1. Kita menikah hanya satu tahun saja. Di masa itu, pihak pertama maupun kedua, boleh mengajukan perceraian apabila dalam jangka waktu tersebut, salah satu diantara mereka merasa tidak nyaman dengan hubungan ini.
2. Setelah menikah, masing-masing pihak tidak boleh KEPO dan ikut campur dengan urusan pasangan.3. Tidak ada yang namanya melayani dan dilayani.4. Tidak ada hubungan suami istri.5. Tidak melakukan hubungan suami istri.6. Harus pisah kamar, biar tidak ada hubungan suami istri.7. Tidak ada skinship, cuddle, dan apapun itu.Gilang menaikkan gagang kacamata minusnya usai membaca surat perjanjian pranikah yang Arella berikan padanya beberapa saat lalu. "Point 4-6 kenapa isinya mirip?""Ya buat mempertegas kalau aku nggak mau kita sampai melakukan hubungan seks," pungkas Arella."Tapi kita kan udah nikah, harusnya itu normal.""Itu kan menurut lo! Menurut gue enggak, Gilang! Deket ama lo aja gue malas apalagi sampai berhubungan badan. Yang bener aja?" Arella mengerutkan keningnya. Raut wajahnya sangat menunjukkan ketidaksukaannya pada Sang calon suami."Apa yang bikin kamu jijik?""Penampilan lo itu kampungan! Mana nafsu gue ngeliat lo!"Gilang mengatupkan bibirnya. Arella kalau bicara memang suka tidak di filter sepertinya."Emang yang bikin kamu nafsu cowok yang kayak gimana?" tanya Gilang dengan wajah tak berdosa.Sementara Arella agak syok ketika Gilang bertanya semacam itu kepadanya. "Yakin lo mau tau?"Pemuda dengan rambut klimis itu mengangguk."Gue bakal kasih tau tipe cowok kesukaan gue, tapi—" Arella sengaja berhenti bicara untuk beberapa saat supaya Gilang penasaran. "Tanda tanganin dulu itu perjanjian. Baru gue kasih tau gimana tipe cowok yang gue mau."Gilang menghela nafas panjang. Terlihat jelas jika Arella sedang ingin mempermainkan dirinya. Tapi ia hanya diam dan mengambil pulpen yang Arella sodorkan tanpa banyak bicara."Aku boleh tambahin beberapa point nggak?"Arella menciptakan kedua kelopak matanya. "Buat apa?""Biar adil aja."Gadis cantik dengan kulit putih itu terlihat berpikir keras. Menimbang-nimbang apakah ia harus menyetujui permintaan Gilang atau tidak."Ya udah. Buruan tulis!" titah Arella pada akhirnya.Gilang kembali membenarkan posisi kacamatanya sebelum menuliskan sesuatu di kertas berwarna putih tersebut. Entah apa yang dia tulis di sana, namun Arella terlihat sabar menunggu Gilang menyelesaikan pekerjaannya. Walaupun dia merasa sedikit was-was."Eh— tunggu!" sela Arella begitu melihat Gilang ingin tanda tanga di atas materai. "Gue mau liat apa yang lo tulis."Pemuda berkemeja kotak-kotak tersebut menyerahk kertas itu kembali ke pemiliknya. "Silahkan."Tatapan Arella tampak awas. Dia membaca beberapa point tambahan dengan hati berdebar.8. Selama di area rumah, Arella harus patuh pada setiap ucapan suaminya.9. Jam 10 sudah harus sampai di rumah tidak peduli apapun alasannya.10. Tidak boleh membawa teman lawan jenis."Nggak susah kan?"Suara Gilang membuat fokus Arella sedikit buyar. "Point nomor 8 apa maksudnya? Emang lo mau nyuruh gue apa? Masak? Beres-beres? Gue nggak mau kalau harus ngelakuin itu semua. Gue kan bukan babu lo!""Enggak kok. Soal itu aku bisa kerjain sendiri pas pulang kerja. Aku cuma minta kamu nggak banyak ngebantah kalau semisal kamu salah.""Kalau yang menurut lo salah, tapi di mata gue bener gimana? Kan nggak adil nakanya?""Adil-adil aja sih sebenernya. Toh aku juga nggak protes kan waktu kamu nulis point 4 sampai 7? Padahal itu tugas wajib istri," tukas Gilang tak mau kalah.Arella menelan ludah. Dia pikir akan mudah untuk membodohi Gilang. Tapi rupanya dia salah."Oke. Deal."Gilang melakukan kepalanya sebelum meminta kembali kertas yang tadi di pegang oleh Arella. Tanpa banyak bicara mereka berdua memutuskan untuk menandatangani surat perjanjian tersebut."Huuh, sekarang gue bisa lega," tutur Arella.Gilang memperhatikan wanita itu dalam diam. Bahkan cara minum Arella pun tak luput dari penglihatannya. "Kamu nggak pesen makanan?""Enggak. Gue nggak laper," balas Arella. "Kalau lo mau pesen makanan, pesen aja sana! Tapi lo bayar sendiri.""Aku juga nggak ada niatan buat minta traktir kok."Arella berdecih. Matanya menatap nyalang ke arah Gilang yang baru saja memanggil waiters untuk memesan makanan."Kamu yakin nggak mau pesen?" Gilang menatap perempuan yang akan menjadi calon istrinya itu, untuk memastikan apakah Arella ingin memesan sesuatu. "Nggak usah khawatir, aku yang bayar kok."Arella mendengkus. Ia merasa kesal dengan nada bicara Gilang yang terkesan sombong. Padahal, kalau makanan seperti itu ya juga bisa membelinya sendiri."Beneran kamu yang bayar?""Hm.""Okey... Minta tolong buku menunya dong Mbak," pinta Arella pada Sang waiters.Kedua manik indah Arella langsung menyusuri satu persatu menu yang ada di buku. Mencari makanan apa yang paling mahal di cafe tersebut."Aku pesan ini, ini, dan ini," ucap Arella sambil menunjuk gambar Steak Sandwich, Roasted baby chicken, dan Wakame tuna salad. Menu termahal di caffe tersebut.Gilang memperhatikan Arella tanpa banyak bicara. Saya sedang mengikuti apapun itu yang dilakukan oleh calon istrinya."Minumannya Nona?""Lemon tea aja. Less ice ya.""Baik Nona. Saya ulangi pesanannya ya..." Saat Sang waiters sibuk membacakan pesanan mereka, Arella dan Gilang justru saling melempar pandangan satu sama lain."Aku baru tau kalau makan kamu banyak juga," celetuk Gilang."Kenapa? Lo takut nggak bisa bayar?" sindir Arella. "Padahal itu baru makan siang, nanti kalau kita nikah, lo harus ngebiayai semua kebutuhan gue.""Aku lebih mikir ke mubazir aja.""Ya tinggal buang aja kan? Kayak orang susah aja.""Diluar sana masih banyak yang kekurangan makanan.""Bodoh amat." Arella memutar kedua bola matanya dan bersikap acuh. Mana peduli dia dengan ucapan Gilang."Silahkan Tuan, Nona, makanannya."Tapi belum selesai pramusaji menata makanan itu di atas meja, Arella malah berdiri dan bersiap untuk pergi."Kamu mau ke mana?" tanya Gilang sambil memandang perempuan cantik itu."Aku mau pulang.""Terus ini?""Lo aja yang makan," balas Arella sambil tersenyum jahil.Gilang menghela nafas panjang. Sudah dia duga jika akan begini akhirnya. Dibalik kacamata minusnya Gilang menatap tajam ke arah Arella yang beranjak pergi dan semakin menjauh dari mejanya. Dia bukannya tidak punya uang untuk membayar, tapi diankirang suka dengan sikap Arella yang main-main dengan makanan.Sementara Arella sendiri, bukannya langsung pergi dari sana tapi sibuk mengintip melalui jendela caffe hanya untuk melihat reaksi Gilang setelah kepergiannya. Wajah lesu pemuda itu membuat Arella merasa puas."Rasain lo, gue kerjain. Abis, sok-sok'an mau traktir. Dasar cowok cupu!" Arella tertawa puas. Iya puas— puas karena sudah berhasil mengerjai, Gilang si calon suaminya.Harap-harap, setelah ini pemuda itu kapok, dan mundur untuk mendekatinya.Dua bulan berlalu begitu cepat. Tidak terasa hari pernikahan Arella dan Gilang tiba juga. Semua keluarga sudah berkumpul di aula untuk melakukan ijab kabul.Gilang masih setia dengan kacamata minus berbingkai hitam miliknya sudah siap di depan penghulu serta calon mertuanya. Dia sudah dikelilingi saksi dari kedua belah pihak untuk mengucap akad nikah. Pria itu terlihat gagah dengan pakaian adat Jawa lengkap.Sementara mempelai wanita alias Arella, dia masih berada di dalam kamarnya dan baru boleh keluar setelah akad nikah selesai.Gadis itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya kutu baru warna putih dengan hiasan payet di sana sini serta kain jarik warna coklat sebagai bawahan membuat ia tampak anggun bak bangsawan kerajaan. Riasan makeup paes dan lipstik warna merah yang memberikan kesan dewasa. Dia begitu cantik dengan rambut disanggul dan hiasan bunga melati."Ini pengantinnya kenapa? Kok dari tadi cemberut terus?"Arella menoleh ke arah sang Mama yang sejak tadi berada d
"E-elo?! Elo ngapain di sini?"Arella kaget bukan main. Dan itu karena Gilang berada di kamarnya. Kamar pribadinya."Kenapa? Ini kan kamar pengantin?" Gilang sedang melepaskan baju pengantinnya, menatap Arella dengan wajah tanpa dosa."Yang bener aja lo!" Gadis berkebaya warna putih itu langsung menerjang masuk ke dalam dan mendorong dada Gilang. "Ini itu kamar gue! Seenaknya aja lo masuk ke sini!""Orang tua kamu yang nyuruh aku ke sini.""Keluar lo dari sini!" Bentak Arella. "Lo lupa isi perjanjian isi kita waktu itu?""Terus aku harus tidur di mana?" tanya pemuda berkaca mata minus itu. "Lagipula, Apa kamu nggak bingung, kalau seandainya orang tua kamu nanya kenapa kita pisah ranjang?"Pertanyaan Gilang barusan membuat Arella tertampar kenyataan."Tapi gue males kalau harus sekamar ama lo!""Ya mau gimana lagi, kan ini udah konsekuensi."Arella mendengkus. "Tapi lo tidur di lantai!"Gilang menghela nafas dan mengangguk. "Okey."Gadis yang masih dibalut pakaian pengantin itu akhirnya
Kalau bukan karena cahaya matahari yang masuk ke sela jendela kamarnya. Mungkin sekarang Arella masih tertidur nyenyak di balik selimut tebalnya. Tapi karena itu semua, dia terpaksa bangun dan mengecek kondisi sekitarnya.Yap— dia hampir lupa kalau semalam sudah melangsungkan pernikahan dan sekamar dengan Gilang. Tapi, ketika dia bangun pagi ini, cowok itu ternyata sudah tidak ada di kamarnya.Namun, yang lebih penting dari itu adalah—"Huuft, aman. Gue pikir dia ngapa-ngapain gue semalem," ucapnya diiringi helaan nafas lega, ketika melihat pakaiannya yang masih utuh.Arella menekuk kedua lututnya dan duduk bersila. Ia memandangi langit biru dari jendela kamarnya dan menghela nafas. "Padahal hari ini cerah banget, tapi kok hati gue ngerasa pedih ya? Kayak ada sesuatu yang bikin sedih, tapi nggak tau apa."Kedua manik gelapnya menyendu. Dia bingung kenapa mendadak jadi melow begini. Seperti akan ada sesuatu yang membuatnya merasa sedih."Kamu mau ajak Arella pindah ke apartemen sekaran
"Elo itu cowok paling nyebelin di dunia," tukas Arella sambil memegangi kepalanya. "Dan sialnya, gue orang jadi orang paling malang di dunia gara-gara nikah ama lo.""Tapi itu kan pemikiran kamu sendiri. Mungkin orang lain beranggapan sebaliknya?""Nggak mungkin. Teman-teman gue aja heran karena gue nikah ama cowok se-cupu elo."Gilang masih fokus menatap jalanan di depannya. Capek juga beradu argumen dengan Arella yang super keras kepala."Kapan sih kita sampai? Gue capek pengen istirahat?""Bentar lagi.""Bentar-bentar doang! Bosen tau!"Dengan tangan kanan yang masih memegang setir, Gilang mengeluarkan sesuatu dari kantung depan kemejanya. "Ini."Arella mengerutkan keningnya ketika Gilang menyodorkan sebuah lolipop rasa jeruk padanya. "Lo pikir gue bocil apa?""Nggak ada batasan umur kalau mau makan permen."Gadis itu menghela nafas panjang. Ia sahut lolipop itu dari tangan Gilang bukan untuk memakannya. Tapi melemparkannya ke luar jendela mobil dengan wajah murka. "Dari sini gue m
Tok Tok TokArella mendengkus keras. Baru juga ingin santai sendirian, tapi Gilang sudah mengedor pintunya berulang kali. "Apa sih?" sentak Arella saat baru membuka pintu."Kamu mau di pesenin makan malam?" tanya Gilang dengan nada yang cukup sabar."Enggak usah! Gue kalau laper bisa beli sendiri kok.""Sekalian aja nanti pesennya.""Ya suka-suka gue! Siapa yang lo yang bisa ngatur-ngatur."Gilang menghela nafas panjang karena bentakan sang istri. "Ya udah. Terserah kamu."Arella menyipitkan matanya sebelum berkata, "Udah ya! Awas kalau lo gangguin gue lagi. Gue bakal cabut dari rumah ini.""Dan satu lagi! Selama lo masih ada di rumah gue nggak bakalan pernah keluar dari kamar ini kecuali dalam hal yang mendesak!""Kenapa kayak gitu Rel?""Karena gue benci banget sama lo! PAHAM!!"Gilang baru saja buka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Arella lebih dahulu menutup pintu dengan cukup keras. Mengabaikan suaminya yang masih berdiri di sana.***Sekarang masih pukul 5 subuh. Gilang sudah
"Ini kan?"Arella cukup kaget saat melihat isi paket yang baru saja dia dapatkan. Di mana di dalamnya terdapat canvas, cat air, palet cat, dan beberapa benda untuk keperluan melukis."Kenapa Gilang beli ginian?" tanya Arella pada dirinya sendiri. "Apa ini buat gue?"Arella memang suka melukis. Biasanya gadis itu menghabiskan waktu luangnya untuk menggambar apa saja yang dia sukai.Tapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana Gilang tau kalau dia menyukai hobby yang satu ini?"Apa gue telfon aja si Gilang?" pikirnya lagi. "Gue penasaran banget ama alat-alat ini beneran buat gue atau enggak."Setuju dengan idenya, Arella pun mengambil handphone miliknya untuk menelfon sang suami. Tapi belum sempat ia melakukan itu, Gilang lebih dahulu menelponnya. Pria itu seperti sudah dapat feeling kalau dia sedang membutuhkan kejelasan dari Gilang.["Halo, Assalamu'alaikum."] Gilang menyapa dari line seberang."Gilang elo—"["Jawab dulu dong salamnya!"]Arella berdecih. Padahal dia mau langsung to the poin
Sekitar pukul 8 malam, Gilang kembali ke apartement miliknya. Suasana di tempat itu begitu sepi. Hanya terdengar suara dari Air Conditoner yang berada di tengah ruangan."Assalamu'alaikum, Rel. Aku udah pulang nih." Gilang berteriak memanggil istrinya. Sambil duduk di ruang tamu, ia mulai mencopot sepatu kerjanya dan menaruhnya ke rak dekat pintu masuk.Ia melihat sekeliling, tak ada penampakan istrinya di manapun. "Apa Arella udah tidur ya?" tanyanya pada diri sendiri.Pemuda itu menyingsingkan lengan kemejanya. Lalu berjalan ke arah kulkas untuk mengambil air dingin. Ia melihat beberapa piring bekas makan Arella yang terletak di wastafel. Tidak hanya itu, ada juga panci bekas mie yang sepertinya baru selesai di gunakan.Pemuda berkacamata minus dengan bingkai hitam itu tidak marah sama sekali saat tau jika Arella tidak membereskan itu semua. Dia justru merasa lega karena istrinya sudah makan malam walaupun mereka tidak bisa makan berdua.Selesai mencuci piring, Gilang berniat untuk l
"Hari ini kamu ada rencana apa?"Arella menatap dingin ke arah suaminya. Dia muak sekali ditanya-tanya seperti bocah."Kalau emang mau pergi, usahakan bilang dulu ya! Biar aku nggak khawatir," sambung Gilang karena sang istri tidak kunjung memberikan jawaban.Arella meletakkan gelasnya dengan kasar, lalu mendekati Gilang. Ia tarik kerah kemeja pria itu sebelum berkata, "Dari awal gue udah bilang ke elo, buat berhenti buat ikut campur segala urusan gue. Jadi sekali lagi lo banyak aturan kayak tadi, gue nggak akan segan-segan pergi dari rumah ini," ucap wanita itu dengan tegas.Gilang hanya diam saja. Ia menatap balik wajah wajah perempuan itu dari balik lensa kacamatanya. Bukannya Gilang takut pada Arella, tapi pemuda itu terlalu malas untuk menanggapi kemarahan dengan kemarahan."Lo paham kan?!""Hm," balas Gilang menyerupai gumaman. "Ya udah, ayo makan sama-sama.""Aaarghhh!" Arella berteriak frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Tinggal bersama Gilang cuma memberikan dua efek pada
Arella mencoba menggerakkan tangannya yang terikat, tapi sia-sia. Gesper yang digunakan Gilang terlalu kuat untuk dilepaskan. Matanya semakin memerah karena ketakutan dan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya. "Gilang, lepasin gue! Lo gak bisa ngelakuin ini!"Gilang menatapnya dengan tatapan dingin, "Kamu yang memulai ini semua, Arella. Sekarang, kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu ucapkan.""Tanggung jawab apaan? Gue gak ada hubungan sama lo selain perjodohan sialan ini!" Arella berteriak, mencoba menggertak meski di dalam hati ia benar-benar ketakutan."Perjodohan atau bukan, kamu adalah istriku," Gilang membalas dengan tegas. "Dan aku berhak atas kamu."Arella mendesah kesal, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang menakutkan ini. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, Gilang sudah melepaskan kemejanya, memperlihatkan tubuh berototnya yang selama ini tersembunyi di balik pakaian rapi. Arella tertegun sejenak, tidak menyangka bahwa di balik penampilan cupu s
"Kenapa kamu bahas itu lagi? Kamu masih gak terima?""Aku khawatir Arella."Pffft—Arella tertawa cukup keras usai mendengar penuturan Gilang. "Gak usah repot-repot Gilang! Gue bisa jaga diri.""Jaga diri gimana? Kamu aja gak bisa apa-apa saat Anton hampir memperkosa kamu," tukas Gilang dengan nada begitu sinis."Ya udah, biarin aja Anton mau ngapain juga. Toh gue juga udah gak perawan," balas Arella dengan santainya.Gilang tersentak. Pandangan matanya menajam seketika itu juga. Ia memandangi sang istri yang melipat kedua tangannya di dada, menelaah apakah Arella sungguh-sungguh dengan ucapannya."Kenapa? Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Lo pasti mikir kalau gue ini masih perawan, ya kan?" Arella kembali tertawa. "Gilang... Gilang... Jaman sekarang mana ada si perempuan yang benar-benar masih perawan, apalagi cewek macem gue yang yaaah— lo tau sendiri kan gimana pergaulannya."Gilang masih diam saja. Menyimak apapun yang keluar dari bibir istrinya."Makanya, dari awal gue minta lo
"Sayang... Sini! Ayo peluk aku! Lakuin apapun sesuka kamu. Aku rela ngasih keperawananku buat kamu, Sayang."Tubuh Gilang meremang. Belaian jemari Arella pada Juniornya membuat sekujur tubuhnya merinding."A-Arella hentikan! Kamu mabuk!""Gak! Aku nggak mabuk. Aku sadar sama apa yang aku lakuin!" Arella memeluk Gilang, sementara lututnya ia sematkan di antara kedua kaki sang suami."Sadar Arella!""Udahlah sayang, kamu jangan nolak! Cuma cara ini yang dapat kita lakukan agar Mama dan Papa gak misahin kita." Arella mengusap pipi Gilang."Ayo hamili aku! Buat aku mengandung anak kamu! Supaya aku gak jadi nikah sama si cupu itu!""Arella! Sadar!""Sakti sayang... Please... Ayo kita ngelakuin itu. Aku udah siap ML sama kamu."Haaah!!!Gilang mengunggar rambutnya dengan gusar. Masih terbayang-bayang bagaimana wajah sayu Arella ketika menggodanya semalam. Walaupun gadis itu sedang mabuk dan dalam kondisi memikirkan orang lain, tapi tetap saja sebagai lelaki normal Gilang hampir saja memanfa
"Kleeek"Gilang yang sedang membuat sarapan, cepat-cepat memakai kacamatanya saat melihat suara pintu kamar terbuka. Ia sudah tau siapa yang keluar dari kamar dan berjalan mendekatinya. Siapa lagi kalau bukan Arella."Oi."Pemuda itu menoleh. Bersikap cupu di depan Arella yang sepertinya masih sedikit hangover."Kamu— baru bangun.""Lo yang ganti baju gue?" Itulah pertanyaan yang pertama kali Arella ajukan. "Lo gak macam-macam kan kemarin pas gue mabuk?" sambungnya."Iya, aku yang gantiin baju kamu. Tapi kamu gak usah khawatir, aku—""Ya sih, gue tau lo gak akan aneh-aneh, lagian apa sih yang bisa cowok cupu lakuin," sindir Arella. "Lo aja gak berani natap gue pas lagi ngobrol, apalagi aneh-aneh."Gilang meremas gagang spatula yang dia gunakan untuk memasak nasi goreng. Pria 30 tahunan itu mendengkus dan pura-pura tidak mendengar ucapan istrinya."Kemarin— apa aja yang terjadi?"Lirikan mata Gilang tertuju pada sang istri yang baru saja selesai menegak minumannya. "Lo gak buat onar di
"Sayang..."Gilang tersentak kecil saat sepasang lengan tiba-tiba merangkul perutnya dengan mesra. Ia melihat ke arah cermin. Di belakangnya ternyata sudah ada Arella sebagai pelaku pemelukan tersebut."Arella, kamu—""Sayang, aku kangen. Kamu ke mana aja? Kenapa perginya lama banget, um?"Gilang memperhatikan sang istri. Dilihat dari kondisi sekarang ini sepertinya gadis itu masih dalam pengaruh alkohol."Sayang..." Panggil Arella lagi, matanya masih terpejam dan pipinya di penuhi semburat kemerahan. "Sakti sayang, aku kangen banget sama kamu."Lagi-lagi Gilang dibuat tak bergeming ketika mendengar Arella menyebut nama pria lain."Sakti? Siapa itu Sakti?" pikirnya penasaran.Pemuda itu kembali memakai kacamatanya dan berbalik. Ia memegangi pipi Arella yang masih sempoyongan."Arella, sadar! Aku bukan Sakti! Aku Gilang.""Sakti sayang..." Arella tak merespon ucapan Gilang. Dia justru kembali merangkul pundak suaminya itu sambil meracau. "Sayang, kenapa kamu pergi? Apa kamu gak cinta la
"Sialan!" maki Anton kesal. " Berani-beraninya lo nonjok gue!" Anton menarik kerah kemeja Gilang hingga keduanya sama-sama berdiri dan saling berhadapan. Pemuda itu tampak tidak gentar walaupun lawannya adalah Gilang yang jelas-jelas lebih tua darinya."Lo yang sialan!" desis Gilang balik. Sorot matanya yang tajam seperti belati yang siap menusuk Anton kapan pun dia inginkan. "Mau lo apain istri gue, hah?!" serah Gilang sembari mencengkram balik bagian depan baju yang Anton gunakan."Nggak pantes lo nyebut Arella istri, lo aja nggak pernah dia anggep sebagai suami."Bugh!Gilang meninju pipi Anton. Pun sebaliknya. Anton meninju rahang Gilang dengan keras hingga kacamata minus Gilang jatuh dan terlempar entah ke mana."Brengsek!" maki Gilang. Ia nyaris saja maju dan kembali saling serang, jika saja Yudha dan teman-teman Anton tidak datang dan menghalau keduanya. "Jangan ikut campur, brengsek! Emangnya lo siapa sok tahu banget sama urusan kita.""Kenapa? Arella sendiri yang bilang kalau
["Gilang, ini istri lo kan?"]Baru saja Gilang mendapatkan info dari satpam apartemen jika unitnya kosong. Tak berapa lama kemudian, teman kantornya alias Yudha juga ikut mengirimnya gambar seorang wanita bergaun hitam tengah berada di sebuah klub malam.Tanpa banyak omong, Gilang langsung menelpon Yudha dan bertanya mengenai detail yang sebenarnya."Lo liat Arella di mana?" Tanpa banyak basa-basi, Gilang langsung bertanya mengenai keberadaan istrinya ketika Yudha baru selesai menelponnya.["Di club X ama beberapa orang sih."]"Cowok apa cewek?"["Cowok cewek."]"Gue OTW ke sana, tolong lo awasin dia bentar."["Eh tunggu! Jadi dia beneran istri—"]Gilang mematikan ponselnya bahkan sebelum Yudha selesai bertanya. Kening Gilang berkerut dalam. Rahangnya mengeras. Tanda jika dia sedang kesal."Lo bener-bener keterlaluan, Rel."Gilang meraih kunci mobilnya dan bergerak turun ke bawah menuju basement. Mungkin Gilang bisa maklum jika Arella pergi atas ijinnya. Tapi sayangnya, gadis itu meng
Setelah beberapa waktu berpikir, akhirnya Arella mengambil sebuah dress selutut warna hitam. High heels warna senada dan juga tas jinjing kecil. Masih banyak waktu sampai nanti malam. Jadi dia bisa istirahat sebentar dan bersiap setelah tidur siang.Sekitar jam 6 petang, gadis cantik itu pun pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Bahkan setelahnya Arella tidak lupa untuk menstiyling rambutnya agar kelihatan rapi. Ia sudah final untuk memakai gaun yang tadi.Dia tidak mau orang-orang beranggapan jika dia tidak bisa mengurus diri setelah menikah.Pukul 8 tepat. Arella sudah otw ke tempat janjian dengan taksi. Seperti yang sudah di tentukan mereka bertemu di club malam. Dia bersyukur Gilang belum sampai rumah hari ini. Jadi dia bisa kabur tanpa harus adu mulut dengan suaminya yang kurang pergaulan itu."Bagus deh si Gilang belom nyampek rumah. Bisa ngoceh dia kalau tau gue pergi," gumam Arella dalam hati.Tapi— entah Gilang memang panjang umur atau apa, tiba-tiba saja cowok itu mengir
"Hari ini kamu ada rencana apa?"Arella menatap dingin ke arah suaminya. Dia muak sekali ditanya-tanya seperti bocah."Kalau emang mau pergi, usahakan bilang dulu ya! Biar aku nggak khawatir," sambung Gilang karena sang istri tidak kunjung memberikan jawaban.Arella meletakkan gelasnya dengan kasar, lalu mendekati Gilang. Ia tarik kerah kemeja pria itu sebelum berkata, "Dari awal gue udah bilang ke elo, buat berhenti buat ikut campur segala urusan gue. Jadi sekali lagi lo banyak aturan kayak tadi, gue nggak akan segan-segan pergi dari rumah ini," ucap wanita itu dengan tegas.Gilang hanya diam saja. Ia menatap balik wajah wajah perempuan itu dari balik lensa kacamatanya. Bukannya Gilang takut pada Arella, tapi pemuda itu terlalu malas untuk menanggapi kemarahan dengan kemarahan."Lo paham kan?!""Hm," balas Gilang menyerupai gumaman. "Ya udah, ayo makan sama-sama.""Aaarghhh!" Arella berteriak frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Tinggal bersama Gilang cuma memberikan dua efek pada