"Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni
Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
"Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni
Nayya menahan napas, berusaha tetap tenang meskipun hatinya sudah mulai bergejolak. Matanya melirik ke arah Liam, yang kini memasang ekspresi datar, namun Nayya tahu suaminya sedang merasa tak nyaman."Liam, kamu masih ingat Safira, kan?" Widuri berbicara dengan nada riang, seolah-olah tak menyadari suasana yang berubah tegang. "Dulu kalian sering main bersama waktu kecil."Safira tersenyum manis, melangkah lebih dekat ke meja makan. "Tentu saja aku ingat, Tante. Waktu itu aku bahkan sempat menangis karena Liam lebih memilih main bola daripada menemani aku main boneka."Widuri tertawa kecil. "Ya, Liam memang selalu begitu. Tapi dia anak yang baik, kan?"Nayya mengeratkan genggaman tangannya di bawah meja. Wanita ini bukan sekadar tamu, tapi jelas calon yang Widuri siapkan untuk Liam. Rasanya seperti jantungnya diremas. Ia mencoba tersenyum meski hatinya terbakar.Liam berdeham, mencoba menetralkan situasi. "Senang bertemu lagi, Safira. Sudah lama sekali, ya?"Safira mengangguk antusia