Sophia dan Albert kembali ke rumah sambil bergandengan tangan. Saat itu waktu sudah cukup sore, mereka memutuskan untuk kembali setelah lama mengobrol dan persediaan makanan yang mereka bawa hampir habis.Albert masih menjadi bagian yang membawa keranjang piknik, sedangkan Sophia membawa selimut yang dia lipat secara tidak beraturan, memeluknya di dada.Sophia tidak kuasa mengangkat wajahnya dan sepanjang perjalanan dia menunduk menatap ujung kakinya yang melangkah.Apa yang terjadi hari ini, tidak akan pernah Sophia lupakan sampai kapan pun. Dia akan terus mengingatnya mungkin sampai dia menjadi nenek-nenek nanti.Momen mereka hari ini terlalu… berharga. Terlebih bagi Sophia.Sophia ingin terus mengulang-ulang setiap detik yang terekam di ingatannya sepanjang waktu. Merayakan perasaan bahagia ini pada waktu tertentu di masa depan.Ini bukanlah pertama kalinya Albert menggenggam tangan Sophia, tapi ini mungkin adalah pertama kali bagi Sophia menikmatinya. Tangan Albert sangat besar di
“Jadi, apa jawabanmu?” tanya Albert.Sophia menatapnya bingung. Jawaban dari pertanyaan mana yang Albert maksud?“Apa?”“Tentang pertanyaanku sebelumnya, ‘Apa yang akan kau berikan padaku sebagai imbalan kalau aku menggambarmu?’,” jawab Albert.Sophia tampak tercengang. Dia ingat Albert bertanya begitu padanya tadi, tapi karena sentuhan-sentuhan menggoda lelaki itu yang menyertai pertanyaannya, Sophia jadi tidak bisa fokus sama sekali.“Kau… mau menggambarku?”Albert tersenyum penuh arti.Oh, seandainya Sophia tahu. Bahwa suaminya itu memiliki banyak koleksi kertas gambar yang diisi wajahnya. “Hm,” jawab Albert singkat, memutuskan untuk tidak memberitahu Sophia apapun tentang itu.“Ng… aku harus melihat dulu hasilnya, baru aku akan berpikir tentang imbalannya.”“Itu tidak adil, tapi juga terdengar seperti sebuah tantang,” kata Albert. “Baiklah, aku setuju.”“Oke.”Mereka sama-sama terdiam setelahnya.Sophia merasa begitu canggung. Padahal sebelum-sebelumnya dia selalu tampil tegas da
“Apa kau mabuk, Luke?” tanya Sophia.Luke tertawa. “Kenapa kau berpikir begitu?” Lalu terdengar suara cegukan.“Karena kau terdengar lebih menjengkelkan. Sudah ya. Selesaikan dulu acara minum-minummu. Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan semua omong kosongmu.”Sophia hendak memutus panggilan tersebut, namun dia mendengar suara rengekan seperti anak kecil di seberang sana yang membuat tangan Sophia terhenti.Luke menggumamkan kata-kata yang Sophia tidak dapat dengar dengan jelas.“Luke, kau mabuk berat. Sebaiknya kau menelepon asistenmu atau siapapun untuk menjemputmu dan membawamu pulang.”“Ngh, kenapa tidak kau saja?”“Apa?”“Aku ingin kau yang menjemputku.”Seperti yang Sophia bilang, Luke menjadi lebih menjengkelkan saat lelaki itu sedang mabuk.“Aku sibuk. Jadi aku tidak akan melakukannya. Telepon asistenmu!”“Tapi aku mau kau!”“Kalau kau tidak mau menelepon asistenmu, aku yang akan melakukannya. Berapa nomor teleponnya?”“Aku mau kau, Sophia! Datanglah, please…!”Sophia lagi
Sophia tahu bahwa apa yang tengah dia lakukan sekarang adalah keputusan yang bodoh. Untuk apa dia pergi menjemput Luke Abraham? Berputar-putar di kota, meloncat ke satu bar ke bar yang lain. Menghadiri keramaian yang sangat dibencinya. Mendapat satu dua godaan dari pria-pria hidung belang.“Ini gila,” erang Sophia di dalam taksi yang tengah melaju lambat di jalanan yang padat.‘Satu lagi,’ batinnya. Kalau bar yang satu ini dia tidak menemukan orang yang dicarinya, maka Sophia akan pulang. Pasti akan ada seseorang yang mencari pria itu nanti.“Oh, kenapa aku tidak memikirkan ini tadi?” Sophia lagi-lagi bergumam pada dirinya sendiri.Tentu saja bakal ada orang yang mencari Luke. Karena dia adalah seorang Abraham.Sophia memarahi dirinya sendiri yang terlalu cepat mengambil keputusan. Sekarang dia sendiri yang menyesal dan lelah dengan keputusan yang diambilnya.Namun, sekalipun begitu, Sophia begitu lega saat menemukan kakak lelakinya itu berada di bar yang terakhir dia datangi. Luke te
“Luke!” Sophia buru-buru menjauh dari Daniel, tidak sempat mencerna apa yang terjadi, dia segera membantu kakak lelakinya bangkit.Daniel menghela napas melihat wanita di hadapannya yang tampak begitu kesusahan. Maka Daniel pun memutuskan untuk membantunya, memapah tubuh Luke Abraham di bahunya yang tentu saja jauh lebih kokoh ketimbang bahu kecil milik Sophia.“Ayo!”Saat Daniel mengatakan itu, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Daniel memberikannya tatapan peringatan.“Aku akan berbicara denganmu nanti,” kata Daniel sebelum satpam itu sempat mengatakan apapun, seperti permintaan maaf karena sudah meninggalkan posnya.Daniel dan Sophia pun berhasil membawa Luke ke dalam salah satu kamar hotel, menidurkannya di ranjang yang nyaman di mana lelaki itu langsung tidak sadarkan diri sepenuhnya alias tertidur.Sophia menatap kakak lelakinya sekilas dan merasa terganggu melihat sepatu yang masih terpasang maka Sophia pun membukanya.Daniel yang melihat itu diam-diam merasa
Satpam yang tadi sempat dimarahi oleh Daniel, kini kembali dengan gelas kopi di tangannya. Kopi yang sama persis seperti yang tadi Daniel jatuhkan. Hanya saja, jumlahnya yang hanya satu membuat Daniel ragu untuk mengambilnya.“Kenapa, Tuan Mateo?” tanya si satpam.Daniel menoleh pada Sophia yang masih menunggu taksi, berdiri tidak jauh dari Daniel dan satpam itu bertemu.“Tidak ada. Terima kasih, Dean,” jawab Daniel, kemudian mengambil kopi itu dan berjalan lagi mendekati Sophia, berdiri di sampingnya sambil menyesap minumannya dengan khidmat.“Sepertinya kau harus menunggu sampai beberapa jam ke depan untuk mendapatkan taksi. Kalau begitu, kau akan pulang larut malam. Kecuali kau mau menerima tawaranku tadi,” kata Daniel.Sophia menoleh padanya, kemudian menggeleng. “Sebentar lagi,” balasnya, sembari mengusap bahunya yang terasa sedikit dingin.Daniel menyadari hal itu kemudian menyodorkan kopinya ke hadapan Sophia. “Kau mau?”“Apa kau serius menawarkan minuman yang sudah kau minum k
Sophia menatap Daniel bertanya, lalu tersadar akan sesuatu. “Ah ya, aku lupa! Terima kasih atas bantuanmu, Daniel. Kau benar-benar penyelamatku.”Sophia tidak bisa melupakan begitu saja bagaimana kerepotannya dia tadi dan merasa sangat lega seolah setengah bebannya terangkat saat melihat Daniel muncul di sana.“Ya, sama-sama,” jawab Daniel dengan sneyuman manis.Albert menatap dua orang itu secara bergantian, lalu berdecak kesal.“Oh, and for your information,” tukas Daniel, mendahului Albert yang juga hendak mengatakan sesuatu.“Apa?” tanya Sophia.“Aku dan kakakmu bertetanggaan. Mungkin kalau besok kau hendak datang menjenguknya, kau juga bisa sekalian mampir ke kamarku. Bagaimana?”Setelah mengucapkan itu, Daniel tidak bohong saat mengatakan bahwa belakang kepalanya terasa panas. Yang pasti berasal dari tatapan tajam pria di belakangnya.Sophia yang menyadari tekanan berat nan berbahaya dari dua orang itu segera menyela dengan melepas tangan Daniel dari lengannya, lalu menatap pria
Saat Albert terdiam, dia berpikir bahwa apa yang dirasakannya memang rasa cemburu. Lalu kenapa? Sophia adalah istrinya. Sebagai suami tentu saja Albert akan merasa seperti itu saat melihat sang istri bertemu dengan lelaki lain tanpa sepengetahuannya.Tapi hal yang sudah sangat jelas itu, masa Sophia tidak tahu dan harus bertanya?Karena harga diri Albert terlalu tinggi untuk mengaku, jadi dia tidak menjawab pertanyaan itu dan langsung membuang pandang ke luar jendela. Sebagai ganti, Albert merapatkan tubuh sang istri ke tubuhnya dan memeluknya erat.Gestur itu sudah cukup menjawab pertanyaan di benak Sophia, jadi dia tidak bertanya lagi dan membalas pelukan Albert sama eratnya.***Sophia memimpikan kejadian itu lagi. Api yang panas, asap yang membuat dada sesak, serta rasa sakit di sekujur tubuh, dan suara teriakan melengking seorang perempuan meminta tolong.Saat Sophia bangun, badannya dibanjiri peluh, tangan dan kakinya bergetar hebat. Albert tengah memeluknya sambil mengusap-usap