Laura menatap lekat foto yang tergeletak di atas berkas. Sesaat kemudian, wanita itu memejamkan mata. Setelah beberapa hari berlalu, ini adalah kali pertama dia merasakan kembali sang suami dalam dirinya.
“Ah, Christian,” desah Laura pelan. Dia menggerakkan tubuh perlahan, seiring dengan irama yang diciptakan Christian. Hingga beberapa saat, posisi seperti itu tidak berubah.Setelah merasa bosan, Christian mengajak Laura berdiri. Dia menurunkan tubuh sang istri, hingga menempel pada permukaan meja. Christian menyingkap bagian bawah midi dress yang Laura kenakan. Dia melanjutkan permainan, sampai berakhir setengah jam kemudian. Tak biasanya, Christian bermain cepat.“Kita lanjutkan nanti malam,” bisik Christian, saat Laura sedang mengenakan kembali celana dalam.“Jika kau tidak sibuk, bisakah kita bicara sebentar?” tanya Laura. Dia sudah selesai merapikan diri.“Tentang apa?” Christian balik bertanya, seraya duduk di balik meja kerjaLaura mempercepat langkah, berharap dapat menyusul Grace yang menuju ke arah lain. Namun, tiba-tiba ada beberapa petugas medis melintas sambil membawa pasien korban kecelakaan, dengan luka yang terlihat sangat mengerikan. Laura segera mundur, lalu memalingkan wajah. Ketika para petugas medis tadi sudah berlalu, Laura kembali mengarahkan pandangan ke arah yang dituju oleh Grace. Namun, wanita itu tidak terlihat lagi. Berhubung akan ke kantin, Laura melanjutkan langkah keluar dari Unit Gawat Darurat. Akan tetapi, tiba-tiba pikirannya mulai berkecamuk. Dia terus bertanya dalam hati. 'Apa yang sedang ibu lakukan di rumah sakit?'“Ayah,” ucap Laura teramat pelan. Dia mengkhawatirkan pria itu. Laura tahu bahwa sejak beberapa bulan terakhir, James kerap mengeluh sakit. “Semoga bukan dia,” harapnya, sambil terus melangkah hingga tiba di kantin. Laura langsung memesan kopi. Tanpa berlama-lama, dia bergegas kembali. “Mereka sudah selesai memeriksa Chel
“Sebentar, Tuan Bellingham.” Laura meminta izin untuk menjawab panggilan telepon dari Christian.“Tentu,” sahut Lewis tak masalah. Dia menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan perhatian pada lalu lintas di depannya. Entah benar-benar fokus, atau tetap menyimak obrolan Laura dan Christian secara diam-diam.“Aku sedang di jalan,” sahut Laura pelan, setelah menerima panggilan dari sang suami.“Katakan pada Wayne untuk membawa mobilku ke bengkel pengecekan. Sepertinya, ada yang tak beres —”“Mobilmu mogok di tengah jalan. Wayne sedang menunggu layanan derek datang menjemput, saat aku pergi tadi,” sela Laura, tanpa ada pikiran macam-macam.
Laura menatap tajam wanita, lalu berjalan cepat menghampiri seseorang yang tak lain adalah Emma. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan nada tidak bersahabat.Emma yang tengah duduk tenang, sontak menoleh. Saudara kembar Laura tersebut memasang ekspresi terkejut luar biasa. “La-Laura? Kenapa kau ada di sini?” Bukannya menjawab, dia justru balik bertanya.“Kenapa aku ada di sini?” Laura tersenyum sinis. “Kau lupa siapa pemilik kediaman megah ini? Christian Lynch adalah suamiku. Seharusnya kau meminta izin terlebih dulu, sebelum menginjakkan kakimu di rumahku.” Kekesalan Laura atas segala ulah keterlaluan Emma, sepertinya akan segera terlampiaskan.Ucapan Laura tadi hanya ditanggapi senyum penuh cibiran dari Emma. Tampak jelas jika dia meremehk
“Sakit?” ulang Laura tak percaya. Wanita cantik itu terdiam beberapa saat. Akhirnya, terjawab sudah pertanyaan serta rasa penasaran tentang keberadaan Grace di rumah sakit. “Ayah sakit apa?” tanyanya pelan, dengan bibir bergetar.“Kau benar-benar tidak tahu?” Emma meragukan pertanyaan Laura. “Keterlaluan,” cibirnya.Mendengar ucapan Emma yang seakan memojokkan dirinya, membuat kesabaran Laura kembali diuji. Namun, kali ini wanita cantik itu tak akan membiarkan saudara kembarnya bermain kata-kata lagi. Laura mencekal kedua lengan Emma cukup kencang. “Jangan membuang waktuku! Cepat katakan! Apa penyakit yang diderita ayah sehingga dia harus dirawat di rumah sakit?”“Dari mana kau tahu bahwa ayah dirawat di rumah sakit?” Emma mena
“Jangan macam-macam, Laura. Kau sudah tahu seperti apa peraturannya,” tegur Christian tegas. Dia tetap tak memberikan izin.“Astaga, Christian! Ayahku dan kekasihmu dirawat di rumah sakit yang sama. Kenapa kau bersikap seperti ini? Kau benar-benar keterlaluan!" “Aku tidak peduli, meskipun mereka dirawat di ruangan yang sama. Intinya adalah aku belum memberimu izin untuk bertemu dengan siapa pun … siapa yang memberitahumu tentang kondisi Tuan Pearson?” tanya Christian tiba-tiba. Dia menatap Laura penuh selidik.“Emma,” jawab Laura segera. “Emma datang kemari untuk menemuimu,” ucap wanita itu sinis.“Emma?” ulang Christian, diiringi gumaman pelan.
“Kau sudah mengambil keputusan?” Christian mengernyitkan kening.Laura mengangguk ragu. “Aku sudah menyetujui untuk melakukan pertemuan besok siang.”“Tanpa meminta pendapatku terlebih dulu?” Christian seolah hendak melakukan protes terhadap Laura.“Aku … aku sedang marah padamu. Jadi, kupikir tak harus meminta pendapat atau —”“Aku tidak menyukai itu, Laura.” Christian beranjak dari tempat tidur. Dia melangkah ke dekat meja khusus, tempat menyimpan minuman. Pria tampan tersebut menuangkan minuman tadi ke dalam gelas. Setelah itu, sang pemilik perusahaan IT Lynch Company berdiri di dekat jendela. Memandang ke luar, dengan tatapan menerawang.
Laura mengembuskan napas pelan, seraya mengalihkan perhatian pada Christian yang berdiri sambil bersandar pada dinding. Sepertinya, dia tak menyimak karena sibuk bermain ponsel. Laura merogoh ke dalam tas. Mengambil telepon genggam, lalu membuka email dari Scarlett. Setelah itu, dia menghampiri sang suami. “Aku harus ke kantor sebentar,” ucapnya pelan.“Kau ingin kuantar?” tanya Christian datar.Laura menatap aneh pria di hadapannya. Dia tak mengira Christian akan melayangkan pertanyaan demikian. “Tidak usah. Aku tahu kau harus menjaga Chelsea,” jawab Laura kesal. Nada bicaranya pun setengah menyindir.Namun, Christian bukan pria bodoh. Dia paham betul dengan makna dari ucapan sang istri. Pria itu memperhatikan Laura yang te
Jamie menatap lekat wanita cantik yang duduk di seberang meja makan. Pria itu merekatkan kedua tangan di dekat bibir, sambil sesekali memainkan jemari berhiaskan cincin titanium hitam. “Lagi-lagi, kau mengatakan hal yang sama. Kau pikir aku akan percaya?” “Aku tidak akan bosan mengatakannya karena itu merupakan satu kebenaran. Asal Anda tahu, Tuan Carson,” ucap Laura lagi. “Aku menerima tawaran kerja sama dan bersedia memenuhi undangan Anda karena ingin meluruskan masalah ini,” tegas wanita cantik itu, tanpa melepas tatapannya dari Jamie. Jamie menggeleng pelan, seakan menolak ucapan Laura. Dia menuangkan minuman ke dalam gelas. “Jika bukan pertemuan bisnis, kupastikan kita sudah bercinta di atas meja ini sejak tadi,” ujarnya tanpa beban. Seketika, Laura merasa seperti tersedak mendengar ucapan pria itu. Dia tak dapat membayangkan jika menjadi Emma. “Anda tidak malu mengatakan itu padaku?” Laura berusaha tak terpengaruh dengan ucapan menjij
Semenjak itu, Laura memutuskan kembali menetap di Inggris. Dia membiarkan rumah peninggalan Lewis, meskipun masih sering memantau dengan menghubungi asisten kepercayaannya. Bagaimanapun juga, semua aset peninggalan Lewis merupakan amanat yang harus dijaga. Laura tak ingin mengkhianati pria yang telah begitu baik terhadapnya dan Harper. Dia akan tetap melakukan kewajiban, menjalankan bisnis yang diwariskan Lewis. Setidaknya, itu membuat rasa bersalah sedikit tertutupi karena memilih kembali pada Christian. ********** Waktu terus berlalu. Musim pun, silih berganti. Laura menjalani biduk rumah tangga yang harmonis dengan Christian. Saat ini, dia bahkan tengah mengandung. "Kuharap kau tidak kecewa karena tak jadi memiliki tiga bidadari cantik," ujar Laura, diiringi senyum lembut. Dia menatap penuh cinta pada Christian, yang tengah fokus mengemudi. "Ini sangat menggembirakan. Hidupku terasa begitu sempurna," ucap Christian. Dia tak henti tersenyum. Hasil USG yang sudah dilakukan tadi,
Semenjak malam itu, hubungan Laura dan Christian mulai menghangat. Christian tak sungkan berkunjung, bertemu dan berbincang dengan Grace. Begitu juga Emma dan Jamie, yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya tinggal menghitung hari. Momen istimewa yang sudah Jamie nantikan selama bertahun-tahun akan terwujud. Pria itu sudah tak sabar menantikan dirinya dan Emma berdiri di altar, untuk mengucap janji suci pernikahan. Sementara itu, kedekatan antara Harper dan Mairi kian terjalin erat. Mairi yang mengetahui bahwa Harper belum diperbolehkan menari, selalu mengajak putri Laura tersebut melakukan banyak hal menyenangkan. “Kami sangat sibuk hari ini. Kau sudah tahu besok adalah hari pernikahan Emma dengan Jamie,” ucap Laura, saat menjawab panggilan telepon dari Christian. “Sayang sekali karena aku harus menghadiri acara penting sampai sore,” balas Christian, diiringi embusan napas berat. “Bagaimana Mairi? Kuharap dia tak merepotkanmu.” “Oh, tenang s
“Christian …,” desah Laura pelan, merasakan sentuhan lembut menjalari tubuhnya. Dia membiarkan pengusaha tampan itu menurunkan tali kecil dari pundak, hingga bagian atas slip dress yang dikenakannya terbuka lebar.Christian beranjak dari tempat tidur, lalu menarik dress satin merah marun itu. Dia melemparnya sembarang ke lantai. Pria bermata gelap itu terdiam sejenak, memandangi seonggok daging putih mulus yang dulu sering dinikmati kapan saja dirinya inginkan.Perlahan, Christian mencondongkan tubuh. Dia menarik celana dalam Laura. Pelan tapi pasti, segitiga pengaman dengan pinggiran berbahan lace itu terlepas dari kaki kiri Laura dan berhenti di mata kaki sebelah kanan. Christian seperti sengaja melakukannya.“Kau masih secantik dulu,” ucap Christian pelan dan dalam, sera
Laura tersenyum kikuk. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugup karena ucapan Christian tadi. Laura mengalihkan semua itu pada anak-anak, yang tengah berbincang asyik. Wanita itu bergabung dengan mereka berdua.Sementara Christian hanya diam memperhatikan interaksi antara Laura dengan kedua gadis kecil itu. Laura tak membeda-bedakan Harper dengan Mairi.Christian teringat pada waktu Laura menyarankan untuk mengambil bayi Chelsea setelah dilahirkan, seakan-akan bersedia merawatnya. Padahal, saat itu dia mengira bayi dalam kandungan Chelsea merupakan darah daging Christian. Oleh karena itulah, kini Laura bersikap baik terhadap Mairi.Malam terus merayap. Jarum jam di arloji Christian telah menunjuk angka sembilan lewat beberapa menit. Setelah berbagai keseruan yang dilakukan, pengusaha tampan tersebut
“Apa? Tapi, kau tahu aku sedang sibuk membantu persiapan pesta pernikahan Bibi Emma. Bukankah itu tujuan kita datang kemari?” Laura menolak ajakan itu secara halus. “Kurasa, kau bisa berkemah lain waktu atau … atau kita bisa melakukannya di sini dengan nenek dan —”“Kau tidak mengizinkanku pergi, Bu?” tanya Harper, menyela ucapan Laura. Gadis kecil itu langsung terlihat murung. Dia menundukkan wajah, kemudian berbalik. Tanpa mengatakan apa pun, Harper meninggalkan Laura dan Christian yang berdiri di ambang pintu.“Harper!” panggil Laura.Namun, gadis kecil itu tak menyahut. Dia bahkan sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan.“Bagus, Laura
Laura tertegun sejenak, lalu menoleh pada Harper yang terbelalak tak percaya. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada pria tadi, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti penerimaan barang kiriman.Sepeninggal kedua pria yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, Laura menatap aneh putrinya. Dia tak percaya Christian melakukan sesuatu yang dinilai sangat berlebihan. Namun, Laura tak bisa berkomentar apa-apa, melihat antusiasme Harper yang begitu takjub menghadapi setumpuk hadiah bagus.“Ibu tahu kenapa Paman Christian mengirimkan hadiah ini untukku? Apa hari ini aku berulang tahun?” tanya Harper, seraya menoleh pada Laura.“Tidak, Sayang. Ulang tahunmu masih empat bulan lagi,” jawab Laura, diiringi gelengan pelan. Dia mengalihkan pandangan pada Grace, yang memasang
"Ampuni aku, Christian," ucap Laura, di sela isak tangis pelan. Dia menundukkan wajah, tak berani melawan tatapan penasaran yang dilayangkan pria empat puluh tahun di hadapannya."Untuk apa? Kenapa aku harus mengampunimu?" tanya Christian tak mengerti."Aku ... aku sudah melakukan dosa tak termaafkan," sahut Laura, masih terisak pelan.Christian menatap lekat Laura. Pria itu memicingkan mata, mencoba menerka ke mana arah pembicaraan yang Laura maksud. Sesaat kemudian, pengusaha tampan tersebut seperti memahami sesuatu. "Apa ini ada hubungannya dengan Harper?"Laura menghentikan tangisnya, lalu mengangkat wajah. Dia membalas tatapan sang mantan suami. "Aku sangat marah dan membencimu, Christian," ucapnya lirih. "Saat itu, aku tak ingin melihat apalagi sampai bersinggungan denganmu. Tidak. Kau harus kubuang jauh. Sangat jauh. Penolakanmu membuatku terhina dan sakit. Teramat sakit," tuturnya pilu.Christian diam menyimak, tanpa mengalihkan perhatian s
Christian mengembuskan napas pelan. "Aku ingin memaksamu agar bersedia menerimaku lagi. Namun, entah ini jadi ide baik atau sebaliknya," ucap pria itu, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari paras cantik Laura."Jangan memaksakan kehendak lagi, Christian. Kau tahu itu tak akan berakhir baik," ucap Laura menanggapi."Apakah itu berarti kau bersedia kembali padaku dengan sukarela?"Laura tertawa pelan mendengar pertanyaan konyol Christian. Wanita itu menggeleng, lalu mengalihkan perhatian ke sekeliling. Tatapannya tertuju pada kolam renang berbentuk bulat di ujung ruangan, yang dibatasi kaca tebal di sisi sebelah luar.Laura melangkah ke sana. Dia berdiri di tepi kolam renang, lalu meletakkan gelas berisi anggur yang sedari tadi digenggam. "Apa kau pernah berenang di sini?" tanyanya, seraya menoleh pada Christian.Christian menggeleng, sembari berjalan mendekat. Dia berdiri di sebelah Laura. "Aku ingin kau jadi orang pertama yang berenang
“Apa? Kau memberitahu Paman Christian bahwa kita ada di London?”Harper mengangguk, dengan ekspresi teramat polos. “Aku rindu Mairi, Bu,” ujarnya.Laura tak bisa membantah, bila sudah menyebut nama Mairi. Dia tersenyum lembut. “Memangnya, kapan Mairi akan kemari?” “Terserah Paman Christian,” jawab Harper enteng. Gadis kecil itu merebahkan tubuh. “Selimuti aku, Bu,” pintanya.“Kau mau tidur sekarang?” Laura menaikkan sebelah alis.“Aku lelah dan kekenyangan, Bu,” sahut Harper seraya memejamkan mata.Laura kembali tersenyum. Dia meraih ujung selimut, lalu menariknya hingga me