Cintya menatap Liam dengan mata yang berkilat penuh kemarahan dan luka. Air matanya masih mengalir, tetapi kini bukan hanya karena kesedihan—melainkan karena rasa kecewa yang begitu dalam. “Kamu tahu, Liam? Seharusnya kita sudah menikah enam tahun lalu. Seharusnya aku yang berdiri di samping kamu sebagai istri sah-mu. Tapi apa yang terjadi?” suaranya bergetar, tapi tetap terdengar tajam. “Karena rasa bersalah kamu pada Nayya, aku harus puas hanya menjadi istri sirih kamu. Aku harus puas dengan pernikahan yang tidak diakui!” Liam terdiam. Wajahnya mengeras, tetapi ia tidak menyela. “Dan sekarang? Aku sudah berkorban sejauh ini, tapi dia malah mengandung anak kamu? Sementara aku harus terus hidup dalam bayang-bayang kalian!” Cintya tertawa sinis. “Seberapa tidak adil lagi hidup ini untukku, Liam? Untuk anak kita?” Liam mengepalkan tangan, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. “Cintya, aku tidak pernah berniat menyakiti kamu,” katanya pelan. “Kalau begitu, kenapa kamu ti
FlashbackLampu warna-warni berkelap-kelip di langit-langit, musik berdentum memenuhi ruangan, dan gelas-gelas berisi alkohol terus berdenting satu sama lain. Suasana bar malam itu begitu hidup, penuh dengan suara tawa dan orang-orang yang menari menikmati malam mereka.Di salah satu sudut VIP lounge, Liam dan Cintya muda duduk berdampingan di sofa panjang. Keduanya sudah beberapa gelas dalam kondisi mabuk, tetapi tawa mereka masih lepas, menikmati kebersamaan yang terasa begitu bebas dan tanpa beban.“Liam, aku seneng banget akhirnya kita lulus,” ujar Cintya dengan senyum lebar, pipinya sedikit merona karena alkohol. “Kita gak usah pusing lagi mikirin skripsi. Ga usah capek kejar-kejar dosen, aaah... Aku happy banget."Liam tertawa kecil, mengangkat gelasnya. "Aku juga sayang. Akhirnya kita bisa bebas."Mereka berdua saling bersulang sebelum menenggak minuman masing-masing. Cintya mendekatkan tubuhnya ke Liam, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu. "Sekarang ayo kita party sam
Hari-hari pertama setelah kecelakaan itu, Liam masih bisa berpura-pura tenang. Ia tetap beraktivitas seperti biasa, bekerja, bertemu teman-temannya, dan menghabiskan waktu dengan Cintya seolah tidak ada yang terjadi. Namun, semakin hari, rasa bersalah mulai menghantui pikirannya. Setiap malam, mimpi buruk itu datang. Suara benturan keras, jeritan yang tertahan, dan kepulan asap dari mobil yang ringsek. Dalam mimpinya, ia selalu melihat bayangan seseorang yang terjebak di dalam mobil itu, menatapnya dengan mata kosong penuh tuduhan. Liam terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya mimpi. Tapi perasaan bersalah itu tidak hilang. Bahkan di siang hari, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian malam itu. Saat berkendara, setiap suara klakson terdengar seperti teriakan dari orang yang mereka tinggalkan. Setiap lampu merah terasa seperti pengingat bahwa ia seharusnya berhenti da
Perasaan tidak enak mulai menyelimuti dada Liam saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Jantungnya berdebar lebih cepat, seakan memberi pertanda buruk yang akan segera terjadi. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinga di sana untuk mendengar lebih jelas. "Liam! Turun sekarang!" suara ibunya, Widuri, terdengar tegas dan tajam. Liam menelan ludah. Napasnya mulai berat saat ia membuka pintu dan berjalan menuruni tangga. Begitu sampai di ruang tamu, ia melihat beberapa petugas polisi berdiri di sana. Salah satu dari mereka sedang berbicara dengan Widuri yang tampak marah dan bersikeras membela anaknya. "Ada apa ini?" suara Liam terdengar lebih bergetar dari yang ia harapkan. Padahal ia mencoba untuk setenang mungkin.Salah satu polisi menoleh ke arahnya, sorot matanya tajam dan penuh ketegasan. "Saudara Liam, kami datang untuk meminta keterangan Anda terkait kecelakaan yang terjadi beberapa waktu." Liam membeku. Dunia seakan berhenti be
“Ini mobil Anda, bukan?”Liam melihat foto itu. Jelas-jelas mobilnya terekam dalam kondisi melaju kencang sebelum akhirnya menabrak mobil lain dari arah berlawanan. Lalu ada foto lain—mobil korban yang ringsek, bercak darah di aspal, dan bayangan seseorang yang tergeletak. Liam mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Saudara Liam!" polisi yang pertama berbicara kembali. "Kami tahu Anda ada di sana. Pertanyaannya, kenapa Anda pergi setelah kecelakaan terjadi?" Liam tetap diam. “Saudara Liam, ini bisa jadi lebih buruk bagi Anda kalau tetap bungkam.”Liam mengembuskan napas panjang. “Saya panik. Saya takut sekali waktu itu. Dan— dan yang saya pikirkan hanyalah kabur dari sana."Polisi saling bertukar pandang. “Panik? Itu alasan Anda meninggalkan korban?”"Saya gak tahu harus ngapain! Saya cuma… saya cuma berpikir kalau saya tetap di sana, semuanya bakal lebih buruk."Polisi menatapnya dengan ekspresi penuh penilaian. "Anda tahu korban masih hidup saat Anda meninggalka
Keesokan harinya, Widuri dan pengacara mendatangi rumah keluarga korban. Mereka tiba di sebuah rumah berlantai dua tak jauh dari pusat kota. Widuri bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat ia turun dari mobil."Anda siap?" tanya pengacara sebelum mereka mengetuk pintu.Widuri mengangguk, meskipun kenyataannya ia jauh dari siap.Pintu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya dengan wajah lelah dan mata sembab. Dari kemiripannya dengan salah satu korban dalam laporan yang Widuri baca, ia tahu bahwa ini pasti ibu salah satu korban."Ada apa ya?" tanya wanita itu dengan suara serak. "Kalian ini siapa?" Wanita itu memperhatikan Widuri dan sang pengacara secara bergantian. Dilihat dari penampilan mereka, wanita tersebut bisa tau jika mereka bukan orang sembarangan.Pengacara memperkenalkan diri dan Widuri, lalu dengan hati-hati menjelaskan maksud kedatangan mereka. Saat nama Liam disebut, mata wanita itu langsung memerah. "Jadi, kalian datang untuk menyuap saya agar memb
Dewi merasa dunia seakan menutup rapat-rapat jalan keluarnya. Haruskah ia menerima tawaran Widuri? Tidak! Wanita itu menolak mentah-mentah permintaan mereka. Ia tidak akan membiarkan Liam lolos begitu saja! Tapi… bagaimana dengan kondisi ini? Air mata mulai menetes di pipinya. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Saya akan berusaha mengumpulkan uang, tapi saya butuh waktu…” Dokter menatapnya dengan empati. “Kami akan menunggu sebisa kami, Bu Dewi. Tapi tolong pertimbangkan semua kemungkinan. Jika ada saudara atau pihak lain yang bisa membantu, jangan ragu untuk menghubungi mereka.” Dewi hanya bisa mengangguk. Langkahnya terasa gontai saat ia keluar dari ruangan itu. Pikirannya dipenuhi oleh satu pertanyaan besar—apa yang harus ia lakukan sekarang?Dewi menghela napas berat, langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata dokter tentang biaya yang semakin membengkak. Ia menggenggam tangannya
Dewi mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya. "Kenapa kamu kabur malam itu?" Liam mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia membuka mulutnya, tapi butuh beberapa detik sebelum akhirnya bisa berbicara. "Saya panik. Saya takut. Saya tidak tahu harus melakukan apa..." "Takut?" suara Dewi meninggi. "Takut? Kamu pikir mereka tidak takut saat nyawa mereka melayang karena ulahmu? Kamu pikir keponakanku tidak ketakutan saat terjebak di dalam mobil dengan tubuh penuh luka? Kamu pikir aku tidak takut setiap kali dokter bilang dia mungkin tidak akan pernah bangun?" Liam menutup matanya erat-erat. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang ingin keluar. "Saya menyesal," bisiknya. "Saya tahu itu tidak cukup, tapi saya benar-benar menyesal." Dewi menggeleng. "Penyesalan kamu tidak akan menghidupkan mereka kembali."* Liam menggigit bibirnya, matanya memerah. " Saya tau." Keheningan
“Iya, saya ingat, Nona,” jawab Galen. "Kenapa?" "Kenapa kamu gak ngasih tau aku sesuatu?" Galen terdiam sesaat. Tatapannya mengarah ke jendela yang cahaya senjanya mulai memudar. Ada konflik kecil di matanya—antara ingin melindungi Nayya dari kenyataan, atau memenuhi permintaannya sebagai bentuk kepercayaan. "Nona yakin mau tahu sekarang?" tanyanya pelan. Nayya mengangguk. “Aku udah cukup tenang buat dengar apa pun, Galen. Tolong jangan sembunyiin apa-apa dari aku!" Galen menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dari saku celananya. Ia membuka galeri, memperlihatkan beberapa foto yang diambil secara diam-diam. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan ponsel itu pada Nayya. "Perempuan itu... adalah Cintya." Deg! Jantung Nayya seolah berhenti berdetak. Nafasnya tercekat. Wajahnya seketika pucat pasi. "Ci— Cintya? Maksud kamu sekertaris baru Mas Liam?" "Benar, Nona." "Tapi Mas Liam bilang dia pergi sendiri?" "Faktanya mereka pergi bersama. Dan—" Galen melihat ke arah Nay
Sementara itu, suasana pagi yang hangat juga terasa di apartemen milik Cintya. Matahari menyusup malu-malu dari balik tirai ruang makan, menyinari wajah mungil Lora yang duduk di kursi makannya sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya.“Papa... Aaa...” pinta Lora dengan suara cadel, menunjuk mangkuk bubur di tangan Liam.Liam tersenyum, mengaduk bubur itu pelan agar tidak terlalu panas, lalu menyuapkan ke mulut putrinya yang terbuka lebar.“Lora anak pintar, ya. Makannya yang lahap ya, biar cepet sembuh,” ujarnya lembut.Lora terkekeh kecil, pipinya yang tembam ikut bergerak. “Coalnya Papa yang ucapin," katanya bangga dengan cadel khas anak-anak seusianya. "Lola cukaaa..."Liam terkikik pelan mendengarnya. "Iya sayang... Iya. Abis makan kita minum obat ya! Biar Lora cepet sembuh."Lora mengerutkan keningnya. Bocah lucu berpipi gembul itu tampak kurang setuju dengan ucapan Liam. "Pait Pa. Obat gak enak.""Kata siapa obatnya pahit? Obatnya kan rasa stoberi.""Sto...be...li?""Yap. Buah kes
"Nona..." bisiknya, nyaris tak terdengar.Pandangan Galen turun ke arah perut Nayya yang masih rata, tapi baginya... itu adalah pusat dari segalanya sekarang. Dengan gerakan lembut, Galen menaruh tangannya di atas perut itu—seolah sedang menyentuh sesuatu yang paling rapuh, paling berharga dalam hidupnya."Hai, sayang..." Galen berbisik, suaranya bergetar pelan. "Papa tahu kamu belum bisa dengar suara ini, atau mungkin... kamu belum ngerti apa-apa. Tapi tolong kerja samanya ya! Tolong jangan bikin Mama kamu repot begini."Ia menunduk, keningnya hampir menyentuh perut Nayya. "Jangan bikin dia sakit. Jangan buat dia mual terus. Kamu tau kan, nutrisi yang masuk ke tubuh Mama kamu, itu buat kamu juga. Jadi ayo kta kerja sama."Ia mencium pelan perut Nayya, seperti sebuah doa dalam diam. Lalu kembali menatap wajah perempuan yang ia cintai diam-diam selama ini—bukan sebagai seorang bodyguard, tapi sebagai pria yang hatinya sudah sepenuhnya tertambat pada Nayya."Maafkan aku Nayya. Maafkan a
Namun..."Bagaimana kalau Cintya bohong?" pikirnya. "Gimana kalau ini cuma cara dia biar aku datang?"Tapi bayangan suara tangis anak perempuannya di telepon tadi membuat Liam segera menepis semua pikiran buruknya barusan.Dengan kantong plastik berisi obat penurun demam, termometer, dan beberapa kebutuhan lain yang tadi sempat ia beli di apotek, Liam melangkah cepat menuju pintu rumah. Begitu diketuk, pintu langsung dibuka. Cintya berdiri di sana, masih memakai piyama tipis dan mata yang terlihat lelah.“Masuk cepat. Dia rewel banget dari tadi,” ucap Cintya pelan.Liam melangkah masuk. Bau balsam anak dan kain basah langsung menyeruak dari dalam rumah. Di sofa kecil dekat jendela, terlihat anak perempuan mereka—berbaring lemah, pipinya memerah, rambutnya lepek karena keringat. Matanya terbuka sedikit, tapi sayu.Liam langsung menghampiri.“Sayang... Papa di sini, ya,” gumamnya sambil duduk di tepi sofa. Ia menyentuh dah
Langit sudah gelap ketika Liam dan Nayya sampai di rumah. Hujan kembali turun rintik-rintik, seperti ikut mengiringi suasana hati Nayya yang masih terasa sesak. Sepanjang perjalanan, ia lebih banyak diam. Wajahnya terlihat murung, matanya beberapa kali menerawang ke luar jendela mobil, seperti menyimpan sesuatu yang ingin ia lepaskan tapi tak tahu bagaimana.Liam menutup pintu rumah perlahan, lalu memandang istrinya yang masih berdiri di ambang ruang tamu. Ia mendekat, lalu meraih kedua bahu Nayya dengan lembut.“Nay... aku tahu kamu sedih,” ucap Liam pelan. “Aku juga marah sama Mama tadi, sumpah. Tapi... jangan terlalu dipikirin ya?”Nayya mengangguk kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Aku cuma... aku kira Mama bakal senang dengar kabar ini. Tapi dia malah—”Liam langsung memeluk Nayya erat, memotong kalimat itu. “Ssttt... kamu udah cukup kuat hari ini, Sayang. Sekarang giliran aku yang bikin kamu bahagia. Kasih tahu aku, apa yang bisa aku lakuin biar kamu senyum lagi, hmm
Liam naik ke kamar dengan membawa segelas susu hamil dan apel yang sudah ia kupas rapi. Ia mendapati Nayya sudah tertidur sambil memeluk bantal kecil. Wajahnya tenang, damai.Perlahan, Liam meletakkan gelas dan apel di meja samping tempat tidur. Ia lalu duduk di sisi ranjang, menatap wajah istrinya yang kini terlihat lebih bersinar. Kehamilan itu seperti membawa harapan baru, membawa kebahagiaan yang sudah lama hilang.Namun bersamaan dengan itu, ada luka di hati Liam yang makin dalam."Aku gak bisa lukain dia... Tapi aku juga gak bisa ninggalin Cintya begitu aja." Ia menunduk, meremas rambutnya sendiri. "Tuhan... Kenapa semua harus serumit ini?"Dalam keheningan malam, suara rintik hujan kembali terdengar. Ia sadar, dia tidak pernah mencintai Nayya. Dia hanya kasihan pada perempuan itu. Tapi gilanya berat sekali untuk mengatakan yang sebenarnya. Apalagi dengan kondisi Nayya saat ini.***Udara pagi terasa dingin dan sedikit mendung saat mobil Liam berhenti di depan rumah ibunya, Widu
Malam telah turun sempurna saat Liam akhirnya sampai di rumah. Rintik hujan masih menyisakan jejak di jaketnya. Dengan satu tangan, ia menggenggam kantong belanja berisi susu hamil, roti gandum, jus buah, dan beberapa camilan sehat. Di tangan lainnya, ia membawa setangkai bunga kecil—tidak terlalu mewah, tapi cukup manis untuk menyenangkan hati seorang istri. Pintu terbuka pelan. Di ruang tamu, Nayya duduk sambil memainkan ponselnya. Senyum langsung mengembang di wajahnya saat melihat Liam. "Mas kamu udah pulang?" Liam membalas senyum Nayya. "Hai sayang." "Kamu bawa apa Mas?" tanyanya dengan heran. Liam berusaha tersenyum santai. "Buat kamu... dan si kecil," katanya sambil menunjukkan isi belanjaannya. "Ada susu hamil, buah-buahan, cemilan sehat." Nayya bangkit dan menghampirinya, matanya menyiratkan rasa haru dan kebahagiaan. “Tumben banget kamu perhatian gini. Biasanya disuruh aja masih suka ngeluh.” Liam tertawa hambar, berusaha menutupi gejolak hatinya. “Iya... tapi se
Ciuman itu berlangsung beberapa detik, tapi bagi Cintya, rasanya seperti putaran waktu yang berhenti. Semua emosi menumpuk: rindu, amarah, cinta, juga rasa bimbang.Saat bibir Liam masih menempel di bibirnya, ada satu sisi dalam dirinya yang ingin larut sepenuhnya… tapi sisi lain menjerit untuk menyadarkannya.Dengan cepat, Cintya menarik diri. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun menahan gelombang perasaan yang membuncah.“Liam...”Liam menatapnya, matanya masih menyimpan hasrat dan harapan. “Aku tau kamu juga menginginkannya."Cintya menatap lantai, suaranya nyaris berbisik. “I- itu gak bener.""Sampai kapan kamu mau berbohong?""Liam... aku—"Untuk kedua kalinya, bibir Cintya kembali di bungkam. Tapi kali ini bukan hanya sekedar ciuman saja. Liam dengan berani mengendus leher perempuan itu."Ahh..." Cintya mendesah akibat gigitan Liam. Belum lagi pijatan pria itu di salah satu gunung kembarnya, membuat seluruh tenaganya seolah lenyap tak bersisa."Liam... Jangan...""Ssst..." Lia
"Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu aku bakal ninggalin Nayya, Cintya."Lagi-lagi, Liam mengucapkan hal yang sama. Kata-kata itu terus diulangnya, seperti mantra yang ingin ia yakinkan pada diri sendiri maupun pada Cintya.“Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu, Cin. Aku serius.”Cintya menghela napas panjang. Ia menatap wajah Liam yang penuh keyakinan itu, tapi di balik tatapan itu—ia melihat luka. Luka yang belum selesai. Luka yang bisa saja kembali melukai orang lain.“Cukup Liam! Cukup!” gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik kita fokus sama masa depan masing-masing.""Tapi aku gak bisa ngelupain kamu. Kamu terlalu berarti buatku!" Liam menarik tangan mantan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya yang tampak putus asa itu sempat membuat Cintya goyah."Liam...""Aku mohon Cintya. Aku mohon banget sama kamu."Sebelum Liam sempat menjawab, ponsel Cintya kembali bergetar. Kali ini ia langsung mengangkatnya.“Halo?”Dari seberang, terdenga