GUNDIK SUAMIKU (4)
Kulirik ke arah mobil. Mobil Mas Ari masih di tempat semula. Lantas di mana Pak Slamet?
Gegas kuberlari kecil menuju pintu yang langsung terhubung dengan ruang tamu.
Pintu pun tidak dikunci. Mungkin Mbok Darmi belum tidur.
"Nyonya, dari mana?" kutelan saliva yang terasa mengganjal di tenggorokan. Kakiku pun sontak berhenti tepat di keramik pembatas antara pintu dan teras. Cepat aku menoleh ke sumber suara. Benar dugaanku, bahwa itu suara Pak Slamet yang berasal dari depan garasi.
"Oh, saya habis cek pintu di samping pagar, Pak. Sudah dikunci apa belum. Hanya untuk memastikan, takutnya Mbok Darmi lupa. Maklum, Pak. Sekarang banyak maling." alibiku meyakinkan. Untung saja, tadi masker dan jaket sudah kulepas dan kutinggal dalam mobil. Jadi, kini penampilanku biasa saja.
"Oh, kalau begitu saya mau pamit, Nya. Mau jemput Pak Ari." pamit lelaki berkumis itu. Aku mengangguk dan menyunggingkan senyuman. Tanpa curiga terhadapku, Pak Slamet mengayunkan langkahnya menuju mobil milik Mas Ari. Lalu melajukannya perlahan.
Akhirnya napasku yang sempat tertahan. Menghunus juga ke udara. Lega.
Oya, aku baru ingat soal surat yang dimaksud Mama dan Mas Ari di mall tadi. Mungkin benda itu amat penting sekali dan ada benang merah antara semua yang terjadi saat ini.
"Mbok mau ke mana?" Mbok Darmi yang tengah berjalan dari arah dapur seketika berhenti mendengar pertanyaanku.
"Mau tutup pintu garasi, Nya. Udah malam."
"Mbok, tadi Pak Slamet nggak kenapa-kenapa 'kan?" kutanyakan hal itu. Takutnya ada sesuatu di luar dugaanku.
"Enggak kok, Nya. Tadi Pak Slamet sempat ke toilet. Setelah itu ke luar, dan tiba-tiba ada Nyonya di sini."
"Oh, ya udah, Mbok. Makasih ya," Mbok Darmi mengangguk. Lantas aku kembali melanjutkan langkah menuju kamar.
Mata ini sibuk menyisir setiap inci dari laci yang barusan kubuka. Niatku mencari surat itu. Nihil, benda yang kuharapkan tak kunjung kutemukan. Bahkan, nyaris semua lemari dalam kamar ini sudah kugeledah dan tak ada hasilnya.
Kepalaku mendadak berdenyut nyeri. Mengorek semua dan tak ada hasilnya sama sekali. Apakah aku harus terang-terangan menyanyakan perihal surat itu pada Mas Ari?
Jangan Vin, jangan. Cari surat itu sendiri saja. yang terpenting adalah. Aku harus segera membalik nama rumah, perusahaan dan kafe yang selama ini dikelola Mas Ari menjadi namaku.
Bukan apa-apa, memang sebelum Mas Ari sukses begini. Semua modal dari orang tuaku. Bukan sepenuhnya harta Mas Ari. Jadi, bukankah aku yang lebih berhak atas semua aset ini? Lagi pula, Mas Ari sudah membelikan mamanya Rumah, mobil, dan sebuah toko sembako untuk sumber penghasilan. Tak hanya itu, Mas Ari juga setiap bulan memberi jatah uang pada orang tua juga adiknya yang masih kuliah. Apa jadinya jika semua yang berakar pada Mas Ari harus kutumbangkan. Bisa jadi, hidup mereka akan berubah seratus delapan puluh derajat dari kata mewah.
Dari pada aku pusing memikirkan surat Itu. Mendingan aku amankan saja surat rumah dan lain-lain untuk kubalik nama besok.
Tanganku terulur pada brankas yang permukaannya dingin karena AC. Dan lalu memasukan beberapa digit angka. Kini, semua aset sudah berada di tanganku termasuk surat kendaraan mobil kesayangan Mas Ari. Aku jadi terpikir, bagaimana jika sandi pada brangkas ini aku ganti. Biar tahu rasa dia, sudah isinya kosong. Menjengkelkan pula, karena pin yang susah diterka.
Semua berkas ini kuamankan di laci lemari pakaianku. Dan kuncinya hanya ada padaku sekarang. Bahkan Mas Ari pun tak akan pernah tahu keberadaannya.
Setengah jam sudah aku menyusuri setiap sudut ruangan ini. Tak hanya gerah body, pikiranku pun ikut-ikutan gerah. Lebih baik aku mandi saja sebelum Mas Ari datang. Akan kuberikan kejutan manis saat nanti ia pulang.
*
Setelah acara mandiku selesai. Mas Ari juga belum pulang. Baiklah, akan ada kejutan manis untuk menyambut kedatangannya nanti.Rambut kugerai bebas dengan balutan lingerie tipis berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku yang putih bening. Wajah ini kupoles dengan make up natural. Lip cream warna nude sukses menyempurnakan riasan pada wajahku.
Grendel pintu terdengar berputar. Itu menandakan Mas Ari sudah pulang. Bagaimana reaksi dia melihat penampilanku malam ini?
"Wah, baunya harum sekali ...." terlihat dari bayangan cermin di meja riasku. Mas Ari datang mendekat, setelah ia meletakan jas dan juga tas kerjanya di sofa.
Aku yang sedang menyisir rambut hanya tersenyum tipis.
Lelaki berwajah teduh itu memelukku dari belakang.
"Sayang ... kamu menggodaku saja, lihat nih, junior berontak." bisiknya di ceruk leherku. Membuat bulu kudukku meremang.
Jujur, aku teramat jijik dengan sentuhannya. Namun kutahan, agar ia tersiksa dengan yang ia sebut juniornya tadi.
"Mas, kamu mandi dulu ya," kataku mencoba melepaskan kedua tangannya yang melingkar di perutku.
"Nggak mau, maunya sekarang." rengeknya manja. Bak anak kecil yang tengah meminta permen.
"Iya, nanti. Tapi kamu mandi dulu ya," uraiku lembut. Ia memonyongkan bibirnya.
"Iya, aku mandi dulu, tapi janji ya, setelah aku mandi." perlahan ia melepas kedua tangannya dan melenggang menuju kamar mandi.
Kutanggapi kepergiannya dengan senyuman miring.
*
"Sayang, sekarang yuk, tadi 'kan kamu janji." Mas Ari yang hanya mengenakan handuk kembali merengek seusai melangsungkan ritual mandinya. "kamu kok ganti baju? Mana lingerienya tadi?" ia yang baru tersadar lantas menegurku yang tengah berbaring di ranjang.
"Maaf, Mas. Tamu bulanan aku tiba-tiba datang. Maaf banget ya," tukasku lalu mengerjapkan mata dan menarik selimut hingga sebatas dada.
"Hah, apa?!"
Bersambung
GUNDIK SUAMIKUPart 5"Hah! Apa?!" pekik Mas Ari terdengar syok. "argh! kenapa kamu gak bilang dari tadi, Vin?""Ya aku mana tahu, Mas. Kalau tamu itu tiba-tiba datang." jawabku kembali membuka mata. Mas Ari tak menjawab lagi. Ia melangkah jengah menuju lemari dan membukanya dengan kasar.'Rasain kamu, Mas. Itu hanya kejutan kecil buat kamu. Belum kejutan manis yang lainnya.' batinku tersenyum devils.Sesaat. Ranjang empuk ini terasa berkempis. Mas Ari tengah menata posisi untuk berbaring di sampingku. Namun ia memilih memunggungiku. Aku tahu, seberapa besar rasa kecewanya terhadapku dan kejadian tadi. Namun, itu tak sepenuhnya membuat hatiku lega dan merasa puas. Kalau belum aku melihat dia dan keluarganya menderita.*"Aku pergi ke kantor dulu ya, kamu baik-baik di rumah." selepas sarapan, Mas Ari berpamitan padaku. Ia bilang akan pergi ke kantor. Ini kesempatanku untuk mengurus surat-surat berharga yang suda
GUNDIK SUAMIKUPart 6Rasa penasaranku semakin membuncah. Hingga kuputuskan untuk diam dan tetap menguping.Dibuat bingung akan kejadian ini. Benakku terus bertanya, ada apa antara mereka orang-orang terdekatku?"Baik, nanti kita ketemu di rumah sakit." tak lama. Pak Slamet menuntup sambungan teleponnya. Lalu memasukan ponsel itu ke dalam saku celana.Rumah sakit?Siapa yang sakit?Pak Slamet bergegas menaiki motor lalu menyalakan mesinnya. Terlihat ia sedang memencet remote control pagar.Gawat jika aku sampai ketahuan. Karena pintu pagar akan segera bergeser ke araku. Cepat kulangkahkan kaki menjauh dan bersembunyi di dekat pohon bunga bougenville.Motor Pak Slamet ke luar dari pagar dan terpacu cepat ke arah barat.Tak habis akal. Lantas aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Rencanaku adalah, mengikuti ke mana pria tua yang kuanggap baik itu pergi.
GUNDIK SUAMIKUPart 7Marisa tengah berbicara dengan wanita berbaju biru tosca. Wanita yang tak lain adalah resepsionis rumah sakit ini terlihat menjelaskan sesuatu yang penting.Seperkian menit mereka berbincang. Marisa nampak mengangguk paham dan lantas melenggang pergi.Yang menjadi pertanyaan. Pak Slamet pergi ke mana?Lelaki itu tak kunjung kelihatan juga batang hidungnya."Di mana ruangannya?"Terdengar suara yang tak asing di telinga. Lantas kuberbalik arah untuk memastikan.Buru-buru aku menyingkir dari tempat semula. Karena seseorang yang berbicara tadi membuat mata ini nyaris tak berkedip.Mas Ari, dia sedang berjalan ke arah sini bersama dengan Pak Slamet. Untung saja aku memakai masker, jadi mereka tidak mengenaliku.Ternyata Pak Slamet menjemput Mas Ari di gerbang depan. Pantas saja aku tak mendapati lelaki itu di area lobi."Silakan lewat s
GUNDIK SUAMIKUPart 8"Sini ikut saya! Dasar penyusup!" Tarikan keras di lengan kananku membuatku terhenyak kaget.Sekilas, ekor mataku melihat ke arah ruangan tempat Mas Ari hendak melangsungkan acara ijab kabul.Mereka semua yang ada di dalam melihat ke arah sini.Beruntung, dua orang satpam tadi langsung menyeretku menjauh dari depan pintu tempat aku menguping.Sengaja aku menurut saja, kala dua satpam berseragam lengkap ini membawaku entah ke mana. Ya, karena untuk menghindari Mas Ari melihat apa yang sedang terjadi di luar.Mungkin aku gagal untuk menggagalkan pernikahan Mas Ari, tapi biarlah. Setidaknya aku tidak tertangkap basah oleh mereka."Ikut saya ke kantor!" Salah satu satpam mengomel sembari memeganggi tanganku."Nggak usah narik-narik! Saya bisa jalan sendiri." ketusku tak terima.Lagian, kenapa mereka bisa tahu kalau aku sedang menguping di situ
GUNDIK SUAMIKUPart 9Duh, gawat! Gimana kalau Mas Ari nekat ingin membuka maskerku?"Anda tidak bisa bertindak seenaknya begini!" sergah satpam yang tadinya menyebalkan, kini jadi seolah membelaku. Cepat ia berdiri di depan Mas Ari, menghalangi posisiku yang masih terduduk di kursi."Eh, apa-apaan kau ini! Minggir! Saya mau lihat, bagaimana wajah perempuan ini." sanggah Mas Ari bersikeras mendorong lengan satpam paksa."Anda minggir, atau mau saya laporkan pihak rumah sakit atas tuduhan kegaduhan yang Anda perbuat." Satpam itu lantas mendorong tubuh Mas Ari ke luar dan menutup pintu."Arrgh! Dasar satpam belagu!" umpat Mas Ari dari balik pintu. Sebelum ia melenggang pergi, ia memukul daun pintu terlebih dulu. Lalu melangkah jengah dengan wajah merah padam dan gigi yang saling mengerat rapat. Terlihat dari jendela kaca di ruangan ini."Vina, kamu nggak pa-pa 'kan?" Reflek aku mendongak, mendengar satpam ini mem
GUNDIK SUAMIKUPart 10Gegas kututup pintu kamar mandi dan melangsungkan acara mandi secepat mungkin.Tersenyum penuh kemenangan aku malam ini, karena menggagalkan rencana Mas Ari.Kutepis segala macam pikiran yang sedari tadi memutar di kepala. Dan lantas menyudahi acara mandiku.Kulihat Mas Ari yang kini beralih duduk di sofa. Tak lupa, kumatikan lampu kamar mandi terlebih dulu seusai menutup pintu.Wajah Mas Ari yang tadi cerah, mendadak kelabu. Ya, aku tahu, mungkin dia merasa sebal dan jengkel karena ulahku yang hendak ikut lembur dengannya. Aku hanya ingin tahu, apakah dia benar lembur? Atau akan menghabiskan malam ini bersama gundiknya. Seperti yang kuperkirakan tadi."Mas, tunggu ya, aku dandan dulu, bentar." kataku seraya duduk di depan meja rias dan mulai mepoleskan beberapa alat kecantikan yang tergelak di depanku."Hem ...." ia hanya berdahem. Lalu menghunuskan napas panjang
GUNDIK SUAMIKUPart 11"Kamu kenapa, Vin?" Mas Ari langsung panik dan menegurku."Aku nggak pa-pa kok, Mas. Mungkin masuk angin aja.""Ya udah kita pulang aja. Aku nggak mau kau sakit.""Kalau kita pulang, lalu gimana Mas makanannya?" kataku sesekali membungkam mulut karena tak tahan dengan aroma steak yang masih mengepul. Serasa berdenyut kepala ini. Aneh sekali, padahal makanan ini kesukaanku. Namun malam ini, aku sangat membencinya."Mbak, makanannya dibungkus aja ya, mana billnya sekalian?" Pelayan yang masih berdiri di tempat ini. Lantas mengangguk dan membawa makanan ini ke belakang."Mas, aku ke mobil dulu ya, nggak tahan." Gegas aku berdiri dan menenteng tasku menuju mobil."Iya, Sayang."Sepetu heels setinggi lima senti yang kukenakan berdecit di lantai seiring langkah yang kupercepat.Bugh!Sebuah ponsel jatuh kala aku tak sengaja menabrak sese
GUNDIK SUAMIKUPart 12"Sini kamu ikut aku!" Kutarik tangan wanita yang kutebak dia adalah Marisa."Ampun, Mbak!" ringisnya memelas.Lengan tangannya kucengkram erat menuju toilet yang berada di dekat ruang periksa."Buka maskermu! Aku yakin kau Marisa! Dasar pelakor!" kataku meledak-ledak. Aku amat geram dengannya. Karena dia Mas Ari jadi sering berbohong padaku, karena dia juga, rumah tanggaku jadi hancur. Meski aku yang akan menggugat cerai Mas Ari. Namun, jika semua masalah tak bersumber dari dia. Rumah tanggaku pasti akan baik-baik saja."Aku yakin kau Marisa! Dasar wanita murahan! Untuk apa kau berhijab segala! Wanita iblis, wanita tak punya hati!" Sekali tarikan napas. Kuceloskan semua umpatan yang selama ini mengendap di hati. Biar saja, aku berperilaku begini. Toh semua ini gara-gara dia."Stop, Mbak! Jangan hina pakaianku! Aku bukan pelakor, Mbak. Aku ini istri Mas Ari." sanggahnya tak ter
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 65"Duh, maaf ya, Mas. Saya nggak sengaja," ucapku segera ikut tertunduk memunguti barang-barang yang berupa makanan ringan tersebut.Aku dan orang yang tadi kutabrak menggunakan troli itu sama sama tercengang ketika saling tatap."Kamu!" ucapku tertahan. Bisa-bisanya ya, aku juga ketemu dia di sini."Bu Vina, bisa-bisanya ya kita ketemu juga di sini?" Perkataan William mewakili apa yang aku katakan dalam hati."Haduh, nggak di kantor, enggak di mall. Semua ketemunya sama kamu kamu aja Will." Aku bersungut."Lagian sih, Bu Vina kenapa na
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 64"Papaku meninggal Vin. Barusan aku dapat telepon dari pihak rumah sakit. Katanya mamaku yang menyuruh pihak rumah sakit buat melepaskan semua alat medis yang dipakai Papa karena kami sudah tidak mampu membayar.""Innalilahi wainnailaihi rojiun," ucapku dengan dada yang berdegup cepat. Teringat pada masanya aku pernah ditinggalkan Ibu pulang ke Rahmatullah.Isak tangis terdengar dari sambungan telepon."Jess, ini sekarang kamu lagi ada di mana? Masih ada di kontrakan 'kan? tanyaku juga panik."Iya, Vin. Aku mau ke rumah sakit tapi aku nggak punya uang buat naik ojek."Aku menghela napas. Ya Allah, tadi aku lupa nggak ninggalin uang buat Jessica."Kamu tunggu aku ya, jangan ke mana-mana. Aku akan segera ke kontrakan kamu
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 63Jessica langsung menutup wajah dan meletakan ponsel yang masih menyala itu di atas kasur. Aku heran dengan perangai anehnya.Lekas kulihat gawai itu dan membaca pesan di sana. Begitupun sebuah foto testpack bergaris dua yang dikirim seseorang.Nomor bernama Mama itu yang mengirimkan foto alat tes kehamilan dengan garis dua dengan pesan bertuliskan.[Jessica! Ini apa maksudnya?! Mama menemukan testpack ini di tempat sampah kamar kamu.]
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 62"Di jalan Cempaka dekat dengan toko kue."Degh!Jalan Cempaka? Dekat dengan toko kue? Jangan-jangan …."Kamu kenapa Vin?""Hah, apa?!" Aku terhenyak saat Jessica mengibaskan tangan di depanku. Ah, pasti tadi aku melamun karena memikirkan nama jalan itu."Kok kamu ngelamun?" Jessica menatapku heran."Eh, enggak pa-pa kok. Oya, kamu sudah puas belum jenguk papamu? Kalau sudah ayo kita ke rumahku, soalnya udah mau malam."
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 61Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sebegitu tahunya Jessica tentang hidupku juga sekitarku."Vina, dosa nggak sih kalau aku menggugurkan bayi haram ini?""Astaghfirullahaladzim, Jessica!"Aku sontak beristighfar mendengar pertanyaan konyol dari Jessica. Bisa-bisanya dia berpikiran hal bodoh begitu."Katanya kamu seorang Islam. Kalau kamu muslim, pasti kamu tahu hal itu dosa apa enggak." Kucetuskan dengan tegas."Tapi aku sama sekali nggak menginginkan anak ini lahir Vin. Kamu nggak tahu gimana rasanya jadi aku." Jessica protes. Dan
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 60Menjalani hari-hari kami masing-masing tanpa bertutur sapa lagi seperti sebelumnya.Mataku berkaca-kaca, menatap seonggok cincin berkilau yang Panji berikan padaku. Aku akan menjaganya, sebagaimana pesan yang ia katakan sebelum pergi.Aku masih berdiri dengan tubuh kaku seolah berat untuk beranjak pergi meninggalkan bandara ini.Punggung Panji semakin jauh dan jauh. Meski samar terlihat ia menoleh ke arah sini. Itu tidak akan membuat perpisahan kami tertunda.Selamat jalan, kasih. Semoga kau segera bisa lekas sembuh dan bisa berlari lagi mengejar apa yang belum tersampaikan. Aku berdoa dalam diam. M
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 59Aku reflek menyentuh pelipis ini.Jika Panji sudah dibawa ke luar negeri. Itu artinya aku telah gagal menyingkap kebusukan yang selama ini mengancam keluarga Panji."Kalau ada hal yang ingin disampaikan, bisa bilang ke saya Mbak." Ibu-ibu yang sepertinya asisten rumah tangga Panji itu membuatku lekas menatapnya."Nggak ada, Bu. Terimakasih ya, saya permisi dulu." Aku berpamitan. Namun langkah ini terhenti saat terdengar ada deru mesin mobil yang melipir di depan rumah mewah Panji.Sesosok wanita muda ke luar dari sana.Mataku memincin
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 58"Berhenti! Saya mau ketemu Vina!" Teriakan Panji kudengar pilu. Meski ia sudah jauh, tapi para perawat yang mendorong brankar tempat ia berbaring enggan menghentikan roda bulatnya walau sebentar saja. Pun keluarga Panji yang melintasi aku semua melemparkan tatapan sinis.Aku ingin mengejarnya. Tapi ….Tapi itu jelas tak mungkin. Biarlah, toh masalahku dengan Panji telah selesai. Dia akan menikah dengan wanita pilihan ibunya. Namun jika ingat niatan busuk gadis itu mau nikah sama Panji, ada sesuatu yang mendorongku untuk ingin mencegahnya.Lalu, apa yang akan aku lakukan? Jika aku mencegahnya pun akan sia-sia. Mamanya Panji terlalu benci terhadap
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 57Siapa tahu video ini nanti akan berguna. Aku membatin."Heh, Vina! Kenapa kamu lama banget?!"Aku telonjak kaget. Mama menepuk pundakku hingga HP yang hampir masuk ke dalam tas itu nyaris jatuh ke lantai.Cepat kutarik Mama agak menjauh dari tempat aku menguping. Takut gadis setan dan mamanya itu melihat keberadaanku karena ulah Mama yang mengagetkan."Mama kenapa nganggetin aku sih?!" protesku sembari menautkan alis."Ya kamu sih, lama banget nebus obatnya. Papamu udah disuruh minum tuh obat sama Dokter Vina, eh kamu malah nggak balik-bali