'Fika Pradiptasari..?! Fika..!' sentak bathin Bimo, saat menyadari pengirim dana ke rekeningnya adalah Fika. 'Tapi darimana Fika tahu nomor rekeningku.?' bathin Bimo heran. Tutt.. Tutt..! Baru saja Bimo membatin seperti itu, masuk panggilan ke ponselnya, 'Lidya memanggil'. 'Ahh. Rupanya dia', bathin Bimo, seraya menerima panggilan Lidya. Klikh! "Ya, Lidya." "Mas Bimo. Lidya mau cerita sesuatu sama Mas Bimo. Tapi aku mau tanya dulu, apakah Fika sudah menghubungi Mas Bimo..?" "Iya Lidya. Dia memang sudah menghubungiku semalam." "Wah! Ternyata begitu. Syukurlah, berarti masalahnya sudah terselesaikan oleh Mas Bimo. Begini Mas Bimo, semalam Fika menghubungiku dan meminta nomor rekening Mas Bimo. Awalnya aku menolak memberikannya Mas. Tapi Fika mengancam tak mau berteman lagi denganku, kalau aku tak memberikan nomor rekening Masa Bimo padanya. Ya terpaksa aku memberikannya Mas." "Ya, sudahlah Lidya. Toh itu sudah terjadi, Fika telah mentransfer sejumlah uang ke rekeningku." "Y
"Ahh, tak apa Bimo. Besok aku ada beberapa meeting, mungkin jam istirahat siang kita bisa bertemu Bimo." "Baiklah Devi. Besok siang aku akan datang ke kantor atau ruanganmu saja. Sekalian aku ingin bertemu dengan teman-teman di sana." "Baik Bimo. Terimakasih ya." Klikh! Bimo pun langsung keluar dari kamarnya, usai menerima panggilan Devi. Namun di depan pintu kamarnya ternyata telah pak Adi telah menantinya. "Maaf Mas Bimo. Sebaiknya Mas Bimo makan dulu, sejak pagi makanan telah disiapkan oleh istri saya," ujar pak Adi sopan. "Wahh! Saya sampai lupa makan pagi Pak Adi. Ayo Pak Adi makan bersama saya," ujar Bimo, teringat dia belum sarapan sejak pagi. "Maaf Mas Bimo, saya sudaah duluan tadi. Pagi tadi saya hendak menawarkan Mas Bimo, tapi saya lihat Mas bimo tengah serius di saung. Saya jadi tak berani mengganggu Mas Bimo," sahut pak Adi, memberitahukan pada Bimo. "Tak apa Pak Adi. Lho..? Itu siapa yang duduk di teras rumah Pak..?" ujar Bimo seraya bertanya. "Oh, itu namanya P
"Halo Tuan Katada..! Tuan tentu sangat hapal, dengan suara dan nomor putrimu ini. Hahahaa..!" seru terbahak seorang lelaki di sana. "Brengsek..! Siapa kau..?! Kenapa putriku dan ponselnya ada padamu..?!" sentak marah Katada. Dia langsung mencium ada hal yang tak beres tengah terjadi. "Siapa aku..? Itu tak perlu kau tahu Tuan Katada..! Kau hanya harus menyediakan hal yang akan kuminta darimu..! Ingat..! Sekali saja kau melapor pada polisi dan bekerjasama dengan mereka, maka putrimu Yuriko hanya tinggal kenangan Tuan Katada..!" "Heii..! A-apa yang kau inginkan sebenarnya..?!" "Tunggu pemberitahuanku nanti..!" Klikh! "Ahh..! Sialan..!" seru marah dan penasaran Katada. Tutt... Tutt..! Sebuah panggilan kembali masuk ke ponsel Katada, tak lama setelah panggilan penculik putrinya itu. Klikh! "Ya siapa..?!" "Malam Tuan Katada. Kami dari kepolisian menemukan mobil Toyota Century Tuan Katada di pinggir jalan. Tepatnya di dekat pertigaan Komazawa Dori Ave Tuan Katada.Sang driver dala
Brrmm..! NNgg..! Dan sedan hitam itu pun melaju menuju ke arah Kajarta. *** "Ingat Devi..! Pertimbangkan baik-baik keinginan Paman Donald kemarin. Biar bagaimanapun Tony adalah pewaris tunggal dari PT Adhi Karya..!Hidupmu tak akan kekurangan jika kau menikah dengan Tony," ucap tegas Baskara, saat Devi berpamitan hendak ke kantor pagi itu. "Baik Ayah. Devi berangkat dulu Ayah, Ibu," sahut Devi datar. Sesungguhnya Devi sangat enggan berbicara soal hal itu, karena jawaban darinya sudah pasti dan bulat, adalah No..! "Hati-hati di jalan Devi..!" seru Rini sang ibunda. "Baik Bu..!" seru Devi menyahuti, seraya masuk ke dalam Honda Accordnya. "Kita berangkat Pak Eko," ujar Devi pada drivernya. "Baik Non," sahut pak Eko, dia tahu nonanya itu ingin cepat-cepat berangkat. Karena nampak wajah cantiknya yang agak kaku pagi itu. Brrmmm...! Tin .. Tinn..! Mobil yang membawa Devi pun melaju keluar dari area rumahnya daan masuk ke jalan raya. 'Huhh! Andai aku dipecat sekalipun, aku tak aka
"B-baik Bu Silvia. Segera saya akan antarkan ke ruangan Ibu," sahut Tia sopan, seraya anggukkan kepalanya. Ya, memang Tia yang bertugas untuk mengantarkan makanan ke ruang Silvia. Tapi biasanya dia memang hanya mengantarkan makan siang, karena Silvia sudaah sarapan di rumah. "Jangan pakai bawang putih seperti biasa ya..!" seru tegas Silvia, seraya membalikkan tubuhnya dan berlalu menuju ke ruangannya. "Huhh..! Menyebalkan..!" desis Wanti kesal. "Jauh sekali dibanding Bu Devi!" seru berbisik Dino, yang juga tak suka dengan sikap arogan Silvia. Dengan agak tergesa, Tia pun mulai memasak nasi goreng spesial yang disukai Silvia. Dia memang juru masak andalan para OB di kantor itu.Sementara rekan-rekan di ruang OB pun auto bubar, karena mereka merasa sudah tak nyaman untuk berbicara di ruangan itu. Karena mereka takut ada inspeksi mendadak ke ruangan itu, atas perintah Silvia yang mereka benci. *** Silvia masuk ke ruang kerjanya yang menyatu dengan ruang kerja Direktur Utama perus
"Ahh..! P-panti..? Baiklah Bimo, sampai nanti ya." Klikh! Dan rasa simpati Devi pun makin besaar terhadap Bimo. Tak diduga sama sekali oleh Devi, jika Bimo adalah sosok yang peka dan dermawan terhadap anak panti. 'Mas Bimo. Kau benar-benar misteri terbesar dalam hidupku', bisik bathin Devi. Ya, kini Devi merasa kiranya sungguh pantas jika dia memanggil 'mas' pada Bimo mulai saat itu. Ketenangan sikap dan kedewasaan cara berpikir Bimo, benar-benar telah membuatnya merasa segan dan hormat pada pemuda itu. Dan tak lama kemudian sedan hitam berkelas milik Bimo pun masuk di area parkir kantor Devi. Nampak sosok Bimo keluar dari dalam mobil. Penampilan Bimo biasa saja, bahkan terkesan sederhana. Untuk kelas seorang konsultan pribadi yang bekerja pada calon orang nomor satu di Winata Group seperti Lidya. "Pak Atmo saya tinggal dulu ya. Pak Atmo bisa santai di kantin kantor, atau ke deretan warung di seberang kantor ini," ujar Bimo tersenyum. "Baik Mas Bimo. Silahkan," sahut Atmo ters
"Tenanglah Devi. Tak ada masalah yang abadi, kita pasti akan melaluinya dan bertemu dengan masalah lainnya," ujar Bimo menenangkan Devi. "Itu benar Mas Bimo. Tapi bagaimana dengan kondisi Devi yang terdesak saat ini. Devi seolah tak diberi pilihan lain oleh orangtua Devi, selain menerima keinginan Pak Donald itu. Padahal Tony sendiri sampai saat ini masih dirawat intensif di rumah sakit. Bagaimana bisa Pak Donald sudah berpikir, untuk menjodohkan Devi dan Tony..?" ujar Devi bernada resah dan juga kesal. "Baiklah Devi, biar kulihat sebentar ya," ujar Bimo tenng. Perlahan Bimo pejamkan kedua matanya. Dan... Ting..! Tiba-tiba melintas di bathin Bimo, sebuah gambaran sosok Tony yang terbaring di ranjang rumah sakit. Nampak jelas Tony tengah merintih-rintih kesakitan, sambil memanggil-manggil nama Devi. Nampak pula seorang wanita paruh baya yang menunggui Tony di ruangan itu. Wajah wanita itu nampak cemas dan prihatin menatap Tony.Dan Bimo langsung berkesimpulan, jika wanita itu ada
"Ahh..!" sentak Devi dan Paul bersamaan. Tentu saja mereka terkejut, mendengar pengakuan bersalah Luki terhadap Bimo.Hal yang menguatkan dugaan Devi, jika Luki kena tulah akibat perbuatannya pada Bimo selama ini. "Ahh..! Tentu Kak Luki. Aku sudah memaafkanmu kok," desah Bimo merasa iba sekali atas kondisi Luki. Nampak kedua tangan Luki diikat dengan kain ke pinggiran ranjang. Karena dicemaskan Dokter, dia akan menggaruk luka di wajahnya yang masih basah itu. Diam-diam Bimo juga merasa kasihan dengan ibu si Luki. Yang jadi ikut repot dan nampak lelah, menunggui putranya itu. Hal yang menguatkan tekat Bimo, untuk menarik amarah dan kebenciannya pada Luki. "Ahh..! T-terimakasih Bimo..! Rasa perihku mendadak agak berkurang kini. T-terimakasih..!" ucap Luki dengan rasa haru dan sepasang mata beriak basah. 'Ahh! Luki..! Rupanya kau punya kesalahan pada pemuda bernama Bimo itu', bathin sang Ibu. Dia menatap lekat Bimo, dan menemukan bahwa gestur Bimo adalah pemuda yang baik dan sopan.
"Ahhskk..! T-tuan Andreww...! A-akhu sam..paihhs..! Ahhsgk..!" erangan terbata bernuansa erotis, terdengar begitu menggetarkan dari wanita muda dan cantik di bawah himpitan tubuh Andrew. Nampak mata terbeliak, regangan tubuh, dan kedutan pinggulnya yang melenting ke atas. Seolah hendak melahap habis, tonggak keras milik Andrew yang juga menghujam dalam di liang surganya. Ya, wanita itu kini tengah melayang indah, di tengah surganya dunia yang hanya bisa dirasa dan tak pernah ada yang bisa melukiskannya dalam alam nyata."Haarghks..!" geraman Andrew pun menyusul, menandakan dia juga telah tiba pada klimaks asmaranya. Namun seketika saja muncul taring di mulutnya, seiring dengan memerahnya bola mata pria tampan itu. Lalu... Craasph..! Srrrpphhs..! taring Andrew pun menancap dalam dan mengoyak pembuluh darah di leher sang wanita, disertai suara menghirup yang begitu dalam oleh Andrew. Bersamaan dengan ledakkan klimaks yang tengah dirasakannya. "Ahhsskk..!! T-tuan Andrew...!!" seru t
"Hmm. Baiklah Mas Bimo. Lalu bagaimana aku pergi ke Gorbo nanti Mas Bimo..?" ujar Devi agak bingung. "Kau bisa ikut dengan mobilku Devi. Dua koper roda itu saja kan bawaanmu nanti, Devi..? Itu masih bisa kok masuk bagasi mobilku," ujar Bimo menenangkan Devi. "Iya Mas Bimo," Devi akhirnya menuruti saja saran Bimo. Dia memang penuh percaya atas semua ucapan Bimo, karena dia mengetahui kemampuan Bimo. Akhirnya tak lama kemudian, Devi pun mendapat restu dan bahkan support dari Baskara dan Rini. Untuk bekerja di kantor Bimo. "Selamat bekerja di kantor Mas Bimo, Devi. Sering-seringlah pulang ke ruamh di waktu senggangmu nanti ya," ujar Rini lembut. "Baik Ibu, Ayah. Devi akan pulang jika ada waktu senggang," sahut Devi tersenyum. Kini hatinya merasa sangat lega, dan dia bisa berangkat dengan tenang serta nyaman, menuju tempat tinggal sekaligus tempat kerjanya di Gorbo. Ya, Baskara dan Rini akhirnya juga meminta maaf pada Bimo atas kesalah pahaman mereka selama ini terhadap Bimo. "Maaf
"Ahhh...!!" seruan kaget Baskara dan Rini pun terdengar bersamaan, dengan ekspresi wajah seolah tak percaya. Baskara menatap dengan mata terbelalak, sementara Rini sampai mengangkat sebelah tangan menutupi mulutnya yang ternganga. Baskara bahkan sampai mengklik profil m-banking itu, untuk memastikan apakah itu benar-benar akun Bimo. Dan dia pun menemukan fakta, bahwa itu adalah benar akun asli milik Bimo Setiawan. Ya, nilai deretan panjang angka di saldo rekening Bimo, memang sungguh berada di luar dugaan Baskara dan istrinya. Tutt.. Tutt..! Ponsel Bimo yang masih berada di tangan Baskara berdering, dia serta Rini melihat dengan jelas 'Pak Hendra Winata' tertera di layarnya. "W-winata Group..?!" seru gugup Baskara dengan bibir bergetar, seketika dia memberikan kembali ponsel itu pada Bimo dengan tangan agak gemetar. "Maaf, boleh saya menerima panggilan dulu Pak, Bu..?" ujar Bimo tersenyum tenang, seolah tak melihat keterkejutan di wajah kedua orangtua Devi. "S-silahkan Bimo,"
"Huhh..! Kebetulan sekali kalau begitu..! Ayo Bu, kita bicara langsung saja dengan Bimo..!" seru Baskara, seraya mengajak istrinya ikut menemui Bimo. Dan memang benar Bimolah yang datang berkunjung ke kediaman Baskara saat itu. Klekh..! "Wah..! Mas Bimo jadi juga datang ke sini. Silahkan duduk Mas," sambut Devi tersenyum gembira, melihat kedatangan Bimo. Kendati hatinya juga diliputi rasa was was akan sikap orangtuanya terhadap Bimo nanti. "Lho..! Ada tamu kok disuruh duduk di teras Devi. Persilahkan saja Bimo masuk ke ruang tamu sini. Kami juga hendak bicara dengannya," ujar Baskara dingin dari dalam pintu. Ya, Bsaskara dan Rini merasa enggan ikut keluar menyambut Bimo. Walau mereka juga agak terkejut, saat melihat Bimo datang dengan mengendarai mobil yang cukup berkelas. "Hmm..! Apakah itu mobilnya atau pinjaman ya Bu..?" bisik Baskara di dekat telinga Rini. "Entahlah Mas. Yang jelas kita tanya saja padanya, apa sebenarnya yang bisa dia tawarkan pada putri kita dengan bekerja
Klik.! "Ya, halo Mbak Ratri,” sahut Bimo. “Pagi Bimo. Sedang sibukkah sekarang?” tanya Ratri. “Aku baru saja mandi Mbak. Bagaimana kabarnya nih?” sahut Bimo bertanya. " O ya Bimo. Tak lama setelah kamu pergi A' Rahadian meminta bantuanku, untuk mengirim dana ke rekeningmu sebesar 5 miliar. Semoga sudah kau terima ya Bimo." Ratri mengabarkan.“Lho, darimana Mbak Ratri tahu nomor rekeningku?” tanya Bimo heran. “Bukankah saat Bimo membawa A'a Rahadian ke rumah sakit, kamu yang membayarkan biayanya Bimo? Dari situlah aku mengetahui nomor rekeningmu,” sahut Ratri tenang. “Oh iya, hehe. Kalau begitu, sampaikan terimakasihku pada Mas Rahadian ya. Tapi sebetulnya tak perlu berlebihan Ratri. Mas Rahadian seharusnya bisa menggunakan uang itu untuk pengembangan bisnisnya saja." “Tidak Bimo. Bahkan menurutku kamu pantas menerima yang lebih dari itu." “Ahh, kalian ini. O iya, bagaimana kabar si Desi kecil Mbak?” “Wahh, dia sekarang jadi fans beratmu Bimo. Dimana-mana dia bercerita soal k
Bruaghhk..! Braaghk..!! Ciittt...!! Gedubraghhk..!! "Arrghk..!!" terdengar teriakkan orang-orang dalam dua kendaraan itu. Dua APV hitam itu pun langsung miring dan terguling ke arah ladang singkong di seberang jalan. Taph..! Yoga mendarat ringan di dekat kedua mobil pengangkut yang terguling itu. Dan dengan cepat dia keluarkan pistol dari balik pakaiannya. Lalu... Darr..! Darr..! ... Darr..!! Dua pengemudi mobil dan dua rekannya yang mendampingi di dalam mobil pengangkut itu. Keempatnya tewas seketika dengan kepala berlubang, diterjang timah panas yang dilepaskan Yoga dengan tanpa ampun. Cittt...!! Tiga pengendara motor segera injak rem motor mereka dengan tiba-tiba dan berseru kaget dan marah ke arah Yoga. "Heii..!! S-siapa.. Dor, dor, ... Dorr..!! Namun rentetan tembakkan dari para anak buah Yoga langsung menjawab, dan menembus tubuh ketiga pengendara motor yang mengawal mobil pengangkut itu. "Ahkss..!!" Brugh..! ... Brugh..! Ketiga security pengawal itu pun ikut tewas
"Hebat Mas Iwan. Kalau begitu Mas Iwan akan Lidya tempatkan di divisi pengawasan anggaran proyek saja ya. Jadi Mas Iwan bisa langsung terjun ke lapangan proyek nantinya," jelas Lidya. "Terimakasih Mbak Lidya. Saya siap ditempatkan dimanapun itu. Saya akan mencurahkan seluruh daya, kesetiaan, dan kemampuan saya pada perusahaan Mbak Lidya. Dan saya berterimakasih sekali atas bantuan dan pertolongan Mbak Lidya dan Mas Bimo. Rasanya sampai mati pun, saya tak akan bisa membalas hutang budi saya pada kalian berdua," ucap Iwan, dengan suara serak penuh rasa haru dan terimakasih. "Tak perlu terlalu dipikirkan Mas Iwan. Besok datanglah dengan membawa CV Mas Iwan ke kantor saya. Temuilah kepala personalia di sana. Ini kartu saya, perlihatkan saja pada kepala personalia. Selanjutnya Mas Iwan tinggal ikuti saja arahannya ya," ujar Lidya, ikut merasa terharu dan senang mendengar ucapan Iwan. "Benar Mas Iwan. Tak perlu terlalu dijadikan beban pikiran. Hanya saja, jika melihat orang disekitar M
"Hahh..! K-kamu punya perusaahaan..?!" sentak terkejut Hesti, seolah tak percaya. Ya, walau memiliki sebuah perusahaan ternama, penampilan Lidya memang terkesan biasa saja. Lidya memang tak suka menunjukkan perhiasan atau pun gemerlap pakaian, yang biasa dikenakan oleh orang-orang kelas elite. Padahal jika Hesti dan Darma berkesempatan melihat semua perhiasan yang dimiliki Lidya di lemari koleksinya. Niscaya mata mereka akan katarak dan buta seketika..!Karena saking berkilau, langka, dan banyaknya koleksi perhiasan Lidya..! "T-tapi perusahaannya harus ternama. Minimal kami mengenalnya Lidya..!" seru gagap Hesti, tak mau menyerah begitu saja. "Ayah..! Kenapa Ayah mempermalukan Tari di depan orang-orang..?! Tari bukan barang dagangan, Ayah..!" sentak Tari, yang merasa malu sekali, terhadap prilaku kedua orangtuanya. Di depan Iwan dan kedua pendampingnya itu. "Kamu diam dulu Tari..! Ini untuk kebaikkanmu sendiri, dan juga nama baik keluarga..!" hardik Darma, seraya membelalakkan mat
'Ahh..! Mas Bimo, Mbak Lidya..! Sebegitu besar bantuan kalian padaku..!' bathin Iwan tersentak kaget penuh keharuan. Dia pun menatap Bimo dan Lidya bergantian, dengan sepasang mata beriak basah. Dengan diam-diam Bimo menepuk pelan punggung Iwan, untuk mengisyaratkan agar Iwan tetap tenang dalam pembicaraan itu. Dan Iwan pun memahami isyarat menenangkan dari Bimo itu. "B-baik..! Kami akanmenghitung uang itu nanti," ujar Hesti seraya beranjak dari kursinya, hendak memanggil putrinya. Ya, Tari akhir-akhir ini memang lebih senang mengurung diri di kamarnya. Setelah peristiwa kekasihnya yang dipermalukan oleh kedua orangtuanya itu. Tok, tok, tok..! "Tari..! Keluarlah sebentar, ada tamu yang ingin bertemu denganmu Nak..!" seru sang ibu, setelah mengetuk pintu kamar Tari. Namun Tari yang berada dalam kamar itu merasa sangat enggan, untuk menyahuti seruan ibunya itu. Tari tetap tenggelam dalam lamunan dan kesedihannya. Dia tak ambil peduli dengan panggilan ibunya itu. Ya, perasaan Tari