsa menghentikan bicaranya.
“Iya sayang? Ada apa? Teruskan saja. Mama tidak akan marah kok,” tanggap Nazwa lembut.
“Sebelumnya kami minta maaf, karena kami menyembunyikan pernikahan Papa dan Tante Renata. Kami takut Mama sedih lagi,” Salsa berucap hati-hati.
Nazwa termangu mendengar pengakuan anaknya. Betapa mereka anak yang sangat baik dan dewasa. “Terima kasih, sayang. Tapi Mama tidak apa-apa. Kalian tahu darimana pernikahan Papa dan Tante Renata?” selidik Nazwa.
“Kami melihat foto pernikahan Papa dan Tante Renata. Sewaktu kami tanya Tante Renata, katanya itu semua betul. Dan Tante juga bilang, bukan karena Tante yang menyebabkan Mama dan Papa berpisah. Tapi karena suatu keadaan yang membuat Papa harus berpisah dari Mama. Tante Renata juga bilang, bukan berarti Papa jahat. Papa hanya harus melunasi janjinya pada kakek untuk menjaga Tante Renata,” Dengan gamblang Salsa menjelaskan semuanya.
“Ma, Salsa dan Hanif sayang sama Papa dan Mama. Menurut kami, apa yang Papa dan Mama lakukan sudah yang terbaik. Bukankah Mama pernah bilang, bahwa semua yang terjadi di dunia ini, baik dan buruknya sudah diatur oleh Allah? Kita hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan sabar. Jadi, kami ingin menjadi anak yang bisa membuat bangga, seperti kami bangga pada Mama. Kalau memang Om Kafka bisa membuat Mama bahagia, Salsa dan Hanif juga akan bahagia. Iya kan, Nif?” kerling Salsa pada Hanif.
“Iya, Ma. Tapi, kalau Mama ingin menikah lagi dengan Papa, kami juga akan senang kok,” ujar Hanif pelan.
Nazwa kembali tertegun mendengar perkataan Salsa dan Hanif. Salsa memang sudah lebih besar, sehingga sudah mengerti situasinya. Tapi Hanif, anak yang berusia sembilan tahun itu pasti belum mengerti. Dan Nazwa tahu, dari perkataan Hanif terakhir, anak itu berharap ia kembali pada Rafi.
Dipeluknya ke dua belahan jiwanya itu. “Terima kasih, sayang,” ucapnya sambil mengecup kening Salsa dan Hanif bergantian. “Kalian tahu, kalian selalu membuat Mama bangga. Kalian tak akan pernah membuat Mama kecewa. Mengapa? Karena kehadiran kalian merupakan anugerah dan kebanggaan buat Mama. Selamanya,” Isak Nazwa menahan haru sambil memeluk kembali Salsa dan Hanif.
Salsa dan Hanif balas memeluk Mamanya dengan hangat. Mereka juga sangat sayang dan bangga kepada Mamanya. Mereka ingin selalu melihat Mamanya bahagia. Mereka tak ingin lagi melihat Mamanya terpuruk dalam kesedihan seperti saat berpisah dengan Papa mereka dulu.
***********
Kafe Wien.
Nazwa duduk dengan gelisah menunggu kedatangan Rafi. Beberapa kali dilihatnya pintu masuk setiap bunyi bel berdenting, menandakan tamu yang masuk ke Kafe miliknya ini. Ia meraih handphone-nya bermaksud untuk menanyakan keberadaan Rafi. Ia mencari nama Rafi dan bermaksud untuk melakukan panggilan, sampai sebuah suara menghentikannya.
“Assalamu’alaikum, Nazwa.” Rafi mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam. Rafi, jelaskan padaku. Apa maksud kamu mengirim Renata ke Kafe ini?” Nazwa langsung bertanya tanpa memberi Rafi kesempatan untuk duduk terlebih dahulu.
“Astaghfirullah, Nazwa. Aku baru saja sampai! Setidaknya biarkan aku minum terlebih dahulu!” keluhnya. Ia meraih kursi di hadapan Nazwa dan mendudukinya. Ia meminum es jeruk yang tersedia di meja dan kemudian mencari posisi yang nyaman, menatap Nazwa dan berkata, “Tadi kamu bertanya apa?”
“Apa maksud kamu mengirim Renata ke sini?” ulang Nazwa dengan sedikit emosi.
“Renata? Maksudmu?” Rafi balik bertanya tak mengerti.
Hh! Nazwa menghela nafas. Ia mengatur nada suaranya agar emosi di dadanya tak terlihat.
“Fi, kenapa kamu menyembunyikan pernikahanmu dengan Renata? Bukan hanya kepadaku, tetapi juga anak-anak?! Selama ini mereka selalu bercerita bahwa setiap kali ada di tempatmu, selalu ada Tante Renata. Aku tak pernah curiga. Ku pikir, Renata memang ingin bermain bersama anak-anak. Karena sebelum kita bercerai pun, terkadang kita berjumpa dengan Renata. Tapi ternyata kalian sudah menikah. Kenapa kamu berbohong, Fi? Satu tahun. Bisa-bisanya kamu!” ujar Nazwa dengan geram.
*********
Bersambung
Rafi menunduk sejenak. Kemudian ditatapnya Nazwa. “Maafkan aku, Naz. Aku memang terlalu pengecut untuk berkata jujur. Renata pastinya sudah bercerita kepadamu kejadiannya. Jujur, Naz. Aku tak pernah ingin berada dalam situasi seperti ini. Kalau aku bisa mengulang kembali cerita hidupku, ingin rasanya aku tak berhutang budi kepada orang tua Renata. Sehingga aku tak harus memenuhi permintaan ayah angkatku untuk menikahi Renata,” Keluh Rafi.“Aku tak meminta pembelaan dirimu, Fi. Yang terjadi pastilah yang harus terjadi. Aku hanya ingin kamu tidak berbohong padaku dan anak-anak! Kamu sendiri yang bilang, bahwa apapun yang akan kita lakukan itu berkaitan dengan anak-anak dan mereka mempunyai hak yang harus kita pertimbangkan dengan langkah yang akan kita ambil. Ingat, saat kamu mengetahui Kafka ingin menikahiku? Kamu kesal karena aku tak menanyakan pendapat anak-anak tentang itu. Bagaimana dengan kamu sendiri? Satu tahun bukan waktu yang sebentar, Fi!” tan
Golden Tower “Maaf menunggu lama, Naz.” Ujar Kafka begitu masuk ke ruang rapat tempat Nazwa menunggunya. “Ada apa, Naz. Tiba-tiba datang ke sini. Ada hal penting sampai tak bisa menunggu aku datang ke rumahmu, Mmh? Besar sekalikah desakan kerinduanmu untukku?” goda Kafka. “Sepertinya hari ini cuaca hatimu sedang cerah ya?” Nazwa menyunggingkan senyum sinis. “Mmh ... ya. Aku berhasil memenangkan tender, Naz. Itu tender besar. Jelas aku excited sekali,” Jelas Kafka dengan senyum mengembang. “Oh ya? Bukan karena telah berhasil mendapatkan rival untuk memperlihatkan seberapa besar kekuatan kamu memikat wanita?” sin
Rafi cukup terkejut dengan cerita yang dialami Kafka. “Tapi aku memaafkannya, Fi. Mengingat anak kami masih kecil. Saya minta Ewi untuk bersabar menunggu saya kembali memulihkan kondisi ekonomi kami. Tetapi bisnis saya tak mengalami kemajuan, dan saat bisnis saya benar-benar hancur, Ewi tidak terima. Ia memilih laki-laki lain yang bisa memuaskannya secara materi. Ia lebih memilih untuk menikahi seorang duda yang usianya di atas usia ayahnya sendiri. Sekarang anaknya menjadi lima orang. Satu anak kami dan empat orang anak duda itu. Ewi bilang itu bukan masalah, asal secara materi ia berkecukupan. Ya jelas saja, duda itu seorang direktur di salah satu bank swasta terkemuka. Cerita yang klise bukan, Fi? Tapi ya itu yang terjadi,” Hela Kafka. “Hidup memang terkadang kejam, Kaf. Kadang juga seperti mempermainkan kita,” s
Setelah merasakan kekuatan yang tiba-tiba merasuk ke hatinya setelah kepasrahan dan permohonan yang ia panjatkan. Nazwa membuka matanya dan menatap dalam kedua mata Kafka. Mata teduh dan kelam itu begitu menentramkan hatinya acapkali dipandang. Jujur, pesona itu merebut hatinya untuk mau melabuhkan hatinya. Kafka memberikannya kedamaian, ketenangan juga perlindungan saat berada di dekatnya. Laki-laki sejati yang ia cari. Laki-laki tegar yang ia perlukan. Dan ia telah tahu ketegaran seorang Kafka saat ia ditinggalkan kekasih hatinya. tapi, Nazwa juga harus jujur pada dirinya sendiri saat ini. “Kafka, tolong. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri saat ini. Setelah semuanya, aku betul-betul butuh berbicara dengan hati dan pikiranku. Kamu tahu kan, kita sudah pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan dalam kehidupan kita masing-masing. Dan aku tidak in
Belum lagi Salsa menjawab, hp Nazwa kembali berdering kencang. Rafi calling. Nazwa hanya meliriknya sebentar dan mengacuhkan panggilan itu.Kembali Nazwa mengulangi pertanyaannya. “Hanif kemana, Sa? Masih di kamar?”“Tadi pamit main sepeda sama Rio ke lapangan.”“Kok ngga pamit Mama?”“Tadi Mama sedang di kamar mandi, jadi pamitnya ke aku,” terang Salsa.“Oh begitu.” Nazwa menganggukan kepalanya. Tak lama ia membawa sebuah baki yang berisikan dua buah piring macaroni schotel dan dua buah gelas yang satu berisi coklat hangat untuk Salsa dan lemon tea hangat untuk dirinya sendiri.“Mmh . . . It’s look yummy,” Salsa menggesekkan kedua telapak tangannya sambil bergumam melihat makanan dan minuman yang dipindahkan oleh Nazwa dari baki ke atas meja.Nazwa tersenyum melihat reaksi Salsa. Inilah alasannya mengapa ia se
“Haruskah sejelas itu?” tanya Kafka masih dengan suara yang terdengar lirih. Nazwa balik menatap Kafka lekat. Ia pun tak mengerti. Hatinya dan pikirannya saat ini betul-betul tak seirama. Yang satu tak terima dengan perbuatan mereka, yang satunya bisa memakluminya. Tapi, ia tak ingin terlihat lemah. “Kamu tahu siapa aku kan, Kaf,” jawabnya pelan. “Naz, cobalah memandang masalah ini dari sudut pandang lain,” Kafka menyarankan. “Sudut pandang yang bagaimana? Sudut pandang siapa? Kamu atau Rafi?” sinis Nazwa berkata. “Jika aku harus memandang masalah ini dari sudut pandang kalian, mengapa kalian tidak melakukan hal yang sama? Memandang dari sudut pandang seorang Nazwa Rengganis! Perempuan yang baru saja berhasil menyembuhkan lukanya karena cinta, dan di saat ia memberanikan dirinya untuk kembali mencintai, kalian melecehkannya!” tandas Nazwa dingin. Kafka menghelakan nafasnya mendengar ucapan Nazwa. ‘Ya Tuhan, hati perempuan ini benar-benar terluka
“Naz!” Rafi dan Kafka berseru berbarengan. Mereka kembali saling memandang. Dan Kafka menganggukkan kepalanya sebagai kode kepada Rafi. Entah bagaimana, pikiran mereka sekarang seperti searah dan bisa saling memahami. “Tolong, dengarkan dulu penjelasan kami berdua.” Desak Kafka. “ Oke, kami janji. Kami akan memberikanmu waktu dan tidak mengganggumu. Asalkan kamu mau mendengarkan kami sekarang,” Kafka memberikan penawaran. Nazwa menghentikan langkahnya. Hatinya sudah sedemikian kesal kepada dua laki-laki yang tanpa diundang ini datang ke rumahnya. Apakah ucapannya kemarin tidak bermakna? Seenaknya saja mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Ia menimbang sebentar ucapan Kafka, sebelum membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya ke Pojok Hati.&
“Kalau kamu berada di posisi Nazwa sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Rafi tiba-tiba.Pertanyaan Rafi cukup mengejutkan Renata. Apa yang akan aku lakukan? Tanyanya mengulang pertanyaan Rafi pada hatinya. “Kamu yakin mengajukan pertanyaan itu padaku, Raf?” tanya Renata balik.“Tentu saja. Memangnya kenapa?” taut Rafi tak mengerti.“Kamu kan tahu, selama hidupku, aku hanya mencintai satu orang laki-laki. Ya, kamu,” jawab Renata lirih namun masih terdengar oleh Rafi.Rafi menatap Renita. Tertegun mendengar ucapannya barusan. Tetapi tatapan Rafi disalahartikan oleh Renita. Ia merasa Rafi masih menantikan jawaban atas pertanyaannya tadi.“Entahlah, Raf. Aku bukan Nazwa yang dicintai oleh seorang Rafi dan Kafka,” gelengnya. “Aku belum pernah merasakan hal seperti itu. Aku hanya bisa membayangkan.” Renata terdiam sejenak. “Ya mungkin berat bagi seorang perempuan khusus
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi
“Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe
afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging
Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau