Dewi merasa dunia seakan menutup rapat-rapat jalan keluarnya. Haruskah ia menerima tawaran Widuri?
Tidak!Wanita itu menolak mentah-mentah permintaan mereka. Ia tidak akan membiarkan Liam lolos begitu saja! Tapi… bagaimana dengan kondisi ini?Air mata mulai menetes di pipinya. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Saya akan berusaha mengumpulkan uang, tapi saya butuh waktu…”Dokter menatapnya dengan empati. “Kami akan menunggu sebisa kami, Bu Dewi. Tapi tolong pertimbangkan semua kemungkinan. Jika ada saudara atau pihak lain yang bisa membantu, jangan ragu untuk menghubungi mereka.”Dewi hanya bisa mengangguk. Langkahnya terasa gontai saat ia keluar dari ruangan itu. Pikirannya dipenuhi oleh satu pertanyaan besar—apa yang harus ia lakukan sekarang?Dewi menghela napas berat, langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata dokter tentang biaya yang semakin membengkak. Ia menggenggam tangannyaDewi mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya. "Kenapa kamu kabur malam itu?" Liam mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia membuka mulutnya, tapi butuh beberapa detik sebelum akhirnya bisa berbicara. "Saya panik. Saya takut. Saya tidak tahu harus melakukan apa..." "Takut?" suara Dewi meninggi. "Takut? Kamu pikir mereka tidak takut saat nyawa mereka melayang karena ulahmu? Kamu pikir keponakanku tidak ketakutan saat terjebak di dalam mobil dengan tubuh penuh luka? Kamu pikir aku tidak takut setiap kali dokter bilang dia mungkin tidak akan pernah bangun?" Liam menutup matanya erat-erat. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang ingin keluar. "Saya menyesal," bisiknya. "Saya tahu itu tidak cukup, tapi saya benar-benar menyesal." Dewi menggeleng. "Penyesalan kamu tidak akan menghidupkan mereka kembali."* Liam menggigit bibirnya, matanya memerah. " Saya tau." Keheningan
Jika ia harus pergi lebih cepat, siapa yang akan menjaga Nayya? Siapa yang akan memastikan keponakannya tidak merasa sendirian di dunia ini? Ia menggeleng, menolak membiarkan pikirannya terlalu jauh. "Tante cuma ingin seseorang yang bisa menjaga kamu dengan baik," bisiknya. "Dan tante harap... dia bisa melakukan itu untuk kamu." Suara langkah kaki terdengar di balik pintu, menghentikan monolog Dewi. Ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu, di mana seseorang berdiri ragu-ragu. Liam. Dewi menatap pemuda itu lama, membaca ekspresinya yang terlihat penuh keraguan. Ada sesuatu di matanya—penyesalan, kebingungan, dan mungkin sedikit ketakutan. Liam yang ditemani oleh salah satu petugas kepolisian dan sang pengacara, akhirnya melangkah masuk dengan canggung, lalu berhenti di ujung tempat tidur Nayya. Pandangannya terarah pada gadis yang terbaring tak berdaya di hadapannya. Dewi menghela napas dalam, lalu berbicara tanpa menatap Liam. "Kamu datang ternyata." Liam men
"Tante... siapa?" Jantung Dewi seperti berhenti berdetak. Air mata langsung menggenang di matanya saat ia meraih wajah Nayya dengan kedua tangannya. "Nayya, kamu gak ingat Tante? Kamu gak ingat siapa aku?" Gadis itu semakin bingung, napasnya tersengal. "Aku... aku gak tahu..." Dewi menoleh cepat ke arah dokter yang baru masuk, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Dok, kenapa dia begini? Kenapa dia gak ingat aku?" Dokter menarik napas panjang sebelum berbicara. "Bu Dewi, kami sudah memprediksi ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ada kemungkinan besar Nayya mengalami amnesia akibat trauma otak yang ia alami dalam kecelakaan itu. Amnesia. Dewi merasa kepalanya berputar. "Jadi... dia gak ingat apa pun?" suaranya terdengar bergetar. Dokter mengangguk. "Hilang ingatan total. Dia bahkan mungkin tidak ingat siapa dirinya sendiri." Dewi langsung menatap Nayya lagi, hatinya mencelos melihat betapa kosongnya ekspresi gadis itu. "Nayya..." bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadi— "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Dia—" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
"Kamu ini sebenarnya mandul kan?"Perempuan yang sedang menuangkan teh hijau ke dalam cangkir keramik putih dengan ukiran mahal itu, melirik ke arah lawan bicaranya. Ekspresi wajahnya tampak menegang, terlihat tak terima dengan pernyataan yang baru saja dia dengar. "Maksud Mama apa?""Gak usah pura-pura polos kamu, Nay! Kamu sama Liam udah mau 3 tahun menikah, masa kalian berdua belum juga ngasih Mama cucu. Jadi cepet kasih tau Mama, kamu sebenarnya mandul kan? Tapi malu buat mengakuinya.""Ma, aku udah cek ke dokter. Dan hasilnya aku baik-baik aja kok.""Oooh, jadi kamu mau nyalahin Liam? Kamu pikir dia yang mandul begitu?" tukas wanita paruh baya itu balik, namanya— Widuri.Nayya menghela nafas panjang. "Aku gak nuduh Mas Liam mandul, Ma. Aku—""Jujur saja ya, Nayya. Sebenarnya Mama capek debat ama kamu soal cucu, tapi Mama ini juga males menghadapi pertanyaan temen-temen Mama soal ini.""Ini diluar kendaliku, Ma. Anak itu kan titipan Tuhan."Widuri mendengus, melipat tangannya di d
"Liam... kamu ingat janji kamu ke tante, kan?" Liam menelan ludah. Dada terasa sesak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Kamu janji bakal jaga Nayya selamanya... dan aku ingin melihat kalian menikah sebelum aku pergi." Ruangan terasa semakin sunyi. Nayya terkejut, matanya membesar. "Tante, kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?" Dewi tersenyum lembut. "Karena Tante ingin kamu bahagia, Nay. Tante ingin kamu punya seseorang yang bisa selalu menjagamu... dan aku percaya Liam adalah orang yang tepat." Liam menunduk, hatinya kacau. Janji yang dulu ia buat saat masih dipenuhi rasa bersalah, kini kembali menghantuinya. Ia teringat Cintya. Wajahnya, suaranya, harapannya. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat Nayya. Perempuan yang sudah melalui banyak hal karena kesalahannya. Gadis yang selama ini ia lindungi,
Cintya menggigit bibirnya, matanya kembali memerah. "Berapa lama aku harus menunggu, Liam?" Liam tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Cintya tersenyum pahit, lalu menarik tangannya dari genggaman Liam. "Aku gak tahu apakah aku bisa menunggu atau tidak." Liam tidak bisa membiarkan Cintya pergi begitu saja. Ia segera berdiri dan mengejarnya keluar restoran. Langkahnya cepat, penuh dengan kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Cintya!" panggilnya saat melihat wanita itu berjalan menuju mobilnya. Cintya berhenti, tapi tidak langsung menoleh. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalikkan badan. Matanya masih menyiratkan luka dan keraguan. "Apa lagi, Liam?" suaranya terdengar lelah. Liam mendekat, kali ini tanpa ragu. "Aku tahu aku sudah banyak mengecewakan kamu, dan aku tahu ini gak adil buat kamu. Tapi, aku serius, Cintya. Aku gak mau kehilangan kamu."
Malam itu di salah restoran. Liam duduk di kursi berhadapan dengan Cintya, mantan kekasihnya. Wanita itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam, tetapi ekspresinya penuh amarah dan kekecewaan. Sejak tadi, Cintya belum mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya tajam. Akhirnya, ia berbicara. "Aku gak habis pikir, Liam." Suaranya dingin. "Setelah sekian lama gak ada kabar, sekarang aku dengar kamu sibuk merawat perempuan lain?" Liam menatapnya dengan ekspresi datar. "Ini bukan seperti yang kamu pikir, Cintya. Lagipula dia bukan orang lain. Dia—" "Dia korban kecelakaan waktu itu kan? Aku tau kok." Perempuan itu menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Yang gak habis pikir, kenapa kamu sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk dia sampai melupakanku." Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku gak bermaksud buat lupain kamu. Aku hanya sedang mempertanggungjawabkan semua kesalahanku ke Nayya
Liam duduk di sofa kecil di dekat ranjang, menatap Nayya yang sedang tertidur. Gadis itu masih terlihat lemah, meskipun kondisinya jauh lebih baik dibandingkan saat pertama kali sadar dari koma. Nafasnya tenang, dadanya naik turun perlahan di bawah selimut putih yang menutupi tubuhnya. Sudah beberapa bulan berlalu, dan sejak saat itu, Liam hampir tidak pernah meninggalkan Nayya. Ia yang menggantikan perban luka di lengannya, membantunya berjalan saat fisioterapi, dan menyuapinya saat Nayya masih terlalu lemah untuk makan sendiri. Setiap hari, tugas Liam adalah menjaga dan merawat gadis itu. Seperti pagi tadi— "Pelan-pelan, Nay." Liam berdiri di sampingnya, satu tangan memegang lengan gadis itu, sementara tangan satunya berada di punggungnya, menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka sedang berjalan di taman belakang rumah, udara sejuk menyelimuti pagi itu. Nayya mengerutkan kening, fokus pada langkahnya. Ia masih merasa canggung dan tidak stabil, tapi dengan Liam di sis
"Tante... siapa?" Jantung Dewi seperti berhenti berdetak. Air mata langsung menggenang di matanya saat ia meraih wajah Nayya dengan kedua tangannya. "Nayya, kamu gak ingat Tante? Kamu gak ingat siapa aku?" Gadis itu semakin bingung, napasnya tersengal. "Aku... aku gak tahu..." Dewi menoleh cepat ke arah dokter yang baru masuk, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Dok, kenapa dia begini? Kenapa dia gak ingat aku?" Dokter menarik napas panjang sebelum berbicara. "Bu Dewi, kami sudah memprediksi ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ada kemungkinan besar Nayya mengalami amnesia akibat trauma otak yang ia alami dalam kecelakaan itu. Amnesia. Dewi merasa kepalanya berputar. "Jadi... dia gak ingat apa pun?" suaranya terdengar bergetar. Dokter mengangguk. "Hilang ingatan total. Dia bahkan mungkin tidak ingat siapa dirinya sendiri." Dewi langsung menatap Nayya lagi, hatinya mencelos melihat betapa kosongnya ekspresi gadis itu. "Nayya..." bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Jika ia harus pergi lebih cepat, siapa yang akan menjaga Nayya? Siapa yang akan memastikan keponakannya tidak merasa sendirian di dunia ini? Ia menggeleng, menolak membiarkan pikirannya terlalu jauh. "Tante cuma ingin seseorang yang bisa menjaga kamu dengan baik," bisiknya. "Dan tante harap... dia bisa melakukan itu untuk kamu." Suara langkah kaki terdengar di balik pintu, menghentikan monolog Dewi. Ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu, di mana seseorang berdiri ragu-ragu. Liam. Dewi menatap pemuda itu lama, membaca ekspresinya yang terlihat penuh keraguan. Ada sesuatu di matanya—penyesalan, kebingungan, dan mungkin sedikit ketakutan. Liam yang ditemani oleh salah satu petugas kepolisian dan sang pengacara, akhirnya melangkah masuk dengan canggung, lalu berhenti di ujung tempat tidur Nayya. Pandangannya terarah pada gadis yang terbaring tak berdaya di hadapannya. Dewi menghela napas dalam, lalu berbicara tanpa menatap Liam. "Kamu datang ternyata." Liam men
Dewi mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya. "Kenapa kamu kabur malam itu?" Liam mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia membuka mulutnya, tapi butuh beberapa detik sebelum akhirnya bisa berbicara. "Saya panik. Saya takut. Saya tidak tahu harus melakukan apa..." "Takut?" suara Dewi meninggi. "Takut? Kamu pikir mereka tidak takut saat nyawa mereka melayang karena ulahmu? Kamu pikir keponakanku tidak ketakutan saat terjebak di dalam mobil dengan tubuh penuh luka? Kamu pikir aku tidak takut setiap kali dokter bilang dia mungkin tidak akan pernah bangun?" Liam menutup matanya erat-erat. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang ingin keluar. "Saya menyesal," bisiknya. "Saya tahu itu tidak cukup, tapi saya benar-benar menyesal." Dewi menggeleng. "Penyesalan kamu tidak akan menghidupkan mereka kembali."* Liam menggigit bibirnya, matanya memerah. " Saya tau." Keheningan
Dewi merasa dunia seakan menutup rapat-rapat jalan keluarnya. Haruskah ia menerima tawaran Widuri? Tidak! Wanita itu menolak mentah-mentah permintaan mereka. Ia tidak akan membiarkan Liam lolos begitu saja! Tapi… bagaimana dengan kondisi ini? Air mata mulai menetes di pipinya. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Saya akan berusaha mengumpulkan uang, tapi saya butuh waktu…” Dokter menatapnya dengan empati. “Kami akan menunggu sebisa kami, Bu Dewi. Tapi tolong pertimbangkan semua kemungkinan. Jika ada saudara atau pihak lain yang bisa membantu, jangan ragu untuk menghubungi mereka.” Dewi hanya bisa mengangguk. Langkahnya terasa gontai saat ia keluar dari ruangan itu. Pikirannya dipenuhi oleh satu pertanyaan besar—apa yang harus ia lakukan sekarang?Dewi menghela napas berat, langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata dokter tentang biaya yang semakin membengkak. Ia menggenggam tangannya
Keesokan harinya, Widuri dan pengacara mendatangi rumah keluarga korban. Mereka tiba di sebuah rumah berlantai dua tak jauh dari pusat kota. Widuri bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat ia turun dari mobil."Anda siap?" tanya pengacara sebelum mereka mengetuk pintu.Widuri mengangguk, meskipun kenyataannya ia jauh dari siap.Pintu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya dengan wajah lelah dan mata sembab. Dari kemiripannya dengan salah satu korban dalam laporan yang Widuri baca, ia tahu bahwa ini pasti ibu salah satu korban."Ada apa ya?" tanya wanita itu dengan suara serak. "Kalian ini siapa?" Wanita itu memperhatikan Widuri dan sang pengacara secara bergantian. Dilihat dari penampilan mereka, wanita tersebut bisa tau jika mereka bukan orang sembarangan.Pengacara memperkenalkan diri dan Widuri, lalu dengan hati-hati menjelaskan maksud kedatangan mereka. Saat nama Liam disebut, mata wanita itu langsung memerah. "Jadi, kalian datang untuk menyuap saya agar memb