Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Nayya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya mulai berair. Ini seperti mimpi. Selama bertahun-tahun ia mencoba, menahan segala rasa sakit—baik secara fisik maupun emosional. Berulang kali ia menghadapi tatapan iba, sindiran, bahkan tuduhan. Dan kini, dokter mengatakan bahwa ia hamil? Liam yang duduk di tepi ranjang masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, kali ini tidak ada lagi pertanyaan atau kecurigaan di wajahnya. Yang ada hanya keterkejutan yang sama seperti yang dialami Nayya. "Kamu beneran... gak bohong?" suara Nayya nyaris bergetar, masih tidak percaya. Liam tersenyum kecil. "Dokter yang bilang, sayang. Aku juga sama kagetnya seperti kamu." Air mata akhirnya jatuh di pipi Nayya. Ia tidak bisa menahannya lagi. Bahagia, lega, dan juga perasaan tidak percaya bercampur menjadi satu. Ia menangis dalam diam, mengingat segala rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Ternyata… selama ini aku tidak mandul," gumamnya di antara isak tangis. "Semua tudu
“Iya, saya ingat, Nona,” jawab Galen. "Kenapa?" "Kenapa kamu gak ngasih tau aku sesuatu?" Galen terdiam sesaat. Tatapannya mengarah ke jendela yang cahaya senjanya mulai memudar. Ada konflik kecil di matanya—antara ingin melindungi Nayya dari kenyataan, atau memenuhi permintaannya sebagai bentuk kepercayaan. "Nona yakin mau tahu sekarang?" tanyanya pelan. Nayya mengangguk. “Aku udah cukup tenang buat dengar apa pun, Galen. Tolong jangan sembunyiin apa-apa dari aku!" Galen menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel dari saku celananya. Ia membuka galeri, memperlihatkan beberapa foto yang diambil secara diam-diam. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan ponsel itu pada Nayya. "Perempuan itu... adalah Cintya." Deg! Jantung Nayya seolah berhenti berdetak. Nafasnya tercekat. Wajahnya seketika pucat pasi. "Ci— Cintya? Maksud kamu sekertaris baru Mas Liam?" "Benar, Nona." "Tapi Mas Liam bilang dia pergi sendiri?" "Faktanya mereka pergi bersama. Dan—" Galen melihat ke arah Nay
Sementara itu, suasana pagi yang hangat juga terasa di apartemen milik Cintya. Matahari menyusup malu-malu dari balik tirai ruang makan, menyinari wajah mungil Lora yang duduk di kursi makannya sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya.“Papa... Aaa...” pinta Lora dengan suara cadel, menunjuk mangkuk bubur di tangan Liam.Liam tersenyum, mengaduk bubur itu pelan agar tidak terlalu panas, lalu menyuapkan ke mulut putrinya yang terbuka lebar.“Lora anak pintar, ya. Makannya yang lahap ya, biar cepet sembuh,” ujarnya lembut.Lora terkekeh kecil, pipinya yang tembam ikut bergerak. “Coalnya Papa yang ucapin," katanya bangga dengan cadel khas anak-anak seusianya. "Lola cukaaa..."Liam terkikik pelan mendengarnya. "Iya sayang... Iya. Abis makan kita minum obat ya! Biar Lora cepet sembuh."Lora mengerutkan keningnya. Bocah lucu berpipi gembul itu tampak kurang setuju dengan ucapan Liam. "Pait Pa. Obat gak enak.""Kata siapa obatnya pahit? Obatnya kan rasa stoberi.""Sto...be...li?""Yap. Buah kes
"Nona..." bisiknya, nyaris tak terdengar.Pandangan Galen turun ke arah perut Nayya yang masih rata, tapi baginya... itu adalah pusat dari segalanya sekarang. Dengan gerakan lembut, Galen menaruh tangannya di atas perut itu—seolah sedang menyentuh sesuatu yang paling rapuh, paling berharga dalam hidupnya."Hai, sayang..." Galen berbisik, suaranya bergetar pelan. "Papa tahu kamu belum bisa dengar suara ini, atau mungkin... kamu belum ngerti apa-apa. Tapi tolong kerja samanya ya! Tolong jangan bikin Mama kamu repot begini."Ia menunduk, keningnya hampir menyentuh perut Nayya. "Jangan bikin dia sakit. Jangan buat dia mual terus. Kamu tau kan, nutrisi yang masuk ke tubuh Mama kamu, itu buat kamu juga. Jadi ayo kta kerja sama."Ia mencium pelan perut Nayya, seperti sebuah doa dalam diam. Lalu kembali menatap wajah perempuan yang ia cintai diam-diam selama ini—bukan sebagai seorang bodyguard, tapi sebagai pria yang hatinya sudah sepenuhnya tertambat pada Nayya."Maafkan aku Nayya. Maafkan a
Namun..."Bagaimana kalau Cintya bohong?" pikirnya. "Gimana kalau ini cuma cara dia biar aku datang?"Tapi bayangan suara tangis anak perempuannya di telepon tadi membuat Liam segera menepis semua pikiran buruknya barusan.Dengan kantong plastik berisi obat penurun demam, termometer, dan beberapa kebutuhan lain yang tadi sempat ia beli di apotek, Liam melangkah cepat menuju pintu rumah. Begitu diketuk, pintu langsung dibuka. Cintya berdiri di sana, masih memakai piyama tipis dan mata yang terlihat lelah.“Masuk cepat. Dia rewel banget dari tadi,” ucap Cintya pelan.Liam melangkah masuk. Bau balsam anak dan kain basah langsung menyeruak dari dalam rumah. Di sofa kecil dekat jendela, terlihat anak perempuan mereka—berbaring lemah, pipinya memerah, rambutnya lepek karena keringat. Matanya terbuka sedikit, tapi sayu.Liam langsung menghampiri.“Sayang... Papa di sini, ya,” gumamnya sambil duduk di tepi sofa. Ia menyentuh dah
Langit sudah gelap ketika Liam dan Nayya sampai di rumah. Hujan kembali turun rintik-rintik, seperti ikut mengiringi suasana hati Nayya yang masih terasa sesak. Sepanjang perjalanan, ia lebih banyak diam. Wajahnya terlihat murung, matanya beberapa kali menerawang ke luar jendela mobil, seperti menyimpan sesuatu yang ingin ia lepaskan tapi tak tahu bagaimana.Liam menutup pintu rumah perlahan, lalu memandang istrinya yang masih berdiri di ambang ruang tamu. Ia mendekat, lalu meraih kedua bahu Nayya dengan lembut.“Nay... aku tahu kamu sedih,” ucap Liam pelan. “Aku juga marah sama Mama tadi, sumpah. Tapi... jangan terlalu dipikirin ya?”Nayya mengangguk kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Aku cuma... aku kira Mama bakal senang dengar kabar ini. Tapi dia malah—”Liam langsung memeluk Nayya erat, memotong kalimat itu. “Ssttt... kamu udah cukup kuat hari ini, Sayang. Sekarang giliran aku yang bikin kamu bahagia. Kasih tahu aku, apa yang bisa aku lakuin biar kamu senyum lagi, hmm
Liam naik ke kamar dengan membawa segelas susu hamil dan apel yang sudah ia kupas rapi. Ia mendapati Nayya sudah tertidur sambil memeluk bantal kecil. Wajahnya tenang, damai.Perlahan, Liam meletakkan gelas dan apel di meja samping tempat tidur. Ia lalu duduk di sisi ranjang, menatap wajah istrinya yang kini terlihat lebih bersinar. Kehamilan itu seperti membawa harapan baru, membawa kebahagiaan yang sudah lama hilang.Namun bersamaan dengan itu, ada luka di hati Liam yang makin dalam."Aku gak bisa lukain dia... Tapi aku juga gak bisa ninggalin Cintya begitu aja." Ia menunduk, meremas rambutnya sendiri. "Tuhan... Kenapa semua harus serumit ini?"Dalam keheningan malam, suara rintik hujan kembali terdengar. Ia sadar, dia tidak pernah mencintai Nayya. Dia hanya kasihan pada perempuan itu. Tapi gilanya berat sekali untuk mengatakan yang sebenarnya. Apalagi dengan kondisi Nayya saat ini.***Udara pagi terasa dingin dan sedikit mendung saat mobil Liam berhenti di depan rumah ibunya, Widu
Malam telah turun sempurna saat Liam akhirnya sampai di rumah. Rintik hujan masih menyisakan jejak di jaketnya. Dengan satu tangan, ia menggenggam kantong belanja berisi susu hamil, roti gandum, jus buah, dan beberapa camilan sehat. Di tangan lainnya, ia membawa setangkai bunga kecil—tidak terlalu mewah, tapi cukup manis untuk menyenangkan hati seorang istri. Pintu terbuka pelan. Di ruang tamu, Nayya duduk sambil memainkan ponselnya. Senyum langsung mengembang di wajahnya saat melihat Liam. "Mas kamu udah pulang?" Liam membalas senyum Nayya. "Hai sayang." "Kamu bawa apa Mas?" tanyanya dengan heran. Liam berusaha tersenyum santai. "Buat kamu... dan si kecil," katanya sambil menunjukkan isi belanjaannya. "Ada susu hamil, buah-buahan, cemilan sehat." Nayya bangkit dan menghampirinya, matanya menyiratkan rasa haru dan kebahagiaan. “Tumben banget kamu perhatian gini. Biasanya disuruh aja masih suka ngeluh.” Liam tertawa hambar, berusaha menutupi gejolak hatinya. “Iya... tapi se
Ciuman itu berlangsung beberapa detik, tapi bagi Cintya, rasanya seperti putaran waktu yang berhenti. Semua emosi menumpuk: rindu, amarah, cinta, juga rasa bimbang.Saat bibir Liam masih menempel di bibirnya, ada satu sisi dalam dirinya yang ingin larut sepenuhnya… tapi sisi lain menjerit untuk menyadarkannya.Dengan cepat, Cintya menarik diri. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun menahan gelombang perasaan yang membuncah.“Liam...”Liam menatapnya, matanya masih menyimpan hasrat dan harapan. “Aku tau kamu juga menginginkannya."Cintya menatap lantai, suaranya nyaris berbisik. “I- itu gak bener.""Sampai kapan kamu mau berbohong?""Liam... aku—"Untuk kedua kalinya, bibir Cintya kembali di bungkam. Tapi kali ini bukan hanya sekedar ciuman saja. Liam dengan berani mengendus leher perempuan itu."Ahh..." Cintya mendesah akibat gigitan Liam. Belum lagi pijatan pria itu di salah satu gunung kembarnya, membuat seluruh tenaganya seolah lenyap tak bersisa."Liam... Jangan...""Ssst..." Lia
"Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu aku bakal ninggalin Nayya, Cintya."Lagi-lagi, Liam mengucapkan hal yang sama. Kata-kata itu terus diulangnya, seperti mantra yang ingin ia yakinkan pada diri sendiri maupun pada Cintya.“Aku akan ninggalin Nayya. Demi kamu, Cin. Aku serius.”Cintya menghela napas panjang. Ia menatap wajah Liam yang penuh keyakinan itu, tapi di balik tatapan itu—ia melihat luka. Luka yang belum selesai. Luka yang bisa saja kembali melukai orang lain.“Cukup Liam! Cukup!” gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik kita fokus sama masa depan masing-masing.""Tapi aku gak bisa ngelupain kamu. Kamu terlalu berarti buatku!" Liam menarik tangan mantan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya yang tampak putus asa itu sempat membuat Cintya goyah."Liam...""Aku mohon Cintya. Aku mohon banget sama kamu."Sebelum Liam sempat menjawab, ponsel Cintya kembali bergetar. Kali ini ia langsung mengangkatnya.“Halo?”Dari seberang, terdenga