"Pak? Pak Johan? Ini bagus nggak?" tanya Renata pada sopir bosnya.
Namun, pria paruh baya itu hanya melihat ke arah luar toko. Wajahnya tampak panik dengan dahi berkerut-kerut.Karena penasaran, Renata ikut menoleh, tapi tidak ada apapun di luar sana. Ia pun menyentuh pundak Johan untuk memanggilnya.“Pak?”"Hah? Gimana Non?" tanya Johan tak menyimak."Pak Johan kenapa? Ada masalah?" Renata khawatir.Johan menggeleng, lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Tidak Non, silahkan lanjutkan saja.”Renata sebenarnya masih ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niat. Akhirnya, dia kembali memutari toko untuk mencari pakaian yang cocok untuknya.Sebenarnya semuanya bagus, tapi harganya terlalu mahal. Renata sampai beberapa kali mengembalikan pakaian itu ke rak. Namun tiba-tiba saja, Johan malah menariknya kembali dan memasukannya ke keranjang.Beberapa menit kemudian, lengan Johan sudah penuh dengan tumpukan pakaian.Renata melihat Johan tersenyum kecil. "Pak, ini terlalu banyak. Saya tidak mampu bayar semuanya, bahkan dengan gaji saya tiga bulan ini tak bisa saya lunasi.""Semua akan dibayar Pak Alvin, Non, tenang saja,." kata Johan menenangkan Renata.Johan dan Renata menenteng tas berisi pakaian itu di kedua tangan mereka. Baru saja mereka sampai di parkiran, sebuah kamera flash menyorot wajahnya.Raka berdiri disana menatap mereka berdua, sorot matanya tajam menatap Renata. Renata shock melihat keberadaan mantan pacarnya itu, dia mundur dari langkahnya."Raka? Ngapain kamu di sini?" pekik Renata."Benarkan, apa yang ku bilang kalau kau jadi pelacur? Atau lebih tepatnya simpanan om-om." Mata Raka melirik Johan."Siapa dia, Non?" tanya Johan berbisik."Man-mantan saya Pak." Johan mengangguk mengerti.Raka tersenyum sinis, merasa senang bisa membuat Renata merasa malu di depan Johan."Jadi ini pacarmu sekarang, Renata? Seorang sopir tua yang hanya memanfaatkanmu," ejek Raka dengan nada merendahkan.Johan merasa marah mendengar kata-kata Raka yang kasar. Dia tidak bisa membiarkan Raka terus mempermalukan Renata. Johan berdiri di antara Raka dan Renata, menunjukkan sikap perlindungan."Kamu tidak punya hak untuk menghina dia atau siapapun. Pergilah sebelum saya memanggil polisi," ucap Johan dengan suara yang tegas.Raka merasa terusik dengan sikap Johan yang berani. Dia merasa terpojok dan tidak ingin kehilangan wajah di depan Renata. Tanpa pikir panjang, Raka memulai serangan verbal yang lebih kasar."Apa? Kamu berani mengancamku? Kamu pikir kamu bisa melindungi Renata dari orang seperti aku?" Raka meludahi kata-kata dengan nada yang penuh kebencian.Johan tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh provokasi Raka. Dia mengerti bahwa Raka hanya mencari perhatian dan ingin menjatuhkan Renata. Namun, Johan tidak akan membiarkan itu terjadi."Renata tidak membutuhkanmu lagi. Dia memiliki seseorang yang menghargainya dan melindunginya dengan segenap hati. Sekarang pergilah sebelum aku benar-benar memanggil polisi," kata Johan dengan suara yang lebih keras.Raka merasa tertantang oleh sikap Johan yang tegar. Dia bergerak mendekati Johan dengan niat yang jelas untuk mengancamnya secara fisik. Namun, Johan dengan cepat menahan lengan Raka dan menatapnya dengan tatapan yang penuh keberanian."Jangan lakukan hal bodoh ini. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dengan kekerasan. Pergilah sekarang juga sebelum aku mengambil tindakan yang lebih serius," tegas Johan.Raka merasa terpojok dan akhirnya menyadari bahwa dia tidak bisa melawan Johan yang lebih kuat dan lebih tegar. Dengan rasa malu dan kemarahan yang masih menyala, Raka akhirnya memutuskan untuk pergi."Dengar baik-baik, tua bangka. Ini belum selesai. Aku akan membuatmu menyesal," ucap Raka dengan nada yang penuh ancaman sebelum berbalik dan meninggalkan tempat itu.Renata bernapas lega ketika Raka akhirnya pergi."Mari Non.." mereka berdua meninggalkan Raka yang kesal karna tak di gubris.Johan dengan sigap membuka pintu mobil agar Renata masuk. Renata tidak paham mengapa Johan tampak terburu-buru. 'Tidak mungkin dia khawatir kalau Raka akan mengejar, kan?' pikirnya"Ada apa Pak?" tanya Renata yang membuyarkan suasana.Johan menggeleng dan langsung masuk ke mobil. Mereka berkendara pulang. Kota itu memang cukup macet saat jam pulang kantor, sehingga mereka beberapa kali terjebak dalam kemacetan."Apa dia memang sering meneror, Nona?" pertanyaan tiba-tiba Johan membuat Renata yang sedang melamun pun menoleh.Renata terkejut dengan pertanyaan itu, "Hah? Apa Pak? Telor?"Johan terkekeh, Renata yang bingung juga ikutan terkekeh."Maaf Pak, saya tadi melamun." Kata Renata memelas.Johan melihat Renata yang terkejut dan bingung. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Renata. Meskipun dia ingin tahu lebih banyak, Johan memutuskan untuk mengajukan pertanyaan dengan cara yang berbeda."Mantan kamu sering datang mengganggu kamu, Nona?" tanya Johan dengan nada yang lebih lembut.Renata tampak ragu dan bingung. Dia berpikir sejenak, tidak yakin apakah dia harus jujur atau menyembunyikan kebenaran. Akhirnya, dia memilih untuk menghindari pertanyaan tersebut."Ng... tidak, Pak. Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja," jawab Renata dengan suara yang sedikit gemetar.Johan melihat ekspresi wajah Renata yang bingung. Dia tahu bahwa Renata tidak memberikan jawaban yang jujur. Namun, dia juga mengerti bahwa Renata mungkin masih trauma dengan kehadiran mantan pacarnya.Percakapan ringan mengalir setelah itu. Johan sengaja tidak menyinggung soal Raka lagi. Begitu sampai, Renata yang menenteng tas belanjaannya, langsung masuk ke dalam rumah."Terima kasih yah, Pak. Hati-hati dijalan." Renata melambai saat sopir bosnya itu pergi.Mobil itu pergi, tapi sebuah motor berhenti tak jauh dari rumah Renata.Seorang pria berpakaian serba hitam nampak memperhatikan Renata dari atas motornya."Baik, saya kirim sekarang." kata pria itu di telepon. Lalu melaju pergi meninggalkan tempat itu.Pria tersebut menghentikan motornya di depan sebuah gedung yang terlihat sepi. Ia menekan nomor telepon dan menunggu panggilan terhubung."Sudah selesai," ucapnya singkat."Sempurna. Pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," suara di seberang telepon terdengar tegas."Jangan khawatir, semuanya akan diurus dengan baik," jawab pria itu, lalu mematikan teleponnya.Ia masuk ke dalam gedung dan menuju ruangan yang terlihat gelap. Dalam kegelapan, terdapat seorang pria yang duduk di kursi dengan wajah yang tidak terlihat jelas."Sudah selesai?" tanya pria itu dengan suara serak.Pria yang mengikuti Renata mengangguk, "Ya, semuanya sudah beres. Tidak ada yang akan mencurigai apa yang telah kita lakukan."Pria di kursi itu tersenyum puas. "Bagus. Sekarang kita bisa melanjutkan rencana kita tanpa ada gangguan. Renata adalah kunci dari semuanya."Pria yang mengikuti Renata mengangguk, "Tentu saja. Saya akan terus memantau dan melaporkan setiap perkembangan."Mereka berdua berbicara dalam kegelapan, merencanakan langkah selanjutnya yang akan mereka ambil. Keberhasilan rencana mereka bergantung pada Renata, dan mereka tidak akan berhenti sampai tujuan mereka tercapai.***Renata terbaring di tempat tidur dengan pikiran yang kacau, dia begitu lelah hari ini.Sebagai sekretaris sebuah perusahaan besar tentunya menuntut begitu banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, terlebih lagi tugas tambahan harus berbelanja membuatnya sangat kelelahan.Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak bisa mengidentifikasi apa itu. Ada perasaan tidak aman yang menghantuinya.Dalam keheningan malam, Renata mendengar suara langkah kaki yang pelan di luar kamarnya. Hatinya berdebar kencang. Ia berusaha untuk tetap tenang dan memastikan bahwa suara itu bukan sekadar khayalan.Renata mengambil langkah berani untuk keluar dari kamar dan mengintip ke koridor. Namun, tidak ada yang terlihat. Hanya kegelapan yang menyelimuti rumahnya.Tiba-tiba, ia merasakan ada seseorang yang berada di belakangnya. Ia berbalik dengan cepat dan terkejut melihat sosok yang tidak dikenal berdiri di hadapannya."Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" Renata berteriak, mencoba mempertahankan diri.Sosok itu tersenyum sinis. "Tenanglah, Renata. Aku tidak akan menyakiti kamu, setidaknya untuk saat ini."Renata merasa gemetar. "Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?""Sabarlah, Renata. Semua akan terungkap pada waktunya," kata sosok tersebut dengan suara yang mengancam.Renata mencoba untuk tetap tenang dan berpikir cepat. Ia mencoba mengingat pelajaran keamanan diri yang pernah diajarkan kepadanya. Ia mencoba mencari peluang untuk melarikan diri.Namun, sebelum ia bisa bergerak, sosok tersebut tiba-tiba menghilang begitu saja. Renata merasa kebingungan dan takut. Apa yang baru saja terjadi?“Apa kamu buta?!”Renata Amelia terkejut mendengar bentakan wanita di sampingnya. Padahal jelas-jelas wanita itu yang menabrak bahunya ketika ia berjalan menuju meja kerjanya."Maaf, saya sungguh-sungguh tidak hati-hati," Renata mencoba mengungkapkan penyesalannya dengan nada yang rendah.Renata baru saja memulai petualangan baru di Axidira Company, tapi sudah membuat kesan tidak mengenakan untuk salah satu orang di gedung ini. Ia pun hanya diam ketika wanita itu menggelengkan kepala dengan sikap angkuh yang terpancar dari setiap gerakannya. "Lain kali, gunakan matamu dengan bijak saat masih diberi kesempatan untuk melihat!" gertaknya dengan nada yang penuh dengan keangkuhan dan kepuasan diri.Renata merasa tersinggung dengan kata-kata wanita itu, tetapi dia mencoba tetap tenang. Dia tahu bahwa dia harus menjaga sikap profesional di tempat kerja. Meskipun ia tidak tahu apakah wanita ini akan menjadi rekan kerjanya atau tidak.Wanita itu cukup glamor untuk ukuran karyawan. Lihat saja
"Kau sudah gila!" Velicia menatap Alvin dengan wajah tak percayaNamun, Alvin hanya menggerakkan kepala dengan tegas ke arah pintu keluar. Velicia dengan kesal mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu melewati Renata yang masih berdiri di sana. Matanya begitu tajam menatap Renata. Pintu ruangan itu tertutup dengan keras, meninggalkan suasana yang tegang di udara.Renata yang masih berdiri di dekat meja Alvin, merasa cemas dengan situasi yang baru saja terjadi. Dia melihat Alvin yang duduk dengan tenang, tanpa ekspresi."Dia selalu seperti itu," ucap Alvin dengan suara pelan, memecah keheningan yang terasa tegang.Renata mengangguk dengan penuh pengertian. "Saya yang salah Pak, harusnya tidak masuk."Alvin mengangkat tangannya dengan lembut, memberikan isyarat kepada Renata untuk diam. Renata menghentikan penjelasannya dan menatap Alvin dengan wajah penuh tanya."Kemari!" kata Alvin. Renata dengan perlahan berjalan menuju meja kerja Bosnya, "Saya ingin tahu kenapa bukan Arini yang
Perjalanan berujung pada sebuah rumah mewah dengan gerbang berwarna emas dan penjagaan ketat di depannya. Rumah itu berwarna putih bersih, terlihat sangat terawat. Ada taman bunga dan mobil mewah yang berjejeran di garasi."Demi apapun aku mungkin akan nyasar kalau sampai masuk ke rumah ini," batin Renata keheranan.Mobil itu parkir di depan anak tangga yang terlihat terbuat dari marmer berkualitas. Ada seseorang yang sigap membukakan pintu dan mengambil kunci mobil, yang satunya lagi membukakan pintu untuk Renata."Terima kasih Pak," sapa Renata dengan ramah.Kedua pria penjaga itu saling bertatapan, seolah aneh dengan hal itu."Itu siapa sih?" tanya pria itu pada temannya."Yah, palingan mainan baru si Bos. Udah, ayo lanjut kerja nanti kalau ketauan kepo abis kita," timpal temannya.Sesampainya di dalam, Renata menahan rahangnya yang ingin menganga melihat rumah yang begitu besar dengan semua perabotan yang mahal. Yang lebih membuat kaget Renata adalah ada sekitar dua belas pelayan d
"Oh, jadi sekarang sudah jadi simpanan orang kaya ya?" Aku melihat Raka meludah, seolah jijik. Renata merasa semakin sakit hati. Tidak pernah dibayangkan kalau Raka bisa berubah sejauh ini."Tutup mulut sampahmu itu!" bentak Alvin, yang membuat Renata semakin kaget."Hei tuan, wanita itu bekasku. Aku sudah menjamah seluruh inci tubuhnya, apa kau tak jijik?""Apa--""Bajingan!"Sebelum Renata berteriak, Alvin sudah lebih dulu berteriak dan memukul pria itu.Satu pukulan melayang ke arah wajah pria itu, tubuhnya roboh ke trotoar, terlihat darah segar mengalir dari sela bibirnya."Pergi dari sini atau nanti kau akan tahu akibatnya!" nada suara Alvin membuat pria itu terlihat agak takut. Renata sontak menggenggam tangan Alvin agar tak memukuli pria itu lagi."Dasar pelacur jalanan!" umpat pria itu sambil berjalan pergi dari sana.Alvin melirik wanita yang berdiri di belakangnya, tangan Renata gemetar, matanya berkaca-kaca. Alvin membalikan tubuhnya, sekarang mereka berhadapan."Kau tidak
***Senin pertama, saat Renata menjadi sekretaris Alvin. Renata yang merasa dirinya sudah sangat rapih dan cantik, bersiap untuk ke kantor.Beep.. beep..Beberapa kali klakson mobil itu berbunyi. 'Ini tetangga, baru beli mobil apa gimana ya?' Pikir Renata heran, dia bergegas membawa tasnya dan membuka pintu rumah."Pak Johan?" mata Renata menyipit mencoba memahami keberadaan supir Bosnya di sana.Tiba-tiba jendela mobil terbuka, "Hei, cepatlah, jangan terlalu lambat!" teriak Alvin dari dalam mobil."Baik Pak", Renata bergegas mengunci pintu dan pagar rumahnya, kemudian masuk ke dalam mobil."Silahkan Nona", sopir itu membukakan pintu agar Renata duduk bersebelahan dengan Alvin."Tapi Pak, saya mau duduk di depan aja sama Bapak," pinta Renata."Hei, Idiot, cepat masuk!" pekik Alvin. Renata langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Bosnya. 'Sial, harusnya naik ojek saja tadi' pikirnya gelisah."Apa tidak ada baju yang lebih bagus dari ini? Kamu yakin jadi sekretarisku dengan gaya sepe
"Pak? Pak Johan? Ini bagus nggak?" tanya Renata pada sopir bosnya. Namun, pria paruh baya itu hanya melihat ke arah luar toko. Wajahnya tampak panik dengan dahi berkerut-kerut. Karena penasaran, Renata ikut menoleh, tapi tidak ada apapun di luar sana. Ia pun menyentuh pundak Johan untuk memanggilnya. “Pak?” "Hah? Gimana Non?" tanya Johan tak menyimak. "Pak Johan kenapa? Ada masalah?" Renata khawatir. Johan menggeleng, lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Tidak Non, silahkan lanjutkan saja.” Renata sebenarnya masih ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niat. Akhirnya, dia kembali memutari toko untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sebenarnya semuanya bagus, tapi harganya terlalu mahal. Renata sampai beberapa kali mengembalikan pakaian itu ke rak. Namun tiba-tiba saja, Johan malah menariknya kembali dan memasukannya ke keranjang. Beberapa menit kemudian, lengan Johan sudah penuh dengan tumpukan pakaian. Renata melihat Johan tersenyum kecil. "Pak, ini terlalu banyak. Saya t
***Senin pertama, saat Renata menjadi sekretaris Alvin. Renata yang merasa dirinya sudah sangat rapih dan cantik, bersiap untuk ke kantor.Beep.. beep..Beberapa kali klakson mobil itu berbunyi. 'Ini tetangga, baru beli mobil apa gimana ya?' Pikir Renata heran, dia bergegas membawa tasnya dan membuka pintu rumah."Pak Johan?" mata Renata menyipit mencoba memahami keberadaan supir Bosnya di sana.Tiba-tiba jendela mobil terbuka, "Hei, cepatlah, jangan terlalu lambat!" teriak Alvin dari dalam mobil."Baik Pak", Renata bergegas mengunci pintu dan pagar rumahnya, kemudian masuk ke dalam mobil."Silahkan Nona", sopir itu membukakan pintu agar Renata duduk bersebelahan dengan Alvin."Tapi Pak, saya mau duduk di depan aja sama Bapak," pinta Renata."Hei, Idiot, cepat masuk!" pekik Alvin. Renata langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Bosnya. 'Sial, harusnya naik ojek saja tadi' pikirnya gelisah."Apa tidak ada baju yang lebih bagus dari ini? Kamu yakin jadi sekretarisku dengan gaya sepe
"Oh, jadi sekarang sudah jadi simpanan orang kaya ya?" Aku melihat Raka meludah, seolah jijik. Renata merasa semakin sakit hati. Tidak pernah dibayangkan kalau Raka bisa berubah sejauh ini."Tutup mulut sampahmu itu!" bentak Alvin, yang membuat Renata semakin kaget."Hei tuan, wanita itu bekasku. Aku sudah menjamah seluruh inci tubuhnya, apa kau tak jijik?""Apa--""Bajingan!"Sebelum Renata berteriak, Alvin sudah lebih dulu berteriak dan memukul pria itu.Satu pukulan melayang ke arah wajah pria itu, tubuhnya roboh ke trotoar, terlihat darah segar mengalir dari sela bibirnya."Pergi dari sini atau nanti kau akan tahu akibatnya!" nada suara Alvin membuat pria itu terlihat agak takut. Renata sontak menggenggam tangan Alvin agar tak memukuli pria itu lagi."Dasar pelacur jalanan!" umpat pria itu sambil berjalan pergi dari sana.Alvin melirik wanita yang berdiri di belakangnya, tangan Renata gemetar, matanya berkaca-kaca. Alvin membalikan tubuhnya, sekarang mereka berhadapan."Kau tidak
Perjalanan berujung pada sebuah rumah mewah dengan gerbang berwarna emas dan penjagaan ketat di depannya. Rumah itu berwarna putih bersih, terlihat sangat terawat. Ada taman bunga dan mobil mewah yang berjejeran di garasi."Demi apapun aku mungkin akan nyasar kalau sampai masuk ke rumah ini," batin Renata keheranan.Mobil itu parkir di depan anak tangga yang terlihat terbuat dari marmer berkualitas. Ada seseorang yang sigap membukakan pintu dan mengambil kunci mobil, yang satunya lagi membukakan pintu untuk Renata."Terima kasih Pak," sapa Renata dengan ramah.Kedua pria penjaga itu saling bertatapan, seolah aneh dengan hal itu."Itu siapa sih?" tanya pria itu pada temannya."Yah, palingan mainan baru si Bos. Udah, ayo lanjut kerja nanti kalau ketauan kepo abis kita," timpal temannya.Sesampainya di dalam, Renata menahan rahangnya yang ingin menganga melihat rumah yang begitu besar dengan semua perabotan yang mahal. Yang lebih membuat kaget Renata adalah ada sekitar dua belas pelayan d
"Kau sudah gila!" Velicia menatap Alvin dengan wajah tak percayaNamun, Alvin hanya menggerakkan kepala dengan tegas ke arah pintu keluar. Velicia dengan kesal mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu melewati Renata yang masih berdiri di sana. Matanya begitu tajam menatap Renata. Pintu ruangan itu tertutup dengan keras, meninggalkan suasana yang tegang di udara.Renata yang masih berdiri di dekat meja Alvin, merasa cemas dengan situasi yang baru saja terjadi. Dia melihat Alvin yang duduk dengan tenang, tanpa ekspresi."Dia selalu seperti itu," ucap Alvin dengan suara pelan, memecah keheningan yang terasa tegang.Renata mengangguk dengan penuh pengertian. "Saya yang salah Pak, harusnya tidak masuk."Alvin mengangkat tangannya dengan lembut, memberikan isyarat kepada Renata untuk diam. Renata menghentikan penjelasannya dan menatap Alvin dengan wajah penuh tanya."Kemari!" kata Alvin. Renata dengan perlahan berjalan menuju meja kerja Bosnya, "Saya ingin tahu kenapa bukan Arini yang
“Apa kamu buta?!”Renata Amelia terkejut mendengar bentakan wanita di sampingnya. Padahal jelas-jelas wanita itu yang menabrak bahunya ketika ia berjalan menuju meja kerjanya."Maaf, saya sungguh-sungguh tidak hati-hati," Renata mencoba mengungkapkan penyesalannya dengan nada yang rendah.Renata baru saja memulai petualangan baru di Axidira Company, tapi sudah membuat kesan tidak mengenakan untuk salah satu orang di gedung ini. Ia pun hanya diam ketika wanita itu menggelengkan kepala dengan sikap angkuh yang terpancar dari setiap gerakannya. "Lain kali, gunakan matamu dengan bijak saat masih diberi kesempatan untuk melihat!" gertaknya dengan nada yang penuh dengan keangkuhan dan kepuasan diri.Renata merasa tersinggung dengan kata-kata wanita itu, tetapi dia mencoba tetap tenang. Dia tahu bahwa dia harus menjaga sikap profesional di tempat kerja. Meskipun ia tidak tahu apakah wanita ini akan menjadi rekan kerjanya atau tidak.Wanita itu cukup glamor untuk ukuran karyawan. Lihat saja