"Kau sudah gila!" Velicia menatap Alvin dengan wajah tak percaya
Namun, Alvin hanya menggerakkan kepala dengan tegas ke arah pintu keluar.
Velicia dengan kesal mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu melewati Renata yang masih berdiri di sana. Matanya begitu tajam menatap Renata. Pintu ruangan itu tertutup dengan keras, meninggalkan suasana yang tegang di udara.
Renata yang masih berdiri di dekat meja Alvin, merasa cemas dengan situasi yang baru saja terjadi. Dia melihat Alvin yang duduk dengan tenang, tanpa ekspresi."Dia selalu seperti itu," ucap Alvin dengan suara pelan, memecah keheningan yang terasa tegang.Renata mengangguk dengan penuh pengertian. "Saya yang salah Pak, harusnya tidak masuk."Alvin mengangkat tangannya dengan lembut, memberikan isyarat kepada Renata untuk diam. Renata menghentikan penjelasannya dan menatap Alvin dengan wajah penuh tanya."Kemari!" kata Alvin. Renata dengan perlahan berjalan menuju meja kerja Bosnya, "Saya ingin tahu kenapa bukan Arini yang mengantar berkas ini."Renata merasa agak gugup dengan tatapan Alvin yang intens. Dia menjawab dengan hati-hati, "Bu Arini sedang ikut meeting penting, jadi saya menggantikannya untuk mengantar berkas ini."Alvin terus menatap Renata dari atas sampai bawah, membuat Renata merasa agak risih. Dia berdiri di samping meja Alvin, mencoba menjaga sikap profesionalnya."Maaf Pak, apa ada yang salah?" Tanya Renata"Tidak ada." Alvin memalingkan wajahnya ke berkas di meja. Dia mengambil pulpen di mejanya dan menandatangani berkas itu.Setelah selesai menandatangani semua berkas berkas itu, Alvin menyodorkannya kembali ke Renata, "Ini, dan silahkan kembali bekerja."Renata meraih berkas itu, "Terima kasih Pak."Kemudian dia keluar dari ruangan Bosnya.
Sampai ke mejanya, ia melihat Arini berlari ke arahnya dengan wajah panik. "Kamu baik-baik saja kan?"
"Engh.. iya. Ada apa, Rin?" Renata bingung melihat Arini yang seperti ketakutan
"Aku lupa bilang sama kamu, kalau di dalam ruangan Pak Alvin ada tunangannya, harusnya kamu tidak masuk ke sana, ini salahku." Arini menepuk nepuk jidatnya Renata menahan tangan Arini, "Aku tidak apa-apa Rin.""Aduh kamu seperti itu, kalau salah-salah, kamu bisa dipecat sama tunangannya!" "Dipecat?" Renata mengerutkan dahi, bingung dengan hubungan tunangan Pak Addison dan pemecatannya.Arini sedikit membisik dengan yang kepala condong mendekat ke arah telinga Renata, "Pak Alvin itu sangat galak apalagi tunangannya itu, Bu Velicia, kalau sampai tahu kita bicara yang tidak-tidak tentang mereka, tamatlah riwayat kita." Perbincangan itu berhenti ketika terdengar pintu ruangan Pak Alvin terbuka.Arini langsung berjalan perlahan ke arah mejanya, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Begitu juga dengan Renata yang hanya memberi sedikit sapaan.
Alvin tampak menuju ke arah Ruangan meeting untuk bertemu klien terakhir di hari itu. Tapi anehnya, Renata diam-diam terus mengikuti sosok itu.
Sampai akhirnya, Alvin menatap Renata sekilas, mata mereka saling beradu. Renata merasa jantungnya berdegup kencang saat Alvin menatapnya.Tatapan itu seakan menghipnotisnya, membuatnya terpaku di tempat. Wajahnya memerah, dan ia merasa sedikit gugup.
Apakah Alvin melihatnya memandangnya? Apakah ia terlihat canggung?
Rena berusaha berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Ia berjalan perlahan ke arah mejanya, mencoba menenangkan diri.Namun, dalam hatinya, ia masih merasakan kegelisahan. Apa yang ada di pikiran Alvin saat itu? Apakah ia menyadari perasaan Rena yang tak sengaja terlihat?
Rena berusaha mengalihkan pikirannya dengan fokus pada pekerjaannya. Namun, setiap kali ia melihat ke arah ruangan meeting, bayangan wajah Alvin terlintas di benaknya.***Tanpa disadari kantor mulai sepi hanya tinggal Renata sendirian dengan tumpukan berkas di mejanya yang harus dia kerjakan. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam."Kenapa belum pulang?"Renata yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak menyadari bahwa Alvin sedang berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di belakang Renata.
Renata mendongakkan kepala, menatap Alvin yang tubuhnya yang dilapisi kemeja putih, dan bahunya yang tegap. Dua kancing kemeja atasnya dibuka memperlihatkan lehernya yang berurat dan jakunnya yang seksi. Kemeja bagian lengannya digulung hingga siku, menampakkan otot-otot besarnya yang menggiurkan.
"Hei, apa kamu bisu?" Alvin menggebrak meja Renata pelan"Ugh... ini, saya sudah mau siap siap pulang, Pak," Renata sedikit gagap menjawab pertanyaan itu.'Semoga dia gak sadar kalau aku ngeliatin dia tadi, ih amit amit' batinnya.
Renata segera membereskan mejanya dan bergegas menuju lift."Lama banget, sih!" gerutunya sambil menekan tombol lift berulang-ulang
"Sabar, nanti liftnya rusak."Renata melihat Alvin yang tiba-tiba sudah berdiri saja di sampingnya.
'Ini manusia kek setan, deh, di mana-mana ada.' Renata melemparkan senyum karir, padahal dalam pikirannya hanya ingin cepat-cepat keluar dari suasana canggung ini
Ting!Lift terbuka, "Mari Pak."Renata mempersilahkan Alvin masuk dalam lift duluan, kemudian dia selanjutnya.
Renata berdiri di depan tombol lift, lalu menekan arah ke lobby. Memang agak lama untuk sampai ke lobby karena kantor mereka punya 32 lantai dan sialnya kantor Renata berada di lantai ke 30.Sambil menunggu lift turun, Renata mengambil handphonenya lalu memasang earphone.Lift kemudian terbuka di lantai-lantai selanjutnya, saat karyawan lain berniat masuk, mereka mengundurkan langkah mereka ketika melihat Alvin. Mungkin segan harus berdesakan dengan Boss sehingga mereka hanya membungkukkan badan memberi hormat, lalu menutup kembali lift itu tanpa ada yang masuk, membiarkan Renata dan Alvin berdua di dalam lift.
'Segalak apa sih manusia ini, sampai sampai mereka takut sekali padanya?' Renata dengan pikirannya yang penuh rasa penasaran "Ehm!" Renata yang sibuk dengan lagu di earphone nya tak menggubris sindiran Alvin"Ehm.. ehm.. ehm!" Alvin mengeraskan suaranya berulang-ulang "Bapak nggak apa apa?" Renata menatap Alvin dengan prihatin.Alvin mengerutkan dahi, dari raut wajahnya Alvin seperti ingin memakan Renata
'Apa salahnya dengan pertanyaanku?' gumam RenataLift terbuka di Lobby. Sialnya, Renata tidak menyadari di atas tadi kalau hujan sedang turun dengan deras. Ada security di ujung pintu dan terlihat beberapa orang yang berteduh di arah luar kantor.'Aduh, pasti jarang ada ojek online yang mau ambil orderan saat hujan' Renata memeluk lengannya dingin.
Satu per satu, beberapa orang tadi sudah pulang dengan taksi online. Tersisa Renata sendiri di luar kantor menatap derasnya hujan.
Tidak ada ojek online yang mengambil pesanannya. Mau memesan taksi juga rasanya sayang. Kosannya dekat, tapi hujan juga tak kunjung reda.
"Pakai ini." Jas hitam yang sepertinya bermerek dengan aroma parfum maskulin tiba-tiba disodorkan ke arah RenataRenata menoleh, dan terkejut melihat Alvin masih berdiri di sampingnya. Jangan-jangan ini alasan kenapa orang-orang tadi bisa cepat membubarkan diri.
"Engh... tidak usah, Pak Addison. Terima kasih," Renata menolak halus tawaran itu"Ambil. Dan. Pakai. Sekarang!." Alvin menekan kata perkata mendikte Renata, dengan matanya yang tajam seolah olah menyihir Renata. "Kalau kau sakit, tidak ada yang membayar kuliah adikmu."Degh! Renata yang baru selesai memakai jas itu dibuat terdiam sejenak, 'Dari mana dia tau hal itu?' Renata memang yatim piatu, satu satunya keluarga yang dia miliki hanya adiknya yang masih berkuliah dia tinggal di rumah paman dan bibinya. Renata berusaha keras agar bisa bekerja dengan gaji yang tinggi agar adiknya tetap mendapatkan pendidikan yang terbaik."Kamu dijemput?" Tanya Alvin menatap Renata yang sedari tadi diam"Naik ojek, Pak." "Bodoh, ojek mana yang mau mengantarmu dalam situasi seperti ini." Alvin tersenyum remeh"Bapak juga naik ojek, yah?"Renata segera menutup mulutnya dengan kedua tangan setelah menyadari pertanyaan bodohnya tadi. Rasanya dia ingin terbang menembus derasnya hujan untuk menghilang dari situasi ini.
Beep.. Beep!!Mobil mewah parkir tepat di depan lobby, seorang petugas parkir keluar dari mobil itu dan memberikan kunci pada Alvin, "Silahkan Pak" kata si petugas dengan sedikit membungkuk hormat
"Ini ojek saya, ayo!" Alvin mengejek, tapi Renata yang menatapnya canggung "Saya tidak menyuruh kamu memasang mimik seperti itu, saya menyuruh kamu masuk." tegas Alvin"Tapi Pak-- " "MASUK!" Bentak Alvin dengan nada tinggiRenata berlari ke arah pintu seberang dan masuk ke mobil itu. 'Ya ampun pria itu galak sekali' Gumamnya"Pakai seat belt mu."Renata yang sedang terkesima saat menatap interior di dalam mobil itu, langsung terkejut saat tubuh Alvin mendekat. Ia menduga Alvin seperti ingin berbuat aneh-aneh. Dengan refleks, Renata langsung menonjok hidung Alvin.Prak!"Ouch...!!" Alvin merintih kesakitan."Ya ampun, Pak! Maafin saya, Pak...."Renata panik entah harus apa, jantungnya serasa pindah ke lutut ini hari yang buruk untuknya.
" Saya cuma mau masangin seat belt, soalnya kamu kek orang kesurupan tadi diam aja," jelas Alvin yang masih menahan sakit di hidungnya"Ma-maaf, Pak, maafin saya! Saya nggak berniat sama sekali untuk memukul Bapak." Rasa takut terlukis di wajah Renata"Hhsss, sudahlah!"Mendengar ucapan ketus itu, Renata akhirnya diam saja. Namun, dalam perjalanan itu Renata bingung arah jalan yang mereka lalui bukan ke arah rumahnya. Dan seingatnya juga, ia belum menyebutkan alamatnya.
"Pak, ini bukan arah ke rumah saya. Rumah saya di arah sana--"
"Siapa yang mau mengantarmu pulang?Ikut aku kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu" pungkas Alvin
Renata menelan ludahnya, seperti ada batu di tenggorokannya sekarang.Perjalanan berujung pada sebuah rumah mewah dengan gerbang berwarna emas dan penjagaan ketat di depannya. Rumah itu berwarna putih bersih, terlihat sangat terawat. Ada taman bunga dan mobil mewah yang berjejeran di garasi."Demi apapun aku mungkin akan nyasar kalau sampai masuk ke rumah ini," batin Renata keheranan.Mobil itu parkir di depan anak tangga yang terlihat terbuat dari marmer berkualitas. Ada seseorang yang sigap membukakan pintu dan mengambil kunci mobil, yang satunya lagi membukakan pintu untuk Renata."Terima kasih Pak," sapa Renata dengan ramah.Kedua pria penjaga itu saling bertatapan, seolah aneh dengan hal itu."Itu siapa sih?" tanya pria itu pada temannya."Yah, palingan mainan baru si Bos. Udah, ayo lanjut kerja nanti kalau ketauan kepo abis kita," timpal temannya.Sesampainya di dalam, Renata menahan rahangnya yang ingin menganga melihat rumah yang begitu besar dengan semua perabotan yang mahal. Yang lebih membuat kaget Renata adalah ada sekitar dua belas pelayan d
"Oh, jadi sekarang sudah jadi simpanan orang kaya ya?" Aku melihat Raka meludah, seolah jijik. Renata merasa semakin sakit hati. Tidak pernah dibayangkan kalau Raka bisa berubah sejauh ini."Tutup mulut sampahmu itu!" bentak Alvin, yang membuat Renata semakin kaget."Hei tuan, wanita itu bekasku. Aku sudah menjamah seluruh inci tubuhnya, apa kau tak jijik?""Apa--""Bajingan!"Sebelum Renata berteriak, Alvin sudah lebih dulu berteriak dan memukul pria itu.Satu pukulan melayang ke arah wajah pria itu, tubuhnya roboh ke trotoar, terlihat darah segar mengalir dari sela bibirnya."Pergi dari sini atau nanti kau akan tahu akibatnya!" nada suara Alvin membuat pria itu terlihat agak takut. Renata sontak menggenggam tangan Alvin agar tak memukuli pria itu lagi."Dasar pelacur jalanan!" umpat pria itu sambil berjalan pergi dari sana.Alvin melirik wanita yang berdiri di belakangnya, tangan Renata gemetar, matanya berkaca-kaca. Alvin membalikan tubuhnya, sekarang mereka berhadapan."Kau tidak
***Senin pertama, saat Renata menjadi sekretaris Alvin. Renata yang merasa dirinya sudah sangat rapih dan cantik, bersiap untuk ke kantor.Beep.. beep..Beberapa kali klakson mobil itu berbunyi. 'Ini tetangga, baru beli mobil apa gimana ya?' Pikir Renata heran, dia bergegas membawa tasnya dan membuka pintu rumah."Pak Johan?" mata Renata menyipit mencoba memahami keberadaan supir Bosnya di sana.Tiba-tiba jendela mobil terbuka, "Hei, cepatlah, jangan terlalu lambat!" teriak Alvin dari dalam mobil."Baik Pak", Renata bergegas mengunci pintu dan pagar rumahnya, kemudian masuk ke dalam mobil."Silahkan Nona", sopir itu membukakan pintu agar Renata duduk bersebelahan dengan Alvin."Tapi Pak, saya mau duduk di depan aja sama Bapak," pinta Renata."Hei, Idiot, cepat masuk!" pekik Alvin. Renata langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Bosnya. 'Sial, harusnya naik ojek saja tadi' pikirnya gelisah."Apa tidak ada baju yang lebih bagus dari ini? Kamu yakin jadi sekretarisku dengan gaya sepe
"Pak? Pak Johan? Ini bagus nggak?" tanya Renata pada sopir bosnya. Namun, pria paruh baya itu hanya melihat ke arah luar toko. Wajahnya tampak panik dengan dahi berkerut-kerut. Karena penasaran, Renata ikut menoleh, tapi tidak ada apapun di luar sana. Ia pun menyentuh pundak Johan untuk memanggilnya. “Pak?” "Hah? Gimana Non?" tanya Johan tak menyimak. "Pak Johan kenapa? Ada masalah?" Renata khawatir. Johan menggeleng, lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Tidak Non, silahkan lanjutkan saja.” Renata sebenarnya masih ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niat. Akhirnya, dia kembali memutari toko untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sebenarnya semuanya bagus, tapi harganya terlalu mahal. Renata sampai beberapa kali mengembalikan pakaian itu ke rak. Namun tiba-tiba saja, Johan malah menariknya kembali dan memasukannya ke keranjang. Beberapa menit kemudian, lengan Johan sudah penuh dengan tumpukan pakaian. Renata melihat Johan tersenyum kecil. "Pak, ini terlalu banyak. Saya t
“Apa kamu buta?!”Renata Amelia terkejut mendengar bentakan wanita di sampingnya. Padahal jelas-jelas wanita itu yang menabrak bahunya ketika ia berjalan menuju meja kerjanya."Maaf, saya sungguh-sungguh tidak hati-hati," Renata mencoba mengungkapkan penyesalannya dengan nada yang rendah.Renata baru saja memulai petualangan baru di Axidira Company, tapi sudah membuat kesan tidak mengenakan untuk salah satu orang di gedung ini. Ia pun hanya diam ketika wanita itu menggelengkan kepala dengan sikap angkuh yang terpancar dari setiap gerakannya. "Lain kali, gunakan matamu dengan bijak saat masih diberi kesempatan untuk melihat!" gertaknya dengan nada yang penuh dengan keangkuhan dan kepuasan diri.Renata merasa tersinggung dengan kata-kata wanita itu, tetapi dia mencoba tetap tenang. Dia tahu bahwa dia harus menjaga sikap profesional di tempat kerja. Meskipun ia tidak tahu apakah wanita ini akan menjadi rekan kerjanya atau tidak.Wanita itu cukup glamor untuk ukuran karyawan. Lihat saja
"Pak? Pak Johan? Ini bagus nggak?" tanya Renata pada sopir bosnya. Namun, pria paruh baya itu hanya melihat ke arah luar toko. Wajahnya tampak panik dengan dahi berkerut-kerut. Karena penasaran, Renata ikut menoleh, tapi tidak ada apapun di luar sana. Ia pun menyentuh pundak Johan untuk memanggilnya. “Pak?” "Hah? Gimana Non?" tanya Johan tak menyimak. "Pak Johan kenapa? Ada masalah?" Renata khawatir. Johan menggeleng, lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Tidak Non, silahkan lanjutkan saja.” Renata sebenarnya masih ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niat. Akhirnya, dia kembali memutari toko untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sebenarnya semuanya bagus, tapi harganya terlalu mahal. Renata sampai beberapa kali mengembalikan pakaian itu ke rak. Namun tiba-tiba saja, Johan malah menariknya kembali dan memasukannya ke keranjang. Beberapa menit kemudian, lengan Johan sudah penuh dengan tumpukan pakaian. Renata melihat Johan tersenyum kecil. "Pak, ini terlalu banyak. Saya t
***Senin pertama, saat Renata menjadi sekretaris Alvin. Renata yang merasa dirinya sudah sangat rapih dan cantik, bersiap untuk ke kantor.Beep.. beep..Beberapa kali klakson mobil itu berbunyi. 'Ini tetangga, baru beli mobil apa gimana ya?' Pikir Renata heran, dia bergegas membawa tasnya dan membuka pintu rumah."Pak Johan?" mata Renata menyipit mencoba memahami keberadaan supir Bosnya di sana.Tiba-tiba jendela mobil terbuka, "Hei, cepatlah, jangan terlalu lambat!" teriak Alvin dari dalam mobil."Baik Pak", Renata bergegas mengunci pintu dan pagar rumahnya, kemudian masuk ke dalam mobil."Silahkan Nona", sopir itu membukakan pintu agar Renata duduk bersebelahan dengan Alvin."Tapi Pak, saya mau duduk di depan aja sama Bapak," pinta Renata."Hei, Idiot, cepat masuk!" pekik Alvin. Renata langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Bosnya. 'Sial, harusnya naik ojek saja tadi' pikirnya gelisah."Apa tidak ada baju yang lebih bagus dari ini? Kamu yakin jadi sekretarisku dengan gaya sepe
"Oh, jadi sekarang sudah jadi simpanan orang kaya ya?" Aku melihat Raka meludah, seolah jijik. Renata merasa semakin sakit hati. Tidak pernah dibayangkan kalau Raka bisa berubah sejauh ini."Tutup mulut sampahmu itu!" bentak Alvin, yang membuat Renata semakin kaget."Hei tuan, wanita itu bekasku. Aku sudah menjamah seluruh inci tubuhnya, apa kau tak jijik?""Apa--""Bajingan!"Sebelum Renata berteriak, Alvin sudah lebih dulu berteriak dan memukul pria itu.Satu pukulan melayang ke arah wajah pria itu, tubuhnya roboh ke trotoar, terlihat darah segar mengalir dari sela bibirnya."Pergi dari sini atau nanti kau akan tahu akibatnya!" nada suara Alvin membuat pria itu terlihat agak takut. Renata sontak menggenggam tangan Alvin agar tak memukuli pria itu lagi."Dasar pelacur jalanan!" umpat pria itu sambil berjalan pergi dari sana.Alvin melirik wanita yang berdiri di belakangnya, tangan Renata gemetar, matanya berkaca-kaca. Alvin membalikan tubuhnya, sekarang mereka berhadapan."Kau tidak
Perjalanan berujung pada sebuah rumah mewah dengan gerbang berwarna emas dan penjagaan ketat di depannya. Rumah itu berwarna putih bersih, terlihat sangat terawat. Ada taman bunga dan mobil mewah yang berjejeran di garasi."Demi apapun aku mungkin akan nyasar kalau sampai masuk ke rumah ini," batin Renata keheranan.Mobil itu parkir di depan anak tangga yang terlihat terbuat dari marmer berkualitas. Ada seseorang yang sigap membukakan pintu dan mengambil kunci mobil, yang satunya lagi membukakan pintu untuk Renata."Terima kasih Pak," sapa Renata dengan ramah.Kedua pria penjaga itu saling bertatapan, seolah aneh dengan hal itu."Itu siapa sih?" tanya pria itu pada temannya."Yah, palingan mainan baru si Bos. Udah, ayo lanjut kerja nanti kalau ketauan kepo abis kita," timpal temannya.Sesampainya di dalam, Renata menahan rahangnya yang ingin menganga melihat rumah yang begitu besar dengan semua perabotan yang mahal. Yang lebih membuat kaget Renata adalah ada sekitar dua belas pelayan d
"Kau sudah gila!" Velicia menatap Alvin dengan wajah tak percayaNamun, Alvin hanya menggerakkan kepala dengan tegas ke arah pintu keluar. Velicia dengan kesal mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu melewati Renata yang masih berdiri di sana. Matanya begitu tajam menatap Renata. Pintu ruangan itu tertutup dengan keras, meninggalkan suasana yang tegang di udara.Renata yang masih berdiri di dekat meja Alvin, merasa cemas dengan situasi yang baru saja terjadi. Dia melihat Alvin yang duduk dengan tenang, tanpa ekspresi."Dia selalu seperti itu," ucap Alvin dengan suara pelan, memecah keheningan yang terasa tegang.Renata mengangguk dengan penuh pengertian. "Saya yang salah Pak, harusnya tidak masuk."Alvin mengangkat tangannya dengan lembut, memberikan isyarat kepada Renata untuk diam. Renata menghentikan penjelasannya dan menatap Alvin dengan wajah penuh tanya."Kemari!" kata Alvin. Renata dengan perlahan berjalan menuju meja kerja Bosnya, "Saya ingin tahu kenapa bukan Arini yang
“Apa kamu buta?!”Renata Amelia terkejut mendengar bentakan wanita di sampingnya. Padahal jelas-jelas wanita itu yang menabrak bahunya ketika ia berjalan menuju meja kerjanya."Maaf, saya sungguh-sungguh tidak hati-hati," Renata mencoba mengungkapkan penyesalannya dengan nada yang rendah.Renata baru saja memulai petualangan baru di Axidira Company, tapi sudah membuat kesan tidak mengenakan untuk salah satu orang di gedung ini. Ia pun hanya diam ketika wanita itu menggelengkan kepala dengan sikap angkuh yang terpancar dari setiap gerakannya. "Lain kali, gunakan matamu dengan bijak saat masih diberi kesempatan untuk melihat!" gertaknya dengan nada yang penuh dengan keangkuhan dan kepuasan diri.Renata merasa tersinggung dengan kata-kata wanita itu, tetapi dia mencoba tetap tenang. Dia tahu bahwa dia harus menjaga sikap profesional di tempat kerja. Meskipun ia tidak tahu apakah wanita ini akan menjadi rekan kerjanya atau tidak.Wanita itu cukup glamor untuk ukuran karyawan. Lihat saja