GUNDIK SUAMIKU
Part 5
"Hah! Apa?!" pekik Mas A*i terdengar syok. "argh! kenapa kamu gak bilang dari tadi, Vin?"
"Ya aku mana tahu, Mas. Kalau tamu itu tiba-tiba datang." jawabku kembali membuka mata. Mas A*i tak menjawab lagi. Ia melangkah jengah menuju lemari dan membukanya dengan kasar.
'Rasain kamu, Mas. Itu hanya kejutan kecil buat kamu. Belum kejutan manis yang lainnya.' batinku tersenyum devils.
Sesaat. Ranjang empuk ini terasa berkempis. Mas A*i tengah menata posisi untuk berbaring di sampingku. Namun ia memilih memunggungiku. Aku tahu, seberapa besar rasa kecewanya terhadapku dan kejadian tadi. Namun, itu tak sepenuhnya membuat hatiku lega dan merasa puas. Kalau belum aku melihat dia dan keluarganya menderita.
*
"Aku pergi ke kantor dulu ya, kamu baik-baik di rumah." selepas sarapan, Mas A*i berpamitan padaku. Ia bilang akan pergi ke kantor. Ini kesempatanku untuk mengurus surat-surat berharga yang sudah kuamankan semalam.
"Iya, Mas. Hati-hati ya," kuraih punggung tangannya dan menciumnya lekat. Lelaki berpakaian rapi ini menarik tengkuk leherku dan mencium keningku lama.
"Mas pergi dulu ya," pamitnya lagi. Ia memundurkan tubuhnya dan perlahan melenggang menjauh menujuh luar.
Kuikuti langkah Mas A*i hingga ke teras depan. Sebelum ia masuk mobil, Mas A*i melambaikan tangannya ke arahku seraya mengemban senyum hangat.
Tak pernah menyangka jika di balik senyum dan sikap baik yang selalu ia suguhkan padaku sepanjang pernikahan kami. Ternyata begitu banyak tersimpan kebohongan yang baru akhir-akhir ini kuketauhi. Meski berat, secepatnya ia harus memilih, antara mengakhiri hubungan ini atau melanjutkan semua. Tapi, kurasa ... hatiku akan menolak. Dan mungkin, Mas A*i pun juga akan lebih memilih wanita berhijab itu ketimbang aku. Terlihat dari perangainya yang berbeda saat ia memperlakukan aku dengan Marisa.
Baru saja mobil Mas A*i melesak ke luar dari pagar. Nampak motor Pak Slamet memasuki halaman rumah ini. Lelaki paruh baya itu mengenakan helm hitam dan lantas memarkirkan motornya di samping mobil milikku.
"Pagi, Nya." sapanya ramah seusai melepas helm dan jaket.
"Iya, Pak. Pagi juga." balasku dengan bibir melengkung sabit. "loh, kok, Pak Slamet ke sini? Memangnya enggak kerja di rumah mamanya Mas A*i?"
"Enggak, Nya. Kan Pak A*i sendiri yang nyuruh saya buat kerja di sini, sekarang." tak salah lagi. Bila memang Mas A*i sengaja mengekangku di rumah. Haduh, terus aku harus gimana menggurus surat-surat itu?
"Ya, udah, Pak. Saya masuk dulu ya,"
"Iya, Nya. Oya, nanti kalau Nyonya mau ke luar. Biar saya yang antar." kuhela napas berat saat Pak Slamet mengatakan kalimat itu. Jadi makin sulit, dengan keberadaannya di sini. Mana bisa aku mengurus surat itu kalau dia yang antar. Apa lagi, jika benar Mas A*i dan Pak Slamet bersekongkol. Bisa-bisa, gagal semua rencanaku.
Sambil berjalan menuju kamar. Kepala ini terus digelayuti beragam pertanyaan dan pening memikirkan cara untuk ke luar dari rumah ini tanpa ketahuan Pak Slamet.
Apa aku kasi dia obat tidur lagi ya?
Ah, tidak! Nanti bisa-bisa Pak Slamet curiga lagi. Karena tiba-tiba mengantuk seusai meminum minuman seperti kemarin.
Huh, jengkel setengah mati aku memikirkan semua. Kenapa harus serumit ini sih? Padahal ini kan rumahku sendiri. Tetapi, aku bagai tahanan kota yang tidak bisa ke mana-mana.
Sebuah ide melintas di kepalaku. Lebih baik aku pesan taksi online saja. Dengan begitu, Pak Slamet tidak akan tahu kalau aku ke luar dari rumah ini.
Lantas, bagaimana caranya lewat pintu depan yang Pak Slamet biasa duduk di situ?
Ah, iya, aku akan menyuruh Mbok Darmi untuk memanggil Pak Slamet ke belakang. Dengan begitu aku bisa ke luar lewat depan.
Satu persatu undakan anak tangga usai kuturuni. Sekarang aku tengah mencari keberadaan Mbok Darmi di belakang. Tempat ia biasa mencuci pakaian.
"Mbok, sini!" ucapku setengah berbisik dengan tangan melambai pada Mbok Darmi yang tengah sibuk mencuci satu ember pakaian.
"Iya, Nya." tak lama, Mbok Darmi datang mehampiri. "ada apa, Nya?"
"Mbok, tolong bilang ke Pak Slamet ya, suruh dia menggeluarkan semua barang-barang yang ada di gudang, soalnya mau dibersihkan."
"Iya, Nya. Siap." Mbok Darmi mengangguk cepat.
"Sekarang ya, Mbok." pintaku. Lagi, ia mengangguk.
Setelah memberitahu Mbok Darmi. Aku pun langsung melenggang ke kamar untuk mengambil tas yang berisi surat-surat penting. Tak lupa mengenakan jaket serta masker.
Kakiku menginjak lantai teras yang terbuat dari marmer. Sesaat celingukan melihat sekeliling. Ternyata Pak Slamet sudah diajak Mbok Darmi ke gudang yang tadi kusuruh. Terdengar dari derap langkah mereka yang melintas lewat garasi.
Cepat kubuka pagar menggunakan remote. Taksi online yang kupesan juga sudah menunggu di depan.
"Pak, jalan." pintaku setelah mendudukan bobot di bangku belakang.
"Ke mana, Mbak?" tanya supir taksi.
"Ke jalan Mawar nomor 102, Pak." kutunjukkan alamat rumah temanku yang seorang pengacara. Jika aku mengurusi surat ini sendiri, akan memakan waktu lumayan lama. Jadi, lebih baik biar temanku saja yang mengurusnya. Agar aku bisa cepat kembali ke rumah.
*
Selesai sudah dengan surat-surat itu. Semua bisa dibalik nama menjadi namaku. Kecuali mobil Mas A*i. Karena STNK-nya dipegang oleh Mas A*i. Jadi aku tidak bisa membalik nama menjadi namaku. Biarlah, masih mahalan rumah dan seisinya ketimbang mobil itu.
*
"Marisa, pokoknya kamu harus secepatnya minta uang ke A*i, nyawa ibumu dalam bahaya." mataku sontak melebar mendengar perbincangan Pak Slamet dengan seseorang yang ia sebut Marisa dalam sambungan telepon.
Ada hubungan apa antara Marisa dan Pak Slamet?
Aku yang tengah bersembunyi di balik pintu pagar. Reflek mengatupkan mulut menggunakan tangan. Ada apa sebenarnya?
Bersambung.....
GUNDIK SUAMIKUPart 6Rasa penasaranku semakin membuncah. Hingga kuputuskan untuk diam dan tetap menguping.Dibuat bingung akan kejadian ini. Benakku terus bertanya, ada apa antara mereka orang-orang terdekatku?"Baik, nanti kita ketemu di rumah sakit." tak lama. Pak Slamet menuntup sambungan teleponnya. Lalu memasukan ponsel itu ke dalam saku celana.Rumah sakit?Siapa yang sakit?Pak Slamet bergegas menaiki motor lalu menyalakan mesinnya. Terlihat ia sedang memencet remote control pagar.Gawat jika aku sampai ketahuan. Karena pintu pagar akan segera bergeser ke araku. Cepat kulangkahkan kaki menjauh dan bersembunyi di dekat pohon bunga bougenville.Motor Pak Slamet ke luar dari pagar dan terpacu cepat ke arah barat.Tak habis akal. Lantas aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Rencanaku adalah, mengikuti ke mana pria tua yang kuanggap baik itu pergi.
GUNDIK SUAMIKUPart 7Marisa tengah berbicara dengan wanita berbaju biru tosca. Wanita yang tak lain adalah resepsionis rumah sakit ini terlihat menjelaskan sesuatu yang penting.Seperkian menit mereka berbincang. Marisa nampak mengangguk paham dan lantas melenggang pergi.Yang menjadi pertanyaan. Pak Slamet pergi ke mana?Lelaki itu tak kunjung kelihatan juga batang hidungnya."Di mana ruangannya?"Terdengar suara yang tak asing di telinga. Lantas kuberbalik arah untuk memastikan.Buru-buru aku menyingkir dari tempat semula. Karena seseorang yang berbicara tadi membuat mata ini nyaris tak berkedip.Mas Ari, dia sedang berjalan ke arah sini bersama dengan Pak Slamet. Untung saja aku memakai masker, jadi mereka tidak mengenaliku.Ternyata Pak Slamet menjemput Mas Ari di gerbang depan. Pantas saja aku tak mendapati lelaki itu di area lobi."Silakan lewat s
GUNDIK SUAMIKUPart 8"Sini ikut saya! Dasar penyusup!" Tarikan keras di lengan kananku membuatku terhenyak kaget.Sekilas, ekor mataku melihat ke arah ruangan tempat Mas Ari hendak melangsungkan acara ijab kabul.Mereka semua yang ada di dalam melihat ke arah sini.Beruntung, dua orang satpam tadi langsung menyeretku menjauh dari depan pintu tempat aku menguping.Sengaja aku menurut saja, kala dua satpam berseragam lengkap ini membawaku entah ke mana. Ya, karena untuk menghindari Mas Ari melihat apa yang sedang terjadi di luar.Mungkin aku gagal untuk menggagalkan pernikahan Mas Ari, tapi biarlah. Setidaknya aku tidak tertangkap basah oleh mereka."Ikut saya ke kantor!" Salah satu satpam mengomel sembari memeganggi tanganku."Nggak usah narik-narik! Saya bisa jalan sendiri." ketusku tak terima.Lagian, kenapa mereka bisa tahu kalau aku sedang menguping di situ
GUNDIK SUAMIKUPart 9Duh, gawat! Gimana kalau Mas Ari nekat ingin membuka maskerku?"Anda tidak bisa bertindak seenaknya begini!" sergah satpam yang tadinya menyebalkan, kini jadi seolah membelaku. Cepat ia berdiri di depan Mas Ari, menghalangi posisiku yang masih terduduk di kursi."Eh, apa-apaan kau ini! Minggir! Saya mau lihat, bagaimana wajah perempuan ini." sanggah Mas Ari bersikeras mendorong lengan satpam paksa."Anda minggir, atau mau saya laporkan pihak rumah sakit atas tuduhan kegaduhan yang Anda perbuat." Satpam itu lantas mendorong tubuh Mas Ari ke luar dan menutup pintu."Arrgh! Dasar satpam belagu!" umpat Mas Ari dari balik pintu. Sebelum ia melenggang pergi, ia memukul daun pintu terlebih dulu. Lalu melangkah jengah dengan wajah merah padam dan gigi yang saling mengerat rapat. Terlihat dari jendela kaca di ruangan ini."Vina, kamu nggak pa-pa 'kan?" Reflek aku mendongak, mendengar satpam ini mem
GUNDIK SUAMIKUPart 10Gegas kututup pintu kamar mandi dan melangsungkan acara mandi secepat mungkin.Tersenyum penuh kemenangan aku malam ini, karena menggagalkan rencana Mas Ari.Kutepis segala macam pikiran yang sedari tadi memutar di kepala. Dan lantas menyudahi acara mandiku.Kulihat Mas Ari yang kini beralih duduk di sofa. Tak lupa, kumatikan lampu kamar mandi terlebih dulu seusai menutup pintu.Wajah Mas Ari yang tadi cerah, mendadak kelabu. Ya, aku tahu, mungkin dia merasa sebal dan jengkel karena ulahku yang hendak ikut lembur dengannya. Aku hanya ingin tahu, apakah dia benar lembur? Atau akan menghabiskan malam ini bersama gundiknya. Seperti yang kuperkirakan tadi."Mas, tunggu ya, aku dandan dulu, bentar." kataku seraya duduk di depan meja rias dan mulai mepoleskan beberapa alat kecantikan yang tergelak di depanku."Hem ...." ia hanya berdahem. Lalu menghunuskan napas panjang
GUNDIK SUAMIKUPart 11"Kamu kenapa, Vin?" Mas Ari langsung panik dan menegurku."Aku nggak pa-pa kok, Mas. Mungkin masuk angin aja.""Ya udah kita pulang aja. Aku nggak mau kau sakit.""Kalau kita pulang, lalu gimana Mas makanannya?" kataku sesekali membungkam mulut karena tak tahan dengan aroma steak yang masih mengepul. Serasa berdenyut kepala ini. Aneh sekali, padahal makanan ini kesukaanku. Namun malam ini, aku sangat membencinya."Mbak, makanannya dibungkus aja ya, mana billnya sekalian?" Pelayan yang masih berdiri di tempat ini. Lantas mengangguk dan membawa makanan ini ke belakang."Mas, aku ke mobil dulu ya, nggak tahan." Gegas aku berdiri dan menenteng tasku menuju mobil."Iya, Sayang."Sepetu heels setinggi lima senti yang kukenakan berdecit di lantai seiring langkah yang kupercepat.Bugh!Sebuah ponsel jatuh kala aku tak sengaja menabrak sese
GUNDIK SUAMIKUPart 12"Sini kamu ikut aku!" Kutarik tangan wanita yang kutebak dia adalah Marisa."Ampun, Mbak!" ringisnya memelas.Lengan tangannya kucengkram erat menuju toilet yang berada di dekat ruang periksa."Buka maskermu! Aku yakin kau Marisa! Dasar pelakor!" kataku meledak-ledak. Aku amat geram dengannya. Karena dia Mas Ari jadi sering berbohong padaku, karena dia juga, rumah tanggaku jadi hancur. Meski aku yang akan menggugat cerai Mas Ari. Namun, jika semua masalah tak bersumber dari dia. Rumah tanggaku pasti akan baik-baik saja."Aku yakin kau Marisa! Dasar wanita murahan! Untuk apa kau berhijab segala! Wanita iblis, wanita tak punya hati!" Sekali tarikan napas. Kuceloskan semua umpatan yang selama ini mengendap di hati. Biar saja, aku berperilaku begini. Toh semua ini gara-gara dia."Stop, Mbak! Jangan hina pakaianku! Aku bukan pelakor, Mbak. Aku ini istri Mas Ari." sanggahnya tak ter
GUNDIK SUAMIKUPart 13"Apa?! Buta permanen, Dok?!" Aku terbelalak tak percaya dengan apa yang dikatakan Dokter ini. Mas Ari buta? Pasti dia akan sangat syok sekali jika mengetahuinya."Iya, ini diakibatkan karena benturan keras sewaktu kecelakaan yang menimpanya. Jadi, ada kerusakan sel syaraf pada bagian matanya.""Apa tidak bisa disembuhkan, Dok?""Kalau metode penyembuhan untuk buta permanen sepertinya tidak ada, Bu. Kecuali pasien mendapat donor mata."Hatiku langsung tercelos, donor mata? Mana ada yang mau mendonorkan matanya untuk orang lain. Tapi jika Mas Ari tidak mendapat donor mata, ia akan hidup dalam gelap untuk selamanya.Terkadang jika ingat sakit hati yang ia torehkan, aku ingin bersikap bodo amat.Arrgh! Kenapa aku kadang malah merasa kasihan sama dia juga. Tuhan, tolong aku ... aku harus bagaimana menghadapi semua ini? Ingin menjerit frustasi rasanya."Ya, sudah
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 65"Duh, maaf ya, Mas. Saya nggak sengaja," ucapku segera ikut tertunduk memunguti barang-barang yang berupa makanan ringan tersebut.Aku dan orang yang tadi kutabrak menggunakan troli itu sama sama tercengang ketika saling tatap."Kamu!" ucapku tertahan. Bisa-bisanya ya, aku juga ketemu dia di sini."Bu Vina, bisa-bisanya ya kita ketemu juga di sini?" Perkataan William mewakili apa yang aku katakan dalam hati."Haduh, nggak di kantor, enggak di mall. Semua ketemunya sama kamu kamu aja Will." Aku bersungut."Lagian sih, Bu Vina kenapa na
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 64"Papaku meninggal Vin. Barusan aku dapat telepon dari pihak rumah sakit. Katanya mamaku yang menyuruh pihak rumah sakit buat melepaskan semua alat medis yang dipakai Papa karena kami sudah tidak mampu membayar.""Innalilahi wainnailaihi rojiun," ucapku dengan dada yang berdegup cepat. Teringat pada masanya aku pernah ditinggalkan Ibu pulang ke Rahmatullah.Isak tangis terdengar dari sambungan telepon."Jess, ini sekarang kamu lagi ada di mana? Masih ada di kontrakan 'kan? tanyaku juga panik."Iya, Vin. Aku mau ke rumah sakit tapi aku nggak punya uang buat naik ojek."Aku menghela napas. Ya Allah, tadi aku lupa nggak ninggalin uang buat Jessica."Kamu tunggu aku ya, jangan ke mana-mana. Aku akan segera ke kontrakan kamu
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 63Jessica langsung menutup wajah dan meletakan ponsel yang masih menyala itu di atas kasur. Aku heran dengan perangai anehnya.Lekas kulihat gawai itu dan membaca pesan di sana. Begitupun sebuah foto testpack bergaris dua yang dikirim seseorang.Nomor bernama Mama itu yang mengirimkan foto alat tes kehamilan dengan garis dua dengan pesan bertuliskan.[Jessica! Ini apa maksudnya?! Mama menemukan testpack ini di tempat sampah kamar kamu.]
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 62"Di jalan Cempaka dekat dengan toko kue."Degh!Jalan Cempaka? Dekat dengan toko kue? Jangan-jangan …."Kamu kenapa Vin?""Hah, apa?!" Aku terhenyak saat Jessica mengibaskan tangan di depanku. Ah, pasti tadi aku melamun karena memikirkan nama jalan itu."Kok kamu ngelamun?" Jessica menatapku heran."Eh, enggak pa-pa kok. Oya, kamu sudah puas belum jenguk papamu? Kalau sudah ayo kita ke rumahku, soalnya udah mau malam."
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 61Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sebegitu tahunya Jessica tentang hidupku juga sekitarku."Vina, dosa nggak sih kalau aku menggugurkan bayi haram ini?""Astaghfirullahaladzim, Jessica!"Aku sontak beristighfar mendengar pertanyaan konyol dari Jessica. Bisa-bisanya dia berpikiran hal bodoh begitu."Katanya kamu seorang Islam. Kalau kamu muslim, pasti kamu tahu hal itu dosa apa enggak." Kucetuskan dengan tegas."Tapi aku sama sekali nggak menginginkan anak ini lahir Vin. Kamu nggak tahu gimana rasanya jadi aku." Jessica protes. Dan
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 60Menjalani hari-hari kami masing-masing tanpa bertutur sapa lagi seperti sebelumnya.Mataku berkaca-kaca, menatap seonggok cincin berkilau yang Panji berikan padaku. Aku akan menjaganya, sebagaimana pesan yang ia katakan sebelum pergi.Aku masih berdiri dengan tubuh kaku seolah berat untuk beranjak pergi meninggalkan bandara ini.Punggung Panji semakin jauh dan jauh. Meski samar terlihat ia menoleh ke arah sini. Itu tidak akan membuat perpisahan kami tertunda.Selamat jalan, kasih. Semoga kau segera bisa lekas sembuh dan bisa berlari lagi mengejar apa yang belum tersampaikan. Aku berdoa dalam diam. M
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 59Aku reflek menyentuh pelipis ini.Jika Panji sudah dibawa ke luar negeri. Itu artinya aku telah gagal menyingkap kebusukan yang selama ini mengancam keluarga Panji."Kalau ada hal yang ingin disampaikan, bisa bilang ke saya Mbak." Ibu-ibu yang sepertinya asisten rumah tangga Panji itu membuatku lekas menatapnya."Nggak ada, Bu. Terimakasih ya, saya permisi dulu." Aku berpamitan. Namun langkah ini terhenti saat terdengar ada deru mesin mobil yang melipir di depan rumah mewah Panji.Sesosok wanita muda ke luar dari sana.Mataku memincin
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 58"Berhenti! Saya mau ketemu Vina!" Teriakan Panji kudengar pilu. Meski ia sudah jauh, tapi para perawat yang mendorong brankar tempat ia berbaring enggan menghentikan roda bulatnya walau sebentar saja. Pun keluarga Panji yang melintasi aku semua melemparkan tatapan sinis.Aku ingin mengejarnya. Tapi ….Tapi itu jelas tak mungkin. Biarlah, toh masalahku dengan Panji telah selesai. Dia akan menikah dengan wanita pilihan ibunya. Namun jika ingat niatan busuk gadis itu mau nikah sama Panji, ada sesuatu yang mendorongku untuk ingin mencegahnya.Lalu, apa yang akan aku lakukan? Jika aku mencegahnya pun akan sia-sia. Mamanya Panji terlalu benci terhadap
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 57Siapa tahu video ini nanti akan berguna. Aku membatin."Heh, Vina! Kenapa kamu lama banget?!"Aku telonjak kaget. Mama menepuk pundakku hingga HP yang hampir masuk ke dalam tas itu nyaris jatuh ke lantai.Cepat kutarik Mama agak menjauh dari tempat aku menguping. Takut gadis setan dan mamanya itu melihat keberadaanku karena ulah Mama yang mengagetkan."Mama kenapa nganggetin aku sih?!" protesku sembari menautkan alis."Ya kamu sih, lama banget nebus obatnya. Papamu udah disuruh minum tuh obat sama Dokter Vina, eh kamu malah nggak balik-bali